Kesenian Wayang Lemah sering ditemukan pada berbagai upacara
keagamaan umat Hindu di Bali. Berbeda dengan wayang pada umumnya, wayang lemah
memiliki ciri khas berupa waktu pementasan yang biasanya dilakukan di kala
siang sehingga di sebut lemah yang dalam bahasa Bali berarti siang. Walau
demikian waktu pementasannya menyesuaikan dengan puncak upacara keagamaan yang
dilaksanakan sehingga pementasan bisa dilakukan pagi, siang, maupun sore.
Tidak diperlukan panggung khusus untuk pementasan wayang lemah,
cukup mempergunakan satu batang pohon pisang yang masing-masing ujungnya
ditancapkan batang kayu dadap. Kedua kayu tersebut dihubungkan dengan benang
putih yang disebut benang tukelan. Tidak ada layar / kelir dan lampu blencong
seperti pada pementasan wayang pada umumnya.
Wayang dipentaskan oleh seorang dalang dengan diriingi gamelan
gender satu pasang. Cerita yang dilakonkan biasanya mengambil dari epos
Mahàbhàrata atau cerita lain sesuai dengan jenis upacara yang dilaksanakan.
Sebagai kesenian pelengkap upacara keagamaan berbagai sesaji dan ritual harus
dilakukan sang dalang beserta penabuh gamelan sebelum melakukan pementasan.
Kelompok pementasan wayang lemah biasanya terdiri dari 3 hingga 5
orang. Mereka melakukan pementasan berdasarkan permintaan masyarakat untuk
kegiatan yang berkaitan dengan upacara keagamaan. Kesenian ini termasuk
kesenian wali bersama-sama dengan beberapa jenis seni lainnya seperti topeng
Sidakarya, Rejang, dan lain-lain.
Awal mula wayang yaitu sebagai media untuk menyampaikan pesan atau
amanat leluhur melalui cerita-cerita. Namun apakah pesan atau amanat tersebut
sampai pada generasi saat ini? Bagi sebagian orang yang memang tertarik, wayang
merupakan warisan seni dan budaya adiluhung namun tidak jarang banyak yang
justru tidak mengerti dan memperhatikannya. Kali ini saya mencoba merekam
sedikit kulit terluar dari pementasaan wayang lemah untuk membuka pintu bagi
saya atau anda untuk mengenalnya lebih dekat.
http://andisucirta.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar