Rabu, 27 Juni 2012

Kerajaan Kanjuruhan

Kanjuruhan (Jawa Timur)

Untuk pertama kalinya Jawa Timur muncul dalam sejarah pada tahun 760. Di desa Dinoyo Malang, ditemukan sebuah prasasti tahun 760 yang menceritakan bahwa dalam abad VIII itu ada kerajaan yang berpusat di Kanjuruhan dengan raja bernama Dewasiýha.
Ia berputera Limwa yang setelah menggantikan ayahnya menjadi raja bernama Gajayàna. Ia mendirikan sebuah tempat pemujaan untuk Åûi Agastya. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat itu di Jawa Timur sudah berkembang agama Hindu sekte Úiwa, dimana Åûi Agastya dilambangkan sebagai lambang Úiwa Mahàguru. Peresmian arca Åûi Agastya itu dilakukan dalam tahun 760, dan upacaranya dilaksanakan oleh pendeta-pendeta ahli Weda. Pada kesempatan itu raja menghadiahkan tanah, lembu dan segala apa yang diperlukan untuk melangsungkan upacara.
Pemujaan Åûi Agastya itu sekarang dikenal dengan nama Candi Badut di desa Kejuron Malang. Peninggalan lainnya adalah Candi Wurung

 
Bagaimana Kerajaan Kanjuruhan itu bisa berada dan berdiri di lembah antara Sungai Brantas dan Kali Metro di lereng sebelah timur Gunung Kawi, yang jauh dari jalur perdagangan pantai atau laut? Kita tentunya ingat bahwa pedalaman Pulau Jawa terkenal dengan daerah agraris, dan di daerah agraris semacam itulah muncul pusat-pusat aktivitas kelompok masyarakat yang berkembang menjadi pusat pemerintahan. Rupa-rupanya sejak awal abad masehi, agama Hindu dan Budha yang menyebar di seluruh kepulauan Indonesia bagian barat dan tengah, pada sekitar abad ke VI dan VII M sampai pula di daerah pedalaman Jawa bagian timur, antara lain Malang. Karena Malang-lah kita mendapati bukti-bukti tertua tentang adanya aktivitas pemerintahan kerajaan yang bercorak Hindu di Jawa bagian timur.
Bukti itu adalah prasasti Dinoyo yang ditulis pada tahun Saka 682 (atau kalau dijadikan tahun masehi ditambah 78 tahun, sehingga bertepatan dengan tahun 760 M). Disebutkan seorang raja yang bernama Dewa Singha, memerintah keratonnya yang amat besar yang disucikan oleh api Sang Siwa. Raja Dewa Singha mempunyai putra bernama Liswa, yang setelah memerintah menggantikan ayahnya menjadi raja bergelar Gajayana. Pada masa pemerintahan Raja Gajayana, Kerajaan Kanjuruhan berkembang pesat, baik pemerintahan, sosial, ekonomi maupun seni budayanya. Dengan sekalian para pembesar negeri dan segenap rakyatnya, Raja Gajayana membuat tempat suci pemujaan yang sangat bagus guna memuliakan Resi Agastya. Sang raja juga menyuruh membuat arca sang Resi Agastya dari batu hitam yang sangat elok, sebagai pengganti arca Resi Agastya yang dibuat dari kayu oleh nenek Raja Gajayana.

Dibawah pemerintahan Raja Gajayana, rakyat merasa aman dan terlindungi. Kekuasaan kerajaan meliputi daerah lereng timur dan barat Gunung Kawi. Ke utara hingga pesisir laut Jawa. Keamanan negeri terjamin. Tidak ada peperangan. Jarang terjadi pencurian dan perampokan, karena raja selalu bertindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku. Dengan demikian rakyat hidup aman, tenteram, dan terhindar dari malapetaka.

Raja Gajayana hanya mempunyai seorang putri, yang oleh ayahnya diberi nama Uttejana. Seorang putri kerajaan pewaris tahta Kerajaan Kanjuruhan. Ketika dewasa, ia dijodohkan dengan seorang pangeran dari Paradeh bernama Pangeran Jananiya. Akhirnya Pangeran Jananiya bersama Permaisuri Uttejana, memerintah kerajaan warisan ayahnya ketika sang Raja Gajayana mangkat. Seperti leluhur-leluhurnya, mereka berdua memerintah dengan penuh keadilan. Rakyat Kanjuruhan semakin mencintai rajanya Demikianlah, secara turun-temurun Kerajaan Kanjuruhan diperintah oleh raja-raja keturunan Raja Dewa Singha. Semua raja itu terkenal akan kebijaksanaannya, keadilan, serta kemurahan hatinya.

Pada sekitar tahun 847 Masehi, Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah diperintah oleh Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah Saladu. Raja ini terkenal adil dan bijaksana. Dibawah pemerintahannyalah Kerajaan Mataram berkembang pesat, kekuasaannya sangat besar. Ia disegani oleh raja-raja lain diseluruh Pulau Jawa. Keinginan untuk memperluas wilayah Kerajaan Mataram Kuna selalu terlaksana, baik melalui penaklukan maupun persahabatan. Kerajaan Mataram Kuna terkenal di seluruh Nusantara, bahkan sampai ke mancanegara. Wilayahnya luas, kekuasaannya besar, tentaranya kuat, dan penduduknya sangat banyak.

Perluasan Kerajaan Mataram Kuna itu sampai pula ke Pulau Jawa bagian timur. Tidak ada bukti atau tanda bahwa terjadi penaklukan dengan peperangan antara Kerajaan Mataram Kuna dengan Kerajaan Kanjuruhan. Ketika Kerajaan Mataram Kuna diperintah oleh Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung, raja Kerajaan Kanjuruhan menyumbangkan sebuah bangunan candi perwara (pengiring) di komplek Candi Prambanan yang dibangun oleh Sri Maharaja Rakai Pikatan tahun 856 M (dulu bernama “Siwa Greha”). Candi pengiring (perwara) itu ditempatkan pada deretan sebelah timur, tepatnya di sudut tenggara. Kegiatan pembangunan semacam itu merupakan suatu kebiasaan bagi raja-raja daerah kepada pemerintah pusat. Maksudnya agar hubungan kerajaan pusat dan kerajaan di daerah selalu terjalin dan bertambah erat.

Kerajaan Kanjuruhan saat itu praktis dibawah kekuasaan Kerajaan Mataram Kuna. Walaupun demikian Kerajaan Kanjuruhan tetap memerintah di daerahnya. Hanya setiap tahun harus melapor ke pemerintahan pusat. Di dalam struktur pemerintahan Kerajaan Mataram Kuna zaman Raja Balitung, raja Kerajaan Kanjuruhan lebih dikenal dengan sebutan Rakryan Kanuruhan, artinya “Penguasa daerah” di Kanuruhan. Kanuruhan sendiri rupa-rupanya perubahan bunyi dari Kanjuruhan. Karena sebagai raja daerah, maka kekuasaan seorang raja daerah tidak seluas ketika menjadi kerajaan yang berdiri sendiri seperti ketika didirikan oleh nenek moyangnya dulu. Kekuasaaan raja daerah di Kanuruhan dapat diketahui waktu itu adalah daerah lereng timur Gunung Kawi.

Kekuasaan Rakryan Kanjuruhan
Daerah kekuasaan Rakryan Kanuruhan watak Kanuruhan. Watak adalah suatu wilayah yang luas, yang membawahi berpuluh-puluh wanua (desa). Jadi mungkin daerah watak itu dapat ditentukan hampir sama setingkat kabupaten. Dengan demikian Watak Kanuruhan membawahi wanua-wanua (desa-desa) yang terhampar seluas lereng sebelah timur Gunung Kawi sampai lereng barat Pegunungan Tengger-Semeru ke selatan hingga pantai selatan Pulau Jawa.

Dari sekian data nama-nama desa (wanua) yang berada di wilayah (watak) Kanuruhan menurut sumber tertulis berupa prasasti yang ditemukan disekitar Malang adalah sebagai berikut :
1.    daerah Balingawan (sekarang Desa Mangliawan Kecamatan Pakis),
2.    daerah Turryan (sekarang Desa Turen Kecamatan Turen),
3.    daerah Tugaran (sekarang Dukuh Tegaron Kelurahan Lesanpuro),
4.    daerah Kabalon (sekarang Dukuh Kabalon Cemarakandang),
5. daerah Panawijyan (sekarang Kelurahan Palowijen Kecamatan Blimbing),
6.    daerah Bunulrejo (yang dulu bukan bernama Desa Bunulrejo pada zaman Kerajaan Kanuruhan),
7.   dan daerah-daerah di sekitar Malang barat seperti : Wurandungan (sekarang Dukuh Kelandungan – Landungsari), Karuman, Merjosari, Dinoyo, Ketawanggede, yang di dalam beberapa prasasti disebut-sebut sebagai daerah tempat gugusan kahyangan (bangunan candi) di dalam wilayah/kota Kanuruhan.
Demikianlah daerah-daerah yang menjadi wilayah kekuasaan Rakryan Kanuruhan. Dapat dikatakan mulai dari daerah Landungsari (barat), Palowijen (utara), Pakis (timur), Turen (selatan). Keistimewaan pejabat Rakryan Kanuruhan ini disamping berkuasa di daerahnya sendiri, juga menduduki jabatan penting dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno sejak zaman Raja Balitung, yaitu sebagai pejabat yang mengurusi urusan administrasi kerajaan. Jabatan ini berlangsung sampai zaman Kerajaan Majapahit. Begitulah sekilas tentang Rakryan Kanuruhan. Penguasa di daerah tetapi dapat berperan di dalam struktur pemerintahan kerajaan pusat, yang tidak pernah dilakukan oleh pejabat (Rakyan) yang lainnya, dalam sejarah Kerajaan Mataram Kuno di masa lampau.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar