Selasa, 19 Juni 2012

Durga

Durgà


Barangkali, Durgà secara luas merupakan aspek Úakti yang paling banyak dipuja. Keseluruhan Puràóa, Dewì-bhàgavatam, telah dipersembahkan untuknya. Karya lain, yang lebih terkenal ketimbang Dewìbhàgavatam, tetapi praktis mengandung materi yang sama dalam bentuk ringkas, adalah Dewìmàhàtmyam


Ia juga dikenal sebagai Durgàsaptaúatì atau Caóðì dan membentuk bagian dari Puràóa terkenal lainnya, Màrkaóðeyapuràóa. Karya ini sangat dihormati, dimana setiap sloka daripadanya dianggap menjadi sebuah Mantra (rumusan sakral) dari sang Dewì dan pengulangannya dipercaya memberikan apapun yang dimohon para bhakta-nya.

Arti sebenarnya dari kata 'Durgà' adalah yang sulit didekati atau sulit dikenal. Menjadi personifikasi dari keseluruhan kekuasaan para dewa, dia wajar sulit didekati atau diketahui. Namun, sebagai Ibu alam semesta, dia merupakan perwujudan dari kasih sayang lembut, bila dimohonkan.
Mahasura Attacks the Devi
Page from an illustrated manuscript of
the Devi Mahatmya

Dari beberapa aspek Úakti yang ditampilkan oleh karya ini, Yoganidrà (meditasi-tidur) adalah yang pertama. Dia merupakan daya untuk tidur, dimana dengan bantuannya, Wiûóu beristirahat di antara dua siklus penciptaan. Dia dipuji sebagai yang bertanggung jawab terhadap penciptaan, pemeliharaan dan penarikan kembali alam semesta raya ini. Dia merupakan kekuatan misterius, perwujudan dari ilmu pengetahuan, kebijaksanaan dan ingatan. Dia sangat menyenangkan dan cantik. Pada saat yang sama ia juga dapat sangat menakutkan. Kombinasi sifat-sifat yang berlawanan ini hanya mungkin baginya. Dia dilukiskan sebagai menyandang beberapa senjata seperti busur, anak panah, pedang, cakra dan triúùla.

Durga Slays Mahishasura, Mahabalipuram sculpture

Berikutnya adalah Mahiûàsuramardinì, dewatà yang mengambil wujud sebagai hasil dari pengumpulan kekuatan-kekuatan semua dewa, yang ditindas oleh raksasa Mahiûàsura. Wiûóu, Úiwa dan Brahmà marah mendengar ulah perbuatan jahat dari Mahiûàsura dan sang Dewì lahir dari kemurkaan mereka, yang diikuti oleh kemurkaan dewatà yang lebih rendah. Kekuatan dari para dewa membentuk anggota badannya dan penggandaan yang tepat dari senjata-senjata mereka membentuk gudang persenjataannya. Dipersenjatai dengan senjata-senjata berat dan dengan menunggangi seekor singa yang mengerikan, dia menantang Mahiûàsura dan menghancurkannya bersama dengan pasukannya.

Cerita ini diikuti oleh puji-pujian sangat indah yang dengan sendirinya tergabung keanggunan puitis dan semangat serta naluri pengabdian.
Dia merupakan kekuatan misterius, dengan mana segenap alam semesta diresapi dan dihidupkan. Dia merupakan perwujudan dari segala kekayaan, kekuasaan, keindahan dan juga kebajikan. Dia merupakan pengejawantahan dari Yajña (upacara kurban), Paràvidyà (pengetahuan tertinggi yang berkenaan dengan roh), demikian juga Aparàvidyà (pengetahuan tentang ilmu sekuler), Dia lah yang memberikan kekayaan- baik material maupun spiritual - melenyapkan kesulitan dan menghilangkan kejahatan. Kecantikannya demikian juga keberaniannya, tak tertandingi.

A traditional Durga idol at a pandal in Kolkata

 Para dewa tak dapat menikmati kebebasannya selama beberapa lama. Dengan segera mereka ditaklukkan oleh raksasa Úumbha dan Niúumbha. Lalu mereka harus lari kepegunungan Himàlaya dan memohon sang Dewì kembali. Puji-pujian ini, yang terkenal sebagai 'Aparàjitàstotra,' memujinya sebagai 'taktertaklukkan.' Imanensinya pada segala mahluk hidup merupakan tema utama dari puji-pujian ini. Kekuasaan dan aktifitas dari semua mahluk hanyalah manifestasi dari kekua-saannya saja.

Durga sculpture, British Museum

Dalam menanggapi doa ini, dia mewujudkan dirinya sebagai Kauúikì Durgà, yang muncul dari badan Pàrvatì, yang dia sendiri menjadi Kàlì, yang gelap, setelah manifestasi ini.
Kecantikan Durgà yang mempesona dunia menarik perhatian Úumbha dan Niúumbha, yang mengirim usulan pernikahan melalui seorang budak. Sial bagi mereka, pada saat 'kelemahan dan kebodohan' dia telah bersumpah untuk menikahi mereka yang mampu mengalahkannya dalam perang. Segala usaha secara paksa menariknya pergi yang mengakhiri bencana para raksasa. Kepala-kepala yang menggelinding, serangan para raksasa seperti Dhùmralocana, Caóða, Muóða dan Raktabìja tak tertahankan. Kàlì, dewì hitam menakutkan yang muncul dari dahi sang Dewì, memenggal kepala Caóða dan Muóða sehingga mendapatkan nama Càmuóða bagi dirinya. Hanya peperangan dengan Raktabìja yang berlangsung lama memerlukan beberapa usaha khusus oleh sang Dewì, karena ia memiliki kekuatan misterius untuk menggandakan dirinya melalui tetesan darah yang tumpah dalam peperangan. 

Bahkan Saptamàtåka yang muncul dari badannya untuk berperang tampaknya tak berdaya. Dewì Kàlì lah yang mengatur untuk menjulurkan lidahnya yang luas dan mereguk habis semua darah yang menyembur dari Raktabìja, sehingga mencegah munculnya lebih banyak lagi para raksasa dan memungkinkan Durgà untuk membas-minya. Sisanya menjadi lebih mudah. Niúumbha dengan mudah dibunuh setelah melalui perkelahian yang jenaka. Úumbha yang sekarang kesal, menuduhnya minta bantuan 'orang lain'. Dengan tertawa mengejek, sang Dewì menarik semua emanasinya dan berwujud dirinya sendiri, yang menunjukkan bahwa dia selalu Satu tanpa ada yang kedua. Dalam pertempuran yang menentukan, Úumbha penguasa para raksasa, dengan mudah terbunuh, sehingga membebaskan dunia dari teror besar.

Ini diikuti oleh sepotong doa lain, pujian puitis yang mempesona, sesederhana keanggunannya. Dikenal sebagai 'Nàràyaóìstuti' ia diawali dengan permohonan bersemangat kepada Ibu oleh para dewa yang berterima kasih atas keramahan dan kemurahan hatinya. Puji-pujian itu melukiskannya sebagai penguasa dan ibu dari seluruh ciptaan. Dia merupakan alam semesta fisik. Dia merupakan daya misterius dari Wiûóu (Vaiûóavìúakti), penyebab awal dan juga kekuatan yang memusnahkan mahluk-mahluk. Hanya dengan menyenangkannya sajalah seseorang dapat berharap untuk mendapatkan pembebasan spiritual. Semua seni dan ilmu pengetahuan, demikian juga wanita pada umumnya merupakan manifestasinya. 

Dia menetap sebagai kecerdasan dalam hati mahluk manusia. Dia adalah waktu yang melahap segalanya. Dia merupakan personifikasi dari segala yang baik dan menguntungkan. Dia senantiasa sibuk dalam melindungi anak-anaknya. Saptamàtåka sesungguhnya merupakan aspeknya, Kàlì, yang menakutkan, dengan untaian tengkorak kepala manusia menggantung dilehernya, juga merupakan aspeknya yang lain. 

Bila disenangkan, dia dapat menyembuhkan segala penyakit. Bila dikecewakan, dia dapat memusnahkan semua yang kita sayangi dan yang ingin kita miliki. Para pemujanya selalu bebas dari kesulitan. Dia merupakan Kebenaran Utama yang digambarkan dalam semua karya kitab suci.

Durga Hoysala sculpture

Karya-karya itu juga melukiskan manifestasi lainnya seperti Vindhyavàsinì (yang tinggal di Vindhya), Raktadantà (bergigi merah), Úatàkûì (bermata ratusan), Úàkambharì (pemelihara sayur mayur), Durgà (pembantai raksasa Durgama), Bhìmà (yang mengerikan) dan Bhràmarì atau Bhramaràmbà (yang memiliki bentuk lebah).
Sang Dewì seperti yang digambarkan dalam karya ini memiliki tiga manifestasi utama, yaitu: Mahàkàlì, Mahàlakûmì dan Mahàsarasvatì. Aspek-aspek ini hendaknya jangan dike-lirukan dengan dewatà Puràóa, Pàrvatì, Lakûmì dan Sarasvatì. Dia sesungguhnya tiga manifestasi utama dari Maheúvarì, Kekuasaan Tunggal Utama, sesuai dengan triguóa, Tamas, Rajas dan Sattva.

Yang pertama, Mahàkàlì, memiliki sepuluh muka dan sepuluh kaki. Dia berwarna biru tua, bagaikan permata Nìlamaói. Dia berhiaskan perhiasan dan pada kesepuluh tangannya menyandang senjata-senjata dan benda sebagai berikut: pedang, cakra, gada, anak panah, busur, pemukul besi, tombak, ketapel, kepala manusia dan kulit kerang. Sebagai personifikasi aspek Tàmasika dari sang Dewì, dia juga Yoganidrà, yang telah membuat Wiûóu tertidur. Kepadanyalah Brahmà memohon, memintanya untuk meninggalkan Wiûóu sehingga dapat memusnahkan raksasa Madhu dan Kaiþabha.

Dia merupakan personifikasi Màyà, daya misterius dari Wiûóu. Kecuali bila dia disenangkan dan secara ikhlas menariknya, Wiûóu yang ada dalam diri kita tak akan bangun dan memusnahkan kekuatan-kekuatan jahat yang mencoba untuk menghancurkan kita. Ini tampaknya diambil dari cerita tentang Brahmà, Madhu dan Kaiþabha.

Mahàlakûmì, yang kedua, aspek Ràjasika dari sang Dewì dilukiskan berwarna merah seperti batu karang. Pada kedelapanbelas tangannya, dia memegang tasbih, periuk-perang, gada, tombak, pedang, tameng, kulit kerang, genta, mangkuk anggur, triúùla, jerat dan cakra Sudarúana. 'Terlahir' dari gabungan dari kemurkaan dan kekuatan semua dewa, dia merupakan personifikasi bukan hanya kekuasaan tetapi juga kehendak untuk memerangi kekuatan-kekuatan jahat. Itulah sebabnya dia ditampilkan berwarna merah, sebagai warna darah, warna perang. Dia lah yang menghancurkan Mahiûàsura.

Cerita tentang Mahiûàsura memiliki beberapa impikasi. Mahiûàsura, kerbau jantan, menyatakan hukum rimba yang mungkin benar. Ia merupakan kekuatan kejam tak kenal kasihan yang tidak mentolerir oposisi apapun dimana tujuan pamrih sajalah yang diperdulikan. Dan ia bahkan mulai menyerang para dewa; tetapi hanya bila mereka dipisahkan. Tetapi ia jatuh sebelum mereka menggabungkan kekuatan dan kehendak untuk berperang, yang sebenarnya dinyatakan oleh sang Dewì, Mahiûàsuramardinì

Pelajaran dari cerita ini pada tingkat masyarakat sangat jelas untuk diberi penjelasan lagi. Atau dapatkah kita mengabaikan impikasi sosialnya? Pada tingkat subyektif, Mahiûàsura menyatakan kebodohan dan keakuan keras kepala. Penundukan dan penaklukannya hanya mungkin bila para Sàdhaka (calon spiritual) mengumpulkan segala energi bersama-sama dan memeranginya dengan kehendak yang kuat. Karena Tuhan membantu mereka yang menolong dirinya sendiri, intervensi dari kekuatan ilahi dalam bantuannya selalu ada disana.

Mahàsarasvatì adalah dewatà ketiga yang menyatakan aspek Sàttvika dari sang Dewì. Dia cemerlang laksana bulan musim gugur dan memiliki delapan lengan yang memegang genta, triúùla, mata bajak, kulit kerang, alu, cakra, busur dan anak panah. Dia lah yang meujudkan lapisan fisik dari Pàrvatì, sehingga dikenal sebagai Kauúikì Durgà. Dia merupakan personifikasi dari kesempurnaan dan keindahan fisik. Dia merupakan kekuatan dari kerja, aturan dan organisasi.

Bagian yang berkenaan dengan kegagah beraniannya merupakan bagian terpanjang. Dhùmralocana, Caóða, Muóða, Raktabìja, Niúumbha dan Úumbha adalah pemimpin-pemimpin raksasa yang dimusnahkan olehnya. Semua raksasa ini yang dikenal sebagai para Asura, merupakan contoh yang sempurna dari orang-orang yang sangat egois, yang bersukaria dalam suatu kehidupan kesenangan badan dan organ-organ indra. Secara simbolis mereka menyatakan berbagai tahap dan keadaan keakuan. 

Bila Dhùmralocana (yang matanya berasap) menyatakan keadaan terkasar dari kebodohan dan keakuan, Raktabìja menyatakan keadaan yang lebih halus yang menggandakan sendiri dan kesulitan-kesulitan kita. Sementara Muóða merupakan tampang lembut dari keakuan kita (muóða = lembut; rendah), Caóða merupakan sisi yang lebih mengerikan daripadanya (caóða = kejam, mengerikan). Úumbha dan Niúumbha menyatakan aspek yang lebih cerah dari keakuan (úumbh = bersinar).

Dhùmralocana dimusnahkan oleh Huòkàra, hanya suatu kerutan dahi! Caóða dan Muóða sangat hina untuk ditangani langsung oleh sang Dewì. Karena itu Kàlì, yang mengerikan, mengakhirinya atas perintahnya. Raktabìja memerlukan ketrampilan penanganan yang lebih baik. Sumber kekuatannya lah yang pertama-tama dihancurkan sebelum memusnahkannya. Mengenai Úumbha dan Niúumbha, sang Dewì diharuskan untuk memberinya suatu pertarungan langsung.

Keadaan kebodohan yang lebih rendah seperti yang dicontohkan Dhùmralocana, Caóða dan Muóða, harus dimusnahkan dengan ledakan energi tiba-tiba dan penanganan kasar. Keadaan lebih licik, yang berakibat pada penggandaan keinginan tanpa akhir - yang dinyatakan oleh Raktabìja - harus ditangani secara bijaksana dengan mencari akar penyebabnya, dengan menekannya segera setelah mereka muncul. 'Keakuan yang tercerahi' bila seseorang dapat menggunakan pengungkapan sedemikian rupa, yang juga keakuan, memerlukan suatu perjuangan langsung. Itu mungkin menjadi perjuangan yang memerlukan waktu lama dan berkah sang Dewì mutlak diperlukan demi keberhasilannya.

Aspek Durgà yang dinyatakan dalam kitab-kitab Puràóa dan Àgama adalah pasukannya. Umpamanya: Úailaputrì, Kùûmàóðà, Kàtyàyanì, Kûemaòkarì, Harasiddhiá, Vanadurgà, Vindhyavàsinì, Jayadurgà dan lain-lainnya. Mereka akan lebih menarik dalam ikonografi dan pada para pemohon yang dapat memperoleh jenis keinginan lain terpenuhi oleh pemujaan aspek yang berbeda-beda.

Patung-patung Durgà dapat memiliki empat atau delapan atau sepuluh, delapan belas atau bahkan duapuluh lengan. Matanya biasanya tiga. Rambutnya dibentuk seperti mahkota (yang disebut Karaóðamukuþa). Dia secara indah diberi pakaian merah dan beberapa hiasan. Diantara benda-benda yang dipegangnya, yang lebih umum adalah: kulit kerang, cakra, triúùla, busur, anak panah, pedang, belati, tameng, tasbih, mangkuk anggur dan genta. Dia mungkin dalam keadaan berdiri pada sekuntum bunga padma atau pada kepada kerbau atau menunggangi seekor singa.

Singa, raja rimba, sebagai tunggangannya, menyatakan ciptaan binatang terbaik. Ia juga dapat menyatakan keserakahan terhadap makanan, sehingga ketamakan terhadap obyek-obyek kenikmatan yang tak terhidarkan membawa pada nafsu. Untuk menjadi ilahi (dewatva), seseorang harus menjaga naluri hewaniahnya berada di bawah pengendalian. Hal ini tampaknya menjadi pelajaran yang dapat kita tarik dari gambar Siýhavàhinì (penunggang singa).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar