Selasa, 29 Mei 2012

Parikesit - versi Bhagawata Purana

Parìkûit versi Bhagawata Purana

Parìkûit adalah seorang raja yang baik. Sebelum melakukan hal-hal yang penting, beliau selalu meminta nasehat para bràhmaóa. Ia menikah dengan Iràwatì, putri dari pangeran Uttara. Parìkûit dan Iràwatì memiliki empat orang anak, yang paling terkenal adalah Janamejaya. Parìkûit juga melakukan tiga kali upacara aúwamedha di pinggir sungai Gaògà. Guru dari Parìkûit adalah Kåpàcàrya.


Suatu hari, Parìkûit mendengar berita bahwa raksasa Kali telah memasuki kerajaannya. Zaman Kaliyuga telah di mulai segera setelah kematian Kåûóa. Namun dalam kejadian khusus ini, Kali kemudian menyerang kerajaan Parìkûit, seorang diri.

Segera setelah mengetahui kerajaannya diserang, ia kemudian memakai perisai dan mengangkat senjatanya. Ia lalu naik ke keretanya dan memimpin pasukannya untuk menaklukkan dunia dan melawan Kali. Bumi yang terbagi menjadi tujuh wilayah yang satu persatu ditaklukkan oleh Úiwa. Dan ia memaksa para raja untuk membayar pajak padanya.

Dalam perjalanannya menaklukkan beberapa belahan bumi, Parìkûit bertemu dengan dewi Bumi yang mengembara dalam wujud seekor sapi. Sapi ini sedang bercakap-cakap dengan seekor banteng dan banteng itu tiada lain adalah dewa Dharma yang sedang menyamar. Sapi dan banteng itu membicarakan tentang kejahatan yang merajalela di bumi. Ketika Parìkûit sedang menemui banteng dan sapi itu, seorang Úùdra, (yaitu golongan kasta yang terendah dalam keper-cayaan Hindu). Sedang memukuli kedua binatang itu. Kedua binatang itu lari ketakutan, ketika dipukuli oleh úùdra itu.

Parìkûit kemudian berteriak kepada úùdra itu, “Apa yang telah kau lakukan ? Tidakkah kau merasa malu atau takut padaku ? Kau memang pantas dibunuh” Ia kemudian menyelamatkan kedua binatang itu lalu membunuh orang úùdra itu. Akan tetapi orang úùdra ini tiada lain adalah Kali dan Kali kemudian bersujud pada Parìkûit untuk meminta ampun.

Dalam keadaan itu, Parìkûit tidak tega membunuh orang yang sudah meminta ampun. Maka ia melepaskannya, dengan syarat bahwa Kali tidak boleh menempati atau tinggal di wilayah kerajaan Parìkûit. Karena kalau tidak, maka segala sifat buruk akan merajalela di kerajaan itu. Syarat yang diberikan oleh Parìkûit membuat Kali berada dalam dilema. Karena seluruh dunia adalah wilayah kerajaan Parìkûit, lalu kemana ia harus bersembunyi. 

Namun Parìkûit kemudian memperingan syaratnya dengan menentukan beberapa tempat yang bisa dihuni oleh Kali. Tempat-tempat itu adalah tempat perjudian, mabuk-mabukan, dan kekerasan dilakukan. Selama Parìkûit menjadi raja, maka Kali tidak akan diijinkan melakukan kejahatan.

Suatu kali, Parìkûit pergi untuk berburu. Setelah mengejar binatang buruan cukup lama, beliau merasa haus dan lapar. Ia kemudian mencari sebuah tempat di mana beliau bisa mendapatkan air untuk diminum. Dalam pencariannya itu, beliau tiba di sebuah pertapaan seorang åûi. Sang åûi sedang tenggelam dalam meditasinya, namun beliau sadar akan apa yang terjadi di sekelilingnya. Beliau adalah pertapa yang amat sakti.

Pada sang åûi yang sedang bermeditasi, Parìkûit meminta air, namun beliau tidak menjawabnya. Merasa dihina dalam kedudukannya sebagai raja. Parìkûit kemudian mengalungkan bangkai seekor ular di pundak sang åûi. Kemudian ia kembali ke kerajaannya.

Sementara itu, putra sang åûi tadi, sedang sibuk bermain dengan teman-temannya, ketika semua ini sedang terjadi. Anak ini juga memiliki kesaktian yang sangat hebat. Ketika kembali dari bermain ia melihat keadaan ayahnya, dan menjadi sangat marah. Maka dengan kesaktiannya, ia segera tahu bahwa seorang raja dari golongan kûatriya telah berani menghina ayahnya. Maka ia pun mengutuk raja Parìkûit bahwa beliau akan mati digigit ular. Dan ular yang menggigitnya adalah ular Takûaka.

Mengetahui hal itu, sang åûi ayahnya, menjadi kecewa atas tindakan anaknya yang mengutuk raja Parìkûit agar mati digigit ular dalam waktu tujuh hari. Åûi ini bernama Úamìka, dan beliau kemudian memberitahu putranya. “Apa yang telah kau lakukan ? Raja adalah pelindung kita. Apa yang akan terjadi dengan diri kita jika beliau meninggal ? Lagi pula Parìkûit adalah raja yang baik. Kau telah menjatuhkan hukuman yang terlampau berat atas kesalahan yang ringan.”

Sementara itu, sekembali di kerajaannya, Parìkûit juga tersentak teringat akan apa yang baru saja dilakukannya. Ia sadar bahwa tidak seharusnya ia melakukan hal itu. Dan ia berjanji, tidak akan melakukan kesalahan yang sama di masa datang, dan sekarang ia akan melakukan tapa brata untuk menebus kesalahannya.

Ketika beliau sedang merenungi hal itu, sebuah kabar dilaporkan padanya, tentang kutukan yang ditimpakan kepadanya. Namun Parìkûit menerima hal itu dengan lapang dada. Maka ia mulai bersiap-siap untuk menebus dosanya. Baginya, jika memang ia ditakdirkan untuk meninggal dalam waktu tujuh hari, maka terjadilah seperti itu. Namun untuk menghembuskan nafas terakhirnya, ia memilih sungai Gaògà. Dan ia akan menghabiskan waktu tujuh harinya dengan bermeditasi pada Kåûóa.

Maka Parìkûit kemudian memulai puasa dan tapa bratanya di pinggir sungai Gaògà. Ia bermeditasi dan merenungkan Kåûóa. Para åûi berkumpul untuk menyaksikan pemandangan yang mengagumkan itu. Parìkûit sangat senang atas kedatangan para åûi itu, yang berarti bahwa di saat terakhir hidupnya terberkati. Saat itu, putranya yang bernama Janamejaya juga datang hingga ia bisa langsung menobatkan anaknya menjadi raja. Para dewa dan åûi sangat kagum atas ketenangan jiwa Parìkûit dalam menyambut kematiannya. Sehingga para dewa menyiramkan bunga kepadanya, dari langit.

Saat itu, datanglah putra dari Wyàsadewa yaitu åûi Úukadewa. Beliau baru berumur enam belas tahun namun karena tingkat kesucian rohaninya yang sangat tinggi, membuat para åûi yang berkumpul, berdiri untuk memberi hormat padanya. Parìkûit juga memberi hormat lalu bersujud padanya dan berkata, “Hamba terberkati oleh kedatangan anda. Mohon ceritakanlah apa yang harus diketahui oleh orang yang akan mati.”

Maka sang åûi muda, Úukadewa mulai bercerita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar