Kanjuruhan (Jawa Timur)
Untuk pertama kalinya Jawa Timur muncul dalam sejarah pada tahun 760. Di desa Dinoyo Malang, ditemukan sebuah prasasti tahun 760 yang menceritakan bahwa dalam abad VIII itu ada kerajaan yang berpusat di Kanjuruhan dengan raja bernama Dewasiýha.
Ia berputera Limwa yang setelah menggantikan ayahnya menjadi raja bernama Gajayàna. Ia mendirikan sebuah tempat pemujaan untuk Åûi Agastya. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat itu di Jawa Timur sudah berkembang agama Hindu sekte Úiwa, dimana Åûi Agastya dilambangkan sebagai lambang Úiwa Mahàguru. Peresmian arca Åûi Agastya itu dilakukan dalam tahun 760, dan upacaranya dilaksanakan oleh pendeta-pendeta ahli Weda. Pada kesempatan itu raja menghadiahkan tanah, lembu dan segala apa yang diperlukan untuk melangsungkan upacara.
Ia berputera Limwa yang setelah menggantikan ayahnya menjadi raja bernama Gajayàna. Ia mendirikan sebuah tempat pemujaan untuk Åûi Agastya. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat itu di Jawa Timur sudah berkembang agama Hindu sekte Úiwa, dimana Åûi Agastya dilambangkan sebagai lambang Úiwa Mahàguru. Peresmian arca Åûi Agastya itu dilakukan dalam tahun 760, dan upacaranya dilaksanakan oleh pendeta-pendeta ahli Weda. Pada kesempatan itu raja menghadiahkan tanah, lembu dan segala apa yang diperlukan untuk melangsungkan upacara.
Pemujaan Åûi Agastya itu sekarang dikenal dengan nama Candi Badut di desa Kejuron Malang. Peninggalan
lainnya adalah Candi Wurung
Bagaimana Kerajaan
Kanjuruhan itu bisa berada dan berdiri di lembah antara Sungai Brantas dan Kali Metro
di lereng sebelah timur Gunung Kawi, yang jauh dari jalur perdagangan pantai
atau laut? Kita tentunya ingat bahwa pedalaman Pulau Jawa terkenal dengan
daerah agraris, dan di daerah agraris semacam itulah muncul pusat-pusat
aktivitas kelompok masyarakat yang berkembang menjadi pusat pemerintahan.
Rupa-rupanya sejak awal abad masehi, agama Hindu dan Budha yang menyebar di
seluruh kepulauan Indonesia bagian barat dan tengah, pada sekitar abad ke VI
dan VII M sampai pula di daerah pedalaman Jawa bagian timur, antara lain Malang. Karena
Malang-lah kita mendapati bukti-bukti tertua tentang adanya aktivitas
pemerintahan kerajaan yang bercorak Hindu di Jawa bagian timur.
Bukti itu adalah
prasasti Dinoyo yang ditulis pada tahun Saka
682 (atau kalau dijadikan tahun masehi ditambah 78 tahun, sehingga bertepatan
dengan tahun 760 M).
Disebutkan seorang raja yang bernama Dewa Singha, memerintah keratonnya yang
amat besar yang disucikan oleh api Sang Siwa. Raja Dewa Singha mempunyai putra
bernama Liswa, yang setelah memerintah menggantikan ayahnya menjadi raja
bergelar Gajayana. Pada masa pemerintahan Raja Gajayana, Kerajaan Kanjuruhan
berkembang pesat, baik pemerintahan, sosial, ekonomi maupun seni budayanya.
Dengan sekalian para pembesar negeri dan segenap rakyatnya, Raja Gajayana
membuat tempat suci pemujaan yang sangat bagus guna memuliakan Resi Agastya.
Sang raja juga menyuruh membuat arca sang Resi Agastya dari batu hitam yang
sangat elok, sebagai pengganti arca Resi Agastya yang dibuat dari kayu oleh
nenek Raja Gajayana.
Dibawah pemerintahan
Raja Gajayana, rakyat merasa aman dan terlindungi. Kekuasaan kerajaan meliputi
daerah lereng timur dan barat Gunung Kawi. Ke utara hingga pesisir laut Jawa.
Keamanan negeri terjamin. Tidak ada peperangan. Jarang terjadi pencurian dan
perampokan, karena raja selalu bertindak tegas sesuai dengan hukum yang
berlaku. Dengan demikian rakyat hidup aman, tenteram, dan terhindar dari
malapetaka.
Raja Gajayana hanya
mempunyai seorang putri, yang oleh ayahnya diberi nama Uttejana. Seorang putri
kerajaan pewaris tahta Kerajaan Kanjuruhan. Ketika dewasa, ia dijodohkan dengan
seorang pangeran dari Paradeh bernama Pangeran Jananiya. Akhirnya Pangeran
Jananiya bersama Permaisuri Uttejana, memerintah kerajaan warisan ayahnya
ketika sang Raja Gajayana mangkat. Seperti leluhur-leluhurnya, mereka berdua
memerintah dengan penuh keadilan. Rakyat Kanjuruhan semakin mencintai rajanya
Demikianlah, secara turun-temurun Kerajaan Kanjuruhan diperintah oleh raja-raja
keturunan Raja Dewa Singha. Semua raja itu terkenal akan kebijaksanaannya,
keadilan, serta kemurahan hatinya.
Pada sekitar tahun
847 Masehi, Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah diperintah oleh Sri Maharaja
Rakai Pikatan Dyah Saladu. Raja ini terkenal adil dan bijaksana. Dibawah
pemerintahannyalah Kerajaan Mataram berkembang pesat, kekuasaannya sangat
besar. Ia disegani oleh raja-raja lain diseluruh Pulau Jawa. Keinginan untuk
memperluas wilayah Kerajaan Mataram Kuna selalu terlaksana, baik melalui
penaklukan maupun persahabatan. Kerajaan Mataram Kuna terkenal di seluruh
Nusantara, bahkan sampai ke mancanegara. Wilayahnya luas, kekuasaannya besar,
tentaranya kuat, dan penduduknya sangat banyak.
Perluasan Kerajaan
Mataram Kuna itu sampai pula ke Pulau Jawa bagian timur. Tidak ada bukti atau
tanda bahwa terjadi penaklukan dengan peperangan antara Kerajaan Mataram Kuna
dengan Kerajaan Kanjuruhan. Ketika Kerajaan Mataram Kuna diperintah oleh Sri
Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung, raja Kerajaan Kanjuruhan menyumbangkan
sebuah bangunan candi perwara (pengiring) di komplek Candi Prambanan yang
dibangun oleh Sri Maharaja Rakai Pikatan tahun 856 M (dulu bernama “Siwa
Greha”). Candi pengiring (perwara) itu ditempatkan pada deretan sebelah timur,
tepatnya di sudut tenggara. Kegiatan pembangunan semacam itu merupakan suatu
kebiasaan bagi raja-raja daerah kepada pemerintah pusat. Maksudnya agar
hubungan kerajaan pusat dan kerajaan di daerah selalu terjalin dan bertambah
erat.
Kerajaan Kanjuruhan
saat itu praktis dibawah kekuasaan Kerajaan Mataram Kuna. Walaupun demikian
Kerajaan Kanjuruhan tetap memerintah di daerahnya. Hanya setiap tahun harus
melapor ke pemerintahan pusat. Di dalam struktur pemerintahan Kerajaan Mataram
Kuna zaman Raja Balitung, raja Kerajaan Kanjuruhan lebih dikenal dengan sebutan
Rakryan Kanuruhan, artinya “Penguasa daerah” di Kanuruhan. Kanuruhan sendiri rupa-rupanya
perubahan bunyi dari Kanjuruhan. Karena sebagai raja daerah, maka kekuasaan
seorang raja daerah tidak seluas ketika menjadi kerajaan yang berdiri sendiri
seperti ketika didirikan oleh nenek moyangnya dulu. Kekuasaaan raja daerah di
Kanuruhan dapat diketahui waktu itu adalah daerah lereng timur Gunung Kawi.
Kekuasaan
Rakryan Kanjuruhan
Daerah kekuasaan
Rakryan Kanuruhan watak Kanuruhan. Watak adalah suatu wilayah yang luas, yang
membawahi berpuluh-puluh wanua (desa). Jadi mungkin daerah watak itu dapat
ditentukan hampir sama setingkat kabupaten. Dengan demikian Watak Kanuruhan
membawahi wanua-wanua (desa-desa) yang terhampar seluas lereng sebelah timur
Gunung Kawi sampai lereng barat Pegunungan Tengger-Semeru ke selatan hingga
pantai selatan Pulau Jawa.
Dari sekian data
nama-nama desa (wanua) yang berada di wilayah (watak) Kanuruhan menurut sumber
tertulis berupa prasasti yang ditemukan disekitar Malang adalah sebagai berikut :
1.
daerah Balingawan (sekarang Desa Mangliawan
Kecamatan Pakis),
2.
daerah Turryan (sekarang Desa Turen
Kecamatan Turen),
3.
daerah Tugaran (sekarang Dukuh Tegaron
Kelurahan Lesanpuro),
4.
daerah Kabalon (sekarang Dukuh Kabalon
Cemarakandang),
5. daerah Panawijyan (sekarang Kelurahan
Palowijen Kecamatan Blimbing),
6.
daerah Bunulrejo (yang dulu bukan
bernama Desa Bunulrejo pada zaman Kerajaan Kanuruhan),
7. dan daerah-daerah di sekitar Malang
barat seperti :
Wurandungan (sekarang Dukuh Kelandungan – Landungsari), Karuman, Merjosari,
Dinoyo, Ketawanggede, yang di dalam beberapa prasasti disebut-sebut sebagai
daerah tempat gugusan kahyangan (bangunan candi) di dalam wilayah/kota
Kanuruhan.
Demikianlah
daerah-daerah yang menjadi wilayah kekuasaan Rakryan Kanuruhan. Dapat dikatakan
mulai dari daerah Landungsari (barat), Palowijen (utara), Pakis (timur), Turen
(selatan). Keistimewaan pejabat Rakryan Kanuruhan ini disamping berkuasa di
daerahnya sendiri, juga menduduki jabatan penting dalam pemerintahan Kerajaan
Mataram Kuno sejak zaman Raja Balitung, yaitu sebagai pejabat yang mengurusi
urusan administrasi kerajaan. Jabatan ini berlangsung sampai zaman Kerajaan
Majapahit. Begitulah sekilas tentang Rakryan Kanuruhan. Penguasa di daerah
tetapi dapat berperan di dalam struktur pemerintahan kerajaan pusat, yang tidak
pernah dilakukan oleh pejabat (Rakyan) yang lainnya, dalam sejarah Kerajaan
Mataram Kuno di masa lampau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar