Rakai Panangkaran
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Rakai Panangkaran Hanacaraka: (Srī Mahārāja Rakai Pānangkaran Dyaḥ Pañcapana) adalah raja kedua Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno). Ia memerintah sekitar tahun 770-an. Periode pemerintahannya menandai dimulainya kegairahan membangun berbagai candi beraliran Buddha Mahayana di Dataran Prambanan; antara lain Tarabhavanam,Abhayagirivihara, dan Manjusrigrha.
Rakai Panangkaran Hanacaraka: (Srī Mahārāja Rakai Pānangkaran Dyaḥ Pañcapana) adalah raja kedua Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno). Ia memerintah sekitar tahun 770-an. Periode pemerintahannya menandai dimulainya kegairahan membangun berbagai candi beraliran Buddha Mahayana di Dataran Prambanan; antara lain Tarabhavanam,Abhayagirivihara, dan Manjusrigrha.
Minimnya data-data sejarah Mataram Kuno menyebabkan terjadinya beberapa penafsiran di antara para sejarawan mengenai asal usul Rakai Panangkaran. Ada yang berpendapat ia berasal dari Wangsa Sanjaya, ada pula yang berpendapat ia berasal dari Wangsa Sailendra.
Sang Pembangun Candi
Maharaja Rakai Panangkaran menempati urutan kedua dalam daftar raja-raja Kerajaan Medang versi prasasti Mantyasih. Namanya ditulis setelah Sanjaya, yang diyakini sebagai pendiri kerajaan tersebut. Prasasti ini dikeluarkan oleh MaharajaDyah Balitung pada tahun 907, atau ratusan tahun sejak masa kehidupan Rakai Panangkaran.
Sementara itu, prasasti yang berasal dari zaman Rakai Panangkaran adalah prasasti Kalasan tahun 778. Prasasti ini merupakan piagam peresmian pembangunan sebuah candi Buddha bernama Tarabhavanam (Buana Tara) untuk memuja Dewi Tara. Pembangunan ini atas permohonan para guru raja Sailendra. Dalam prasasti itu Rakai Panangkaran dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka atau “permata Wangsa Sailendra”. Candi yang didirikan oleh Rakai Panangkaran tersebut sekarang dikenal dengan sebutan Candi Kalasan.
Periode pemerintahannya ditandai dengan giatnya pembangunan candi-candi beraliran Buddha Mahayana di kawasan Dataran Prambanan. Selain candi Kalasan, berapa candi yang diperkirakan dibangun atas prakarsa Rakai Panangkaran antara lain Candi Sari yang dikaitkan sebagai wihara pendamping Candi Kalasan, Candi Lumbung, Prasada Vajrasana Manjusrigrha (Candi Sewu), dan Abhayagiri Vihara (kompleks Ratu Boko).
Prasasti Abhayagiri Wihara yang berangka tahun 792 M menyebutkan tokoh bernama Tejahpurnapane Panamkarana (Rakai Panangkaran) mengundurkan diri sebagai Raja karena menginginkan ketenangan rohani dan memusatkan pikiran pada masalah keagamaan dengan mendirikan wihara yang bernama Abhayagiri Wihara, yang dikaitkan dengan kompleks Ratu Boko. Diperkirakan Raja Panangkaran telah wafat sebelum Candi Sewu dan Abhayagirivihara rampung, sehingga beliau tidak sempat menyaksikan beberapa karyanya (Candi Sewu).
Hubungan dengan Sanjaya dan Dharanindra
Sanjaya merupakan raja pertama Kerajaan Medang. Menurut prasasti Canggal (732), ia menganut agama Hindu aliranSiwa. Sementara itu Rakai Panangkaran adalah raja kedua Kerajaan Medang. Menurut prasasti Kalasan (778), ia mendirikan sebuah candi Buddha aliran Mahayana. Sehubungan dengan berita tersebut, muncul beberapa teori seputar hubungan di antara kedua raja tersebut.
Teori pertama dipelopori oleh Van Naerssen menyebutkan bahwa, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya. Wangsa Sanjaya kemudian dikalahkan oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha. Pembangunan Candi Kalasan tidak lain merupakan perintah dari raja Sailendra terhadap Rakai Panangkaran yang telah tunduk sebagai bawahan. Nama raja Sailendra tersebut diperkirakan sama dengan Dharanindra yang ditemukan dalam prasasti Kelurak (782). Teori ini banyak dikembangkan oleh para sejarawan Barat, antara lain George Cœdès, ataupun Dr. F.D.K. Bosch.
Teori kedua dikemukakan oleh Prof. Poerbatjaraka yang menyebutkan bahwa, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya namun keduanya sama-sama berasal dari Wangsa Sailendra, bukan Wangsa Sanjaya. Dalam hal ini Poerbatjaraka tidak mengakui keberadaan Wangsa Sanjaya. Menurut pendapatnya (yang juga didukung oleh sejarawan Marwati Pusponegoro dan Nugroho Notosutanto), sebelum meninggal, Sanjaya sempat berwasiat agar Rakai Panangkaran berpindah ke agama Buddha. Teori ini berdasarkan kisah dalam Carita Parahyangan tentang tokoh Rahyang Panaraban putra Sanjaya yang dikisahkan pindah agama. Rahyang Panaraban ini menurut Poerbatjaraka identik dengan Rakai Panangkaran. Jadi, yang dimaksud dengan "para guru raja Sailendra" tidak lain adalah guru Rakai Panangkaran sendiri.
Teori ketiga dikemukakan oleh Slamet Muljana bahwa, Rakai Panangkaran bukan putra Sanjaya. Dalam daftar para raja versi prasasti Mantyasih tertulis nama Sanjaya bergelar Sang Ratu, sedangkan Rakai Panangkaran bergelar Sri Maharaja. Perubahan gelar ini membuktikan terjadinya pergantian dinasti yang berkuasa di Kerajaan Medang. Jadi, Rakai Panangkaran adalah raja dari Wangsa Sailendra yang berhasil merebut takhta Medang serta mengalahkan Wangsa Sanjaya. Menurut Slamet Muljana, Rakai Panangkaran tidak mungkin berstatus sebagai bawahan Wangsa Sailendra karena dalam prasasti Kalasan ia dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka (permata Wangsa Sailendra).
Dalam hal ini, Slamet Muljana menolak teori bahwa Rakai Panangkaran adalah bawahan Dharanindra. Menurutnya, Rakai Panangkaran dan Dharanindra sama-sama berasal dari Wangsa Sailendra. Meskipun demikian, ia tidak menganggap keduanya sebagai tokoh yang sama. Menurutnya, Dharanindra tidak sama dengan Rakai Panangkaran yang memiliki nama asli Dyah Pancapana (sesuai pemberitaan prasasti Kalasan). Muljana berpendapat, Dharanindra adalah nama asli dari Rakai Panunggalan, yaitu raja ketiga Kerajaan Medang yang namanya disebut sesudah Rakai Panangkaran dalam prasasti Mantyasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar