Rabu, 20 Juni 2012

Evolusi Jìwa (Avàtara)

Avatàra


Setiap kali kita berkumpul untuk mempelajari kesunyataan, akan kita sadari betapa luas ruang lingkup pokok permasalahan ini. Betapa kecil dan tak berdayanya keberadaan pembahas di hadapan ketakterbatasan alam semesta dan betapa hebat bentang cakrawala yang terbabar dihadapan kita dan betapa terbatasnya untaian kata-kata yang mencoba untuk menggambarkannya. 

Setiap kali kita berusaha untuk mencoba memahami dan mendalami misteri mahabesar dari kehidupan dan pribadi-pribadi, yang merupakan satu-satunya pokok permasalahan yang benar-benar bernilai bagi pemikiran umat manusia secara mendalam, semakin terkagum-kagum kita akan kemaha agungan Tuhan. Segala hal lain yang bersifat sementara, yang dapat hancur, yang hanya bersifat permainan sekejap, ketenaran dan kekuasaan, kesejahteraan dan pengetahuan, segala yang ada di dunia rendah ini bukan apa-apa dibandingkan dengan kebesaran Pribadi Abadi di alam semesta dan dalam segala makhluk, Yang Tunggal dalam manifestasi-Nya yang banyak. 

Menakjubkan dan indah dalam setiap bentuk yang di tampilkan-Nya; dan dari segala manifestasi Yang Mahaluhur ini kita memberanikan diri untuk mempelajari sesuatu yang merupakan rangkaian agung, yaitu perwujudan Tuhan di dunia ini. Dia muncul sebagai Tuhan yang datang menolong makhluk-Nya, yang memancar dalam sifat sejati-Nya di mana wujud itu hanyalah tabir tipis yang nyaris menutupi mata kita dari ke Ilahian-Nya.

Bagaimana kita akan memberanikan diri untuk mendekati-Nya? Bagaimana kita akan memberanikan diri untuk mempelajari-Nya kecuali dengan rasa hormat dan kerendahan hati yang mendalam ?

Kita berselisih tentang banyak hal kecil, manusia berbeda pendapat tentang banyak permasalahan, tetapi di sana seharusnya senantiasa terdapat kebenaran jìwaniah. Dalam setiap agama di jaman modern sekarang ini, kasunyataan tersebut terkelupas dari proporsi sesungguhnya. 

Hanya dengan kecerdasan saja tak dapat memahami aspek kasunyataan tunggal yang banyak itu. Begitulah kita menjelajahi sekolah demi sekolah, filsafat demi filsafat, yang masing-masing mengemukakan satu aspek kasunyataan dan menolak aspek-aspek lain, bahkan menyalahkannya, walaupun sama-sama benarnya. Dan ini belum keseluruhannya. 

Sejalan dengan berlalunya waktu, di mana kita hidup menghabiskan berabad-abad waktu yang berlalu, sejak dari ribuan tahun bahkan jutaan tahun menuju ribuan dan jutaan tahun ke depan, ilmu pengetahuan jìwani semakin sayup-sayup sampai. 

Wawasan jìwani semakin berkurang dan semakin terselubungi inti material dengan cap spiritual. Orang yang meniru-niru, jumlahnya jauh lebih banyak dari orang yang tahu. Nabi yang muncul dari waktu ke waktu bersama sabda jìwaninya, menyampaikan kebenaran lama dengan cara baru. Tetapi, orang-orang yang silau oleh cahaya jìwani mengatakan mereka sebagai pembawa ajaran sesat atau menuduhnya pembangkang, padahal mereka menyampaikan kebenaran yang selama ini telah redup oleh berlalunya waktu. 

Jutaan tahun bumi kita ini tercipta dan mungkin jutaan tahun lagi yang akan dilewatinya hingga sampai pada pemusnahannya. Sejak jaman dahulu, pada setiap jaman para manusia agung, nabi, juru selamat datang silih berganti. Masa kini dan di masa mendatang bukanlah masa pengecualian bagi kehadiran manusia agung semacam itu. 

Mereka senantiasa datang dan muncul dipermukaan bumi ini, seperti halnya kedatangan mereka di jaman dahulu. Dengan jelas dalam Bhagavad Gìtà IV.8., Úrì Kåûóa menyatakan,  
Demi untuk melindungi para sàdhu serta untuk memusnahkan orang-orang jahat dan demi untuk menegakkan dharma, Aku menjelma dari masa ke masa.  
Tuhan tak akan pernah mengabaikan pengabdi-Nya.

Akan masuk akal kiranya bila timbul protes atau pun penolakan terhadap kehadiran seorang guru agung; sebab yang disampaikannya terlalu hebat untuk diperkecil ke dalam batas pemahaman manusia setengah buta ini. Untuk itu kita akan mencoba untuk membahas apakah avatàra itu. Kita akan berusaha menyajikan suatu bahasan yang lebih mendalam, tanpa tuntutan untuk harus menerima ataupun mempercayainya.

Kita semua memiliki akal dan itulah pengadilannya, di mana setiap kebenaran yang kita anggap benar harus menghadapnya dan kita akan tersesat bilamana kita memaksakan diri untuk menerima suara lantang yang kita tak ingin menyambutnya. Setiap kebenaran hanya benar bagi kita setelah kita melihat atau setelah kebenaran itu sendiri mencerahi daya pemikiran kita sendiri. Dan kebenaran yang bagaimana pun bukanlah kebenaran, selama hati kita tak terbuka untuk menanggapinya.

Tuhan bersemayam dalam segala sesuatunya, tetapi ada manifestasi khusus manakala keharusan memaksa-Nya untuk muncul. Dan pemunculan istimewa ini berdampingan dengan manifestasi universal dalam makrokosmos dan mikrokosmos ini; karena dalam keberadaan terrendah sampai keberadaan mahàdewa tertinggi terdapat kehadiran Tuhan. 

Tetapi ada penjelmaan-penjelmaan istimewa yang harus dibedakan dengan keberadaan manifestasi-Nya dalam kosmos ini; dan manifestasi khusus ini muncul demi untuk kebutuhan yang khusus pula. Inilah yang disebut sebagai avatàra.

Apakah yang menyebabkan munculnya penjelmaan istimewa ini? Tak seorang pun mampu membicarakan masalah utama ini dengan pasti dan tegas, selain Beliau sendiri yang datang sebagai avatàra; seperti halnya Úrì Kåûóa yang dalam Bhagavad Gìtà, IV.7. menyatakan sebagai berikut:  
Manakala dharma (kebajikan) mengalami kemerosotan dan kemusnahan dan adharma (kebatilan) merajalela, wahai Bhàrata (Arjuna), Aku akan menjelmakan diri-Ku.
Itulah yang dikatakan kepada kita tentang munculnya avatàra; yang berarti bahwa kepentingan dunialah yang meminta-Nya untuk menjelmakan diri-Nya. Dalam penjelasan lain kita mendapatkan bahwa ada beberapa keharusan kosmis yang pada abad-abad permulaan dari sejarah keberadaan dunia ini memerlukan kehadiran penjelmaan khusus ini. Apabila roda evolusi mengawali gerak putaran baru, manakala suatu bentuk kehidupan baru muncul, maka Yang Mahaluhur akan menjelmakan diri-Nya.

Sang avatàra adalah Tuhan itu sendiri dalam bentuk manifestasi tertinggi. Jika pada diri-Nya tidak menyala api kasih sayang bagi segala keberadaan ini, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, maka Ia tak akan muncul dan bermanifestasi serta tinggal di antara umat manusia dengan cinta kasih-Nya yang tercurah pada segalanya. 

Dalam beberapa kitab puràóa, utamanya Úrìmad Bhàgavatam, kita akan menemukan daftar panjang avatàra yang telah menjelma, yang kadang-kadang berwujud aneh bagi pemahaman jìwani dangkal, manakala dihubungkan dengan keberadaan Tuhan Yang Mahaluhur dalam pola pikir modern. Dari urutan penjelmaan-Nya kita dapat menelusuri pola perkembangan evolusi fisik dan jìwani keberadaan makhluk hidup yang mendiami permukaan bumi ini.

Renungkanlah vacana Úrì Kåûóa yang tercantum dalam Bhagavad Gìtà yang menyatakan keberadaan Beliau di bumi ini sebagai manifestasi Tuhan, penguasa dan asal mula segalanya ini termasuk alam semesta raya ini. Sekurang-kurangnya telah tiga kali Úrì Kåûóa menampakkan atau memperlihatkan penampakan-Nya sebagai Yang Mahaperkasa. 

Yang pertama di istana raja Dhåtaràûþra ketika Duryodhana yang tidak sopan itu berbicara tentang Tuhan dan hendak mengurung-Nya dalam penjara. Untuk membuktikan keberadaan-Nya dan untuk membuka tabir ketololan sang raja yang tidak sopan tersebut, Beliau melakukan trivikrama, melampaui tiga dunia dengan memancarkan cahaya yang meliputi segenap alam semesta raya ini. 

Yang kedua ketika Beliau mewujudkan diri sebagai Viúvarùpa, segala wujud Mahaviûóu sebagai penguasa segalanya di medan perang Kurukûetra, atas permintaan Arjuna untuk memberinya keyakinan yang mantap dalam menghadapi peperangan yang telah membingungkan pemahamannya tentang masalah kehidupan dan tujuan kehidupan itu sendiri. 

Yang ketiga adalah ketika Úrì Kåûóa dalam perjalanan kembali ke Dvàraka berjumpa dengan pertapa Uttaòka, yang berkeinginan untuk mengutuk-Nya karena dianggap telah menyebabkan terjadinya pertumpahan darah yang mengerikan antara Pàóðava dan Kaurava.
Tetapi, mungkin akan timbul pertanyaan, mengapa masing-masing avatàra memiliki sifat yang tidak sama padahal semuanya berasal dari Tuhan yang sama dan Tunggal itu? Sesuai dengan saòkalpa dan melalui yogamàyà-Nya, Beliau menjelmakan diri ke dunia ini selaras dengan misi yang diemban-Nya dalam melepaskan penderitaan umat manusia dari teror kesewenang-wenangan.

Jika kita berbicara dengan seseorang yang pengetahuannya lebih rendah dibandingkan dengan pengetahuan kita, maka kita akan berusaha untuk mengatakan segala yang kita ketahui dengan berbagai cara yang dapat dimengerti olehnya yang tentu saja dalam ukuran dan takaran-takaran rendah yang selaras, sehingga membuatnya tercengang dan kagum. Dalam hal-hal tertentu kadang-kadang kita malahan mengatakan sesuatu yang sama sekali tak dapat dipahami oleh mereka, untuk menunjukkan kelebihan kita dari mereka.

Demikian juga halnya dengan kedatangan sang avatàra ke dunia ini, yang kegiatannya kadang-kadang juga tak dapat dipahami oleh penalaran manusia yang kecil ini. Beliau muncul di tengah-tengah keberadaan manusia yang tampaknya mengenakan pembatasan-pembatasan manusia agar dapat memberikan contoh dan tauladan yang pas kepada manusia, walaupun semuanya itu hanya bersifat màyà saja.

Ambillah contoh penjelmaan Úrì Viûóu sebagai sang Ràmavijaya. Apakah yang Beliau ajarkan kepada kita? Ksatria ideal dalam setiap hubungan dengan kehidupan; sebagai anak yang patuh kepada orang tua, walaupun itu akan membuatnya harus meninggalkan kerajaan, menjalani pembuangan dalam hutan bersama istrinya devì Sìtà dengan ditemani adiknya Lakûmaóa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar