Úiwa
adalah
dewatà terakhir dari Trimùrti ini, yang bertanggung jawab terhadap
penyerapan alam semesta. Ia merupakan perwujudan dari sifat Tamas,
kelembaman sentrifugal, kecenderungan menuju pembubaran dan pelenyapan.
Arti sebenarnya dari Úiwa adalah pada siapa Alam Semesta ini 'tertidur' setelah pemusnahan
dan sebelum siklus penciptaan berikutnya.
Semua yang lahir harus mati. Segala
yang dihasilkan harus dipisahkan dan dihancurkan. Ini merupakan hukum yang tak
dapat dilanggar. Prinsip yang menyebabkan keterpisahan ini, daya dibalik
penghancuran ini adalah Úiwa.
Úiwa
jauh
lebih banyak daripada itu. Keterpisahan alam semesta berakhir pada pengurangan
tertinggi, menjadi kekosongan tanpa batas. Kekosongan tanpa batas, substratum
dari segala keberadaan, darimana berulang-ulang muncul alam semesta yang
tampaknya tanpa batas ini, adalah Úiwa. Dengan demikian,
walaupun Úiwa dilukiskan
sebagai yang bertanggung jawab terhadap penghancuran, dia juga bertanggung
jawab terhadap penciptaan dan pemeliharaan keberadaan ini.
Dalam pengertian
ini, Brahmà dan Wiûóu juga adalah Úiwa.
Inilah barangkali merupakan identitas yang diperlihatkan oleh beberapa cerita
dalam kitab-kitab Puràóa. Bila satu cerita membuat
Úiwa berbicara dari kandungan tiang api
takterbatas kepada Brahmà
dan
Wiûóu bahwa mereka adalah aspeknya sendiri,
cerita lain membuat Úiwa
sebagai
dilahirkan dari kening Wiûóu
yang
marah atau dari Brahmà
yang
sangat menginginkan memperoleh seorang putra.
Walaupun Úiwa sering disebut Rudra,
khususnya dalam aspeknya yang mengerikan, apakah keduanya sama atau tidak,
telah menjadi masalah perdebatan dan bahkan pertentangan. Banyak sarjana
cenderung berpikir bahwa Rudra
dari
kitab-kitab Weda
dan
Úiwa dari kitab-kitab Puràóa dan Àgama merupakan
dua dewatà
berbeda yang dilebur jadi satu pada periode berikutnya sebagai penyatuan budaya
dari dua ras yang menerimanya secara lebih maju.
Menurut para sarjana ini, Úiwa dewatà tentram merupakan dewa
non-Àryan, 'lebih kuno' ketimbang Rudra Weda. Walaupun 'para penakluk Àrya'
memandang
rendah dan mengejek para pemuja Úiwa
dan
Úiwa sendiri (tampak dari beberapa ritual
dan pelaksanaan misteriusnya), karena kedua ras bangsa tersebut harus hidup
berdampingan, maka saling pendekatan dan akibat rekonsiliasi budaya menjadi tak
terhindarkan.
Apapun yang terjadi kebenaran dari
pernyataan ini, semuanya tidak relevan terhadap studi kita disini, karena kita
lebih tertarik dalam menemukan manfaat simbologi yang terkait, untuk memperkaya
kehidupan kita.
Úiwa
dipuja
baik dalam aspek anthropomorfis maupun sebagai Liòga,
yang belakangan menjadi kebiasan dimana yang pertama merupakan suatu
pengecualian. Yang paling umum dari gambaran dan patungnya menunjukkannya
sebagai pemuda yang sangat tampan, putih laksana kamper. Anggota tubuhnya yang
dilumuri dengan abu tampak kuat dan mengkilat. Dia memiliki tiga buah mata
dimana yang ketiga berada dikening antara kedua alis matanya, dengan empat lengan,
dua memegang Triúùla dan Ðamaru (kendang
kecil), sementara dua lainnya dalam sikap Abhaya (memberi perlindungan) dan Varada (memberi berkah) Mudrà.
Dia memiliki mahkota rambut panjang yang digelung, yang daripadanya mengalir
sungai Gaòga. Dia juga mengenakan bulan sabit sebagai
mahkota. Sehelai kulit macan dan kulit gajah menghias badannya sebagai
pakaiannya. Ada beberapa ekor ular disekujur tubuhnya yang membentuk kalung,
ikat pinggang, Yajñopavìta
(benang
suci) dan juga gelang tangan. Juga terdapat rangkaian tengkorak kepala yang
mengelilingi leher birunya.
Manusia, sebagaimana dirinya sendiri,
tak dapat mem-perlakukan pada dirinya saja namun juga kepada para dewanya. Oleh
karena itu wajar apabila mereka memandang Úiwa sebagai manusia dengan keluarganya. Pàrvati adalah pendampingnya. Gaóeúa dan Kumàra (juga dikenal sebagai Skanda atau Subrahmaóya)
sebagai putranya.
Kemudian ada sejumlah besar pengiring
yang membentuk suatu kebun binatang layaknya. Nandi adalah lembu kendaraannya, Bhåògi, åûi dengan tiga buah kaki dan tiga buah
lengan, tikus milik Gaóeúa, burung merak dari Kumàra,
demikian juga sejumlah besar hantu, setan dan jin yang secara konstan berlarian
di sekelilingnya - yang membentuk pengiring yang besar.
Walaupun dia memiliki markas besar dipegunungan
Himàlaya yang bersalju, ia senang berkelana di
bumi, khususnya pada tanah kuburan dan tempat-tempat kremasi. Semuanya ini
berasa dalam keselarasan sempurna dengan sifatnya sebagai penguasa pemusnahan
dan penghancuran.
Sebelum meningkat pada penjelasan dari
segalanya ini, yang jelas-jelas simbolis, pertama-tama lebih baik merangkum
berbagai cerita tentang Úiwa
yang
disampaikan secara panjang lebar dalam literatur mithologis kita.
- Dahulu, Pàrvatì dalam suatu peristiwa tidak serius, menutup kedua matanya, dan wow... segenap alam semesta tenggelam dalam kegelapan. Untuk menyelamatkan dunia dari keadaan gawat ini, Úiwa yang mengharapkan mata ketiga antara dua alis matanya, mengirimkan sinar, api dan panas. Selanjutnya, ia membuka mata ketiga ini - yang secara normal selalu tertutup akibat kasihnya yang takterbatas pada umat manusia - membakar Kàmadewa, penguasa nafsu.
- Ketika sungai surgawi Gaògà, yang berasal dari surga turun ke bumi ini, jatuh secara ganas pada kepala Úiwa akibat kesombongannya, ia hanya mendapatkan gelungan dan terperangkap di sana. Hanya setelah melalui doa dan permohonan Bhagìratha (yang bertanggung jawab membawa sungai surgawi tersebut turun ke bumi) dan atas permintaan maaf oleh Gaògà sajalah, dia mem-perkenankannya untuk mengalir keluar.
- Ketika Kûìrasamudra, lautan susu sedang diaduk, salah satu benda yang muncul adalah bulan sabit yang dingin. Úiwa mengambilnya dan membuatnya jadi perhiasan rambutnya. Ketika racun mematikan Hàlàhala juga muncul dan mulai memusnahkan dunia dengan lidah apinya yang berkobar-kobar, Úiwa mengumpulkannya dalam telapak tangannya dan menelannya, sehingga dunia terselamatkan. Pàrvatì, yang terkejut akan keselamatan suaminya, menekan kerongkongannya sehingga racun itu tak dapat turun ke dalam perutnya! Racun yang tetap berada dalam kerongkongan itu mengakibatkan warna biru yang permanen di leher.
- Dimarahi oleh Úiwa yang keindahan luar biasanya telah menarik hati para istrinya, para åûi dari Dàrukavana berusaha membunuhnya melalui ritual-ritual sihir. Dari api upacara kurban itu muncul seekor harimau, seekor menjangan dan besi panas kemerah-merahan. Úiwa membunuh harimau dan mengenakan kulitnya sebagai pakaian, menangkap menjangan dengan tangan kirinya (yang tetap disana selamanya) dan membuat besi panas itu menjadi senjata.
- Cerita-cerita lain yang berkaitan dengan penghancuran upacara kurban Dakûa, pemotongan salah satu kepala Brahmà karena telah berbicara tidak sopan, pemusnahannya terhadap tiga kota yang dibangun oleh raksasa Tripuràsura, pembantaiannya terhadap gajah raksasa Gajàsura dan mengenakan kulitnya, anugerahnya kepada Arjuna sebagai karunia, senjata Pàúupatàstra, penjelmaannya sebagai ArdhanàrÌúwara untuk melenyapkan kebodohan dari bhaktanya Bhåògi, penampakannya sebagai sebuah tiang api untuk memberi pelajaran pada Brahmà dan Wiûóu, penaklukkannya terhadap Yama, dewa kematian, untuk menyelamatkan pemujanya Màrkaóðeya, dan lain sebagainya.
Sekarang, suatu usaha dapat dilakukan
untuk meng-ungkapkan simbologi misterius dari gambaran Úiwa ini. Úiwa digambarkan berwarna putih salju, yang benar-benar
selaras dengan tempat kediamannya, yaitu Himàlaya. Putih menyatakan sinar
yang mengusir kegelapan, pengetahuan yang melenyapkan kebodohan. Ia merupakan
personifikasi dari kesadaran kosmis.
Tampaknya aneh bahwa Úiwa yang menyatakan sifat Tamas (daya kegelapan dan penghancuran)
digambarkan putih, sedangkan Wiûóu
yang
menyatakan sifat Sattva (daya sinar dan
pencerahan) digambarkan sebagai gelap (hitam). Sebenarnya tak ada yang aneh
dalam hal ini karena Guóa
yang
saling berlawanan itu tak dapat dipisahkan. Karena itu Úiwa digambarkan putih di luar dan gelap di
dalam, sementara Wiûóu
sebaliknya.
Tiga mata dari Úiwa menyatakan matahari, bulan dan api,
tiga sumber sinar, kehidupan dan panas. Mata ketiga juga dapat menyatakan mata
pengetahuan dan kebijaksanaan, dari kemahatahuannya.
Bila matahari dan bulan membentuk dua
matanya seperti apa adanya, lalu seluruh langit termasuk angin perkasa yang
berhembus disana membentuk rambutnya. Itulah sebabnya ia disebut Vyomakeúa (yang menggunakan langit atau ruang
angkasa sebagai rambutnya).
Harimau merupakan binatang buas yang
kejam terhadap korbannya yang tak berdaya. Keinginan, yang mempengaruhi umat
manusia, tanpa selalu dipuaskan, dapat dibandingkan dengan seekor harimau.
Bahwa Úiwa telah
membunuh harimau dan mengenakan kulitnya sebagai pakaiannya menunjukkan
penguasaannya yang sempurna terhadap keinginan ini.
Gajah sebagai binatang yang
sangat kuat, dan dengan mengenakan kulitnya sebagai pakaian menandakan bahwa Úiwa telah sepenuhnya menundukkan segala
kecenderungan hewani.
Rangkaian tengkorak kepala (Muóðamàlà) yang dikenakannya dan abu pembakaran
mayat yang digunakan untuk melumuri badannya menandakan bahwa ia merupakan
penguasa pemusnahan. Rangkaian tengkorak juga menyatakan revolusi jaman dan
penampakan serta pelenyapan berturut-turut dari ras manusia.
Úiwa
adalah
penguasa Yoga dan
Yogi.
Dia sering tampak duduk dalam meditasi mendalam yang tenggelam dalam kenikmatan
akan kebahagiaan dirinya sendiri. Air dari sungai Gaògà
menyatakan hal ini. Atau itu dapat juga menyatakan Jñàna,
pengetahuan. Karena sungai Gaògà
sangat
dipuji sebagai pemurni utama, yang berlangsung tanpa mengatakan bahwa dialah
yang dipuja, merupakan personifikasi dari daya pemurni atau penebus dosa.
Bulan sabit menyatakan waktu, karena
ukuran waktu seperti hari atau bulan tergantung pada membesar atau mengecilnya
sang bulan. Dengan mengenakannya sebagai mahkota, Úiwa menunjukkan kepada kita bahwa waktu
yang maha-kuasa itu pun hanyalah perhiasan saja baginya.
Lalu, selanjutnya ular. Kobra-kobra
beracun yang melambangkan kematian bagi kita memperindah kerangkanya dalam
segala cara yang memungkinkan, yang selanjutnya menghiasinya. Hanya dia
sendiri, yang hiasannya melambangkan kematian, dapat meneguk racun mematikan Hàlàhala untuk menyelamatkan dunia.
Semuanya
ini menyatakan satu hal, yaitu: dia adalah Måtyuñjaya,
penakluk kematian! Ular-ular melingkar juga dapat menyatakan siklus waktu pada
makrokosmos dan energi dasar - yang sama dengan energi seksual - dari mahluk
hidup dalam mikrokosmos. Dengan demikian, Úiwa merupakan penguasa waktu dan energi.
Secara ikonografi, Úiwa
mungkin digambarkan dengan dua, tiga, empat, delapan, sepuluh atau bahkan
tigapuluh dua lengan. Beberapa jenis benda yang tampak ditangannya adalah:
- Triúùla,
- Cakra,
- Paraúu (kapak perang),
- Ðamaru (kendang kecil),
- Akûamàlà (tasbih),
- Måga (menjangan),
- Pàúa (jerat),
- Daóða (tongkat),
- Pinàka atau
- Ajagava (busur),
- Khaþvàòga (tongkat wasiat),
- Pàúupata (tombak),
- Padma (kembang teratai),
- Kapàla (tengkorak kepala),
- Darpaóa (cermin),
- Khaðga (pedang) dan lain sebagainya.
Agak
sulit untuk menemukan makna untuk masing-masing benda tersebut. Namun suatu
usaha dilakukan untuk menjelaskan beberapa buah diantaranya.
Triúùla
yang
menjadi senjata penting dalam menyerang dan bertahan, menyatakan Úiwa merupakan penguasa utama. Secara
filosofis itu dapat menyatakan Triguóa
atau
tiga proses penciptaan, pemeliharaan dan penyerapan. Karena itu Úiwa pembawa triúùla merupakan penguasa Guóa dan dari padanya berawal proses kosmis
ini.
Dikatakan bahwa sementara menarikan Tàóðavanåtya, Úiwa
membunyikan
Ðamaru-nya
empatbelas kali, sehingga menghasilkan suara seperti a-i-uó, r-lå-k
dan seterusnya, yang kini dikenal sebagai Màheúvarasùtra, empatbelas rumusan dasar yang
mengandung segala huruf yang tersusun dengan cara yang sangat mahir, yang
memfasilitasikan proses gramatika yang sangat banyak.
Karena itu Ðamaru menyatakan alfabet, gramatika (ilmu
bahasa) atau bahasa itu sendiri. Dengan kata lain, ia menyatakan segala
kata-kata - yang diucapkan atau ditulis, ataupun yang diungkapkan dengan cara
lainnya - sehingga dimaksudkan bagi seluruh tangga nada dari semua seni dan
ilmu pengetahuan, suci maupun sekular. Itu juga menyatakan suara sebagai logos,
asal mula segenap ciptaan ini. Dengan menggenggamnya, Úiwa memperlihatkan kenyataan bahwa segenap
penciptaan, termasuk berbagai macam seni dan ilmu pengetahuan, berawal dari
kehendaknya sebagai permainannya.
Bila Akûamàlà (tasbih) menunjukkan bahwa ia
merupakan penguasa ilmu pengetahuan spiritual, Khaþvàòga (tongkat wasiat dengan sebuah
tengkorak kepala di ujungnya) menunjukkan bahwa ia juga merupakan orang yang
mahir dalam pengetahuan sihir atau okultis. Kapàla (mangkuk tengkorak kepala) yang
dipakai wadah darah yang diminumnya, merupakan lambang lain yang menunjukkan
daya pemusnah segalanya. Darpaóa
(cermin)
menyatakan bahwa segenap ciptaan hanyalah pantulan dari wujud kosmisnya.
Patung Úiwa tak pernah dipuja sebagai Mùlamùrti (asal mula, yang dipasang pada 'sànctum sànctorum'),
tetapi hanya sebagai Utsavamùrti
(patung
yang digunakan selama perayaan, guna pelengkap prosesi).
Úiwaliòga
Mengenai Liòga,
lambang Úiwa yang
secara universal dihormati, memerlukan beberapa penjelasan. Nama Úiwa sebenarnya berarti menguntungkan dan Liòga berarti tanda atau lambang. Karena
itu, 'Úiwaliòga' hanyalah lambang dari keagungan Tuhan
alam semesta (Mahàdewa) yang 'Mahapengasih'.
Seperti telah dijelaskan di depan bahwa Úiwa berarti: tempat beristirahatnya
segenap penciptaan setelah terjadinya penyerapan semesta. 'Liòga' juga berarti sama - suatu tempat di
mana obyek-obyek ciptaan terserap selama pemisahan alam semesta yang tercipta
ini. Menurut Hinduisme, karena yang menciptakan, memelihara dan memusnahkan
alam semesta adalah Tuhan yang tunggal itu, maka Úiwaliòga menyatakan Tuhan itu sendiri secara
simbolis.
Apakah Úiwaliòga itu merupakan lambang pallus atau
tidak, masih merupakan masalah yang dapat diperdebatkan. Kepercayaan 'pallus' telah ada pada
seluruh negara dan pada seluruh peradaban. Sama halnya dengan kepercayaan
pallus dari peradaban awal yang diserap kedalam Hinduisme dan pemujaannya
sendiri ditingkatkan untuk menghormati prinsip Ayah-Ibu dari penciptaan ini.
Ini salah satu pandangan. Bahwa ia merupakan sisa-sisa dari Yùpastambha Weda,
yaitu tonggak tempat mengikatkan hewan kurban, merupakan pandangan lain.
Menurut pandangan ini, kuil Hindu merupakan metamorfosis dari Yàgaúàlà (balai sakrifisial; balai upacara
kurban) Vedik. Bahwa itu merupakan tiruan dari stùpa Buddhis merupakan
dugaan lain yang kadang-kadang berresiko tetapi tidak memperkuat, karena Úiwaliòga telah diketemukan bahkan jauh sebelum
masa Buddha,
pada peradaban Harappa dan Mohenjo Daro.
Karena Tuhan melampaui nama dan wujud,
dan kita tak dapat memahami prinsip abstrak-Nya tanpa bantuan lambang nyata,
maka permukaan yang bulat mungkin merupakan pendekatan yang terdekat.
Úiwaliòga
dapat
menjadi Cala (dapat
bergerak) atau Acala (tak
dapat bergerak). Cala-Liòga
dapat ditempatkan pada tempat pemujaan di rumah seseorang guna dipuja atau
dipersiapkan secara kontemporer dengan bahan-bahan seperti tanah liat atau
adonan kue, dsb., guna pemujaan dan dibagikan setelah pemujaan ataupun di
lumurkan pada badan sebagai Iûþaliòga
seperti
yang dilakukan penganut Vìraúaiva.
Acala-liòga,
adalah
yang ditempatkan di kuil-kuil. Umumnya terbuat dari batu dan memiliki tiga
bagian. Bagian terbawah yang bentuknya persegi empat, disebut Brahma-bhàga
dan
menyatakan Brahmà, sang pencipta. Bagian tengah yang bersegi
delapan, disebut Wiûóu-bhàga
dan menyatakan Wiûóu, pemelihara. Kedua bagian
ini dilekatkan di dalam bagian penyangga. Rudra-bhàga yang bentuknya bulat
panjang dan menonjol diluar penyangga adalah yang merupakan sasaran pemujaan;
sehingga disebut Pùjà-bhàga.
Pùjà-bhàga
juga mengandung garis tertentu yang secara teknis disebut Brahmasùtra,
dimana tanpa itu Liòga
menjadi
tidak layak sebagai pemujaan.
Aspek Dari Úiwa
Dapat disamakan dengan Vyùha atau emanasi dari Wiûóu,
adalah bentuk Pañcànana
dari
Úiwa. Pañcànana atau yang berwajah lima, menyatakan
lima aspek dari Úiwa
yang
berhubungan dengan alam semesta yang tercipta ini. Kelima wajah itu
masing-masing adalah Ìúàna,
Tatpuruûa, Aghora,
Vàmadewa dan Sadyojàta.
Muka Ìúàna yang menghadap zenith (puncak),
menyatakan aspek tertinggi dan juga disebut SadàÚiwa.
Dalam bidang fisik, itu menyatakan daya yang mengatur ether atau langit dan
pada bidang spiritual, ia merupakan dewatà
yang
menganugerahkan Mokûa
atau
pembebasan.
Tatpuruûa
yang
menghadap Timur, menyatakan daya yang mengatur udara dan menyatakan kekuatan
kegelapan dan pengaburan pada bidang spiritual. Aghora,
yang menghadap Selatan dan yang mengatur unsur api, menyatakan daya yang
menyerap serta memulihkan alam semesta. Vàmadewa
yang
menghadap Utara mengatur unsur air, bertanggung jawab terhadap pemeliharaan. Sadyojàta,
yang menghadap Barat menyatakan daya yang menciptakan.
Secara ikonografi, kelima aspek
tersebut ditunjukkan dalam cara berbeda-beda.
Ada beberapa aspek lain dimana Úiwa dilukiskan atau dipuja. Secara garis
besar hal ini dapat dibagi menjadi katagori berikut ini:
- Saumya atau Anugraha Mùrti;
- Ugra, Raudra atau Samhàra Mùrti;
- Nåtta atau Tàóðava Mùrti;
- Dakûióà-mùrti;
- LiògoBhawa-mùrti;
- Bhikûàþana-mùrti;
- Haryardha-mùrti;
- Ardhanàrìúwara-mùrti.
Wujud Úiwa penuh kedamaian seperti juga wujud
yang memperlihatkan welas asih dan karunia, masuk dalam kelompok pertama. Wujud
yang memperlihatkan anugerah atau pemberi berkah kepada Caóðeúa, NandÌúwara, Vighneúvara atau Ràvana,
masuk dalam katagori ini.
Semua aspek menakutkan dapat
digolongkan pada kelompok kedua. Kaòkàla Bhairava menyatakan Úiwa yang memotong kepala kelima dari Brahmà,
karena setelah menyumpahinya dan setelah berkelana bagaikan seorang pengemis
selama 12 tahun untuk bebas dari dosa. Gajàsuravadha-mùrti me-nyatakannya sebagai pembunuh raksasa Nìla (kawan dari Andhakàsura)
yang telah mengenakan bentuk seekor gajah.
Tripuràntaka-mùrti
melukiskannya
sebagai yang menghancurkan tiga kota besi, perak dan emas yang dibangun di
bumi, di udara dan di surga oleh tiga putra Andhakàsura,
yang hampir telah menjadi tak terkalahkan karena dari ketiga tempat
per-lindungan yang tak tergoyahkan ini, dengan anak-anak panahnya. Úarabheúa-mùrti
menggambarkan
Úiwa sebagai seekor Úarabha (binatang khayalan yang lebih ganas
daripada singa) yang memusnahkan wujud Narasiýha
dari
Wiûóu,
suatu cerita yang secara nyata dipahami oleh golongan penganut Úaivaisme untuk menyatakan keunggulan pujaan
mereka terhadap Wiûóu!
Kàlàri-mùrti menggambarkannya sebagai
yang menaklukkan Yama, dewa
kematian, yang ingin mengambil nyawa Màrkaóðeya, seorang bhakta
agung dari Úiwa. Kàmàntaka-mùrti,
melu-kiskannya sebagai yang memusnahkan Kàma, dewa
asmara, dengan api yang memancar dari mata ketiganya. Andhakàsura-vadha-mùrti memperlihatkannya sebagai penakluk Andhakàsura dan selanjutnya atas permohonan,
memberinya hak memimpin para Gaóa
(pengiring
cebol). Andhaka kemudian
menjadi Bhåògìúa.
Úiwa
adalah
penguasa agung tari-tarian. Segala macam tarian yang berjumlah 108, yang
dikenal pada risalah mengenai tari-tarian berasal darinya. Dikatakan bahwa ia
menari setiap malam untuk mengurangi penderitaan mahluk-mahluk dan memelihara
para dewa
yang berkumpul di Kailàsa
dalam
kekuatan penuh. (Karena itu ia disebut Sabhàpati, ketua dewan).
Hanya sembilan macam tarian dilukiskan
dimana aspek Naþaràja
paling
dikenal. Patung Naþaràja
memperlihatkannya
dengan empat lengan dan dua kaki, dalam sikap menari. Ada Ðamaru pada lengan kanan atas dan api pada
tangan kiri. Tangan kanan bawah bersikap Abhayamudrà
(sikap
perlindungan) dan tangan kiri menunjuk pada kaki kiri yang diangkat. Kaki kanan
berpijak pada raksasa Apasmàrapuruûa. Keseluruhan
gambaran dapat dan mungkin juga tidak dikelilingi oleh lingkaran api yang
menyala-nyala.
Tarian Úiwa menyatakan suatu proses terus menerus
dari penciptaan, pemeliharaan dan pemusnahan. Ðamaru menyatakan prinsip Úabda (suara), sehingga àkàúa (ether), yang berasal langsung dari Àtman bertanggung jawab terhadap penciptaan
atau evolusi selanjutnya. Api menyatakan Pralayàgni, api yang memusnahkan dunia
pada saat penyerapan dunia, sehingga melambangkan proses penghancuran. Dengan
demikian Ðamaru dan
api menyatakan siklus berlanjut dari penciptaan, pemeliharaan dan penghancuran.
Dua tangan lain menyatakan bahwa mereka yang berlindung dikaki Tuhan tak akan
merasa takut sama sekali. Apasmàra-puruûa (apasmàra = epilepsi) melambangkan kebodohan
yang membuat kita kehilangan keseimbangan dan kesadaran. Dia diinjak-injak oleh
Úiwa,
demi kebaikan para bhakta
yang
berlindung padanya.
Beberapa sikap menari lain dari Úiwa,
seperti :
- Ànanda-tàóðava-mùrti,
- Umà-tàóðava-mùrti,
- Tripura-tàóðava-mùrti dan
- Ùrdhva-tàóðava-mùrti,
juga dinyatakan dalam kitab-kitab Àgama.
Úiwa
adalah
penguasa Yoga agung
dan ilmu pengetahuan spiritual seperti dari musik, tarian dan seni lainnya.
Sebagai guru universal ia disebut Dakûióà-mùrti.
Karena Úiwa duduk
menghadap Selatan (dakûióa
=
selatan) ketika mengajar para bijak pada tempat terpencil di pegunungan Himàlaya,
dia juga disebut Dakûióà-mùrti.
Dia memiliki tiga mata dan empat lengan dan salah satu kakinya menginjak Àpasmàrapuruûa.
Dua tangannya (kanan depan dan kiri depan) dalam sikap Jñànamudrà dan Varadamudrà (yang menunjukkan memberi pengetahuan
dan berkah). Lengan belakang memegang Akûamàlà
(tasbih)
dan api atau ular. Ia merupakan model dari seorang Guru
sempurna. Dia dikelilingi oleh beberapa orang åûi yang tekun belajar Àtmavidyà (pengetahuan sang diri) dari padanya.
Úiwa
dikatakan
pernah muncul sebagai tiang kobaran api dengan ukuran tak terbatas untuk
memusnahkan kesombongan Brahmà
dan
Wiûóu. LiògodBhawa-mùrti
melukiskannya
sebagai yang bermanifestasi dalam jantung Liòga.
Gambarannya memiliki empat lengan. Brahmà
dan
Wiûóu berdiri di samping kanan kirinya
dengan memujanya.
Bhikûàþana-mùrti memperlihatkan
Úiwa sebagai
Bhairava telanjang yang mengemis makanannya
dalam wadah tengkorak kepala. Gambaran ini hampir sama dengan Kaòkàla-mùrti.
Haryardha-mùrti, juga disebut sebagai Hari-hara
dan Úaòkara-nàràyaóa,
memperlihatkan Úiwa
pada
setengah bagian kanan dan Wiûóu
pada
setengah bagian kiri. Gabungan kedua aspek menjadi satu dewa
merupakan usaha nyata pada suatu konsiliasi menyenangkan dari perang keyakinan
dari Úiwa dan Wiûóu.
Bentuk Ardhanàriúvara (setengah laki-laki dan setengah
wanita) dengan Pàrvatì
sebagai
setengah bagian kiri menyatakan sifat dua kutub dari dunia ciptaan ini sehingga
perlu memandang wanita sebagai sama dan melengkapi laki-laki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar