Airlangga, 1019 – 1042
Waktu kerajaan
Dharmawangúa mengalami pralaya, tahun 1016, Airlangga dapat meloloskan diri. Ia
baru berusia 16 tahun dan dengan disertai Narottama, ia bersembunyi di Wanagiri
ikut para pertapa.
Dalam tahun 1019
Airlangga dinobatkan menjadi raja menggantikan Dharmawangúa, oleh para pendeta
Úiwa Buddha, dengan gelar: Úrì Mahàràja Rake Halu Úrì Lokeúwara Dharmawangúa
Airlangga Anantawikramottunggadewa.
Sejak tahun 1028
Airlangga mulai merebut kembali daerah-daerah bekas kerajaan Dharmawangúa,
termasuk raja Wurawari dikalahkannya pada tahun 1032. Setelah memperoleh
kembali wilayah yang dianggap memang menjadi haknya, raja Airlangga berusaha
memakmurkan rakyatnya.
Ketenteraman dan
kemakmuran pemerintahan Airlangga tampak juga dari suburnya seni sastra. Pada
tahun 1030 mpu Kanwa mengarang kakawin Arjunawiwàha. Dari kakawin Arjunawiwàha
itu dapat diketahui bahwa wayang kulit sudah dikenal dan sudah memasyarakat,
lihat pupuh V, 9 dimana terdapat kata-kata: “ringgit ... walulang inukir.”
Demikian pula pada beberapa prasasti ada disebutkan jabatan; awayang atau
aringgit (dalang?).
Airlangga mempunyai
seorang puteri dan dua orang putera. Yang tertua puteri diangkat sebagai
mahamantri i hino, yaitu Sanggramawijaya, yang dicalonkan akan menggantikannya
menjadi raja. Akan tetapi setelah tiba masanya, puteri ini menolak naik tahta
dan memilih sebagai pertapa. Oleh Airlangga dibuatkan pertapaan di Pucangan
(gunung Penanggungan) dan disanalah Sanggramawijaya bertapa sebagai Kili Suci.
Untuk menghindarkan
terjadinya perebutan tahta antara kedua puteranya, maka kerajaannya dibagi
menjadi dua yaitu Janggala (Singhasàri) dengan ibu kotanya Kahuripan, dan Pañjalu
(Kadiri) dengan ibu kotanya Daha. Pembagian itu dilakukan pada tahun 1041
dengan bantuan mpu Bharàdah, yang terkenal sakti.
Setelah membagi
kerajaan, Airlangga mengundurkan diri dari tahta dan kemudian hidup sebagai
pertapa dengan sebutan Åûi Gêntayu. Raja Airlangga wafat tahun 1049 dan
dicandikan di candi Belahan. Arcanya berbentuk Wiûóu naik Garuða (di Museum
Majakerta).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar