Minggu, 17 Juni 2012

visnu avatar


Avatàra Wiûóu

Untuk menangkis (menghindarkan) mara bahaya yang menimpa umat manusia - yang kemungkinan disebabkan oleh para raksasa, atau dari faktor kesalahan manusia - dan untuk melindungi tatanan etika masyarakat, Wiûóu yang tugasnya adalah memelihara dunia ini, sering menjelmakan diri-Nya sendiri ke dunia ini. 


Walaupun penjelmaan semacam itu secara populer dianggap berjumlah sepuluh, sebenarnya jumlahnya takterbatas. Demikian juga saat dan tempat penampakkan-Nya tak dapat dipandang hanya pada tempat tertentu saja. Manakala Dharma merosot dan Adharma merajalela Dia menjelmakan diri-Nya sendiri guna memulihkan keseimbangan di dunia ini.

Dalam penjelmaan-Nya sebagai Ikan (matsyàvatàra), Wiûóu dikatakan menyelamatkan Manu (leluhur umat manusia) dan Saptarûi (putra-putra Brahmà yang lahir dari pikiran) bersama-sama dengan para istrinya selama masa banjir besar. Melalui mereka lah dunia ini kemudian berpenghuni lagi.

Wiûóu kemudian menjelmakan diri-Nya sebagai Kùrma (penyu) guna menopang gunung Mandara yang mulai tenggelam selama pengadukan lautan (samudra manthana). Para dewa dan para asura bekerjasama melakukan kegiatan ini untuk mendapatkan Amåta (nektar) dari lautan tersebut.

Berikutnya dalam rangkaian inkarnasi ini adalah Varàhàvatàra (penjelmaan babi hutan jantan), dimana Wiûóu membunuh Hiraóyàkûa dan mengangkat bumi dari banjir besar dimana bumi telah hampir tenggelam. Ini mungkin merupakan perlambang dari pembebasan dunia dari banjir dosa dengan kekuasaan Keberadaan Tertinggi.

Ketika Prahlàda sebagai pemuja Wiûóu yang agung disiksa hebat oleh ayahnya, raksasa Hiraóyakaûipu (yang tidak mempercayai akan keberadaan Tuhan mahakuasa dan ada dimana-mana), Narasiýha (manusia singa) muncul, keluar dari tiang yang ditunjukkannya dan membunuhnya. Gabungan manusia (mahluk lebih tinggi yang terbaik) dan singa (ciptaan lebih rendah yang terbaik), 

Narasiýha menyatakan puncak penciptaan; yang sekaligus juga membuktikan kemaha-adaan Tuhan. Narasiýha khususnya merupakan perwujudan keperkasaan yang merupakan atribut Ilahi, sehingga dipuja oleh para pemimpin negara dan para satria. Mantra-Nya dikatakan sangat bertuah, mampu memusnahkan musuh dan mengusir kejahatan.

Ketika Bali, cucu Prahlàda menaklukkan tiga dunia, Indra terusir dari kerajaan surgawinya. Atas permintaan Aditi, ibu dewa Indra, Wiûóu menjelma sebagai Vàmana (si Cebol), seorang bràhmaóa muda dan menemui Bali yang terkenal akan kemurahan hatinya agar menghadiahinya tanah yang dapat ditutupinya dengan tiga langkah. Dengan langkah pertama dan kedua, ia menutupi bumi dan surga dan langkah ketiganya mendorong Bali ke wilayah dunia bawah. Oleh karena itu ia juga dikenal sebagai Trivikrama, yang melampaui dunia dengan tiga langkah.

Mithos ini mengajar kita bahwa Tuhan sendiri pun harus mengenakan wujud cebol selama menjadi peminta-minta, karena yang meminta-minta membuat dirinya menjadi kecil. Yang kedua, Bràhmaóa sejati dapat menaklukkan tiga dunia dengan kekuatan dan semangat. Ke-lima avatàra ini telah dijelaskan dalam berbagai kitab Weda.

Lima penjelmaan berikutnya semuanya dalam wujud manusia. Paraúuràma (Ràma dengan kapak perang) merupakan avatàra ke-enam. Lahir sebagai putra pasangan pendeta, Jamadagni dan Reóukà, dia membasmi kesewenang-wenangan para Kûatriya yang dipimpin oleh Kàrtavìrya, yang menindas rakyat. Apakah cerita ini memiliki dasar historis dan menyatakan perjuangan guna meraih keunggulan antara golongan Bràhmaóa dan golongan Kûatriya, sulit untuk mengatakannya.

Úrì Ràma, sebagai penjelmaan berikutnya, menemui Praúuràma dan menyerap kekuatannya kedalam diri-Nya. Karena itu, Ràma kadang-kadang dianggap sebagai àveúàvatàra, suatu penjelmaan dengan kekuasaan Wiûóu yang bersifat sementara.

Úrì Ràma, salah satu dari dua penjelmaan Wiûóu yang paling terkenal, muncul berikutnya dalam rangkaian penjelmaan ini. Ceritanya sangat terkenal sehingga sering mendapatkan pengulangan-pengulangan. Dia melambangkan manusia ideal; dimana ceritanya, Ràmàyaóa kini telah menjadi epos abadi. Namanya dikenal sebagai 'Tàraka-mantra,' suatu Mantra yang dapat membawa seseorang menyeberangi lautan perpindahan roh.

Balaràma, Ràma nan perkasa, kakak Úrì Kåûóa, adalah penjelmaan ke-delapan. Petualangannya yang begitu banyak termasuk pembantaian kera Dvivida dan raksasa Dhenuka, yang menggoncang pertahanan Hastinàvati (ibu kota dari kerajaan para Pàóðava) dan yang mengalihkan aliran sungai Yamunà dari jalan semestinya. 

Cerita bahwa ular Úeûa muncul dari mulutnya pada saat kematiannya memberikan keyakinan pada yang mempercayainya bahwa ia adalah inkarnasi dari Úeûa. Beberapa orang sarjana, yang berdasarkan dugaan pada senjata Balaràma (hala atau luku), berpendapat bahwa ia merupakan seorang pahlawan pertanian yang ditingkatkan pada kedudukan seorang avatàra, dalam perjalanan waktu.

Úrì Kåûóa, penjelmaan kesembilan dari Wiûóu, barangkali merupakan inkarnasi yang paling terkenal, sehingga ia dianggap sebagai Pùróàvatàra (penjelamaan lengkap) dan seluruh dewatà lain dipandang sebagai manifestasinya. Cerita dan petualangannya sangat banyak dan sangat terkenal untuk dinyatakan disini. Bagi para pemeluk Hindu umumnya, dia bukan hanya merupakan seorang raja, satria, pahlawan, filsuf dan guru, tetapi juga Tuhan sendiri. Dia lah yang menjadi pengulas 'Kidung Ilahi', Bhagavad Gìtà.

Avàtara kesepuluh, Kalki, masih belum datang. Dia akan muncul di bumi pada akhir jaman sekarang ini (Kali Yuga). Dengan menunggangi kuda putih, dengan pedang terhunus, ia akan memusnahkan musuh-musuh Dharma dan menegakkannya dalam segala kemuliaannya.

Inilah daftar sepuluh avatàra Wiûóu, yang bukan dimak-sudkan untuk diterima begitu saja oleh semua orang. Dengan anggapan Úrì Kåûóa sebagai Wiûóu sendiri, dia tak termasuk dalam beberapa daftar. Tempatnya digantikan oleh Buddha. Dalam daftar lain, Buddha menggantikan tempat Balaràma. Pembicaraan secara ikonografis, Buddha tampaknya hilang dari daftar tersebut hanya setelah abad ke-15.

Cukup aneh, tujuan penjelmaan Buddha telah mengelirukan orang-orang berkelahiran rendah dan jenius, yang telah menjadi sangat mahir dalam pengetahuan suci dan merupakan ancaman bagi supremasi para dewa. Ini tampaknya lebih bersifat suatu guyonan ketimbang suatu pernyataan serius. Mudah dipahami bahwa orang-orang Hindu menutup rapat-rapat nasib Buddhisme di negeri ini dengan menyerap Buddha ke dalam pantheon avatàra.

Haýsa, Sàtvata, Yajña, Dattàtreya, Wedavyàsa adalah beberapa avatàra yang dimasukkan kedalam daftar-daftar lain, dengan tetap mempertahankan jumlahnya yang hanya sepuluh itu saja. Namun, jumlahnya kadang-kadang meningkat hingga berjumlah duapuluh tiga orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar