Filsafat Yoga
1. Pengantar Yoga
Sembah sujud kepada Mahàrûi Úrì Patañjali yang
memberikan penjelasan tentang sistem filsafat ràja yoga, yang
mensistemisasi aliran filsafat Yoga untuk pertama kalinya, di dalam pustaka
“Yoga Sùtra” yang merupakan naskah dasarnya.
Kata Yoga berasal dari akar kata yuj yang
artinya menghubungkan; Yoga merupakan pengendalian aktivitas pikiran dan
merupakan penyatuan roh pribadi dengan roh tertinggi.
Hiraóyagarbha adalah pendiri dari sistem Yoga. Yoga yang
didirikan oleh Mahàrûi Patañjali merupakan cabang atau tambahan
dari filsafat Sàòkhya. Ia memiliki daya tarik tersendiri bagi para murid
yang memiliki temperamen mistis dan perenungan. Ia menyatakan bersifat lebih
orthodox dari pada filsafat Sàòkhya, yang secara langsung mengakui keberadaan
dari Makhluk Tertinggi (Ìúwara).
Tuhan menurut Patañjali merupakan puruûa istimewa
atau roh khusus yang tak terpengaruh oleh kemalangan kerja, hasil yang
diperoleh dan cara perolehannya. Pada-Nya merupakan batas tertinggi dari benih
kemahatahuan, yang tanpa terkondisikan oleh waktu, merupakan guru bagi para
bijak jaman dahulu. Dia bebas selamanya.
Suku kata suci OÝ merupakan simbol Tuhan. Pengulangan suku
kata OÝ dan bermeditasi pada OÝ, haruslah dilaksanakan, yang akan melepaskan
segala halangan dan akan membawa kepencapaian perwujudan Tuhan.
2. Yoga Sùtra
“Yoga Sùtra” dari Patañjali muncul sebagai buku
acuan yang tertua dari aliran filsafat Yoga, yang memiliki 4 Bab. Bab yang
pertama yaitu Samàdhi Pàda, memuat penjelasan tentang sifat dan tujuan Samàdhi.
Bab kedua yaitu Sàdhanà Pàda, menjelaskan tentang cara pencapaian tujuan
ini. Bab ketiga, yaitu Wibhùti Pàda, memberikan uraian tentang daya-daya
supra alami atau Siddhi yang dapat dicapai melalui pelaksanaan yoga. Bab
keempat yaitu Kaiwalya Pàda, menggambarkan sifat dari pembebasan.
3. Ràja Yoga dan Haþha Yoga
Yoga-nya
Patañjali merupakan Aûþàòga-Yoga atau yoga dengan delapan anggota, yang
mengandung disiplin pikiran dan tenaga fisik. Haþha Yoga membahas
tentang cara-cara mengendalikan badan dan mengatur pernafasan. Titik puncak
dari Haþha Yoga adalah Ràja Yoga. Sàdhanà yang progresif dalam Haþha
Yoga membawa pada ketrampilan Haþha Yoga. Haþha Yoga
merupakan tangga untuk mendaki menuju tahapan puncak dari Ràja Yoga.
Bila gerakan pernafasan dihentikan dengan cara Kumbhaka, pikiran menjadi
tak tertopang. Pemurnian badan dan pengendalian pernafasan merupakan tujuan
langsung dari Haþha Yoga. Ûaþ-Karma atau enam kegiatan pemurnian badan
antara lain dhautì (pembersihan perut), vastì atau bastì
(bentuk alami pembersihan usus), netì (pembersihan lubang hidung), tràþaka
(penatapan tanpa berkedip terhadap sesuatu obyek), naulì atau naulika
(pengadukan isi perut), dan kapàla-bhàtì (pelepasan lendir melalui semacam
Pràóàyàma tertentu). Badan diberikan kesehatan, kemudaan, kekuatan dan
kemantapan dengan melaksanakan àsana, bandha dan mudrà.
4. Yoga - Usaha yang systematik untuk mengendalikan
Pikiran
Yoga
merupakan satu cara disiplin yang ketat, yang memberlakukan pengetatan pada
diet, tidur, pergaulan, kebiasaan, berkata dan berpikir. Hal ini harus
dilakukan di bawah pengawasan yang cermat dari seorang yogi yang ahli dan
memancarkan sinar kepada jiwa.
Yoga
merupakan satu usaha sistematis untuk mengendalikan pikiran dan mencapai
kesempurnaan. Yoga meningkatkan daya konsentrasi, menahan tingkah laku
dan pengembaraan pikiran, dan membantu untuk mencapai keadaan supra sadar atau nirwikalpa
samàdhi. Pelaksanaan yoga melepaskan keletihan badan dan pikiran dan
melepaskan ketidakmurnian pikiran serta memantapkannya. Tujuan yoga
adalah untuk mengajarkan cara àtma pribadi dapat mencapai penyatuan yang
sempurna dengan àtma tertinggi. Penyatuan atau perpaduan dari àtma
pribadi dengan puruûa tertinggi dipengaruhi oleh wåþþi atau
pemikiran-pemikiran dari pikiran. Ini merupakan suatu keadaan yang jernihnya
seperti kristal, karena pikiran tak terwarnai oleh hubungan dengan obyek-obyek
duniawi.
5. Yoga Dan Sàòkhya
Sistem filsafat Kapila adalah Nir-Ìúwara
Sàòkhya, karena disana tak ada Ìúwara atau Tuhan. Sistem Patañjali
adalah Sa-Ìúwara Sàòkhya karena ada Ìúwara atau puruûa istimewa
di dalamnya, yang tak tersentuh oleh kemalangan, kerja, keinginan dsb. Patañjali
mendirikan sistem ini pada latar belakang metafisika dari Sàòkhya. Patañjali
menerima 25 prinsip dari Sàòkhya. Ia menerima pandangan metafisik dari
sistem Sàòkhya, tetapi lebih menekankan pada sisi praktis dari disiplin
diri guna realisasi dari penyatuan mutlak puruûa atau sang diri.
Sàòkhya merupakan satu sistem metafisika, sedangkan yoga
merupakan satu sistem disiplin praktis. Yang pertama menekankan pada
penyelidikan dan penalaran, sedang yang kedua menekankan pada konsentrasi dari
daya kehendak.
Roh pribadi dalam yoga memiliki kemerdekaan yang lebih
besar. Ia dapat mencapai pembebasan dengan bantuan Tuhan. Sàòkhya
menetapkan bahwa pengetahuan adalah cara untuk pembebasan. Yoga menganggap
bahwa konsentrasi, meditasi dan samàdhi akan membawa kepada Kaiwalya atau
kemerdekaan. Sistem Yoga menganggap bahwa proses yoga terkandung dalam
kesan-kesan dari keanekaragaman fungsi mental dan konsentrasi dari energi
mental pada puruûa yang mencerahi dirinya
6. Delapan Anggota Dalam Ràja Yoga
Ràja Yoga dikenal dengan nama Aûþàòga-Yoga atau yoga dengan
Delapan anggota, yaitu
(i) Yama, (larangan), (ii) Niyama (ketaatan),
(iii) Àsana (sikap badan), (iv) Pràóàyàma (pengendalian nafas), (v) Pratyàhara (penarikan
indriya), (vi) Dhàraóa (konsentrasi), (vii) Dhyàna (meditasi),
dan (viii) Samàdhi (keadaan supra sadar). Kelima yang pertama membentuk
anggota luar (Bahir-aòga) dari yoga, sedangkan ketiga yang terakhir
membentuk anggota dalam (Antar-aòga) dari yoga.
Pelaksanaan Yama dan Niyama membentuk
disiplin etika, yang mempersiapkan siswa-siswa yoga untuk melaksanakan yoga
yang sesungguhnya. Siswa Yoga hendaknya melaksanakan tanpa kekerasan,
kejujuran, pengendalian nafsu, tidak mencuri dan tidak menerima pemberian yang
mengantar pada kehidupan mewah; dan melaksanakan kemurnian, kepuasan,
kesederhanaan mempelajari kesucian dan berserah diri kepada Tuhan. Yang
terutama dari semuanya ini adalah tanpa kekerasan (ahiýsà), karena semua
kebajikan lainnya bersumber pada ahiýsà. Tanpa kekerasan merupakan
pemantangan dari kebencian terhadap semua makhluk hidup - di segala waktu dan
cara apa pun. Bukan hanya tanpa kekerasan tetapi juga tanpa kebencian. Yama
atau pengekangan merupakan nazar universal (mahàwrata), yang tak
terbatasi oleh golongan, tempat atau negara, waktu atau keadaan. Ia harus
dilaksanakan oleh semua orang, tak ada pengecualian terhadap prisip-prinsip
ini. Bahkan untuk membela diri melakukan pembunuhan tak dibenarkan bagi
seseorang yang sedang melaksanakan nazar tanpa kekerasan ini. Ia hendaknya
tidak membunuh musuhnya sekalipun, apabila ia melaksanakan yoga secara ketat.
8. Àsana, Pràóàyàma dan Pratyàhara
Àsana merupakan sikap badan yang mantap dan nyaman. Àsana
atau sikap badan merupakan bantuan secara fisik untuk konsentrasi. Bila
seseorang memperoleh penguasaan atas àsana, ia bebas dari gangguan
pasangan-pasangan yang berlawanan. Pràóàyàma atau pengaturan nafas
memberikan ketenangan dan kemantapan pikiran serta kesehatan yang baik. Pratyàhara
adalah pemusatan pikiran , yaitu penarikan indriya-indriya dari obyek-obyeknya.
Yama, Niyama, Àsana. pràóàyàma, dan Pratyàhara merupakan tambahan bagi
yoga.
9. Dhàraóa, Dhyàna dan Samàdhi
Dhàraóa, Dhyàna dan samàdhi merupakan 3 tahapan berturut-turut
dari proses yang sama dari konsentrasi mental dan karena itu merupakan bagian
dari keseluruhan organ. Dhàraóa adalah usaha untuk memusatkan pikiran
secara mantap pada suatu obyek. Dhyàna merupakan pemusatan yang terus
menerus tanpa henti dari pikiran terhadap obyek. Samàdhi adalah
pemusatan pikiran terhadap obyek dengan intensitas konsentrasi demikian rupa
sehingga menjadi obyek itu sendiri. Pikiran sepenuhnya bergabung dalam
penyamaan dengan obyek yang dimeditasikan.
Saýyama atau konsentrasi, meditasi dan samàdhi merupakan hal
yang sama dan satu yang memberikan suatu pengetahuan dari obyek supra alami. Siddhi
merupakan hasil sampingan dari konsentrasi yang sesungguhnya merupakan halangan
terhadap pelaksanaan samàdhi atau kebebasan.
10. Yoga Samàdhi Dan Ciri-cirinya
Dhyàna
atau meditasi memuncak dalam samàdhi. Obyek meditasi adalah Samàdhi.
Samàdhi merupakan tujuan dari disiplin yoga. Badan dan pikiran menjadi mati
sementara sedemikian rupa terhadap semua kesan-kesan luar. Hubungan dengan
dunia luar lepas. Dalam samàdhi, yogi memasuki ketenangan tertinggi yang
tak tersentuh oleh suara-suara yang tak henti-hentinya dari dunia luar. Pikiran
kehilangan fungsinya. Indriya-indriya terserap ke dalam pikiran. Bila semua
perubahan pikiran terkendalikan si pengamat yaitu puruûa, terhenti dalam
dirinya sendiri. Patañjali mengatakan hal ini dalam yoga Sùtra-nya
sebagai Swarùpa Awasthànam (kedudukan dalam diri seseorang yang
sesungguhnya).
Ada jenis atau tingkatan konsentrasi atau samàdhi,
yaitu saýprajñata atau sadar dan Asaýprajñata atau supra sadar.
Pada samprajñata samàdhi, ada obyek konsentrasi yang pasti, di situ
pikiran tetap sadar akan obyek tersebut. Sawitarka (dengan
pertimbangan), nirwitarka (tanpa pertimbangan), sawicàra (dengan
renungan), Nirwicàra (tanpa renungan), sànanda (dengan kegembiraan) dan sàsmita
(dengan arti kepribadian) adalah bentuk-bentuk dari saýprajñata samàdhi.
Dalam saýprajñata samàdhi ada kesadaran yang jernih tentang obyek yang
dimeditasikan, yang berada dengan subyek. Dalam asaýprajñata samàdhi,
perbedaan ini lenyap dan menjadi tersenden (terlampaui).
11. Kondisi Guna Berhasil Dalam Ràja Yoga
Para calon spiritual yang menginginkan untuk mencapai
perwujudan Tuhan hendaknya melaksanakan kedelapan anggota Yoga ini. Pada
penghancuran ketidak-murnian melalui pelaksanaan delapan anggota - atau tambahan
- dari Yoga, muncullah sinar kebijaksanaan yang membawa ke pengetahuan
pembedaan.
Guna mencapai Samàdhi atau penyatuan dengan Yang
Illahi, pelaksanaan Yama dan Niyama merupakan suatu keharusan.
Siswa Yoga hendaknya melaksanakan Yama dan mematuhi Niyama secara
berdampingan. Tak mungkin mencapai kesempurnaan dalam meditasi dan Samàdhi
tanpa berusaha melaksanakan Yama dan Niyama. Kamu tak dapat
mengkonsentrasikan pikiran tanpa melepaskan kepalsuan, kebohongan, kekejaman,
nafsu dsb yang berada di dalam. Tanpa konsentrasi pikiran, meditasi dan Samàdhi
tidak dapat dicapai.
12. Lima Tingkatan Mental Menurut Aliran Filsafat
Patañjali
Kûipta, Mudha, Wikûipta, Ekarga dan Nirudha, merupakan lima
tingkatan mental, menurut aliran Ràja Yoga dari Patañjali.
Tingkatan kûipta adalah pada saat pikiran mengembara diantara berbagai obyek
duniawi dan pikiran dipenuhi dengan sifat rajas. Tingkatan mudha,
pikiran berada dalam keadaan tertidur dan tak berdaya disebabkan sifat tamas.
Tingkatan wikûipta adalah keadaan pada saat sifat sattwa
melampaui, dan pikiran goyang antara meditasi dan obyektivitas. Sinar pikiran
secara perlahan berkumpul dan bergabung. Bila sifat sattwa meningkat, kamu akan
memiliki kegembiraan pikiran, pemusatan pikiran, penaklukan indriya-indriya dan
kelayakan untuk perwujudan àtman. Tingkatan ekagra adalah pada
saat pikiran terpusatkan dan terjadi meditasi yang mendalam sifat sattwa
terbebas dari sifat rajas dan tamas. Tingkatan nirudha adalah
pada saat pikiran di bawah pengendalian yang sempurna. Semua wåþþi
pikiran dilenyapkan.
Wåþþi
merupakan kegoncangan atau gejolak pikiran dalam danaunya pikiran. Setiap wåþþi
atau perubahan mental meninggalkan sesuatu saýskàra atau kesan-kesan
atau kecenderungan yang terpendam. Saýskàra ini dapat mewujudkan dirinya
sebagai keadaan sadar bila ada kesempatan. Wåþþi yang sama memperkuat
kecenderungan yang sama. Bila semua wåþþi dihentikan, pikiran berada
dalam keadaan setimbang (samapatti).
Penyakit, kelesuan, keragu-raguan, keletihan, kemalasan,
keduniawian, kesalahan pengamatan, kegagalan mencapai konsentrasi dan
ketidakmampuan ketika hal itu dicapai, merupakan halangan pokok untuk
konsentrasi.
13. Lima Kleúa Dan pelepasannya
Menurut Patañjali, awidyà (kebodohan), asmità
(keakuan), ràga-dweûa (keinginan dan anti pati, atau suka dan tidak suka) dan abhiniweúa
(ketergantungan pada kehidupan duniawi) merupakan 5 kleúa besar atau
mala petaka yang menyerang pikiran. Ada keringanan dengan cara melaksanakan yoga
terus menerus, tetapi tidak menghilangkan secara total. Mereka akan muncul
lagi pada saat mereka menemukan situasi yang menyenangkan dan menguntungkan.
Tetapi asaýprajñata samàdhi (pengalaman mutlak) menghancurkan sekaligus
benih-benih dari kejahatan ini.
Awidyà merupakan penyebab utama dari segala kesulitan.
Keakuan merupakan hasil langsung dari awidyà, yang memberi kita keinginan dan
kebencian, serta menyelubungi pandangan spiritual. Pelaksanaan yoga samàdhi
melenyapkan awidyà.
14. Kriya Yoga
Kriya-Yoga memurnikan pikiran, melunakkan 5 mala petaka dan membawa
pada keadaan samàdhi. Tapas (kesederhanaan), swadhyàya
(mempelajari dan memahami kitab suci) dan Ìúwara-praóidhàna (pemujaan
Tuhan dan penyerahan hasilnya pada Tuhan) membentuk Kriya Yoga.
Pengusahaan persahabatan (Maitrì) terhadap sesama,
kasih sayang (karuóa) terhadap yang lebih rendah, kebahagiaan (mudita)
terhadap yang lebih tinggi, dan ketidakacuhan (upekûà) terhadap
orang-orang kejam (atau dengan memandang sesuatu menyenangkan dan menyakitkan,
baik dan buruk) menghasilkan ketenangan pikiran (citta prasàda).
Seseorang dapat mencapai samàdhi melalui kepatuhan
pada Tuhan yang memberikan kebebasan. Dengan Ìúwara-praóidhàna, siswa yoga
memperoleh karunia Tuhan.
15. Abhyàsa dan Wairàgya
Abhyàsa (pelaksanaan) dan wairàgya (kesabaran, tanpa
keterikatan membantu dalam pemantapan dan pengendalian pikiran. Pikiran
hendaknya ditarik berkali-kali dan dibawa kepusat meditasi, apabila ia mengarah
keluar menuju obyek duniawi. Ini merupakan abhyàsa yoga. Pelaksanaan
menjadi mantap dan terpusatkan, apabila secara terus menerus selama beberapa
waktu tanpa selang waktu dan dengan penuh ketaatan.
Pikiran merupakan sebuah berkas Tåûóa (kerinduan).
Pelaksanaan Wairàgya akan menghancurkan segala Tåûóa. Wairàgya
memutar pikiran menjauhi obyek-obyek. Ia tidak mengijinkan pikiran untuk
mengarah keluar (kegiatan Bahirmukha dari pikiran), tetapi
mengarahkannya ke kegiatan antar-mukha (mengarah ke dalam)
16. Kaiwalya Atau Pembebasan Mutlak
Tujuan kehidupan adalah keterpisahan
mutlak dari puruûa terhadap prakåti. Kebebasan dalam yoga merupakan
kaiwalya atau kemerdekaan mutlak. Roh terbebas dari belenggu prakåti. Puruûa
berada dalam wujud yang sebenarnya atau swarùpa. Bila roh mewujudkan
bahwa hal itu adalah kemerdekaan secara mutlak dan bahwa ia tak tergantung pada
sesuatu apa pun di dunia ini, kaiwalya atau Pemisahan tercapai. Roh telah
melepaskan awidyà melalui pengetahuan pembedaan (wiwekakhyàti).
Lima kleúa atau mala petaka terbakar oleh apinya Pengetahuan. Sang diri tak
terjamah oleh kondisi dari citta. Guóa seluruhnya terhenti dan sang din
berdiam pada intisari Tuhan sendiri. Walaupun seorang menjadi seorang mukta
(roh bebas), prakåti dan -perubah-perubahannya tetap ada bagi orang
lainnya. Hal ini, dalam perjanjian dengan sistem filsafat sàòkhya,
dipegang oleh sistem yoga ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar