Minggu, 05 Mei 2013

Renungan Pendirian Majapahit

Kerajaan Majapahit didirikan oleh Nararya Sanggramawijaya atau yang lebih dikenal dengan nama Bhre Wijaya (Raden Wijaya) pada tahun 1293 M. Beliau adalah seorang keturunan Singhasari dari Dyah Lembu Tal dan cucu Narasinghamurti (Mahisa Campaka), jadi beliau masih keturunan Ken Arok. Oleh karenanya saat menjadi raja beliau mengambil nama abhiseka Sri Rajasa Jayawarddhana. Bhre Wijaya ini juga merupakan menantu dari raja Singhasari terakhir Prabu Kertanegara.
Pendirian kerajaan Majapahit ini diawali dari keruntuhan kerajaan Singhasari akibat serangan Jayakatwang dari Gelang-gelang. Bhre Wijaya ditunjuk untuk menghadapi serangan Jayakatwang ini yang datang dari sebelah Utara.

Hong wilaheng sekaring bhawana langgeng .......................


Setelah raja Kertanegara gugur, Singhasari berada di bawah kekuasaan raja Kadiri Jayakatwang dan berakhirlah riwayat kerajaan Singhasari. Salah seorang keturunan penguasa/bangsawan Singhasari yaitu Wijaya, kemusian berusaha untuk dapat merebut kembali kekuasaan nenek moyangnya dari tangan raja Jayakatwang. Beliau (Wijaya) adalah putera Dyah Lembu Tal, cucu Mahisa Campaka atau Narasinghamurti. Jadi beliau masih keturunan Ken Angrok dan Ken Dedes secara langsung. Dari sisi geneologinya, Wijaya masih keponakan raja Kertanegara, bahkan beliau diambil sebagai menantu oleh raja Kertanegara serta dinikahkan dengan puterinya. Sumber kesusasteraan yaitu Kitab Pararaton dan beberapa Kidung lainnya menyebutkan bahwa beliau menikah dengan dua orang puteri raja, sedang sumber prasasti dan Kakawin (kitab) Negarakertagama menyebutkan beliau menikahi empat orang puteri raja Kertanegara (prasasti Sukamrta lempeng IIa dan IIb).
Pada saat pasukan Jayakatwang dari Kadiri menyerang Singhasari, Wijaya ditunjuk oleh raja Kertanegara untuk memimpin pasukan Singhasari melawan pasukan Kadiri yang datang dari sebelah Utara. Kisah pertempuran antara pasukan Wijaya melawan pasukan Kadiri dapat disarikan dari prasasti (piagam) Kudadu, satu di antara sejumlah kecil prasasti yang memberikan cerita sejarah secara panjang lebar dalam bagian samabandha-nya. Kisah pertempuran ini terdapat pula dalam Kitab Pararaton, Kidung Harsa-Wijaya dan Kidung Panji Wijayakrama dengan perbedaan dalam detil jika dibandingkan dengan keterangan dalam prasasti Kudadu.
Prasasti Kudadu ini berangka tahun 1216 Saka (11 September 1294), dikeluarkan oleh Kertarajasa Jayawarddhana (Wijaya) dalam rangka memperingati pemberian anugerah kepada pejabat desa (rama) di Kudadu, yang berupa penetapan desa Kudadu menjadi daerah swatantra. Dengan penetapan ini, maka desa Kudadu tidak lagi merupakan tanah ansa bagi Sang Hyang Dharmma di Kleme. Sebab muasal desa Kudadu memperoleh penghargaan/anugerah raja ialah karena desa ini (Kudadu) telah berjasa memberikan perlindungan dan bantuan bagi raja (Wijaya) pada saat beliau masih belum menjadi raja, dan bernama kecil Nararyya Sanggramawijaya, pada waktu beliau sampai di desa Kudadu karena dikejar musuh (Jayakatwang).
Baginda sampai mengalami kejadian demikian itu karena dahulu raja Kertanegara yang telah wafat di alam Siwa-Buda (dicandikan di Singosari) gugur karena serangan raja Jayakatwang (Jayakatyeng, Kitab Pararaton menyebutnya dengan nama Aji Katong) dari Gelang-Gelang (Kadiri), yang berlaku sebagai musuh, menjalankan hal yang amat tercela, menghianati sahabat dan mengingkari janji, hendak membinasakan raja Kertanegara di Tumapel (Singhasari).
Pada waktu pasukan Jayakatwang terdeteksi telah sampai di desa Jasun Wungkal, Wijaya dan Sang Arddharaja (anak Jayakatwang yang telah dipercaya oleh Kertanegara) diperintahkan oleh raja Kertanegara untuk menghadapinya. Setelah Wijaya dan Arddharaja berangkat dari Tumapel (Singhasari) dan telah sampai di desa Kedung Peluk, di situlah pertama kali pasukan Wijaya bertemu dengan musuh, bertempurlah pasukan Wijaya dan musuh dapat dikalahkan, serta melarikan diri dengan tidak terhitung jumlah pasukannya yang gugur. Majulah pasukan Wijaya ke desa Lembah, tidak ada musuh yang dijumpai karena semuanya telah mundur tanpa memberikan perlawanan. Pasukan Wijayapun maju terus, melewati Batang, dan sampai di desa Kapulungan. Di sebelah Barat desa Kapulungan itulah pasukan Wijaya bertemu dan bertempur kembali dengan musuh, musuh dapat dikalahkan, melarikan diri dengan menderita banyak kerusakan. Pasukan Wijaya bergerak maju terus dan sampai di desa Rabut Carat. Dan ketika sedang beristirahat datanglah musuh dari sebelah Barat, maka berperanglah pasukan Wijaya dengan mengerahkan kekuatan penuh, musuh dapat dikalahkan serta melarikan diri dengan  kehilangan banyak anggota pasukan. Sepertinya musuh telah habis dan mengundurkan diri. Tetapi pada saat yang bersamaan terlihatlah panji-panji musuh berkibaran di sebelah Timur desa Haniru, merah dan putih warnanya (' .... ring samangkana, hana ta tunggulning satru layu-layu katon wetaning Haniru, bang lawan putih warnnanya ...,' Prof. M. Yamin menafsirkan panji-panji pasukan Kadiri itu berwarna merah-putih). Melihat panji-panji itu bubarlah pasukan Sang Arddharaja, melakukan penghianatan, lari tanpa sebab menuju ke Kapulungan, itulah permulaan rusaknya pasukan Wijaya.


Bhre Wijaya sangat taat kepada Sri Kertanegara, itulah sebabnya beliau tetap bertahan di Rabut Carat. Tetapi akhirnya beliau harus mundur ke Utara desa Pamwatan Apajeg, di seberang Utara sungai. Pasukan beliau pada waktu itu berkekuatan kira-kira enam ratus orang banyaknya. Keesokan harinya datanglah musung mengejar Wijaya, beliau berbalik menghadapi musuh yang datang. Tetapi jumlah pasukan Wijaya makin sedikit, banyak yang lari menyelamatkan diri dan meninggalkan beliau. Takutlah Wijaya kalau-kalau sampai kehabisan anak buah, lalu berunding dengan para pengikutnya. Wijaya bermaksud hendak pergi ke Terung, berbicara dengan akuwu di Terung yang bernama Rakryan Wuru Agraja (yang diangkat sebagai akuwu oleh Raja Kertanegara) sekaligus meminta bala bantuan dengan mengerahkan rakyat sebelah Timur dan Timur Laut Terung. Bersuka citalah pengikut-pengikut Wijaya mendengar keputusan tersebut.

Pada malam hari bergeraklah Wijaya hendak melalui Kulawan karena takut dikejar musuh yang amat banyak jumlahnya itu. Setibanya di Kulawan bertemu dengan musuh, sehingga harus mengungsi ke daerah Kembang Sri. Tetapi begitu sampai di Kembang Sri, Wijaya bertemu musuh kembali dan harus lari ke Utara menyeberangi sungai dengan segenap pasukannya yang masih tertinggal. Banyak anggota pasukan Wijaya yang gugur, yang masih hidup lari tercerai berai tidak diketahui kemana tujuannya, akhirnya tinggal dua belas orang saja yang melindungi Wijaya.

Waktu fajar menyingsing, Wijaya sampailah di desa Kudadu dalam keadaan lapar, lelah dan letih, sedih dan beriba hati, tiada harapan untuk hidup. Amat besarlah malapetaka dan kesedihan yang menimpa Wijaya. Tetapi begitu sampai di depan pejabat desa Kudadu, Wijaya diterima dengan sungguh-sungguh dan penuh hormat, terbukti dengan dikeluarkannya persembahan berupa makanan, minuman dan nasi. Lalu pejabat desa Kudadu itu menyembunyikan Wijaya sehingga tidak sampai dapat ditemukan oleh musuhnya. Akhirnya ditunjukkanlah jalan sampai batas daerah perdikan Rembang, Wijaya bermaksud hendak mengungsi ke Madura.

Prasasti lain yang juga menyinggung kisah pelarian Wijaya tetapi amat singkat adalah prasasti Sukamrta yang berangka tahun 1218 Saka (29 Oktober 1296). Prasasti ini memperingati penetapan daerah Sukamrta kembali menjadi daerah swatantra atas permohonan Panji Patipati Pu Kapat, yang hendak menirukan perbuatan ayahnya Panji Patipati (sr.). Permohonan ini dikabulkan oleh raja Kertarajasa Jayawarddhana karena Panji Patipati Pu Kapat telah memperlihatkan kesetiaan dan kebaktiannya yang luar biasa kepada raja, dengan ikut mengalami duka nestapa. Pada waktu raja Kertanegara meninggal ia masih muda belia. Pada waktu itu ia harus mengungsi, melarikan diri dari kejaran musuh, masuk hutan, naik turun gunung, menyeberangi sungai dan laut. Panji Patipati tidak berpisah dari sisi Wijaya, menjalankan segala perintah, di kala hujan membawakan payung, di kala gelap membawakan obor. Dan pada waktu Wijaya menyerang negeri penjahat yang telah menghianati raja Kertanegara, Panji Patipati ikut pula di dalamnya.
Itulah sepenggal kisah tersesatnya Wijaya sampai ke desa Kudadu seperti yang terdapat pada bagian sambandha prasasti Kudadu.

Di dalam prasasti Sukamrta itu disebutkan juga bahwa Wijaya menyeberangi lautan, tentunya yang dimaksud di situ adalah kepergiannya ke Madura seperti disebutkan dalam piagam Kudadu. Di Madura, Wijaya diterima oleh Aryya Wiraraja, yang kemudian mengusahakan agar Wijata dapat diterima menyerahkan diri kepada Jayakatwang di Kadiri. Wijaya akhirnya mendapat kepercayaan penuh dari raja Jayakatwang, sehingga permintaan Wijaya untuk membuka daerah hutan Terik dengan alasan akan dijadikan pertahanan terdepan dalam menghadapi musuh yang menyerang melalui sungai Brantas inipun akhirnya dikabulkan oleh Jayakatwang. Daerah Terik dibuka oleh Wijaya dengan bantuan dari Wiraraja menjadi sebuah desa kecil dengan nama Majapahit. Di Majapahit yang baru dibuka ini Wijaya berusaha untuk mengambil hati para penduduknya, terutama orang-orang yang datang dari Tumapel dan Daha.
Diam-diam Wijaya memperkuat diri sambil menunggu saat yang tepat untuk menyerang Kadiri. Di Madura adipati Wiraraja sudah bersiap-siap pula dengan orang-orangnya untuk datang membantu ke Majapahit. Bertepatan dengan selesainya persiapan-persiapan untuk mengadakan perlawanan terhadap Jayakatwang, pada awal tahun 1293 datanglah bala tentara Khubilai Khan (Tartar) yang sebenarnya dikirim untuk menyerang Singhasari, menyambut tantangan Kertanegara yang telah menganiaya utusannya (Meng-Ch'i). Tentang peristiwa ini sumbernya berasal dari catatan pemimpin armada tentara Mongol tersebut. Catatan itu menyebutkan bahwa pada akhir tahun 1292 Kaisar Shih-Tsu (Khubilai Khan) memerintahkan tiga orang panglima perang yaitu Shihpi, Iheh-mi-shih dan Kau Hsing untuk menghukum Jawa.
Dengan armada angkatan laut yang besar mereka bertolak dari Ch'uan-chou. Dalam bulan pertama tahun 1293 mereka telah sampai di Pulau Belitung, di sana mereka itu merundingkan siasat yang akan dijalankan. Iheh-mi-shih berangkat terlebih dahulu untuk menundukkan raja-raja kecil di Jawa dengan jalan damai. Kedua orang panglima yang lain bertolak dengan induk pasukan ke pulau Karimunjawa, dan dari sana ke Tuban (Tu-ping-tsu). Di Tuban semua pasukan bertemu lagi lalu diaturlah siasat penyerbuah ke Daha. Shih-pi dengan seperdua pasukan pergi dengan kapal ke Sedayu (sugalu), dari sana ke muara kali Mas (pa-tsieh). Iheh-mi-shih dan Kau Hsing memimpin pasukan darat berkuda menyerbu ke pedalaman.

Kedatangan pasukan Cina itu terdengar oleh Wijaya, karena peristiwa ini merupakan kesempatan yang baik sekali bagi Wijaya. Maka ia mengirimkan utusan kepada panglima pasukan Cina, membawa pesan bahwa ia bersedia tunduk di bawah kekuasaan kaisar, dan mau menggabungkan diri dengan pasukan Cina untuk menggempur Daha. Penyerahan Wijaya ini diterima dengan senang hati oleh panglima pasukan Cina.

Pada permulaan bulan yang ketiga semua pasukan Cina telah berkumpul di muara kali Mas, di situ ada angkatan laut Daha yang selalu siap menghadapi musuh dari luar. Maka pertempuranpun berkobarlah. Tentara Daha dapat dikalahkan dan lari meninggalkan kapal-kapalnya. Lebih dari 100 buah kapal yang besar telah jatuh ke tangan pasukan Cina. Sebagian pasukan Cina diperintahkan untuk berjaga-jaga di muara kali Mas, sedang sebagian yang lain menyerbu ke Daha. Tetapi sebelum mereka dapat bertolak ke pedalaman, datanglah utusan dari Wijaya memberitahukan bahwa ia akan diserang oleh pasukan Daha, dan minta bantuan pasukan. Iheh-mi-shih diperintahkan untuk membantunya. Dengan pasukannya ia menuju Canggu, sedang Kau Hsing langsung pergi ke Majapahit.
Pada tanggal 7 bulan ketiga, pasukan Daha menyerbu Majapahit dari tiga jurusan, tetapi dapat dihalaukan oleh pasukan Cina. Pada tanggal 15 bulan ketiga, barulah pasukan Cina itu menyerbu Daha. Sebagian pasukan naik perahu menghulu sungai Brantas. Iheh-mi-shih dengan sebagian pasukan lagi menyerbu dari arah Timur, sedang Kau Hsing menyerbu dari arah Barat. Wijaya dengan pasukannya mengikuti dari belakang pasukan Cina. 

Pada tanggal 19 mereka sampai di depan pintu gerbang kota Daha, Jayakatwang telah siap menghadapi musuh dengan pasukan yang terdiri dari 100.000 orang (jumlah ini tidak dapat dipastikan, sejarah Dinasti Sung 960-1279 S menyebutkan bahwa raja She-p'o mempunyai tentara sebanyak 30.000 orang). Tentara Cina menyerbu dalam tiga gelombang, maka pertempuranpun berkobar dengan dahsyat dari jam enam pagi hingga jam dua siang. Akhirnya pasukan Jayakatwang mundur masuk ke dalam kota dengan meninggalkan 5.000 orang yang gugur.
Segera kota dikepung oleh pasukan Cina, dan pada sore harinya Jayakatwang keluar menyerahkan diri. Ia ditawan bersama dengan seratus orang anggota keluarga dan pejabat-pejabat tinggi kerajaan (menurut Kitab Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama -pupuh VII-, raja Jayakatwang kemudian dibawa oleh panglima tentara Cina ke benteng pertahanan mereka di Hujung Galuh dan ditawan di sana. Di dalam penjara raja Jayakatwang sempat menggubah sebuah kakawin yang diberi nama Wukir Polaman, dan sesudahnya ia meninggal). Anak Jayakatwang, yang dalam berita Cina disebut Hsi-la-pati Hsi-la-tan-pu-ho melarikan diri ke pegunungan, tetapi ia dapat dikejar dan ditangkap oleh Kau Hsing, dan dibawa ke Daha sebagai tawanan.

Setibanya Kau Hsing kembali di daha, ia tidak mendapatkan Wijaya di sana, karena oleh Shih-pi dan Iheh-mi-shih Wijaya diperkenankan kembali ke Majapahit untuk mempersiapkan upeti yang akan dipersembahkan kepada kaisar Cina. Ia dikawal oleh dua orang opsir dan 200 tentara Cina. Akan tetapi dengan tipu muslihat, Wijaya dapat membunuh kedua orang opsir Cina tersebut serta menyerang pengawal-pengawalnya itu di tengah jalan. Kemudian Wijaya dan pasukannya menyerang pasukan Cina yang ada di Daha dan Canggu. Meskipun pasukan Cina itu memberikan perlawanan yang kuat, namun lebih dari 3.000 orang dapat dibinasakan oleh pasukan Wijaya. Sisa pasukan Cina kemudian terpaksa lari meninggalkan pulau Jawa dengan banyak kehilangan anggota pasukannya (tentara Cina itu meninggalkan pulau Jawa pada tanggal 31 Mei 1293 M  -sumber G.Coedes, The Indianized States of Shouteast Asia, Oxford, 1968, hal. 200-).

Demikianlah, maka dengan kedatangan tentara Khubilai Khan, tercapailah apa yang dicita-citakan oleh Wijaya, yaitu runtuhnya Daha. Setelah Wijaya berhasil mengusir tentara Mongol itu, maka ia menobatkan dirinya menjadi raja Majapahit. Menurut kidung Harsa Wijaya penobatannya itu terjadi pada tanggal 15 bulan Karttika (ri purneng karttikamasa pancadasi) tahun 1215 saka (12 Nopember 1293 M). Nama gelar penobatannya adalah Sri Kertarajasa Jayawarddhana.

Arti dari pada nama gelar tersebut (disebutkan dalam prasasti tahun 1305, bagian kedua) adalah kerta berarti beliau memperbaiki pulau Jawa dari kekacauan yang ditimbulkan oleh penjahat-penjahat dan menciptakan kesejahteraan bagi rakyat, rajasa berarti beliau berjaya mengubah suasana gelap menjadi suasana terang-benderang karena kemenangan atas musuh-musuhnya, jaya mengandung arti beliau mempunyai lambang kemenangan berupa senjata tombak berujung mata-tiga (trisula-muka), dan warddhana  mengandung arti beliau menghidupkan segala agama, melipat-gandakan hasil bumi terutama padi demi kesejahteraan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar