Minggu, 17 Juni 2012

Siwa


Úiwa adalah dewatà terakhir dari Trimùrti ini, yang bertanggung jawab terhadap penyerapan alam semesta. Ia merupakan perwujudan dari sifat Tamas, kelembaman sentrifugal, kecenderungan menuju pembubaran dan pelenyapan.


Arti sebenarnya dari Úiwa adalah pada siapa Alam Semesta ini 'tertidur' setelah pemusnahan dan sebelum siklus penciptaan berikutnya.

Semua yang lahir harus mati. Segala yang dihasilkan harus dipisahkan dan dihancurkan. Ini merupakan hukum yang tak dapat dilanggar. Prinsip yang menyebabkan keterpisahan ini, daya dibalik penghancuran ini adalah Úiwa.

Úiwa jauh lebih banyak daripada itu. Keterpisahan alam semesta berakhir pada pengurangan tertinggi, menjadi kekosongan tanpa batas. Kekosongan tanpa batas, substratum dari segala keberadaan, darimana berulang-ulang muncul alam semesta yang tampaknya tanpa batas ini, adalah Úiwa. Dengan demikian, walaupun Úiwa dilukiskan sebagai yang bertanggung jawab terhadap penghancuran, dia juga bertanggung jawab terhadap penciptaan dan pemeliharaan keberadaan ini. 

Dalam pengertian ini, Brahmà dan Wiûóu juga adalah Úiwa. Inilah barangkali merupakan identitas yang diperlihatkan oleh beberapa cerita dalam kitab-kitab Puràóa. Bila satu cerita membuat Úiwa berbicara dari kandungan tiang api takterbatas kepada Brahmà dan Wiûóu bahwa mereka adalah aspeknya sendiri, cerita lain membuat Úiwa sebagai dilahirkan dari kening Wiûóu yang marah atau dari Brahmà yang sangat menginginkan memperoleh seorang putra.

Walaupun Úiwa sering disebut Rudra, khususnya dalam aspeknya yang mengerikan, apakah keduanya sama atau tidak, telah menjadi masalah perdebatan dan bahkan pertentangan. Banyak sarjana cenderung berpikir bahwa Rudra dari kitab-kitab Weda dan Úiwa dari kitab-kitab Puràóa dan Àgama merupakan dua dewatà berbeda yang dilebur jadi satu pada periode berikutnya sebagai penyatuan budaya dari dua ras yang menerimanya secara lebih maju. 

Menurut para sarjana ini, Úiwa dewatà tentram merupakan dewa non-Àryan, 'lebih kuno' ketimbang Rudra Weda. Walaupun 'para penakluk Àrya' memandang rendah dan mengejek para pemuja Úiwa dan Úiwa sendiri (tampak dari beberapa ritual dan pelaksanaan misteriusnya), karena kedua ras bangsa tersebut harus hidup berdampingan, maka saling pendekatan dan akibat rekonsiliasi budaya menjadi tak terhindarkan.

Apapun yang terjadi kebenaran dari pernyataan ini, semuanya tidak relevan terhadap studi kita disini, karena kita lebih tertarik dalam menemukan manfaat simbologi yang terkait, untuk memperkaya kehidupan kita.

Úiwa dipuja baik dalam aspek anthropomorfis maupun sebagai Liòga, yang belakangan menjadi kebiasan dimana yang pertama merupakan suatu pengecualian. Yang paling umum dari gambaran dan patungnya menunjukkannya sebagai pemuda yang sangat tampan, putih laksana kamper. Anggota tubuhnya yang dilumuri dengan abu tampak kuat dan mengkilat. Dia memiliki tiga buah mata dimana yang ketiga berada dikening antara kedua alis matanya, dengan empat lengan, dua memegang Triúùla dan Ðamaru (kendang kecil), sementara dua lainnya dalam sikap Abhaya (memberi perlindungan) dan Varada (memberi berkah) Mudrà

Dia memiliki mahkota rambut panjang yang digelung, yang daripadanya mengalir sungai Gaòga. Dia juga mengenakan bulan sabit sebagai mahkota. Sehelai kulit macan dan kulit gajah menghias badannya sebagai pakaiannya. Ada beberapa ekor ular disekujur tubuhnya yang membentuk kalung, ikat pinggang, Yajñopavìta (benang suci) dan juga gelang tangan. Juga terdapat rangkaian tengkorak kepala yang mengelilingi leher birunya.

Manusia, sebagaimana dirinya sendiri, tak dapat mem-perlakukan pada dirinya saja namun juga kepada para dewanya. Oleh karena itu wajar apabila mereka memandang Úiwa sebagai manusia dengan keluarganya. Pàrvati adalah pendampingnya. Gaóeúa dan Kumàra (juga dikenal sebagai Skanda atau Subrahmaóya) sebagai putranya.

Kemudian ada sejumlah besar pengiring yang membentuk suatu kebun binatang layaknya. Nandi adalah lembu kendaraannya, Bhåògi, åûi dengan tiga buah kaki dan tiga buah lengan, tikus milik Gaóeúa, burung merak dari Kumàra, demikian juga sejumlah besar hantu, setan dan jin yang secara konstan berlarian di sekelilingnya - yang membentuk pengiring yang besar.

Walaupun dia memiliki markas besar dipegunungan Himàlaya yang bersalju, ia senang berkelana di bumi, khususnya pada tanah kuburan dan tempat-tempat kremasi. Semuanya ini berasa dalam keselarasan sempurna dengan sifatnya sebagai penguasa pemusnahan dan penghancuran.

Sebelum meningkat pada penjelasan dari segalanya ini, yang jelas-jelas simbolis, pertama-tama lebih baik merangkum berbagai cerita tentang Úiwa yang disampaikan secara panjang lebar dalam literatur mithologis kita.
  1. Dahulu, Pàrvatì dalam suatu peristiwa tidak serius, menutup kedua matanya, dan wow... segenap alam semesta tenggelam dalam kegelapan. Untuk menyelamatkan dunia dari keadaan gawat ini, Úiwa yang mengharapkan mata ketiga antara dua alis matanya, mengirimkan sinar, api dan panas. Selanjutnya, ia membuka mata ketiga ini - yang secara normal selalu tertutup akibat kasihnya yang takterbatas pada umat manusia - membakar Kàmadewa, penguasa nafsu.
  2. Ketika sungai surgawi Gaògà, yang berasal dari surga turun ke bumi ini, jatuh secara ganas pada kepala Úiwa akibat kesombongannya, ia hanya mendapatkan gelungan dan terperangkap di sana. Hanya setelah melalui doa dan permohonan Bhagìratha (yang bertanggung jawab membawa sungai surgawi tersebut turun ke bumi) dan atas permintaan maaf oleh Gaògà sajalah, dia mem-perkenankannya untuk mengalir keluar.
  3. Ketika Kûìrasamudra, lautan susu sedang diaduk, salah satu benda yang muncul adalah bulan sabit yang dingin. Úiwa mengambilnya dan membuatnya jadi perhiasan rambutnya. Ketika racun mematikan Hàlàhala juga muncul dan mulai memusnahkan dunia dengan lidah apinya yang berkobar-kobar, Úiwa mengumpulkannya dalam telapak tangannya dan menelannya, sehingga dunia terselamatkan. Pàrvatì, yang terkejut akan keselamatan suaminya, menekan kerongkongannya sehingga racun itu tak dapat turun ke dalam perutnya! Racun yang tetap berada dalam kerongkongan itu mengakibatkan warna biru yang permanen di leher.
  4. Dimarahi oleh Úiwa yang keindahan luar biasanya telah menarik hati para istrinya, para åûi dari Dàrukavana berusaha membunuhnya melalui ritual-ritual sihir. Dari api upacara kurban itu muncul seekor harimau, seekor menjangan dan besi panas kemerah-merahan. Úiwa membunuh harimau dan mengenakan kulitnya sebagai pakaian, menangkap menjangan dengan tangan kirinya (yang tetap disana selamanya) dan membuat besi panas itu menjadi senjata.
  5. Cerita-cerita lain yang berkaitan dengan penghancuran upacara kurban Dakûa, pemotongan salah satu kepala Brahmà karena telah berbicara tidak sopan, pemusnahannya terhadap tiga kota yang dibangun oleh raksasa Tripuràsura, pembantaiannya terhadap gajah raksasa Gajàsura dan mengenakan kulitnya, anugerahnya kepada Arjuna sebagai karunia, senjata Pàúupatàstra, penjelmaannya sebagai ArdhanàrÌúwara untuk melenyapkan kebodohan dari bhaktanya Bhåògi, penampakannya sebagai sebuah tiang api untuk memberi pelajaran pada Brahmà dan Wiûóu, penaklukkannya terhadap Yama, dewa kematian, untuk menyelamatkan pemujanya Màrkaóðeya, dan lain sebagainya.

Sekarang, suatu usaha dapat dilakukan untuk meng-ungkapkan simbologi misterius dari gambaran Úiwa ini. Úiwa digambarkan berwarna putih salju, yang benar-benar selaras dengan tempat kediamannya, yaitu Himàlaya. Putih menyatakan sinar yang mengusir kegelapan, pengetahuan yang melenyapkan kebodohan. Ia merupakan personifikasi dari kesadaran kosmis. 

Tampaknya aneh bahwa Úiwa yang menyatakan sifat Tamas (daya kegelapan dan penghancuran) digambarkan putih, sedangkan Wiûóu yang menyatakan sifat Sattva (daya sinar dan pencerahan) digambarkan sebagai gelap (hitam). Sebenarnya tak ada yang aneh dalam hal ini karena Guóa yang saling berlawanan itu tak dapat dipisahkan. Karena itu Úiwa digambarkan putih di luar dan gelap di dalam, sementara Wiûóu sebaliknya.

Tiga mata dari Úiwa menyatakan matahari, bulan dan api, tiga sumber sinar, kehidupan dan panas. Mata ketiga juga dapat menyatakan mata pengetahuan dan kebijaksanaan, dari kemahatahuannya.

Bila matahari dan bulan membentuk dua matanya seperti apa adanya, lalu seluruh langit termasuk angin perkasa yang berhembus disana membentuk rambutnya. Itulah sebabnya ia disebut Vyomakeúa (yang menggunakan langit atau ruang angkasa sebagai rambutnya).

Harimau merupakan binatang buas yang kejam terhadap korbannya yang tak berdaya. Keinginan, yang mempengaruhi umat manusia, tanpa selalu dipuaskan, dapat dibandingkan dengan seekor harimau. Bahwa Úiwa telah membunuh harimau dan mengenakan kulitnya sebagai pakaiannya menunjukkan penguasaannya yang sempurna terhadap keinginan ini.

Gajah sebagai binatang yang sangat kuat, dan dengan mengenakan kulitnya sebagai pakaian menandakan bahwa Úiwa telah sepenuhnya menundukkan segala kecenderungan hewani.

Rangkaian tengkorak kepala (Muóðamàlà) yang dikenakannya dan abu pembakaran mayat yang digunakan untuk melumuri badannya menandakan bahwa ia merupakan penguasa pemusnahan. Rangkaian tengkorak juga menyatakan revolusi jaman dan penampakan serta pelenyapan berturut-turut dari ras manusia.

Úiwa adalah penguasa Yoga dan Yogi. Dia sering tampak duduk dalam meditasi mendalam yang tenggelam dalam kenikmatan akan kebahagiaan dirinya sendiri. Air dari sungai Gaògà menyatakan hal ini. Atau itu dapat juga menyatakan Jñàna, pengetahuan. Karena sungai Gaògà sangat dipuji sebagai pemurni utama, yang berlangsung tanpa mengatakan bahwa dialah yang dipuja, merupakan personifikasi dari daya pemurni atau penebus dosa.

Bulan sabit menyatakan waktu, karena ukuran waktu seperti hari atau bulan tergantung pada membesar atau mengecilnya sang bulan. Dengan mengenakannya sebagai mahkota, Úiwa menunjukkan kepada kita bahwa waktu yang maha-kuasa itu pun hanyalah perhiasan saja baginya.

Lalu, selanjutnya ular. Kobra-kobra beracun yang melambangkan kematian bagi kita memperindah kerangkanya dalam segala cara yang memungkinkan, yang selanjutnya menghiasinya. Hanya dia sendiri, yang hiasannya melambangkan kematian, dapat meneguk racun mematikan Hàlàhala untuk menyelamatkan dunia. 

Semuanya ini menyatakan satu hal, yaitu: dia adalah Måtyuñjaya, penakluk kematian! Ular-ular melingkar juga dapat menyatakan siklus waktu pada makrokosmos dan energi dasar - yang sama dengan energi seksual - dari mahluk hidup dalam mikrokosmos. Dengan demikian, Úiwa merupakan penguasa waktu dan energi.

Secara ikonografi, Úiwa mungkin digambarkan dengan dua, tiga, empat, delapan, sepuluh atau bahkan tigapuluh dua lengan. Beberapa jenis benda yang tampak ditangannya adalah: 
  • Triúùla
  • Cakra
  • Paraúu (kapak perang), 
  • Ðamaru (kendang kecil), 
  • Akûamàlà (tasbih), 
  • Måga (menjangan), 
  • Pàúa (jerat), 
  • Daóða (tongkat), 
  • Pinàka atau 
  • Ajagava (busur), 
  • Khaþvàòga (tongkat wasiat), 
  • Pàúupata (tombak), 
  • Padma (kembang teratai), 
  • Kapàla (tengkorak kepala), 
  • Darpaóa (cermin), 
  • Khaðga (pedang) dan lain sebagainya. 

Agak sulit untuk menemukan makna untuk masing-masing benda tersebut. Namun suatu usaha dilakukan untuk menjelaskan beberapa buah diantaranya.

Triúùla yang menjadi senjata penting dalam menyerang dan bertahan, menyatakan Úiwa merupakan penguasa utama. Secara filosofis itu dapat menyatakan Triguóa atau tiga proses penciptaan, pemeliharaan dan penyerapan. Karena itu Úiwa pembawa triúùla merupakan penguasa Guóa dan dari padanya berawal proses kosmis ini.

Dikatakan bahwa sementara menarikan Tàóðavanåtya, Úiwa membunyikan Ðamaru-nya empatbelas kali, sehingga menghasilkan suara seperti a-i-uó, r-lå-k dan seterusnya, yang kini dikenal sebagai Màheúvarasùtra, empatbelas rumusan dasar yang mengandung segala huruf yang tersusun dengan cara yang sangat mahir, yang memfasilitasikan proses gramatika yang sangat banyak. 


Karena itu Ðamaru menyatakan alfabet, gramatika (ilmu bahasa) atau bahasa itu sendiri. Dengan kata lain, ia menyatakan segala kata-kata - yang diucapkan atau ditulis, ataupun yang diungkapkan dengan cara lainnya - sehingga dimaksudkan bagi seluruh tangga nada dari semua seni dan ilmu pengetahuan, suci maupun sekular. Itu juga menyatakan suara sebagai logos, asal mula segenap ciptaan ini. Dengan menggenggamnya, Úiwa memperlihatkan kenyataan bahwa segenap penciptaan, termasuk berbagai macam seni dan ilmu pengetahuan, berawal dari kehendaknya sebagai permainannya.

Bila Akûamàlà (tasbih) menunjukkan bahwa ia merupakan penguasa ilmu pengetahuan spiritual, Khaþvàòga (tongkat wasiat dengan sebuah tengkorak kepala di ujungnya) menunjukkan bahwa ia juga merupakan orang yang mahir dalam pengetahuan sihir atau okultis. Kapàla (mangkuk tengkorak kepala) yang dipakai wadah darah yang diminumnya, merupakan lambang lain yang menunjukkan daya pemusnah segalanya. Darpaóa (cermin) menyatakan bahwa segenap ciptaan hanyalah pantulan dari wujud kosmisnya.

Patung Úiwa tak pernah dipuja sebagai Mùlamùrti (asal mula, yang dipasang pada 'sànctum sànctorum'), tetapi hanya sebagai Utsavamùrti (patung yang digunakan selama perayaan, guna pelengkap prosesi).

Úiwaliòga

Mengenai Liòga, lambang Úiwa yang secara universal dihormati, memerlukan beberapa penjelasan. Nama Úiwa sebenarnya berarti menguntungkan dan Liòga berarti tanda atau lambang. Karena itu, 'Úiwaliòga' hanyalah lambang dari keagungan Tuhan alam semesta (Mahàdewa) yang 'Mahapengasih'. 

Seperti telah dijelaskan di depan bahwa Úiwa berarti: tempat beristirahatnya segenap penciptaan setelah terjadinya penyerapan semesta. 'Liòga' juga berarti sama - suatu tempat di mana obyek-obyek ciptaan terserap selama pemisahan alam semesta yang tercipta ini. Menurut Hinduisme, karena yang menciptakan, memelihara dan memusnahkan alam semesta adalah Tuhan yang tunggal itu, maka Úiwaliòga menyatakan Tuhan itu sendiri secara simbolis.

Apakah Úiwaliòga itu merupakan lambang pallus atau tidak, masih merupakan masalah yang dapat diperdebatkan. Kepercayaan 'pallus' telah ada pada seluruh negara dan pada seluruh peradaban. Sama halnya dengan kepercayaan pallus dari peradaban awal yang diserap kedalam Hinduisme dan pemujaannya sendiri ditingkatkan untuk menghormati prinsip Ayah-Ibu dari penciptaan ini. Ini salah satu pandangan. Bahwa ia merupakan sisa-sisa dari Yùpastambha Weda, yaitu tonggak tempat mengikatkan hewan kurban, merupakan pandangan lain. 

Menurut pandangan ini, kuil Hindu merupakan metamorfosis dari Yàgaúàlà (balai sakrifisial; balai upacara kurban) Vedik. Bahwa itu merupakan tiruan dari stùpa Buddhis merupakan dugaan lain yang kadang-kadang berresiko tetapi tidak memperkuat, karena Úiwaliòga telah diketemukan bahkan jauh sebelum masa Buddha, pada peradaban Harappa dan Mohenjo Daro.

Karena Tuhan melampaui nama dan wujud, dan kita tak dapat memahami prinsip abstrak-Nya tanpa bantuan lambang nyata, maka permukaan yang bulat mungkin merupakan pendekatan yang terdekat.

Úiwaliòga dapat menjadi Cala (dapat bergerak) atau Acala (tak dapat bergerak). Cala-Liòga dapat ditempatkan pada tempat pemujaan di rumah seseorang guna dipuja atau dipersiapkan secara kontemporer dengan bahan-bahan seperti tanah liat atau adonan kue, dsb., guna pemujaan dan dibagikan setelah pemujaan ataupun di lumurkan pada badan sebagai Iûþaliòga seperti yang dilakukan penganut Vìraúaiva

Acala-liòga, adalah yang ditempatkan di kuil-kuil. Umumnya terbuat dari batu dan memiliki tiga bagian. Bagian terbawah yang bentuknya persegi empat, disebut Brahma-bhàga dan menyatakan Brahmà, sang pencipta. Bagian tengah yang bersegi delapan, disebut Wiûóu-bhàga dan menyatakan Wiûóu, pemelihara. Kedua bagian ini dilekatkan di dalam bagian penyangga. Rudra-bhàga yang bentuknya bulat panjang dan menonjol diluar penyangga adalah yang merupakan sasaran pemujaan; sehingga disebut Pùjà-bhàga.

Pùjà-bhàga juga mengandung garis tertentu yang secara teknis disebut Brahmasùtra, dimana tanpa itu Liòga menjadi tidak layak sebagai pemujaan.

Aspek Dari Úiwa

Dapat disamakan dengan Vyùha atau emanasi dari Wiûóu, adalah bentuk Pañcànana dari Úiwa. Pañcànana atau yang berwajah lima, menyatakan lima aspek dari Úiwa yang berhubungan dengan alam semesta yang tercipta ini. Kelima wajah itu masing-masing adalah Ìúàna, Tatpuruûa, Aghora, Vàmadewa dan Sadyojàta. Muka Ìúàna yang menghadap zenith (puncak), menyatakan aspek tertinggi dan juga disebut SadàÚiwa. Dalam bidang fisik, itu menyatakan daya yang mengatur ether atau langit dan pada bidang spiritual, ia merupakan dewatà yang menganugerahkan Mokûa atau pembebasan. 

Tatpuruûa yang menghadap Timur, menyatakan daya yang mengatur udara dan menyatakan kekuatan kegelapan dan pengaburan pada bidang spiritual. Aghora, yang menghadap Selatan dan yang mengatur unsur api, menyatakan daya yang menyerap serta memulihkan alam semesta. Vàmadewa yang menghadap Utara mengatur unsur air, bertanggung jawab terhadap pemeliharaan. Sadyojàta, yang menghadap Barat menyatakan daya yang menciptakan.

Secara ikonografi, kelima aspek tersebut ditunjukkan dalam cara berbeda-beda.

Ada beberapa aspek lain dimana Úiwa dilukiskan atau dipuja. Secara garis besar hal ini dapat dibagi menjadi katagori berikut ini: 
  1. Saumya atau Anugraha Mùrti; 
  2. Ugra, Raudra atau Samhàra Mùrti; 
  3. Nåtta atau Tàóðava Mùrti; 
  4. Dakûióà-mùrti; 
  5. LiògoBhawa-mùrti; 
  6. Bhikûàþana-mùrti; 
  7. Haryardha-mùrti; 
  8. Ardhanàrìúwara-mùrti.

Wujud Úiwa penuh kedamaian seperti juga wujud yang memperlihatkan welas asih dan karunia, masuk dalam kelompok pertama. Wujud yang memperlihatkan anugerah atau pemberi berkah kepada Caóðeúa, NandÌúwara, Vighneúvara atau Ràvana, masuk dalam katagori ini.

Semua aspek menakutkan dapat digolongkan pada kelompok kedua. Kaòkàla Bhairava menyatakan Úiwa yang memotong kepala kelima dari Brahmà, karena setelah menyumpahinya dan setelah berkelana bagaikan seorang pengemis selama 12 tahun untuk bebas dari dosa. Gajàsuravadha-mùrti me-nyatakannya sebagai pembunuh raksasa Nìla (kawan dari Andhakàsura) yang telah mengenakan bentuk seekor gajah. 

Tripuràntaka-mùrti melukiskannya sebagai yang menghancurkan tiga kota besi, perak dan emas yang dibangun di bumi, di udara dan di surga oleh tiga putra Andhakàsura, yang hampir telah menjadi tak terkalahkan karena dari ketiga tempat per-lindungan yang tak tergoyahkan ini, dengan anak-anak panahnya. Úarabheúa-mùrti menggambarkan Úiwa sebagai seekor Úarabha (binatang khayalan yang lebih ganas daripada singa) yang memusnahkan wujud Narasiýha dari Wiûóu, suatu cerita yang secara nyata dipahami oleh golongan penganut Úaivaisme untuk menyatakan keunggulan pujaan mereka terhadap Wiûóu

Kàlàri-mùrti menggambarkannya sebagai yang menaklukkan Yama, dewa kematian, yang ingin mengambil nyawa Màrkaóðeya, seorang bhakta agung dari Úiwa. Kàmàntaka-mùrti, melu-kiskannya sebagai yang memusnahkan Kàma, dewa asmara, dengan api yang memancar dari mata ketiganya. Andhakàsura-vadha-mùrti memperlihatkannya sebagai penakluk Andhakàsura dan selanjutnya atas permohonan, memberinya hak memimpin para Gaóa (pengiring cebol). Andhaka kemudian menjadi Bhåògìúa.

Úiwa adalah penguasa agung tari-tarian. Segala macam tarian yang berjumlah 108, yang dikenal pada risalah mengenai tari-tarian berasal darinya. Dikatakan bahwa ia menari setiap malam untuk mengurangi penderitaan mahluk-mahluk dan memelihara para dewa yang berkumpul di Kailàsa dalam kekuatan penuh. (Karena itu ia disebut Sabhàpati, ketua dewan).

Hanya sembilan macam tarian dilukiskan dimana aspek Naþaràja paling dikenal. Patung Naþaràja memperlihatkannya dengan empat lengan dan dua kaki, dalam sikap menari. Ada Ðamaru pada lengan kanan atas dan api pada tangan kiri. Tangan kanan bawah bersikap Abhayamudrà (sikap perlindungan) dan tangan kiri menunjuk pada kaki kiri yang diangkat. Kaki kanan berpijak pada raksasa ApasmàrapuruûaKeseluruhan gambaran dapat dan mungkin juga tidak dikelilingi oleh lingkaran api yang menyala-nyala.

Tarian Úiwa menyatakan suatu proses terus menerus dari penciptaan, pemeliharaan dan pemusnahan. Ðamaru menyatakan prinsip Úabda (suara), sehingga àkàúa (ether), yang berasal langsung dari Àtman bertanggung jawab terhadap penciptaan atau evolusi selanjutnya. Api menyatakan Pralayàgni, api yang memusnahkan dunia pada saat penyerapan dunia, sehingga melambangkan proses penghancuran. Dengan demikian Ðamaru dan api menyatakan siklus berlanjut dari penciptaan, pemeliharaan dan penghancuran. 

Dua tangan lain menyatakan bahwa mereka yang berlindung dikaki Tuhan tak akan merasa takut sama sekali. Apasmàra-puruûa (apasmàra = epilepsi) melambangkan kebodohan yang membuat kita kehilangan keseimbangan dan kesadaran. Dia diinjak-injak oleh Úiwa, demi kebaikan para bhakta yang berlindung padanya.

Beberapa sikap menari lain dari Úiwa, seperti : 
  • Ànanda-tàóðava-mùrti
  • Umà-tàóðava-mùrti
  • Tripura-tàóðava-mùrti dan 
  • Ùrdhva-tàóðava-mùrti

juga dinyatakan dalam kitab-kitab Àgama.

Úiwa adalah penguasa Yoga agung dan ilmu pengetahuan spiritual seperti dari musik, tarian dan seni lainnya. Sebagai guru universal ia disebut Dakûióà-mùrti. Karena Úiwa duduk menghadap Selatan (dakûióa = selatan) ketika mengajar para bijak pada tempat terpencil di pegunungan Himàlaya, dia juga disebut Dakûióà-mùrti. Dia memiliki tiga mata dan empat lengan dan salah satu kakinya menginjak Àpasmàrapuruûa

Dua tangannya (kanan depan dan kiri depan) dalam sikap Jñànamudrà dan Varadamudrà (yang menunjukkan memberi pengetahuan dan berkah). Lengan belakang memegang Akûamàlà (tasbih) dan api atau ular. Ia merupakan model dari seorang Guru sempurna. Dia dikelilingi oleh beberapa orang åûi yang tekun belajar Àtmavidyà (pengetahuan sang diri) dari padanya.

Úiwa dikatakan pernah muncul sebagai tiang kobaran api dengan ukuran tak terbatas untuk memusnahkan kesombongan Brahmà dan Wiûóu. LiògodBhawa-mùrti melukiskannya sebagai yang bermanifestasi dalam jantung Liòga. Gambarannya memiliki empat lengan. Brahmà dan Wiûóu berdiri di samping kanan kirinya dengan memujanya.

Bhikûàþana-mùrti memperlihatkan Úiwa sebagai Bhairava telanjang yang mengemis makanannya dalam wadah tengkorak kepala. Gambaran ini hampir sama dengan Kaòkàla-mùrti.

Haryardha-mùrti, juga disebut sebagai Hari-hara dan Úaòkara-nàràyaóa, memperlihatkan Úiwa pada setengah bagian kanan dan Wiûóu pada setengah bagian kiri. Gabungan kedua aspek menjadi satu dewa merupakan usaha nyata pada suatu konsiliasi menyenangkan dari perang keyakinan dari Úiwa dan Wiûóu.

Bentuk Ardhanàriúvara (setengah laki-laki dan setengah wanita) dengan Pàrvatì sebagai setengah bagian kiri menyatakan sifat dua kutub dari dunia ciptaan ini sehingga perlu memandang wanita sebagai sama dan melengkapi laki-laki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar