Kamis, 14 Juni 2012

Filsafat Yoga

Filsafat Yoga



1. Pengantar Yoga
Sembah sujud kepada Mahàrûi Úrì Patañjali yang memberikan penjelasan tentang sistem filsafat ràja yoga, yang mensistemisasi aliran filsafat Yoga untuk pertama kalinya, di dalam pustaka “Yoga Sùtra” yang merupakan naskah dasarnya.

Kata Yoga berasal dari akar kata yuj yang artinya menghubungkan; Yoga merupakan pengendalian aktivitas pikiran dan merupakan penyatuan roh pribadi dengan roh tertinggi.
Hiraóyagarbha adalah pendiri dari sistem Yoga. Yoga yang didirikan oleh Mahàrûi Patañjali merupakan cabang atau tambahan dari filsafat Sàòkhya. Ia memiliki daya tarik tersendiri bagi para murid yang memiliki temperamen mistis dan perenungan. Ia menyatakan bersifat lebih orthodox dari pada filsafat Sàòkhya, yang secara langsung mengakui keberadaan dari Makhluk Tertinggi (Ìúwara).
Tuhan menurut Patañjali merupakan puruûa istimewa atau roh khusus yang tak terpengaruh oleh kemalangan kerja, hasil yang diperoleh dan cara perolehannya. Pada-Nya merupakan batas tertinggi dari benih kemahatahuan, yang tanpa terkondisikan oleh waktu, merupakan guru bagi para bijak jaman dahulu. Dia bebas selamanya.
Suku kata suci OÝ merupakan simbol Tuhan. Pengulangan suku kata OÝ dan bermeditasi pada OÝ, haruslah dilaksanakan, yang akan melepaskan segala halangan dan akan membawa kepencapaian perwujudan Tuhan.

2. Yoga Sùtra
“Yoga Sùtra” dari Patañjali muncul sebagai buku acuan yang tertua dari aliran filsafat Yoga, yang memiliki 4 Bab. Bab yang pertama yaitu Samàdhi Pàda, memuat penjelasan tentang sifat dan tujuan Samàdhi. Bab kedua yaitu Sàdhanà Pàda, menjelaskan tentang cara pencapaian tujuan ini. Bab ketiga, yaitu Wibhùti Pàda, memberikan uraian tentang daya-daya supra alami atau Siddhi yang dapat dicapai melalui pelaksanaan yoga. Bab keempat yaitu Kaiwalya Pàda, menggambarkan sifat dari pembebasan.

3. Ràja Yoga dan Haþha Yoga
Yoga-nya Patañjali merupakan Aûþàòga-Yoga atau yoga dengan delapan anggota, yang mengandung disiplin pikiran dan tenaga fisik. Haþha Yoga membahas tentang cara-cara mengendalikan badan dan mengatur pernafasan. Titik puncak dari Haþha Yoga adalah Ràja Yoga. Sàdhanà yang progresif dalam Haþha Yoga membawa pada ketrampilan Haþha Yoga. Haþha Yoga merupakan tangga untuk mendaki menuju tahapan puncak dari Ràja Yoga. Bila gerakan pernafasan dihentikan dengan cara Kumbhaka, pikiran menjadi tak tertopang. Pemurnian badan dan pengendalian pernafasan merupakan tujuan langsung dari Haþha Yoga. Ûaþ-Karma atau enam kegiatan pemurnian badan antara lain dhautì (pembersihan perut), vastì atau bastì (bentuk alami pembersihan usus), netì (pembersihan lubang hidung), tràþaka (penatapan tanpa berkedip terhadap sesuatu obyek), naulì atau naulika (pengadukan isi perut), dan kapàla-bhàtì (pelepasan lendir melalui semacam Pràóàyàma tertentu). Badan diberikan kesehatan, kemudaan, kekuatan dan kemantapan dengan melaksanakan àsana, bandha dan mudrà.

4. Yoga - Usaha yang systematik untuk mengendalikan Pikiran
Yoga merupakan satu cara disiplin yang ketat, yang memberlakukan pengetatan pada diet, tidur, pergaulan, kebiasaan, berkata dan berpikir. Hal ini harus dilakukan di bawah pengawasan yang cermat dari seorang yogi yang ahli dan memancarkan sinar kepada jiwa.
Yoga merupakan satu usaha sistematis untuk mengendalikan pikiran dan mencapai kesempurnaan. Yoga meningkatkan daya konsentrasi, menahan tingkah laku dan pengembaraan pikiran, dan membantu untuk mencapai keadaan supra sadar atau nirwikalpa samàdhi. Pelaksanaan yoga melepaskan keletihan badan dan pikiran dan melepaskan ketidakmurnian pikiran serta memantapkannya. Tujuan yoga adalah untuk mengajarkan cara àtma pribadi dapat mencapai penyatuan yang sempurna dengan àtma tertinggi. Penyatuan atau perpaduan dari àtma pribadi dengan puruûa tertinggi dipengaruhi oleh wåþþi atau pemikiran-pemikiran dari pikiran. Ini merupakan suatu keadaan yang jernihnya seperti kristal, karena pikiran tak terwarnai oleh hubungan dengan obyek-obyek duniawi.

5. Yoga Dan Sàòkhya
Sistem filsafat Kapila adalah Nir-Ìúwara Sàòkhya, karena disana tak ada Ìúwara atau Tuhan. Sistem Patañjali adalah Sa-Ìúwara Sàòkhya karena ada Ìúwara atau puruûa istimewa di dalamnya, yang tak tersentuh oleh kemalangan, kerja, keinginan dsb. Patañjali mendirikan sistem ini pada latar belakang metafisika dari Sàòkhya. Patañjali menerima 25 prinsip dari Sàòkhya. Ia menerima pandangan metafisik dari sistem Sàòkhya, tetapi lebih menekankan pada sisi praktis dari disiplin diri guna realisasi dari penyatuan mutlak puruûa atau sang diri.
Sàòkhya merupakan satu sistem metafisika, sedangkan yoga merupakan satu sistem disiplin praktis. Yang pertama menekankan pada penyelidikan dan penalaran, sedang yang kedua menekankan pada konsentrasi dari daya kehendak.
Roh pribadi dalam yoga memiliki kemerdekaan yang lebih besar. Ia dapat mencapai pembebasan dengan bantuan Tuhan. Sàòkhya menetapkan bahwa pengetahuan adalah cara untuk pembebasan. Yoga menganggap bahwa konsentrasi, meditasi dan samàdhi akan membawa kepada Kaiwalya atau kemerdekaan. Sistem Yoga menganggap bahwa proses yoga terkandung dalam kesan-kesan dari keanekaragaman fungsi mental dan konsentrasi dari energi mental pada puruûa yang mencerahi dirinya

6. Delapan Anggota Dalam Ràja Yoga
Ràja Yoga dikenal dengan nama Aûþàòga-Yoga atau yoga dengan Delapan anggota, yaitu
(i) Yama, (larangan), (ii) Niyama (ketaatan), (iii) Àsana (sikap badan), (iv) Pràóàyàma (pengendalian nafas), (v) Pratyàhara (penarikan indriya), (vi) Dhàraóa (konsentrasi), (vii) Dhyàna (meditasi), dan (viii) Samàdhi (keadaan supra sadar). Kelima yang pertama membentuk anggota luar (Bahir-aòga) dari yoga, sedangkan ketiga yang terakhir membentuk anggota dalam (Antar-aòga) dari yoga.

7. Yama dan Niyama
Pelaksanaan Yama dan Niyama membentuk disiplin etika, yang mempersiapkan siswa-siswa yoga untuk melaksanakan yoga yang sesungguhnya. Siswa Yoga hendaknya melaksanakan tanpa kekerasan, kejujuran, pengendalian nafsu, tidak mencuri dan tidak menerima pemberian yang mengantar pada kehidupan mewah; dan melaksanakan kemurnian, kepuasan, kesederhanaan mempelajari kesucian dan berserah diri kepada Tuhan. Yang terutama dari semuanya ini adalah tanpa kekerasan (ahiýsà), karena semua kebajikan lainnya bersumber pada ahiýsà. Tanpa kekerasan merupakan pemantangan dari kebencian terhadap semua makhluk hidup - di segala waktu dan cara apa pun. Bukan hanya tanpa kekerasan tetapi juga tanpa kebencian. Yama atau pengekangan merupakan nazar universal (mahàwrata), yang tak terbatasi oleh golongan, tempat atau negara, waktu atau keadaan. Ia harus dilaksanakan oleh semua orang, tak ada pengecualian terhadap prisip-prinsip ini. Bahkan untuk membela diri melakukan pembunuhan tak dibenarkan bagi seseorang yang sedang melaksanakan nazar tanpa kekerasan ini. Ia hendaknya tidak membunuh musuhnya sekalipun, apabila ia melaksanakan yoga secara ketat.

8. Àsana, Pràóàyàma dan Pratyàhara
Àsana merupakan sikap badan yang mantap dan nyaman. Àsana atau sikap badan merupakan bantuan secara fisik untuk konsentrasi. Bila seseorang memperoleh penguasaan atas àsana, ia bebas dari gangguan pasangan-pasangan yang berlawanan. Pràóàyàma atau pengaturan nafas memberikan ketenangan dan kemantapan pikiran serta kesehatan yang baik. Pratyàhara adalah pemusatan pikiran , yaitu penarikan indriya-indriya dari obyek-obyeknya. Yama, Niyama, Àsana. pràóàyàma, dan Pratyàhara merupakan tambahan bagi yoga.

9. Dhàraóa, Dhyàna dan Samàdhi
Dhàraóa, Dhyàna dan samàdhi merupakan 3 tahapan berturut-turut dari proses yang sama dari konsentrasi mental dan karena itu merupakan bagian dari keseluruhan organ. Dhàraóa adalah usaha untuk memusatkan pikiran secara mantap pada suatu obyek. Dhyàna merupakan pemusatan yang terus menerus tanpa henti dari pikiran terhadap obyek. Samàdhi adalah pemusatan pikiran terhadap obyek dengan intensitas konsentrasi demikian rupa sehingga menjadi obyek itu sendiri. Pikiran sepenuhnya bergabung dalam penyamaan dengan obyek yang dimeditasikan.
Saýyama atau konsentrasi, meditasi dan samàdhi merupakan hal yang sama dan satu yang memberikan suatu pengetahuan dari obyek supra alami. Siddhi merupakan hasil sampingan dari konsentrasi yang sesungguhnya merupakan halangan terhadap pelaksanaan samàdhi atau kebebasan.

10. Yoga Samàdhi Dan Ciri-cirinya
Dhyàna atau meditasi memuncak dalam samàdhi. Obyek meditasi adalah Samàdhi. Samàdhi merupakan tujuan dari disiplin yoga. Badan dan pikiran menjadi mati sementara sedemikian rupa terhadap semua kesan-kesan luar. Hubungan dengan dunia luar lepas. Dalam samàdhi, yogi memasuki ketenangan tertinggi yang tak tersentuh oleh suara-suara yang tak henti-hentinya dari dunia luar. Pikiran kehilangan fungsinya. Indriya-indriya terserap ke dalam pikiran. Bila semua perubahan pikiran terkendalikan si pengamat yaitu puruûa, terhenti dalam dirinya sendiri. Patañjali mengatakan hal ini dalam yoga Sùtra-nya sebagai Swarùpa Awasthànam (kedudukan dalam diri seseorang yang sesungguhnya).
Ada jenis atau tingkatan konsentrasi atau samàdhi, yaitu saýprajñata atau sadar dan Asaýprajñata atau supra sadar. Pada samprajñata samàdhi, ada obyek konsentrasi yang pasti, di situ pikiran tetap sadar akan obyek tersebut. Sawitarka (dengan pertimbangan), nirwitarka (tanpa pertimbangan), sawicàra (dengan renungan), Nirwicàra (tanpa renungan), sànanda (dengan kegembiraan) dan sàsmita (dengan arti kepribadian) adalah bentuk-bentuk dari saýprajñata samàdhi. Dalam saýprajñata samàdhi ada kesadaran yang jernih tentang obyek yang dimeditasikan, yang berada dengan subyek. Dalam asaýprajñata samàdhi, perbedaan ini lenyap dan menjadi tersenden (terlampaui).

11. Kondisi Guna Berhasil Dalam Ràja Yoga
Para calon spiritual yang menginginkan untuk mencapai perwujudan Tuhan hendaknya melaksanakan kedelapan anggota Yoga ini. Pada penghancuran ketidak-murnian melalui pelaksanaan delapan anggota - atau tambahan - dari Yoga, muncullah sinar kebijaksanaan yang membawa ke pengetahuan pembedaan.
Guna mencapai Samàdhi atau penyatuan dengan Yang Illahi, pelaksanaan Yama dan Niyama merupakan suatu keharusan. Siswa Yoga hendaknya melaksanakan Yama dan mematuhi Niyama secara berdampingan. Tak mungkin mencapai kesempurnaan dalam meditasi dan Samàdhi tanpa berusaha melaksanakan Yama dan Niyama. Kamu tak dapat mengkonsentrasikan pikiran tanpa melepaskan kepalsuan, kebohongan, kekejaman, nafsu dsb yang berada di dalam. Tanpa konsentrasi pikiran, meditasi dan Samàdhi tidak dapat dicapai.

12. Lima Tingkatan Mental Menurut Aliran Filsafat Patañjali
Kûipta, Mudha, Wikûipta, Ekarga dan Nirudha, merupakan lima tingkatan mental, menurut aliran Ràja Yoga dari Patañjali. Tingkatan kûipta adalah pada saat pikiran mengembara diantara berbagai obyek duniawi dan pikiran dipenuhi dengan sifat rajas. Tingkatan mudha, pikiran berada dalam keadaan tertidur dan tak berdaya disebabkan sifat tamas. Tingkatan wikûipta adalah keadaan pada saat sifat sattwa melampaui, dan pikiran goyang antara meditasi dan obyektivitas. Sinar pikiran secara perlahan berkumpul dan bergabung. Bila sifat sattwa meningkat, kamu akan memiliki kegembiraan pikiran, pemusatan pikiran, penaklukan indriya-indriya dan kelayakan untuk perwujudan àtman. Tingkatan ekagra adalah pada saat pikiran terpusatkan dan terjadi meditasi yang mendalam sifat sattwa terbebas dari sifat rajas dan tamas. Tingkatan nirudha adalah pada saat pikiran di bawah pengendalian yang sempurna. Semua wåþþi pikiran dilenyapkan.
Wåþþi merupakan kegoncangan atau gejolak pikiran dalam danaunya pikiran. Setiap wåþþi atau perubahan mental meninggalkan sesuatu saýskàra atau kesan-kesan atau kecenderungan yang terpendam. Saýskàra ini dapat mewujudkan dirinya sebagai keadaan sadar bila ada kesempatan. Wåþþi yang sama memperkuat kecenderungan yang sama. Bila semua wåþþi dihentikan, pikiran berada dalam keadaan setimbang (samapatti).
Penyakit, kelesuan, keragu-raguan, keletihan, kemalasan, keduniawian, kesalahan pengamatan, kegagalan mencapai konsentrasi dan ketidakmampuan ketika hal itu dicapai, merupakan halangan pokok untuk konsentrasi.

13. Lima Kleúa Dan pelepasannya
Menurut Patañjali, awidyà (kebodohan), asmità (keakuan), ràga-dweûa (keinginan dan anti pati, atau suka dan tidak suka) dan abhiniweúa (ketergantungan pada kehidupan duniawi) merupakan 5 kleúa besar atau mala petaka yang menyerang pikiran. Ada keringanan dengan cara melaksanakan yoga terus menerus, tetapi tidak menghilangkan secara total. Mereka akan muncul lagi pada saat mereka menemukan situasi yang menyenangkan dan menguntungkan. Tetapi asaýprajñata samàdhi (pengalaman mutlak) menghancurkan sekaligus benih-benih dari kejahatan ini.
Awidyà merupakan penyebab utama dari segala kesulitan. Keakuan merupakan hasil langsung dari awidyà, yang memberi kita keinginan dan kebencian, serta menyelubungi pandangan spiritual. Pelaksanaan yoga samàdhi melenyapkan awidyà.

14. Kriya Yoga
Kriya-Yoga memurnikan pikiran, melunakkan 5 mala petaka dan membawa pada keadaan samàdhi. Tapas (kesederhanaan), swadhyàya (mempelajari dan memahami kitab suci) dan Ìúwara-praóidhàna (pemujaan Tuhan dan penyerahan hasilnya pada Tuhan) membentuk Kriya Yoga.
Pengusahaan persahabatan (Maitrì) terhadap sesama, kasih sayang (karuóa) terhadap yang lebih rendah, kebahagiaan (mudita) terhadap yang lebih tinggi, dan ketidakacuhan (upekûà) terhadap orang-orang kejam (atau dengan memandang sesuatu menyenangkan dan menyakitkan, baik dan buruk) menghasilkan ketenangan pikiran (citta prasàda).
Seseorang dapat mencapai samàdhi melalui kepatuhan pada Tuhan yang memberikan kebebasan. Dengan Ìúwara-praóidhàna, siswa yoga memperoleh karunia Tuhan.

15. Abhyàsa dan Wairàgya
Abhyàsa (pelaksanaan) dan wairàgya (kesabaran, tanpa keterikatan membantu dalam pemantapan dan pengendalian pikiran. Pikiran hendaknya ditarik berkali-kali dan dibawa kepusat meditasi, apabila ia mengarah keluar menuju obyek duniawi. Ini merupakan abhyàsa yoga. Pelaksanaan menjadi mantap dan terpusatkan, apabila secara terus menerus selama beberapa waktu tanpa selang waktu dan dengan penuh ketaatan.
Pikiran merupakan sebuah berkas Tåûóa (kerinduan). Pelaksanaan Wairàgya akan menghancurkan segala Tåûóa. Wairàgya memutar pikiran menjauhi obyek-obyek. Ia tidak mengijinkan pikiran untuk mengarah keluar (kegiatan Bahirmukha dari pikiran), tetapi mengarahkannya ke kegiatan antar-mukha (mengarah ke dalam)

16. Kaiwalya Atau Pembebasan Mutlak
Tujuan kehidupan adalah keterpisahan mutlak dari puruûa terhadap prakåti. Kebebasan dalam yoga merupakan kaiwalya atau kemerdekaan mutlak. Roh terbebas dari belenggu prakåti. Puruûa berada dalam wujud yang sebenarnya atau swarùpa. Bila roh mewujudkan bahwa hal itu adalah kemerdekaan secara mutlak dan bahwa ia tak tergantung pada sesuatu apa pun di dunia ini, kaiwalya atau Pemisahan tercapai. Roh telah melepaskan awidyà melalui pengetahuan pembedaan (wiwekakhyàti). Lima kleúa atau mala petaka terbakar oleh apinya Pengetahuan. Sang diri tak terjamah oleh kondisi dari citta. Guóa seluruhnya terhenti dan sang din berdiam pada intisari Tuhan sendiri. Walaupun seorang menjadi seorang mukta (roh bebas), prakåti dan -perubah-perubahannya tetap ada bagi orang lainnya. Hal ini, dalam perjanjian dengan sistem filsafat sàòkhya, dipegang oleh sistem yoga ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar