Kerajaan Medang
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kerajaan Medang (atau sering juga disebut Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu) adalah nama sebuah kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8, kemudian berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10. Para raja kerajaan ini banyak meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta membangun banyak candi baik yang bercorak Hindu maupun Buddha. Kerajaan Medang akhirnya runtuh pada awal abad ke-11.
Nama
Pada umumnya, istilah Kerajaan Medang hanya lazim dipakai untuk menyebut periode Jawa Timur saja, padahal berdasarkan prasasti-prasasti yang telah ditemukan, nama Medang sudah dikenal sejak periode sebelumnya, yaitu periode Jawa Tengah.
Sementara itu, nama yang lazim dipakai untuk menyebut Kerajaan Medang
periode Jawa Tengah adalah
Kerajaan Mataram, yaitu merujuk kepada salah daerah ibu kota kerajaan ini. Kadang untuk membedakannya dengan
Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada abad ke-16, Kerajaan Medang
periode Jawa Tengah biasa pula disebut dengan nama
Kerajaan Mataram Kuno atau
Kerajaan Mataram Hindu.
Pusat Kerajaan Medang
Bhumi Mataram adalah
sebutan lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Di
daerah inilah untuk pertama kalinya istana Kerajaan Medang diperkirakan berdiri
(Rajya Medang i Bhumi Mataram). Nama ini ditemukan dalam beberapa
prasasti, misalnya prasasti Minto dan prasasti Anjuk
ladang. Istilah Mataram kemudian lazim dipakai untuk menyebut nama kerajaan
secara keseluruhan, meskipun tidak selamanya kerajaan ini berpusat di sana.
Sesungguhnya, pusat
Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, bahkan sampai ke
daerah Jawa Timur sekarang. Beberapa
daerah yang pernah menjadi lokasi istana Medang berdasarkan prasasti-prasasti
yang sudah ditemukan antara lain,
·
Medang i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya)
·
Medang i Mamrati (zaman Rakai Pikatan)
·
Medang i Poh Pitu (zaman Dyah Balitung)
·
Medang i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa)
·
Medang i Tamwlang (zaman Mpu Sindok)
·
Medang i Watugaluh (zaman Mpu Sindok)
·
Medang i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh)
Menurut perkiraan, Mataram terletak di daerah
Yogyakarta sekarang. Mamrati dan Poh Pitu diperkirakan terletak di daerah
Kedu. Sementara itu, Tamwlang sekarang disebut dengan nama Tembelang, sedangkan Watugaluh sekarang disebut Megaluh. Keduanya terletak di daerah
Jombang. Istana terakhir, yaitu Wwatan, sekarang disebut dengan nama Wotan, yang terletak di daerah
Madiun.
Awal berdirinya kerajaan
Prasasti Mantyasih tahun
907 atas nama
Dyah Balitung menyebutkan dengan jelas bahwa raja pertama Kerajaan Medang (
Rahyang ta rumuhun ri Medang ri Poh Pitu) adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.
Sanjaya sendiri mengeluarkan
prasasti Canggal tahun
732, namun tidak menyebut dengan jelas apa nama kerajaannya. Ia hanya memberitakan adanya raja lain yang memerintah
pulau Jawa sebelum dirinya, bernama
Sanna. Sepeninggal Sanna, negara menjadi kacau. Sanjaya kemudian tampil menjadi raja, atas dukungan ibunya, yaitu Sannaha, saudara perempuan Sanna.
Sanna, juga dikenal dengan nama "Sena" atau "Bratasenawa", merupakan raja
Kerajaan Galuh yang ketiga (709 - 716 M). Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora (saudara satu ibu Sanna) dalam tahun 716 M. Sena akhirnya melarikan diri ke Pakuan, meminta perlindungan pada Raja
Tarusbawa. Tarusbawa yang merupakan raja pertama
Kerajaan Sunda (setelah
Tarumanegara pecah menjadi
Kerajaan Sunda dan
Kerajaan Galuh) adalah sahabat baik Sanna. Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Sanjaya, anak Sannaha saudara perempuan Sanna, berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa (mertuanya yangg merupakan sahabat Sanna). Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya. Akhirnya Sanjaya menjadi penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga (setelah
Ratu Shima mangkat). Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.
Kisah hidup Sanjaya secara panjang lebar terdapat dalam
Carita Parahyangan yang baru ditulis ratusan tahun setelah kematiannya, yaitu sekitar abad ke-16.
Dinasti yang berkuasa
Istilah Wangsa Sanjaya merujuk pada nama raja pertama Medang, yaitu
Sanjaya. Dinasti ini menganut agama
Hindu aliran
Siwa. Menurut teori van Naerssen, pada masa pemerintahan
Rakai Panangkaran (pengganti Sanjaya sekitar tahun
770-an), kekuasaan atas Medang direbut oleh Wangsa Sailendra yang beragama
Buddha Mahayana.
Mulai saat itu Wangsa Sailendra berkuasa di
Pulau Jawa, bahkan berhasil pula menguasai
Kerajaan Sriwijaya di
Pulau Sumatra. Sampai akhirnya, sekitar tahun
840-an, seorang keturunan Sanjaya bernama
Rakai Pikatan berhasil menikahi
Pramodawardhani putri mahkota Wangsa Sailendra. Berkat perkawinan itu ia bisa menjadi raja Medang, dan memindahkan istananya ke Mamrati. Peristiwa tersebut dianggap sebagai awal kebangkitan kembali Wangsa Sanjaya.
Menurut teori Bosch, nama raja-raja Medang dalam
Prasasti Mantyasih dianggap sebagai anggota Wangsa Sanjaya secara keseluruhan. Sementara itu
Slamet Muljana berpendapat bahwa daftar tersebut adalah daftar raja-raja yang pernah berkuasa di Medang, dan bukan daftar silsilah keturunan Sanjaya.
Contoh yang diajukan Slamet Muljana adalah Rakai Panangkaran yang diyakininya bukan putra Sanjaya. Alasannya ialah,
prasasti Kalasan tahun
778 memuji Rakai Panangkaran sebagai “permata wangsa Sailendra” (
Sailendrawangsatilaka). Dengan demikian pendapat ini menolak teori van Naerssen tentang kekalahan Rakai Panangkaran oleh seorang raja Sailendra.
Menurut teori Slamet Muljana, raja-raja Medang versi Prasasti Mantyasih mulai dari
Rakai Panangkaran sampai dengan
Rakai Garung adalah anggota Wangsa Sailendra. Sedangkan kebangkitan Wangsa Sanjaya baru dimulai sejak Rakai Pikatan naik takhta menggantikan Rakai Garung.
Istilah
Rakai pada zaman Medang identik dengan
Bhre pada zaman
Majapahit, yang bermakna “penguasa di”. Jadi, gelar Rakai Panangkaran sama artinya dengan “Penguasa di Panangkaran”. Nama aslinya ditemukan dalam prasasti Kalasan, yaitu Dyah Pancapana.
Slamet Muljana kemudian mengidentifikasi
Rakai Panunggalan sampai
Rakai Garung dengan nama-nama raja Wangsa Sailendra yang telah diketahui, misalnya
Dharanindra ataupun
Samaratungga. yang selama ini cenderung dianggap bukan bagian dari daftar para raja versi Prasasti Mantyasih.
Sementara itu, dinasti ketiga yang berkuasa di Medang adalah
Wangsa Isana yang baru muncul pada ‘’periode Jawa Timur’’. Dinasti ini didirikan oleh
Mpu Sindok yang membangun istana baru di Tamwlang sekitar tahun
929. Dalam prasasti-prasastinya, Mpu Sindok menyebut dengan tegas bahwa kerajaannya adalah kelanjutan dari
Kadatwan Rahyangta i Medang i Bhumi Mataram.
Daftar raja-raja Medang
Apabila teori Slamet Muljana benar, maka daftar raja-raja Medang sejak masih berpusat di Bhumi Mataram sampai berakhir di Wwatan dapat disusun secara lengkap sebagai berikut:
- Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang
- Rakai Panangkaran, awal berkuasanya Wangsa Syailendra
- Rakai Panunggalan alias Dharanindra
- Rakai Warak alias Samaragrawira
- Rakai Garung alias Samaratungga
- Rakai Pikatan suami Pramodawardhani, awal kebangkitan Wangsa Sanjaya
- Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala
- Rakai Watuhumalang
- Rakai Watukura Dyah Balitung
- Mpu Daksa
- Rakai Layang Dyah Tulodong
- Rakai Sumba Dyah Wawa
- Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur
- Sri Lokapala suami Sri Isanatunggawijaya
- Makuthawangsawardhana
- Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Medang berakhir
Pada daftar di atas hanya Sanjaya yang memakai gelar Sang Ratu, sedangkan raja-raja sesudahnya semua memakai gelarSri Maharaja.
Struktur pemerintahan
Raja merupakan pemimpin tertinggi Kerajaan Medang.
Sanjaya sebagai raja pertama memakai gelar
Ratu. Pada zaman itu istilah
Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar ini setara dengan
Datu yang berarti "pemimpin". Keduanya merupakan gelar asli
Indonesia.
Ketika
Rakai Panangkaran dari
Wangsa Sailendra berkuasa, gelar
Ratu dihapusnya dan diganti dengan gelar
Sri Maharaja. Kasus yang sama terjadi pada
Kerajaan Sriwijaya di mana raja-rajanya semula bergelar
Dapunta Hyang, dan setelah dikuasai Wangsa Sailendra juga berubah menjadi
Sri Maharaja.
Pemakaian gelar Sri Maharaja di Kerajaan Medang tetap dilestarikan oleh
Rakai Pikatan meskipun
Wangsa Sanjaya berkuasa kembali. Hal ini dapat dilihat dalam daftar raja-raja versi
Prasasti Mantyasih yang menyebutkan hanya Sanjaya yang bergelar
Sang Ratu.
Jabatan tertinggi sesudah raja ialah
Rakryan Mahamantri i Hino atau kadang ditulis
Rakryan Mapatih Hino. Jabatan ini dipegang oleh putra atau saudara raja yang memiliki peluang untuk naik takhta selanjutnya. Misalnya,
Mpu Sindokmerupakan
Mapatih Hino pada masa pemerintahan
Dyah Wawa.
Jabatan
Rakryan Mapatih Hino pada zaman ini berbeda dengan
Rakryan Mapatih pada zaman
Majapahit. Patih zaman Majapahit setara dengan
perdana menteri namun tidak berhak untuk naik takhta.
Jabatan sesudah
Mahamantri i Hino secara berturut-turut adalah
Mahamantri i Halu dan
Mahamantri i Sirikan. Pada zaman Majapahit jabatan-jabatan ini masih ada namun hanya sekadar gelar kehormatan saja. Pada zaman
Wangsa Isana berkuasa masih ditambah lagi dengan jabatan
Mahamantri Wka dan
Mahamantri Bawang.
Jabatan tertinggi di Medang selanjutnya ialah Rakryan Kanuruhan sebagai pelaksana perintah raja. Mungkin semacam perdana menteri pada zaman sekarang atau setara dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Jabatan Rakryan Kanuruhan pada zaman Majapahit memang masih ada, namun kiranya setara dengan menteri dalam negeri pada zaman sekarang.
Keadaan penduduk
Penduduk Medang sejak periode Bhumi Mataram sampai periode Wwatan pada umumnya bekerja sebagai
petani. Kerajaan Medang memang terkenal sebagai negara agraris, sedangkan saingannya, yaitu
Kerajaan Sriwijaya merupakan negara maritim.
Konflik takhta periode Jawa Tengah
Pada masa pemerintahan
Rakai Kayuwangi putra
Rakai Pikatan (sekitar
856 –
880–an), ditemukan beberapa prasasti atas nama raja-raja lain, yaitu Maharaja Rakai Gurunwangi dan Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra. Hal ini menunjukkan kalau pada saat itu Rakai Kayuwangi bukanlah satu-satunya maharaja di
Pulau Jawa. Sedangkan menurut
prasasti Mantyasih, raja sesudah Rakai Kayuwangi adalah
Rakai Watuhumalang.
Dyah Balitung yang diduga merupakan menantu Rakai Watuhumalang berhasil mempersatukan kembali kekuasaan seluruh Jawa, bahkan sampai
Bali. Mungkin karena kepahlawanannya itu, ia dapat mewarisi takhta mertuanya.
Pemerintahan Balitung diperkirakan berakhir karena terjadinya
kudeta oleh
Mpu Daksa yang mengaku sebagai keturunan asli
Sanjaya. Ia sendiri kemudian digantikan oleh menantunya, bernama
Dyah Tulodhong. Tidak diketahui dengan pasti apakah proses suksesi ini berjalan damai ataukah melalui kudeta pula.
Tulodhong akhirnya tersingkir oleh pemberontakan
Dyah Wawa yang sebelumnya menjabat sebagai pegawai pengadilan.
Teori van Bammelen
Menurut teori van Bammelen, perpindahan istana Medang dari
Jawa Tengah menuju
Jawa Timur disebabkan oleh letusan
Gunung Merapi yang sangat dahsyat. Konon sebagian puncak Merapi hancur. Kemudian lapisan tanah begeser ke arah barat daya sehingga terjadi lipatan, yang antara lain, membentuk Gunung Gendol dan lempengan Pegunungan Menoreh. Letusan tersebut disertai gempa bumi dan hujan material vulkanik berupa abu dan batu.
Istana Medang yang diperkirakan kembali berada di Bhumi Mataram hancur. Tidak diketahui dengan pasti apakah
Dyah Wawa tewas dalam bencana alam tersebut ataukah sudah meninggal sebelum peristiwa itu terjadi, karena raja selanjutnya yang bertakhta di Jawa Timur bernama
Mpu Sindok.
Mpu Sindok yang menjabat sebagai Rakryan Mapatih Hino mendirikan istana baru di daerah Tamwlang. Prasasti tertuanya berangka tahun
929. Dinasti yang berkuasa di Medang periode Jawa Timur bukan lagi
Sanjayawangsa, melainkan sebuah keluarga baru bernama
Isanawangsa, yang merujuk pada gelar abhiseka Mpu Sindok yaitu Sri Isana Wikramadharmottungga.
Permusuhan dengan Sriwijaya
Balaputradewa kemudian menjadi raja Sriwijaya di mana ia tetap menyimpan dendam terhadap Rakai Pikatan. Perselisihan antara kedua raja ini berkembang menjadi permusuhan turun-temurun pada generasi selanjutnya. Selain itu, Medang dan Sriwijaya juga bersaing untuk menguasai lalu lintas perdagangan di
Asia Tenggara.
Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan ketika
Wangsa Isana berkuasa. Sewaktu
Mpu Sindok memulai
periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya datang menyerangnya. Pertempuran terjadi di daerah Anjukladang (sekarang
Nganjuk,
Jawa Timur) yang dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok.
Peristiwa Mahapralaya
Mahapralaya adalah peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur berdasarkan berita dalam prasasti Pucangan. Tahun terjadinya peristiwa tersebut tidak dapat dibaca dengan jelas sehingga muncul dua versi pendapat. Sebagian sejarawan menyebut Kerajaan Medang runtuh pada tahun
1006, sedangkan yang lainnya menyebut tahun
1016.
Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut, Dharmawangsa tewas.
Tiga tahun kemudian, seorang pangeran berdarah campuran
Jawa–
Bali yang lolos dari
Mahapralaya tampil membangun kerajaan baru sebagai kelanjutan Kerajaan Medang. Pangeran itu bernama
Airlangga yang mengaku bahwa ibunya adalah keturunan
Mpu Sindok. Kerajaan yang ia dirikan kemudian lazim disebut dengan nama
Kerajaan Kahuripan.
Peninggalan sejarah
Selain meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di
Jawa Tengah dan
Jawa Timur, Kerajaan Medang juga membangun banyak
candi, baik itu yang bercorak
Hindu maupun
Buddha.
Temuan Wonoboyo berupa artifak emas yang ditemukan tahun 1990 di Wonoboyo, Klaten, Jawa Tengah; menunjukkan kekayaan dan kehalusan seni budaya kerajaan Medang.
Candi-candi peninggalan Kerajaan Medang antara lain,
Candi Kalasan,
Candi Plaosan,
Candi Prambanan,
Candi Sewu,
Candi Mendut,
Candi Pawon,
Candi Sambisari,
Candi Sari,
Candi Kedulan,
Candi Morangan,
Candi Ijo,
Candi Barong,
Candi Sojiwan, dan tentu saja yang paling kolosal adalah
Candi Borobudur. Candi megah yang dibangun oleh
Sailendrawangsa ini telah ditetapkan
UNESCO (
PBB) sebagai salah satu warisan budaya dunia.