Avatàra Wiûóu
Untuk menangkis (menghindarkan) mara
bahaya yang menimpa umat manusia - yang kemungkinan disebabkan oleh para
raksasa, atau dari faktor kesalahan manusia - dan untuk melindungi tatanan
etika masyarakat, Wiûóu
yang
tugasnya adalah memelihara dunia ini, sering menjelmakan diri-Nya sendiri ke
dunia ini.
Walaupun penjelmaan semacam itu secara populer dianggap berjumlah
sepuluh, sebenarnya jumlahnya takterbatas. Demikian juga saat dan tempat
penampakkan-Nya tak dapat dipandang hanya pada tempat tertentu saja. Manakala Dharma merosot dan Adharma merajalela Dia
menjelmakan diri-Nya sendiri guna memulihkan keseimbangan di dunia ini.
Dalam penjelmaan-Nya sebagai Ikan (matsyàvatàra), Wiûóu dikatakan menyelamatkan Manu (leluhur umat manusia) dan Saptarûi (putra-putra
Brahmà yang lahir dari pikiran) bersama-sama
dengan para istrinya selama masa banjir besar. Melalui mereka lah dunia ini
kemudian berpenghuni lagi.
Wiûóu
kemudian
menjelmakan diri-Nya sebagai Kùrma
(penyu)
guna menopang gunung Mandara
yang
mulai tenggelam selama pengadukan lautan (samudra
manthana). Para dewa dan para asura bekerjasama melakukan
kegiatan ini untuk mendapatkan Amåta
(nektar)
dari lautan tersebut.
Berikutnya dalam rangkaian inkarnasi
ini adalah Varàhàvatàra (penjelmaan
babi hutan jantan), dimana Wiûóu
membunuh
Hiraóyàkûa dan
mengangkat bumi dari banjir besar dimana bumi telah hampir tenggelam. Ini
mungkin merupakan perlambang dari pembebasan dunia dari banjir dosa dengan
kekuasaan Keberadaan Tertinggi.
Ketika Prahlàda sebagai
pemuja Wiûóu yang
agung disiksa hebat oleh ayahnya, raksasa Hiraóyakaûipu (yang
tidak mempercayai akan keberadaan Tuhan mahakuasa dan ada dimana-mana), Narasiýha (manusia
singa) muncul, keluar dari tiang yang ditunjukkannya dan membunuhnya. Gabungan
manusia (mahluk lebih tinggi yang terbaik) dan singa (ciptaan lebih rendah yang
terbaik),
Narasiýha menyatakan puncak penciptaan; yang
sekaligus juga membuktikan kemaha-adaan Tuhan. Narasiýha khususnya
merupakan perwujudan keperkasaan yang merupakan atribut Ilahi, sehingga dipuja
oleh para pemimpin negara dan para satria. Mantra-Nya
dikatakan sangat bertuah, mampu memusnahkan musuh dan mengusir kejahatan.
Ketika Bali,
cucu Prahlàda menaklukkan tiga dunia, Indra terusir dari kerajaan surgawinya. Atas
permintaan Aditi, ibu dewa Indra, Wiûóu
menjelma
sebagai Vàmana (si
Cebol), seorang bràhmaóa muda dan menemui Bali yang
terkenal akan kemurahan hatinya agar menghadiahinya tanah yang dapat
ditutupinya dengan tiga langkah. Dengan langkah pertama dan kedua, ia menutupi
bumi dan surga dan langkah ketiganya mendorong Bali ke
wilayah dunia bawah. Oleh karena itu ia juga dikenal sebagai Trivikrama,
yang melampaui dunia dengan tiga langkah.
Mithos ini mengajar kita bahwa Tuhan
sendiri pun harus mengenakan wujud cebol selama menjadi peminta-minta, karena
yang meminta-minta membuat dirinya menjadi kecil. Yang kedua, Bràhmaóa sejati dapat menaklukkan tiga dunia
dengan kekuatan dan semangat. Ke-lima avatàra ini telah dijelaskan dalam
berbagai kitab Weda.
Lima penjelmaan berikutnya semuanya dalam
wujud manusia. Paraúuràma (Ràma dengan
kapak perang) merupakan avatàra
ke-enam.
Lahir sebagai putra pasangan pendeta, Jamadagni dan Reóukà,
dia membasmi kesewenang-wenangan para Kûatriya yang dipimpin oleh Kàrtavìrya,
yang menindas rakyat. Apakah cerita ini memiliki dasar historis dan menyatakan
perjuangan guna meraih keunggulan antara golongan Bràhmaóa dan golongan Kûatriya,
sulit untuk mengatakannya.
Úrì Ràma, sebagai penjelmaan
berikutnya, menemui Praúuràma dan menyerap kekuatannya
kedalam diri-Nya. Karena itu, Ràma kadang-kadang dianggap
sebagai àveúàvatàra, suatu penjelmaan dengan kekuasaan Wiûóu yang bersifat sementara.
Úrì Ràma,
salah satu dari dua penjelmaan Wiûóu
yang
paling terkenal, muncul berikutnya dalam rangkaian penjelmaan ini. Ceritanya
sangat terkenal sehingga sering mendapatkan pengulangan-pengulangan. Dia
melambangkan manusia ideal; dimana ceritanya, Ràmàyaóa kini
telah menjadi epos abadi. Namanya dikenal sebagai 'Tàraka-mantra,' suatu Mantra yang dapat membawa
seseorang menyeberangi lautan perpindahan roh.
Balaràma, Ràma
nan
perkasa, kakak Úrì Kåûóa,
adalah
penjelmaan ke-delapan. Petualangannya yang begitu banyak termasuk pembantaian
kera Dvivida dan
raksasa Dhenuka, yang menggoncang pertahanan Hastinàvati (ibu
kota dari kerajaan para Pàóðava) dan yang mengalihkan
aliran sungai Yamunà dari jalan semestinya.
Cerita bahwa ular Úeûa
muncul
dari mulutnya pada saat kematiannya memberikan keyakinan pada yang
mempercayainya bahwa ia adalah inkarnasi dari Úeûa. Beberapa orang
sarjana, yang berdasarkan dugaan pada senjata Balaràma (hala atau luku), berpendapat bahwa ia
merupakan seorang pahlawan pertanian yang ditingkatkan pada kedudukan seorang avatàra,
dalam perjalanan waktu.
Úrì Kåûóa,
penjelmaan kesembilan dari Wiûóu,
barangkali
merupakan inkarnasi yang paling terkenal, sehingga ia dianggap sebagai Pùróàvatàra (penjelamaan
lengkap) dan seluruh dewatà
lain
dipandang sebagai manifestasinya. Cerita dan petualangannya sangat banyak dan
sangat terkenal untuk dinyatakan disini. Bagi para pemeluk Hindu umumnya, dia
bukan hanya merupakan seorang raja, satria, pahlawan, filsuf dan guru, tetapi
juga Tuhan sendiri. Dia lah yang menjadi pengulas 'Kidung Ilahi', Bhagavad Gìtà.
Avàtara
kesepuluh,
Kalki,
masih belum datang. Dia akan muncul di bumi pada akhir jaman sekarang ini (Kali Yuga).
Dengan menunggangi kuda putih, dengan pedang terhunus, ia akan memusnahkan
musuh-musuh Dharma
dan
menegakkannya dalam segala kemuliaannya.
Inilah daftar sepuluh avatàra Wiûóu,
yang bukan dimak-sudkan untuk diterima begitu saja oleh semua orang. Dengan
anggapan Úrì Kåûóa sebagai Wiûóu sendiri, dia tak termasuk dalam
beberapa daftar. Tempatnya digantikan oleh Buddha.
Dalam daftar lain, Buddha
menggantikan
tempat Balaràma. Pembicaraan secara ikonografis, Buddha tampaknya hilang dari
daftar tersebut hanya setelah abad ke-15.
Cukup aneh, tujuan penjelmaan Buddha telah mengelirukan
orang-orang berkelahiran rendah dan jenius, yang telah menjadi sangat mahir
dalam pengetahuan suci dan merupakan ancaman bagi supremasi para dewa.
Ini tampaknya lebih bersifat suatu guyonan ketimbang suatu pernyataan serius.
Mudah dipahami bahwa orang-orang Hindu menutup rapat-rapat nasib Buddhisme di
negeri ini dengan menyerap Buddha
ke
dalam pantheon avatàra.
Haýsa, Sàtvata, Yajña, Dattàtreya, Wedavyàsa adalah beberapa avatàra yang dimasukkan kedalam daftar-daftar
lain, dengan tetap mempertahankan jumlahnya yang hanya sepuluh itu saja. Namun,
jumlahnya kadang-kadang meningkat hingga berjumlah duapuluh tiga orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar