Rabu, 20 Juni 2012

Evolusi Jìwa (Pengantar)

Evolusi Jìwa (Pengantar)

Jìwa atau jiwa secara umum dianggap sebagai sesuatu materi halus yang dapat berubah sesuai dengan kondisi lingkungan yang ditempatinya; bahkan juga dapat sakit atau pun musnah. Dalam kehidupan material sehari-hari kita hampir-hampir tak pernah merenungkan keberadaannya di alam semesta, dalam segala hal yang dapat kita saksikan di sekeliling kita.

Kalau kita tengok sejarah perkembangan planet bumi yang kita diami ini, maka kita akan dapat mengetahui evolusi ciptaan yang berkembang selama jutaan tahun manusia, demikian pula halnya dengan perkembangan jìwa yang mendiami planet-planet lain dalam tata surya kita ini, bahkan juga pada miljardan galaksi lain di alam semesta raya ini. Beberapa spesies makhluk menghilang dan beberapa spesies baru bermunculan yang menandakan terjadinya evolusi makhluk baru yang sebelumnya tak dikenal. 

Dalam bidang jìwani, faktor waktu ruang dan penyebab, semuanya itu tidak berarti sama sekali; bahkan dalam bidang materi hal itu hanyalah bersifat relatif saja. Demikian pula pada masing-masing planet atau galaksi memiliki ukuran waktu, ruang dan penyebab yang berbeda-beda sesuai dengan komposisi materi atau unsur pembentuknya yang paling dominan. Badan-badan fisik yang dikenakan sang jìwa dalam menjalani evolusinya juga tergantung pada unsur utama pembentuk planet atau galaksinya. 

Dengan demikian, kalau kita berbicara masalah evolusi jìwa secara jìwani, sebenarnya kita tak dapat mengatakan apa-apa, karena segala penyifatan dan pembahasan yang menyangkut masalah jìwa, sama saja dengan membatasi ketakterbatasan jìwa itu sendiri pada tingkatan yang lebih rendah; bahkan Weda sendiri tak mampu melukiskannya dengan kata-kata, karena ia tak terlukiskan, tak tergambarkan, tak ternyatakan, tak terpikirkan dan lain sebagainya, yang secara populer dinyatakan dengan istilah neti-neti - bukan ini bukan ini. 

Tetapi, demi untuk dapat memahami melalui pendekatan jìwani, maka dalam pembahasan ini, segala permasalahannya adalah bersifat relatif saja, sesuai dengan visi yang dipergunakan dalam cara memandangnya. Untuk itu, dalam upaya untuk memahami permasalahan yang diketengahkan dalam pembahasan ini, diperlukan dasar-dasar pemahaman yang kritis, bukan dasar pemahaman dogmatis yang akan banyak menimbulkan pertengkaran yang tiada guna. 

Sebagian besar umat manusia dipermukaan bumi ini dalam menjalani kehidupannya berusaha keras untuk tetap dapat mempertahankan kelangsungan hidup, bahkan berusaha untuk dapat memperpanjang usia kehidupannya dengan berbagai macam cara. Mereka sangat ngeri membayangkan datangnya kematian yang mengakhiri kehidupan mereka, dan sebagian besar menganggap bahwa kematian merupakan akhir dari segala-galanya. Sebagian besar dari mereka mungkin juga belum pernah membayangkan asal keberadaan mereka di dunia ini. Yang mereka pahami hanya bahwa mereka diciptakan oleh Tuhan, dan nasib mereka ditentukan oleh-Nya, titik.

Bahkan mereka juga tidak perduli kemana jìwa mereka pergi setelah kematian badan kasar ini. Mereka hanya perduli bahwa kehidupan yang sekali ini harus dimanfaatkan untuk meraih segala cita-cita, kebahagiaan, kemakmuran, kenikmatan, kegembiraan dan lain sebagainya semacam itu. Bahkan ada kelompok kepercayaan yang sama sekali tidak mengakui adanya Tuhan sebagai pencipta semuanya ini, dengan asumsi bahwa keberadaan ini muncul dengan sendirinya akibat penggabungan atom-atom dari berbagai jenis materi yang akhirnya memunculkan adanya sang jìwa. 

Bahkan mereka tidak mengakui adanya unsur jìwani yang menjadi sifat sang jìwa itu sendiri. Semuanya ini mereka nyatakan berdasarkan penyelidikan indra-indra kasar yang serba tidak sempurna ini, sehingga mereka dengan lantang menyatakan bahwa keberadaan Tuhan atau pun jìwa tak dapat dibuktikan sama sekali. Pembicaraan masalah Tuhan dan jìwa merupakan pembicaraan kosong yang tak menghasilkan apa pun. 

Mungkin dalam situasi tenang dan damai hal ini tidak begitu menyita perhatian mereka; tetapi manakala bencana datang menerpa secara bertubi-tubi; manakala penderitaan yang berkepanjangan sudah tak tertahankan lagi, di mana segala usaha yang dilakukan tak membuahkan hasil sama sekali. Pada saat itulah mereka mungkin akan teringat dengan sesuatu yang menyebabkan mereka ada dan hidup di dunia sekarang ini; dan sesuatu itu adalah Tuhan.

Dalam kepustakaan Weda, pada bagian yang disebut vedànta, dinyatakan bahwa Tuhan itu hanya satu tiada duanya dan meliputi segalanya. Alam semesta luas tak-terbatas ini merupakan manifestasi kasar dari pada-Nya; sehingga makhluk hidup yang merupakan bagian dari alam semesta tersebut juga merupakan manifestasi kasar dari pada-Nya. 

Menurut ilmu pengetahuan material, alam semesta dengan sejumlah galaksi yang tak terhitung banyaknya dan pada setiap galaksi tersusun atas milyaran planet beserta satelit dan meteor-meteornya, terbentuk secara evolusi yang memerlukan waktu jutaan bahkan milyaran tahun manusia, bahkan hingga sekarang ini masih ada planet-planet dan galaksi-galaksi baru yang masih dalam taraf pembentukannya; sehingga untuk membayangkan hal ini saja pikiran pun tak mampu untuk menjangkaunya. 

Dari penyelidikan para ahli purbakala tentang adanya kehidupan di bumi ini saja mereka hanya dapat memperkirakan berdasarkan bukti-bukti penemuan mereka dalam bidang arkeologi untuk menentukan usia makhluk hidup pertama yang mendiami bumi kita ini. Tetapi mereka tak pernah menyelidiki kesaling terkaitan antara satu spesies dengan spesies lainnya secara ilmiah. Mereka hanya mencari rangkaian hilang yang menghubungkan evolusi manusia purba dengan manusia modern sekarang ini, sesuai dengan yang dinyatakan oleh ilmuwan Charles Darwin

Mereka sama sekali belum menyentuh evolusi sang jìwa yang menjadikan sesosok makhluk itu memiliki kesadaran, emosi, kecerdasan dan lain sebagainya. Bahkan dalam bidang kesadaran itu sendiri, para ilmuwan hanya mengarahkan penyelidikannya pada wilayah kesadaran jaga, sedikit pada wilayah mimpi dan sama sekali belum menyentuh kesadaran tidur lelap, apalagi sampai menyentuh bidang kesadaran keempat.

Menurut pernyataan para ahli, perkembangan badan fisik dalam satu jenis penjelmaan sebagai manusia, mulai masa kanak-kanak hingga masa tua, mengalami pembaharuan sel setiap tujuh tahun sekali, sehingga dalam satu masa kehidupan saja manusia telah mengalami perubahan badan fisik beberapa kali. 

Para bijak jaman dahulu telah memberitahukan kepada kita bahwa tujuan kehidupan sebagai manusia adalah untuk membebaskan diri dari siklus penjelmaan kembali yang berulang-ulang, di mana sang jìwa menurut identifikasinya dengan alam material telah mengenakan salah satu dari 8.400.000 wujud kehidupan dan berevolusi dari bentuk yang lebih rendah menuju bentuk yang lebih tinggi sampai mengenakan wujud manusia. 

Secara keseluruhan makhluk hidup terperangkap dalam peredaran kelahiran dan kematian berulang-ulang, yang mengingatkan kita pada legenda pahlawan Yunani Sisyphus, raja Corinth yang pernah berusaha menipu para dewa, tetapi gagal dan dijatuhi hukuman yang membuatnya tak akan pernah menang. 

Hukumannya adalah mengulingkan batu besar menuju puncak bukit, tetapi setiap kali batu itu sampai di puncak ia akan menggelinding jatuh, dan Sisyphus harus mengulangi lagi tugasnya tanpa henti selama-lamanya. Demikian pula dengan perjuangan makhluk hidup untuk melepaskan diri dari kehidupan dunia materialnya yang membelenggu, membuatnya lupa dengan keberadaan sejatinya yang penuh kebahagiaan dan penuh pengetahuan kecerdasan.

 Weda sendiri menyatakan, ahaý brahmàsmi - aku adalah jìwa yang murni. Secara umum menyatakan bahwa aku adalah badan yang bernyawa (memiliki jìwa); tetapi filsafat Weda menyatakan, aku adalah jìwa yang memiliki badan jasmani. Bertitik tolak dari pernyataan ini maka kita lebih cenderung mengakui bahwa kita adalah jìwa yang mengenakan pembungkus badan material yang bersifat fana, sesuai dengan karma masing-masing individu dalam peredaran kelahiran dan kematian berulangkali. 

Berbagai pandangan filsafat berusaha untuk menjelaskan keberadaan jìwa tunggal yang meresapi (menyusupi) segala sesuatu yang ada di alam semesta raya ini, sehingga akibat dari perlengkapan upàdhi (keterbatasan) yang menyelimutinya, sang jìwa mengidentifikasikan diri-Nya dengan pembatas tersebut. Karenanya, timbullah berbagai jenis keberadaan yang beraneka ragam wujud dan namanya, dengan gradasi kecerdasan dan kesadaran yang beraneka ragam pula.

Dalam rangka mencari identitas sejati dari sang jìwa itu sendirilah maka terjadi evolusi transmigrasi yang membawanya berputar dari satu kelahiran ke kelahiran lain, sampai kembali pada sumber utamanya. Dalam buku ini diuraikan secara ringkas evolusi sang jìwa dalam petualangannya menikmati kehidupan material dari tingkat keberadaan yang sangat sederhana hingga pencapaian kesadaran sejatinya sebagai bagian integral dari segenap keberadaan ini.


Posting terkait:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar