Pàrvati
adalah
daya dan pendamping Úiwa, dewa
perpecahan dan pemusnahan. Mayoritas dari para dewì Hinduisme
merupakan aspek dan ragam dari Pàrvatì. Nama yang dikenal dan
dipuja sangat banyak untuk diketengahkan disini.
Bila beberapa nama seperti Pàrvatì, Haimavatì,
Girijà dan
Dàkûàyaóì
menyatakan asal mulanya dari Himàlaya
atau
Dakûa (salah satu nenekmoyang umat manusia),
nama lain seperti Úiwa,
Måðànì, Rudràóì
dan
Úarvàóì menekankan aspeknya sebagai pendamping
Úiwa.
Namun yang lainnya seperti Aparóà
dan
Umà memeiliki referensi khusus pada cerita
tertentu dalam literatur Pauràóa.
Salah satu referensi paling awal
terhadap dewatà ini
dijumpai dalam Kenopaniûad
3. 12,
dimana dia dinyatakan sebagai 'Umà Haimavatì' yang mencerahi Indra,
raja para dewa, tentang Brahman,
Yang Mutlak atau Tuhan. Referensi ini cukup untuk menyimpulkan bahwa pemujaan dewì ini
sangatlah kuno.
Menurut pernyataan Puràóa,
dalam penjelmaan 'pertama'-nya,
dia adalah Dakûàyaóì, putri Dakûa dan Prasùti,
dan menikah dengan Úiwa. Tak mampu memahami
keagungan Úiwa, sekali waktu Dakûa memakinya dan mulai menumpahkan
kebencian kepadanya. Ketika ia melaksanakan suatu upacara kurban agung, salah
seorang pejabat penting yang tak diundang adalah Úiwa sendiri.
Sangat bertentangan dengan saran pasangannya, Dakûàyaóì pergi ketempat upacara tanpa diundang dan merasa diabaikan, mengakhiri hidupnya dengan membakar dirinya dalam api yoga. Karena itu ia kemudian dikenal sebagai Satì, yang takberdosa. Berikutnya dia lahir kembali sebagai Pàrvatì, putri Himavàn dan Menà. Setelah melakukan tapaá yang mendalam dia berhasil menyenangkan Úiwa dan membuatnya dapat menerimanya kembali sebagai pendampingnya.
Sangat bertentangan dengan saran pasangannya, Dakûàyaóì pergi ketempat upacara tanpa diundang dan merasa diabaikan, mengakhiri hidupnya dengan membakar dirinya dalam api yoga. Karena itu ia kemudian dikenal sebagai Satì, yang takberdosa. Berikutnya dia lahir kembali sebagai Pàrvatì, putri Himavàn dan Menà. Setelah melakukan tapaá yang mendalam dia berhasil menyenangkan Úiwa dan membuatnya dapat menerimanya kembali sebagai pendampingnya.
Selama melaksanakan beberapa pertapaan
ini, dia menolak untuk makan walaupun daun kering untuk menunjang hidupnya,
sehingga memperoleh penampakkan Aparóà. Ibunya Menà yang tak tega menyaksikan putri
kesayangannya menderita dalam melakukan tapaá, berusaha untuk
mencegahnya dengan kata-kata, 'U mà' (sayangku, janganlah berbuat seperti
ini!), yang kemudian menjadi namanya yang lain (Umà).
Sebagai putri Himàlaya (tempat kediaman salju) dia kemudian menjadi Gauri (yang putih). Sebagai ibu alam semesta, dia adalah Ambà dan Ambikà, dimana kedua kata ini berarti 'Ibu'.
Sebagai putri Himàlaya (tempat kediaman salju) dia kemudian menjadi Gauri (yang putih). Sebagai ibu alam semesta, dia adalah Ambà dan Ambikà, dimana kedua kata ini berarti 'Ibu'.
Seperti pendamping Úiwa,
dia juga memiliki dua aspek: yang lembut dan yang menakutkan. Sebagai Pàrvatì atau Umà dia menyatakan apek lembut; dimana dalam aspek ini
biasanya dia terlihat bersama Úiwa. Kemudian dia hanya
memiliki dua buah lengan, yang kanan memegang teratai biru dan yang kiri
menggantung bebas disisinya. Patungnya dihias dengan sangat mewah. Bila
dinyatakan secara mandiri dia tampak dengan empat lengan, dua tangan memegang
teratai merah dan biru sedang dua lainnya memperagakan Varada dan Abhaya Mudrà.
Walaupun seluruh dewatà perempuan disebut Úakti dari pasangan laki-lakinya, kata 'Úakti' dan 'Dewì'
bersifat
lebih khusus - atau bahkan eksklusiv - yang digunakan untuk menyatakan Úakti Úiwa, aspek Pàrvatì yang tak terhitung banyaknya. Dengan
menganggap Úiwa sebagai
Mahàdewa,
Tuhan Tertinggi, Pàrvatì
menyatakan
dayanya yang menciptakan, memelihara dan menghancurkan alam semesta ini.
Himàlaya
menyatakan
Àkàúa atau
ether, substansi mendasar pertama. Menà
menyatakan
kecerdasan. Karena itu Pàrvati
sebagai
keturunannya menyatakan substansi kesadaran dari alam semesta. Itulah sebabnya
dia juga disebut Umà
(sinar,
yang cemerlang).
Pada tingkatan subyektif, Umà-Haimavatì menyatakan Brahmavidyà atau kebijaksanaan spiritual, guna
mencapai penyatuan dengan Úiwa
atau
Tuhan.
Menjadi pendamping Úiwa,
yang juga disebut Rudra, yang menakutkan, dia
juga memiliki aspek menakutkan yang memerlukan kajian terpisah.
Menarik untuk disimak bahwa lambang Waiûóawa - Úaòkha
dan Cakra -
sering juga terlihat ditangannya. walaupun kitab-kitab Puràóa melukiskannya sebagai saudara
perempuan Wiûóu, itu memungkinkan karena Wiûóu dianggap sebagai daya aktif dari Úiwa,
sehingga lambang ini ditangan sang Dewì. Dugaan ini diperkuat
oleh kenyataan bahwa dalam Haryardha-mùrti
dari Úiwa,
separoh bagian kiri adalah Wiûóu
dan
dalam bentuk ArdhanàrÌúwara, sang Dewì merupakan separuh bagian kirinya
Aspek-aspek dari Pàrvatì
Sapta-màtåkà:
Menurut Durgàsaptaúatì,
salah satu naskah dasar dari kepercayaan Ibu, ketika Kauúikì Durgà berperang dengan raksasa Raktabìja - yang darahnya bila menetes dapat
menghasilkan raksasa yang sama dengannya - dari dirinya sendiri dia menciptakan
tujuh emanasi. Ini biasanya disebut Saptamàtåka
atau
'tujuh ibu kecil'.
Mereka itu adalah Brahmì
(atau
Brahmàóì),
Màheúvarì, Kaumàrì, Vaiûóavì, Vàràhì, Nàrasiýhì dan Aindrì (atau Indràóì).
Karena namanya itu menyatakan Úakti
dari
Brahmà, Ìúwara,
Kumàra (Skanda),
Wiûóu, Varàha,
Narasiýha
dan Indra. Karena itu, mereka memiliki wujud senjata
dan kendaraan yang sama dengan pasangannya. Menurut karya yang sama, karena
sang Dewì dibentuk dari gabungan energi dari
seluruh dewa, teori Saptamàtåka ini menjadi dapat kita pahami.
Kadang-kadang, Nàrasiýhì dipertukarkan dengan Càmuóðà (atau Càmuóðì).
Bersama dengan dewatà aslinya - yang disebut Durgà Mahàlakûmì
-
mereka dikatakan berjumlah delapan.
Kadang-kadang, penafsiran esoteris
diberikan oleh para pengikut Tantraúàstra, berkenaan dengan tujuh màtåka. Bràhmì menurut mereka menyatakan Nàda awal, atau energi dimana bahkan denyut
pertama pun masih belum tampak. Ini adalah suara tak berwujud (Logos),
asal mula dari segala penciptaan. Itu merupakan substansi atau energi sama yang
ditampilkan oleh Praóava (Oý).
Ketika Bràhmì menciptakan
alam semesta, daya dari Vaiûóavì
memberinya
suatu wujud tertentu. Simetri, keindahan, organisasi dan tatanan di alam
semesta ini merupakan karya dari Vaiûóavì
ini.
Màheúvari menyatakan daya yang memberi
kepribadian pada mahluk-mahluk ciptaan. Dia bersemayam dalam hati segalanya dan
membuatnya bermain, seperti boneka yang dipasang pada sebuah mesin.
Kaumàrì, dewatà yang senantiasa muda, menyatakan kekuatan aspirasai yang selalu ada dari roh yang berkembang. Dia adalah 'Guruguhà, (Guruguhà menjadi salah satu nama dari Kumàra atau Skanda yang energinya adalah dia), 'Guru' (penuntun, guru) dalam 'Guhà' (rongga hati, kecerdasan). Vàràhì adalah daya pelahap segalanya dari asimilasi dan kenikmatan.
Karena dialah mahluk-mahluk hidup mendapatkan makanan dan segala kenikmatan fisiknya. Aindrì atau Indràóì melambangkan daya menakutkan yang memusnahkan segala yang menetang hukum kosmis. Càmuóðà adalah kekuatan kesadaran yang dipusatkan, daya kebangkitan spiritual dalam hati, yang mencurahkan aktivitas terus-menerus dari pikiran yang belum matang dan meningkatkannya pada tingkat tertinggi.
Raktabìjàsura sesungguhnya adalah pikiran, dimana setiap riak gelombangnya memunculkan riak gelombang lainnya. Dengan membunuh Raktabìja oleh Càmuóðà berarti penghancuran modifikasi mental dengan kebangkitan kesadaran spiritual.
Ardhanari |
Kaumàrì, dewatà yang senantiasa muda, menyatakan kekuatan aspirasai yang selalu ada dari roh yang berkembang. Dia adalah 'Guruguhà, (Guruguhà menjadi salah satu nama dari Kumàra atau Skanda yang energinya adalah dia), 'Guru' (penuntun, guru) dalam 'Guhà' (rongga hati, kecerdasan). Vàràhì adalah daya pelahap segalanya dari asimilasi dan kenikmatan.
Karena dialah mahluk-mahluk hidup mendapatkan makanan dan segala kenikmatan fisiknya. Aindrì atau Indràóì melambangkan daya menakutkan yang memusnahkan segala yang menetang hukum kosmis. Càmuóðà adalah kekuatan kesadaran yang dipusatkan, daya kebangkitan spiritual dalam hati, yang mencurahkan aktivitas terus-menerus dari pikiran yang belum matang dan meningkatkannya pada tingkat tertinggi.
Raktabìjàsura sesungguhnya adalah pikiran, dimana setiap riak gelombangnya memunculkan riak gelombang lainnya. Dengan membunuh Raktabìja oleh Càmuóðà berarti penghancuran modifikasi mental dengan kebangkitan kesadaran spiritual.
Dewatà-dewatà
ini umumnya dinyatakan sebagai berwarna merah dengan dua buah lengan yang
memegang sebuah tengkorak kepala dan sekuntum bunga padma. Namun, karena mereka
merupakan Úakti dari
para dewa
yang dinyatakan di atas, maka mereka sering terlihat sebagai replika wanita
dari para dewatà laki-laki
tersebut.
Kadang-kadang setiap dewatà diperuntukkan sebatang pohon karena kekhususan
penyakralannya. Misalnya: Udumbara
(pohon
ara) bagi Kaumàrì, Aúvattha
(pohon
pìpal, semacam beringin) bagi Vaiûóavì
dan
Karañja (pohon bik India) bagi Vàràhì.
Mereka biasanya dikelompokkan
bersama-sama dengan Gaóeúa
dan
Vìrabhadra yang menempati setiap sisi dan tampak
pada panel-panel dalam kuil Úiwa. Kadangkala mereka
memiliki tempat pemujaan terpisah yang dibangun untuk mereka. Tatanan atau
aturan berragam sesuai dengan efek yang diinginkan. Bila keselamatan desa yang
diinginkan Bràhmì diletakkan
di tengah-tengah. Bila penambahan populasi yang menjadi tujuan, Càmuóðà menempati kedudukan di tengah.
Daúamahàvidyà:
Sepuluh aspek Úakti kadang-kadang digambarkan dalam
karya-karya Tantrik. Mereka diistilahkan
sebagai 'Daúamahà-vidyà'. Ini merupakan pernyataan dari
pengetahuan dan kekuasaan mengatasi sebagai sumber dari segalanya yang dikenal.
Yang pertama adalah Kàlì, dewì waktu
yang memusnahkan segalanya. Tarà,
yang kedua adalah kekuasaan dari janin keemasan (Hiraóyagarbha), asal mula berkembangnya alam semesta ini. Dia juga
menyatakan kekosongan atau ruang takterbatas. Yang ketiga adalah Ûoðaúì; yang arti sebenarnya 'yang berusia enambelas tahun'.
Dia merupakan personifikasi dari kesempurnaan. Bhuvaneúvarì, sebagai vidyà keempat menyatakan kekuatan dunia material, sedangkan Bhairavì yang kelima menyatakan keinginan dan cobaan yang menghantar pada pemusnahan dan kematian. Kemudian muncul Chinnamastà, dewatà telanjang yang membawa kepalanya sendiri yang terpotong ditangannya dan yang minum darahnya sendiri.
Dia sekedar menyatakan keadaan berlanjut menghidupi diri dari dunia yang tercipta dimana terlihat penghancuran diri dan pembaharuan diri terus-menerus, dalam tatanan siklus. Dhùmàvatì, yang ketujuh, melambangkan penghancuran dunia oleh api, manakala hanya asap (Dhùma) dari abunya yang tertinggal. Dia kadang-kadang disamakan dengan Alakûmì atau Jyeûþhàdewì.
Vidyà kedelapan, Bagalà adalah dewì yang berkepala burung bangau, dan menyatakan sisi buruk dari mahluk hidup seperti kecemburuan, kebencian dan kekejaman. Màtaògì, yang kesembilan, merupakan perwujudan dari kekuasaan dominasi. Yang kesepuluh dan terakhir, Kamalà, adalah kesadaran murni dari sang Diri, yang menganugerahkan berkah dan melenyapkan ketakutan dari para pemohonnya. Dia disamakan dengan Lakûmì, dewì keberuntungan.
Dia merupakan personifikasi dari kesempurnaan. Bhuvaneúvarì, sebagai vidyà keempat menyatakan kekuatan dunia material, sedangkan Bhairavì yang kelima menyatakan keinginan dan cobaan yang menghantar pada pemusnahan dan kematian. Kemudian muncul Chinnamastà, dewatà telanjang yang membawa kepalanya sendiri yang terpotong ditangannya dan yang minum darahnya sendiri.
Dia sekedar menyatakan keadaan berlanjut menghidupi diri dari dunia yang tercipta dimana terlihat penghancuran diri dan pembaharuan diri terus-menerus, dalam tatanan siklus. Dhùmàvatì, yang ketujuh, melambangkan penghancuran dunia oleh api, manakala hanya asap (Dhùma) dari abunya yang tertinggal. Dia kadang-kadang disamakan dengan Alakûmì atau Jyeûþhàdewì.
Vidyà kedelapan, Bagalà adalah dewì yang berkepala burung bangau, dan menyatakan sisi buruk dari mahluk hidup seperti kecemburuan, kebencian dan kekejaman. Màtaògì, yang kesembilan, merupakan perwujudan dari kekuasaan dominasi. Yang kesepuluh dan terakhir, Kamalà, adalah kesadaran murni dari sang Diri, yang menganugerahkan berkah dan melenyapkan ketakutan dari para pemohonnya. Dia disamakan dengan Lakûmì, dewì keberuntungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar