Prinsip
Kenapa aku dilahirkan?
Pertanyaan seperti ini tentu sering kita dengar; dan ilmu
pengetahuan jìwani memberi kita jawaban atas pertanyaan tersebut. Tidak hanya
itu; kita senantiasa akan diberi kesempatan untuk membuktikan kebenaran atas
jawaban tersebut.
Untuk tujuan pembuktian itu, terlebih dahulu kita harus mau
bekerja keras untuk dapat mengembangkan kekuatan-kekuatan gaib indra-indra,
sebagai sarana pribadi dalam meneliti hal-hal yang berada di luar kemampuan
indra normal sebagai biasa. Perlu diketahui bahwa hal ini telah dibuktikan
melalui penelitian intensif para bijak, para yogi dan para åûi.
Dan mereka telah menyumbangkan ilmu pengetahuan jìwani itu bagi kita semua.
Pengetahuan yang akan kita bicarakan itu adalah tentang evolusi jiwa (jìwa).
Langkah pertama untuk menuju ke dalam pemahaman evolusi jiwa
adalah mempertanyakan siapakah aku? Pertama-tama kita harus menyadari bahwa
sesungguhnya kita adalah jìwa (jiwa). Sebagai jìwa, kita telah ada sebelum kita
memasuki badan seorang bayi untuk lahir sebagai manusia. Kita adalah jìwa yang
bersemayam dalam sesosok badan. Sebagai jìwa, suatu saat kita akan menanggalkan
badan yang kita pakai ini dan saat itulah badan yang kita pakai itu mati dan
disebut mayat. Tetapi sang jìwa sendiri tetap abadi.
Kita dapat memahami hal ini dari kita berbicara sehari-hari. Ini
tanganku; yang berarti bahwa ada sang aku yang memiliki tangan yang
menempel pada badan. Ini badanku; yang berarti ada sang aku yang
memiliki badan. demikian pula halnya dengan perkataan pikiranku,
kecerdasanku; yang berarti ada sesuatu yang ’memiliki’ badan,
pikiran, kecerdasan, dan lain sebagainya itu, dan itu adalah sang jìwa. Jìwa
ini juga sering diistilahkan dengan àtman.
Tetapi pengistilahan àtman
sebagai jìwa sering membingungkan; karena sebenarnya jìwa adalah kepribadian
hidup yang setidak-tidaknya merupakan gabungan dari tika eksistensi, yaitu: Àtman
- Buddhi - Manas (pikiran). Sebenarnya, mungkin lebih tepat
memakai kata sansekerta ’guha’ sebagai istilah lain dari jìwa.
Untuk lebih jelasnya dapat dijelaskan dengan skema di bawah.
Adanya kesadaran merupakan bukti adanya kehidupan. Jika sang
jìwa meninggalkan badan jasmani, itu berarti bahwa kesadarannyalah yang
meninggalkan badan jasmani tersebut dan setelah itu badan jasmani tidak lagi
memiliki kesadaran dan disebut mayat. Jadi kita adalah suatu unit kesadaran
yang disebut jìwa. Badan ini bukanlah aku; aku adalah jìwa yang bersemayam
dalam sesosok badan untuk sementara waktu.
Jìwa merupakan unit kesadaran yang abadi. Seperti seberkas
cahaya yang merupakan bagian dari cahaya matahari yang gemilang; seperti
setetes air laut yang merupakan bagian dari lautan luas, maka sang unit
kesadaran atau jìwa merupakan percikan kesadaran kosmik semesta (Brahman).
Dalam Bhagavad Gìtà II.20, Úrì Kåûóa memberi
tahukan,
tidak ada kelahiran dan kematian bagi sang jìwaKalau sang jìwa tidak mati ketika badan terbunuh, maka bagaimanakah nasib sang jìwa selanjutnya?
Dia tak akan terbunuh manakala badan terbunuh.
Sang jìwa yang
abadi dalam menempuh waktu yang tak terbatas, akan mengalami kelahiran
berulang-ulang (menjelma) dan mengembangkan potensi jìwani hingga mencapai
bentuknya yang paling sempurna, dalam ketuhanan. Inilah sasaran terakhir yang
akan dicapai sang jìwa melalui kelahiran yang berulang-ulang.
Setelah itu sang
jìwa tak perlu lagi mengalami penjelmaan kembali dan manunggal lebur dengan
kesadaran Ilahi. Selanjutnya dalam sloka II.22, Kåûóa juga
berkata:
Seperti halnya seseorang yang mengenakan pakaian baru dan melepaskan pakaian lama yang telah usang, demikian pula sang jìwa menerima badan-badan baru dan menanggalkan badan-badan lama yang telah usang.
Demikianlah
kita semua terlibat dalam kelahiran dan kematian yang berulang-ulang; berpindah
dari satu badan ke badan yang lain. Semua pengalaman kelahiran dan kematian
yang berulang-ulang itu tersimpan dengan rapi di lapisan jiwa yang dikenal
sengan nama lapisan karaóa (penyebab).
Pada setiap kelahiran
kembali, hubungan antara lapisan karaóa dengan organ otak badan yang
baru akan terputus. Itilah sebabnya mengapa kita lupa dengan pengalaman hidup
kita pada penjelmaan sebelumnya. Tetapi ini bukan merupakan kelupaan total sama
sekali, karena rekamannya senantiasa akan tetap terbawa pada kelahiran
berikutnya.
Untuk mengingat kembali pengalaman penjelmaan kita terdahulu, dapat
dilakukan dengan upaya jìwani sedemikian rupa yang dapat menghubungkan organ
otak dengan rekaman pengalaman penjelmaan kehidupan masa lalu di lapisan karaóa
tersebut; bahkan secara tak sengaja hubungan tersebut mungkin akan
berwujud sebuah mimpi. Pelaksanaan latihan yoga merupakan salah
satu cara dari upaya jìwani tersebut.
Makhluk tingkat rendah seperti tumbuh-tumbuhan, tingkat
kesadaran jìwanya masih sangat rendah dan bersifat laten; belum semarak seperti
halnya kesadaran makhluk manusia. Semakin meningkat kecerdasannya, semakin
meningkat pula potensi kesadaran jìwanya.
Sebiji kecil buah pohon beringin yang ditanam di tanah yang
subur, suatu saat seiring dengan perjalanan waktu, akan tumbuh menjadi pohon
beringin besar yang rindang. Jadi, pohon beringin yang besar dan rindang itu
berasal dari sebiji benih yang amat kecil saja. Jìwa juga seperti itu.
Pada
awalnya sang jìwa merupakan suatu wujud yang amat sederhana, sebagai wujud
kehidupan yang masih laten. Seiring dengan perjalanan waktu kehidupan yang
panjang melalui kelahiran yang berulang-ulang dalam berbagai bentuk makhluk,
sang jìwa akan semakin tumbuh dan berkembang sampai akhirnya mencapai tingkat
pertumbuhan yang paling tinggi; makhluk semarak dengan sifat ketuhanan.
Proses
inilah yang disebut sebagai evolusi jìwa. Dengan demikian,
kita semua sebagai jìwa yang berwujud manusia dan juga jìwa-jìwa lain, tidak
muncul begitu saja, tetapi melalui proses panjang pertumbuhan dan perkembangan
dari sang jìwa itu sendiri.
Hanya ada satu kesadaran Tuhan, yaitu Brahman, yang menembus
atau meresapi segala sesuatunya dengan kegemilangan-Nya. Bagaikan matahari
dengan segala berkas cahayanya, segala jìwa merupakan berkas cahaya difrensiasi
Tuhan semesta alam. Weda
menyatakan,
sv| %iLvd' b[õn(sarvam khalvidam brahman
bahwa segalanya ini adalah brahman.
Mula-mula jìwa itu masih sangat laten dan sederhana; yang
bermanifestasi di alam halus dan berkembang. Dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan sejanjutnya, jìwa sederhana tersebut meresap dan menyatu dengan
mineral-mineral bumi sebagai media pertumbuhannya. Di sini, mineral merupakan
badan fisik dari sang jìwa yang laten itu.
Setelah cukup berkembang sebagai mineral, maka sang jìwa akan
membutuhkan media lain untuk melanjutkan perkembangannya yang lebih tinggi.
Untuk itu sang jìwa kemudian lahir sebagai tumbuh-tumbuhan. Dalam
perkembangannya sebagai tumbuh-tumbuhan ini, aspek kehidupannya mulai mekar,
dengan menunjukkan daya hidup yang jelas (bayu).
Dalam bentuk
tumbuh-tumbuhan, tampak jelas bahwa sang jìwa telah mengembangkan suatu
kwalitas naluri, walaupun dalam bentuk yang sederhana. Daunnya bergerak menuju
arah datangnya cahaya matahari, dan akarnya bergerak mencari sumber air dan
makanan melalui badan tumbuh-tumbuhan.
Setelah menyelesaikan perkembangan melalui tubuh
tumbuh-tumbuhan, sang jìwa akan lahir sebagai binatang untuk melanjutkan
perkembangannya. Melalui tubuh binatang, sang jìwa mengembangkan naluri dengan
lebih hebat; bahkan di sana sang jìwa telah memiliki perasaan dan emosi,
walaupun pada tahap yang amat kasar.
Setelah menyelesaikan perkembangan sebagai binatang melalui
kelahiran berulang-ulang, selanjutnya sang jìwa mengembangkan evolusinya
melalui kelahiran sebagai manusia. Melalui kelahiran sebagai manusia, sang jìwa
mengembangkan daya hidup, emosi, perasaan, naluri, dalam tingkatan yang lebih
luhur, dan untuk pertama kalinya mengembangkan kemampuan daya pikir
(intelektual).
Mengenai kemampuan daya pikir ini, diperlukan kelahiran
berulangkali untuk mencapai tingkat perkembangan daya pikir yang terbaik.
Mula-mula pikiran itu amat kasar, yang dikuasai oleh nafsu dan emosi yang amat kuat;
dan lambat laun melalui pengalaman hidup akibat kelahiran yang berulang-ulang,
pikiran akan semakin halus dan dapat dikendalikan oleh buddhi (daya
kebijaksanaan).
Semakin berkembang buddhi itu, sifat-sifat mulia juga akan
semakin berkembang. Akan tetapi, ini bukanlah tahapan yang terakhir. Setelah
melewati perkembangan buddhi yang terbaik, maka akan dikembangkan tingkat
kesadaran berikut yang lebih luhur, yang dikenal sebagai kesadaran Àtman.
Kesadaran Àtman ini merupakan berkah tertinggi hasil evolusi
sebagai manusia melalui banyak kelahiran tersebut. Setelah itu, sang jìwa tak
perlu lagi lahir ke dunia ini. Dunia adalah sekolah, dan pelajarannya sebagai
manusia telah selesai; namun evolusi terus berjalan.
Setelah bebas dari kelahiran sebagai manusia, sang jìwa
dengan kegemilangannya akan berevolusi di alam-alam yang lebih luhur dam
berbagai wujud makhluk agung. Demikianlah proses evolusi jìwa itu semakin
meningkat melalui berbagai tahapan alam dan berbagai tahapan makhluk yang
semakin agung dan perkasa. Dan akhir dari proses evolusi jìwa itu pasti
tercapai.
Dalam tingkatan yang paling tinggi itu, kesadaran semesta ternyatakan
dengan sempurna pada diri sang jìwa, lebur dalam kesadaran tertinggi (parabrahman).
Disinilah perjalanan berakhir, bercahaya Ilahi tak terlukiskan, damai, kuasa,
penuh kasih, dan tak ada yang perlu dicari lagi.
Mengenai perjalanan evolusi jìwa ini Guru Arjan Sahib
berkata:
Berulangkali aku lahir sebagai kutu dan seranggaBerulangkali aki lahir sebagai gajah, ikan, atau rusa.Berulangkali aku lahir sebagai rumput dan pohon.Sekarang kesempatan terbuka untuk bertemu dengan TuhanTubuh ini telah kuperoleh setelah berabad-abad lamanya.
Kemudian seorang ahli tasawuf besar Jalaludin Rumi
telah meninggalkan sebait puisi yang indah:
Aku telah tumbuh sebagai rumput beberapa kaliTujuh ratus tujuh puluh tubuh telah kusaksikanAku mati sebagai mineral dan tumbuh sebagai tumbuhanMati dari tumbuhan dan muncul sebagai hewanMati dari hewan dan sebagai manusiaApakah aku harus takut musnah karena kematian?Dalam peralihan yang akan datang akupun akan mati sebagaimanusia dan mendapat sayap malaikatdan menjadi sesuatu yang tak dapat dicapai oleh khayalmu.
Kalau Jalaludin Rumi telah melihat tujuhratus
tujuhpuluh kelahirannya yang telah berlalu sebagai manusia, maka Buddha
Gautama dalam meditasinya yang mendalam di saat mendapat penerangan
di bawah pohon boddhi, melihat limaratus limapuluh kelahirannya yang telah
lalu.
Dalam ajaran brahma vidyà dari theosofi
dikatakan bahwa rata-rata manusia di bumi ini akan lahir berulangkali sebanyak
tujuhratus tujuhpuluh tujuh kali untuk mencapai manusia sempurna dan tidak
perlu lagi lahir ke dunia ini. Banyaknya jumlah kelahiran itu dapat berkurang
atau semakin bertambah tergantung pada karma seseorang. Kalau
seseorang tekun dalam kebaikan dan latihan jìwani, maka ia lebih cepat mencapai
tingkatan manusia sempurna yang tak perlu lagi lahir dan belajar di bumi ini.
Bhagavan Úrì sathya Nàràyaóa (Sàì Bàbà) menguraikan
bahwa ada tiga tahap utama evolusi di atas manusia sebagai tahap perkembangan
lebih lanjut, sebagai makhluk supramanusia, setelah itu meningkat menjadi
makhluk kosmik, lalu mencapai tingkatan Yang Absolut.
Perlu diketahui bahwa alur perkembangan evolusi yang kita
bicarakan di atas bukanlah satu-satunya alur evolusi. Masih banyak alur evolusi
lain yang dalam perkembangannya bahkan tidak memakai tubuh manusia atau lahir
sebagai manusia dalam mewujudkan rencana evolusinya, tetapi melalui alur
evolusi makhluk halus di antaranya adalah alur evolusi para jin dan dewa-dewa.
Perlu diketahui bahwa tiap-tiap planet (brahmàóîa)
memiliki alur evolusinya sendiri-sendiri. Tetapi di seluruh alam semesta ini,
dari alam manapun evolusi itu berasal, segalanya berkembang menuju sasaran
agung yang sama yaitu parabrahman, Tuhan Yang Mutlak.
Jelaslah bahwa evolusi terus berkembang sampai akhirnya
mencapai parabrahman. Di sinilah evolusi berakhir. Sang jìwa
kembali pulang ke rumah sejati, asal sesungguhnya dari sang jìwa. Ia telah
pulang kembali dengan membawa ijazah kehidupan setelah mengembara di alam
evolusi untuk belajar dan mengembangkan diri. Sang bapak dan ibu semesta
menyambutnya dengan kehangatan cinta kasih-Nya
Sesungguhnya adalah penuh kemuliaan masa depan setiap
makhluk, yang berkembang dan membentang tanpa batas, melintasi keabadian.
Tetapi, Engkau akan memasuki cahaya-Nya tetapi tak akan pernah menyentuh
nyala api-Nya Sumber dari segalanya itu tetap mutlak, mengatasi segala yang
ada. Ia tetap sebagai Tuhan dari segalanya. Mulialah Engkau wahai Tuhan, yang
telah menggerakkan dan mendorong proses evolusi yang sesungguhnya merupakan
manifestasi-Mu sendiri.
Kekuatan daya dorong evolusi itu secara perlahan-lahan dan
pasti, membuat segala makhluk akan semakin meningkat perkembangannya. Dengan
demikian pada suatu saat pastilah segala makhluk akan mencapai Yang Tertinggi
itu. Inilah kekuatan pendorong yang berasal dari Tuhan.
Tumbuhan tidak pernah berpikir untuk lahir sebagai binatang;
demikian juga binatang tak pernah berpikir untuk meningkat lahir sebagai
manusia. Siapakah perencana dan kekuatan di balik proses itu? Itulah rencana
evolusi dari Tuhan. Manusia juga didorong untuk semakin meningkat, hingga
mencapai Yang Tertinggi.
Proses ini menjelaskan mengapa jumlah jìwa manusia
bisa bertambah dan suatu saat bisa berkurang. Ini tergantung dari jumlah
peralihan jìwa binatang menjadi jìwa manusia dan peralihan dari jìwa manusia
menjadi jìwa yang lebih tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar