Rabu, 20 Juni 2012

Evolusi Jìwa (Prinsip Evolusi Jìwa)

Prinsip

Kenapa aku dilahirkan?
Pertanyaan seperti ini tentu sering kita dengar; dan ilmu pengetahuan jìwani memberi kita jawaban atas pertanyaan tersebut. Tidak hanya itu; kita senantiasa akan diberi kesempatan untuk membuktikan kebenaran atas jawaban tersebut. 

Untuk tujuan pembuktian itu, terlebih dahulu kita harus mau bekerja keras untuk dapat mengembangkan kekuatan-kekuatan gaib indra-indra, sebagai sarana pribadi dalam meneliti hal-hal yang berada di luar kemampuan indra normal sebagai biasa. Perlu diketahui bahwa hal ini telah dibuktikan melalui penelitian intensif para bijak, para yogi dan para åûi. Dan mereka telah menyumbangkan ilmu pengetahuan jìwani itu bagi kita semua. Pengetahuan yang akan kita bicarakan itu adalah tentang evolusi jiwa (jìwa). 

Langkah pertama untuk menuju ke dalam pemahaman evolusi jiwa adalah mempertanyakan siapakah aku? Pertama-tama kita harus menyadari bahwa sesungguhnya kita adalah jìwa (jiwa). Sebagai jìwa, kita telah ada sebelum kita memasuki badan seorang bayi untuk lahir sebagai manusia. Kita adalah jìwa yang bersemayam dalam sesosok badan. Sebagai jìwa, suatu saat kita akan menanggalkan badan yang kita pakai ini dan saat itulah badan yang kita pakai itu mati dan disebut mayat. Tetapi sang jìwa sendiri tetap abadi. 

Kita dapat memahami hal ini dari kita berbicara sehari-hari. Ini tanganku; yang berarti bahwa ada sang aku yang memiliki tangan yang menempel pada badan. Ini badanku; yang berarti ada sang aku yang memiliki badan. demikian pula halnya dengan perkataan pikiranku, kecerdasanku; yang berarti ada sesuatu yang ’memiliki’ badan, pikiran, kecerdasan, dan lain sebagainya itu, dan itu adalah sang jìwa. Jìwa ini juga sering diistilahkan dengan àtman

Tetapi pengistilahan àtman sebagai jìwa sering membingungkan; karena sebenarnya jìwa adalah kepribadian hidup yang setidak-tidaknya merupakan gabungan dari tika eksistensi, yaitu: Àtman - Buddhi - Manas (pikiran). Sebenarnya, mungkin lebih tepat memakai kata sansekerta guha sebagai istilah lain dari jìwa. Untuk lebih jelasnya dapat dijelaskan dengan skema di bawah.




Adanya kesadaran merupakan bukti adanya kehidupan. Jika sang jìwa meninggalkan badan jasmani, itu berarti bahwa kesadarannyalah yang meninggalkan badan jasmani tersebut dan setelah itu badan jasmani tidak lagi memiliki kesadaran dan disebut mayat. Jadi kita adalah suatu unit kesadaran yang disebut jìwa. Badan ini bukanlah aku; aku adalah jìwa yang bersemayam dalam sesosok badan untuk sementara waktu.




Jìwa merupakan unit kesadaran yang abadi. Seperti seberkas cahaya yang merupakan bagian dari cahaya matahari yang gemilang; seperti setetes air laut yang merupakan bagian dari lautan luas, maka sang unit kesadaran atau jìwa merupakan percikan kesadaran kosmik semesta (Brahman).
 
Dalam Bhagavad Gìtà II.20, Úrì Kåûóa memberi tahukan, 
tidak ada kelahiran dan kematian bagi sang jìwa 
Dia tak akan terbunuh manakala badan terbunuh. 
Kalau sang jìwa tidak mati ketika badan terbunuh, maka bagaimanakah nasib sang jìwa selanjutnya? 

Sang jìwa yang abadi dalam menempuh waktu yang tak terbatas, akan mengalami kelahiran berulang-ulang (menjelma) dan mengembangkan potensi jìwani hingga mencapai bentuknya yang paling sempurna, dalam ketuhanan. Inilah sasaran terakhir yang akan dicapai sang jìwa melalui kelahiran yang berulang-ulang. 

Setelah itu sang jìwa tak perlu lagi mengalami penjelmaan kembali dan manunggal lebur dengan kesadaran Ilahi. Selanjutnya dalam sloka II.22, Kåûóa juga berkata:  
Seperti halnya seseorang yang mengenakan pakaian baru dan melepaskan pakaian lama yang telah usang, demikian pula sang jìwa menerima badan-badan baru dan menanggalkan badan-badan lama yang telah usang.  

Demikianlah kita semua terlibat dalam kelahiran dan kematian yang berulang-ulang; berpindah dari satu badan ke badan yang lain. Semua pengalaman kelahiran dan kematian yang berulang-ulang itu tersimpan dengan rapi di lapisan jiwa yang dikenal sengan nama lapisan karaóa (penyebab). 

Pada setiap kelahiran kembali, hubungan antara lapisan karaóa dengan organ otak badan yang baru akan terputus. Itilah sebabnya mengapa kita lupa dengan pengalaman hidup kita pada penjelmaan sebelumnya. Tetapi ini bukan merupakan kelupaan total sama sekali, karena rekamannya senantiasa akan tetap terbawa pada kelahiran berikutnya. 

Untuk mengingat kembali pengalaman penjelmaan kita terdahulu, dapat dilakukan dengan upaya jìwani sedemikian rupa yang dapat menghubungkan organ otak dengan rekaman pengalaman penjelmaan kehidupan masa lalu di lapisan karaóa tersebut; bahkan secara tak sengaja hubungan tersebut mungkin akan berwujud sebuah mimpi. Pelaksanaan latihan yoga merupakan salah satu cara dari upaya jìwani tersebut. 

Makhluk tingkat rendah seperti tumbuh-tumbuhan, tingkat kesadaran jìwanya masih sangat rendah dan bersifat laten; belum semarak seperti halnya kesadaran makhluk manusia. Semakin meningkat kecerdasannya, semakin meningkat pula potensi kesadaran jìwanya.

Sebiji kecil buah pohon beringin yang ditanam di tanah yang subur, suatu saat seiring dengan perjalanan waktu, akan tumbuh menjadi pohon beringin besar yang rindang. Jadi, pohon beringin yang besar dan rindang itu berasal dari sebiji benih yang amat kecil saja. Jìwa juga seperti itu. 

Pada awalnya sang jìwa merupakan suatu wujud yang amat sederhana, sebagai wujud kehidupan yang masih laten. Seiring dengan perjalanan waktu kehidupan yang panjang melalui kelahiran yang berulang-ulang dalam berbagai bentuk makhluk, sang jìwa akan semakin tumbuh dan berkembang sampai akhirnya mencapai tingkat pertumbuhan yang paling tinggi; makhluk semarak dengan sifat ketuhanan. 

Proses inilah yang disebut sebagai evolusi jìwa. Dengan demikian, kita semua sebagai jìwa yang berwujud manusia dan juga jìwa-jìwa lain, tidak muncul begitu saja, tetapi melalui proses panjang pertumbuhan dan perkembangan dari sang jìwa itu sendiri.


Hanya ada satu kesadaran Tuhan, yaitu Brahman, yang menembus atau meresapi segala sesuatunya dengan kegemilangan-Nya. Bagaikan matahari dengan segala berkas cahayanya, segala jìwa merupakan berkas cahaya difrensiasi Tuhan semesta alam. Weda menyatakan, 


sv| %iLvd' b[õn(
sarvam khalvidam brahman
 bahwa segalanya ini adalah brahman.
Mula-mula jìwa itu masih sangat laten dan sederhana; yang bermanifestasi di alam halus dan berkembang. Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan sejanjutnya, jìwa sederhana tersebut meresap dan menyatu dengan mineral-mineral bumi sebagai media pertumbuhannya. Di sini, mineral merupakan badan fisik dari sang jìwa yang laten itu. 

Setelah cukup berkembang sebagai mineral, maka sang jìwa akan membutuhkan media lain untuk melanjutkan perkembangannya yang lebih tinggi. Untuk itu sang jìwa kemudian lahir sebagai tumbuh-tumbuhan. Dalam perkembangannya sebagai tumbuh-tumbuhan ini, aspek kehidupannya mulai mekar, dengan menunjukkan daya hidup yang jelas (bayu)

Dalam bentuk tumbuh-tumbuhan, tampak jelas bahwa sang jìwa telah mengembangkan suatu kwalitas naluri, walaupun dalam bentuk yang sederhana. Daunnya bergerak menuju arah datangnya cahaya matahari, dan akarnya bergerak mencari sumber air dan makanan melalui badan tumbuh-tumbuhan. 

Setelah menyelesaikan perkembangan melalui tubuh tumbuh-tumbuhan, sang jìwa akan lahir sebagai binatang untuk melanjutkan perkembangannya. Melalui tubuh binatang, sang jìwa mengembangkan naluri dengan lebih hebat; bahkan di sana sang jìwa telah memiliki perasaan dan emosi, walaupun pada tahap yang amat kasar. 

Setelah menyelesaikan perkembangan sebagai binatang melalui kelahiran berulang-ulang, selanjutnya sang jìwa mengembangkan evolusinya melalui kelahiran sebagai manusia. Melalui kelahiran sebagai manusia, sang jìwa mengembangkan daya hidup, emosi, perasaan, naluri, dalam tingkatan yang lebih luhur, dan untuk pertama kalinya mengembangkan kemampuan daya pikir (intelektual). 

Mengenai kemampuan daya pikir ini, diperlukan kelahiran berulangkali untuk mencapai tingkat perkembangan daya pikir yang terbaik. Mula-mula pikiran itu amat kasar, yang dikuasai oleh nafsu dan emosi yang amat kuat; dan lambat laun melalui pengalaman hidup akibat kelahiran yang berulang-ulang, pikiran akan semakin halus dan dapat dikendalikan oleh buddhi (daya kebijaksanaan). 

Semakin berkembang buddhi itu, sifat-sifat mulia juga akan semakin berkembang. Akan tetapi, ini bukanlah tahapan yang terakhir. Setelah melewati perkembangan buddhi yang terbaik, maka akan dikembangkan tingkat kesadaran berikut yang lebih luhur, yang dikenal sebagai kesadaran Àtman. Kesadaran Àtman ini merupakan berkah tertinggi hasil evolusi sebagai manusia melalui banyak kelahiran tersebut. Setelah itu, sang jìwa tak perlu lagi lahir ke dunia ini. Dunia adalah sekolah, dan pelajarannya sebagai manusia telah selesai; namun evolusi terus berjalan. 

Setelah bebas dari kelahiran sebagai manusia, sang jìwa dengan kegemilangannya akan berevolusi di alam-alam yang lebih luhur dam berbagai wujud makhluk agung. Demikianlah proses evolusi jìwa itu semakin meningkat melalui berbagai tahapan alam dan berbagai tahapan makhluk yang semakin agung dan perkasa. Dan akhir dari proses evolusi jìwa itu pasti tercapai. 

Dalam tingkatan yang paling tinggi itu, kesadaran semesta ternyatakan dengan sempurna pada diri sang jìwa, lebur dalam kesadaran tertinggi (parabrahman). Disinilah perjalanan berakhir, bercahaya Ilahi tak terlukiskan, damai, kuasa, penuh kasih, dan tak ada yang perlu dicari lagi. 

Mengenai perjalanan evolusi jìwa ini Guru Arjan Sahib berkata:

Berulangkali aku lahir sebagai kutu dan serangga
Berulangkali aki lahir sebagai gajah, ikan, atau rusa.
Berulangkali aku lahir sebagai rumput dan pohon.
Sekarang kesempatan terbuka untuk bertemu dengan Tuhan
Tubuh ini telah kuperoleh setelah berabad-abad lamanya.
Kemudian seorang ahli tasawuf besar Jalaludin Rumi telah meninggalkan sebait puisi yang indah:

Aku telah tumbuh sebagai rumput beberapa kali
Tujuh ratus tujuh puluh tubuh telah kusaksikan
Aku mati sebagai mineral dan tumbuh sebagai tumbuhan
Mati dari tumbuhan dan muncul sebagai hewan
Mati dari hewan dan sebagai manusia
Apakah aku harus takut musnah karena kematian?
Dalam peralihan yang akan datang akupun akan mati sebagai
manusia dan mendapat sayap malaikat
dan menjadi sesuatu yang tak dapat dicapai oleh khayalmu.
Kalau Jalaludin Rumi telah melihat tujuhratus tujuhpuluh kelahirannya yang telah berlalu sebagai manusia, maka Buddha Gautama dalam meditasinya yang mendalam di saat mendapat penerangan di bawah pohon boddhi, melihat limaratus limapuluh kelahirannya yang telah lalu. 

Dalam ajaran brahma vidyà dari theosofi dikatakan bahwa rata-rata manusia di bumi ini akan lahir berulangkali sebanyak tujuhratus tujuhpuluh tujuh kali untuk mencapai manusia sempurna dan tidak perlu lagi lahir ke dunia ini. Banyaknya jumlah kelahiran itu dapat berkurang atau semakin bertambah tergantung pada karma seseorang. Kalau seseorang tekun dalam kebaikan dan latihan jìwani, maka ia lebih cepat mencapai tingkatan manusia sempurna yang tak perlu lagi lahir dan belajar di bumi ini. 

Bhagavan Úrì sathya Nàràyaóa (Sàì Bàbà) menguraikan bahwa ada tiga tahap utama evolusi di atas manusia sebagai tahap perkembangan lebih lanjut, sebagai makhluk supramanusia, setelah itu meningkat menjadi makhluk kosmik, lalu mencapai tingkatan Yang Absolut.

Perlu diketahui bahwa alur perkembangan evolusi yang kita bicarakan di atas bukanlah satu-satunya alur evolusi. Masih banyak alur evolusi lain yang dalam perkembangannya bahkan tidak memakai tubuh manusia atau lahir sebagai manusia dalam mewujudkan rencana evolusinya, tetapi melalui alur evolusi makhluk halus di antaranya adalah alur evolusi para jin dan dewa-dewa.

Perlu diketahui bahwa tiap-tiap planet (brahmàóîa) memiliki alur evolusinya sendiri-sendiri. Tetapi di seluruh alam semesta ini, dari alam manapun evolusi itu berasal, segalanya berkembang menuju sasaran agung yang sama yaitu parabrahman, Tuhan Yang Mutlak. 

Jelaslah bahwa evolusi terus berkembang sampai akhirnya mencapai parabrahman. Di sinilah evolusi berakhir. Sang jìwa kembali pulang ke rumah sejati, asal sesungguhnya dari sang jìwa. Ia telah pulang kembali dengan membawa ijazah kehidupan setelah mengembara di alam evolusi untuk belajar dan mengembangkan diri. Sang bapak dan ibu semesta menyambutnya dengan kehangatan cinta kasih-Nya

Sesungguhnya adalah penuh kemuliaan masa depan setiap makhluk, yang berkembang dan membentang tanpa batas, melintasi keabadian. Tetapi, Engkau akan memasuki cahaya-Nya tetapi tak akan pernah menyentuh nyala api-Nya Sumber dari segalanya itu tetap mutlak, mengatasi segala yang ada. Ia tetap sebagai Tuhan dari segalanya. Mulialah Engkau wahai Tuhan, yang telah menggerakkan dan mendorong proses evolusi yang sesungguhnya merupakan manifestasi-Mu sendiri. 

Kekuatan daya dorong evolusi itu secara perlahan-lahan dan pasti, membuat segala makhluk akan semakin meningkat perkembangannya. Dengan demikian pada suatu saat pastilah segala makhluk akan mencapai Yang Tertinggi itu. Inilah kekuatan pendorong yang berasal dari Tuhan.

Tumbuhan tidak pernah berpikir untuk lahir sebagai binatang; demikian juga binatang tak pernah berpikir untuk meningkat lahir sebagai manusia. Siapakah perencana dan kekuatan di balik proses itu? Itulah rencana evolusi dari Tuhan. Manusia juga didorong untuk semakin meningkat, hingga mencapai Yang Tertinggi. 

Proses ini menjelaskan mengapa jumlah jìwa manusia bisa bertambah dan suatu saat bisa berkurang. Ini tergantung dari jumlah peralihan jìwa binatang menjadi jìwa manusia dan peralihan dari jìwa manusia menjadi jìwa yang lebih tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar