Senin, 28 Mei 2012

Filosofi Guru


Dari manapun datangnya pengetahuan, itulah disebut guru.
 Beberapa tahun yang lalu, Yadu, yaitu leluhur dari para Yàdawa ini menemui seorang pemuda yang terpelajar. “Darimana kau mempelajari semua itu ? Siapa yang menjadi gurumu ?”


Jawab pemuda tersebut: “Untuk belajar, anda tidak memerlukan guru yang khusus”. “Lihatlah bumi, dia selalu diinjak oleh tapak kaki semua mahluk, namun dia memaafkan semua perbuatan mereka. 

Dari bumi anda bisa mempelajari seni memaafkan, semua perlakuan pada diri anda. Kemudian lihatlah udara yang memenuhi seluruh ruang sampai molekul yang terkecil, namun tidak pernah terikat pada salah satu benda tertentu. 

Dari udara ini kita bisa mempelajari seni ketidak terikatan. Lalu pandanglah langit yang tidak bergeser sedikit pun oleh awan yang senantiasa menutupinya. Dari langit itu kita bisa tahu bagaimana àtman yang berada dalam diri kita tidak terikat pada pengaruh indera. 

Lihatlah air yang membersihkan berbagai kotoran dan dari air kita bisa belajar tentang kebajikan dari penyucian diri. Lihatlah api yang bisa berubah wujud sesuai dengan fungsinya dan dari api ini kita bisa belajar untuk mengetahui bahwa àtman bisa mengambil wujud apapun. Lihatlah bulan (dewa Candra). 

Sebenarnya bulan sendiri tidak pernah berubah. Dari filsafat bulan ini kita bisa mengetahui bahwa àtman tidak pernah berubah seperti yang kita lihat dengan sudut padangan manusiawi. 

Hanya ilusi yang membuat kita menganggap àtman selalu berubah. Lihatlah matahari yang menyerap air pada musim panas dan mengembalikannya pada musim hujan, demi-kianlah para bijak memanfaatkan indera manusiawi beliau tanpa terikat dan kemudian mengembalikannya lagi.”

Ada banyak guru seperti itu. Kita bisa belajar dari semua itu. Dan sebenarnya tidak diperlukan lagi guru yang lebih formal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar