Wayang Betel adalah sebuah garapan pewayangan yang ter-inspirasi
dari Wayang Lemah/Wayang Gedog, garapan ini tercipta karena penggarap melihat
kehidupan wayang lemah pada masyarakat Bali hanya dikaitkan dengan upacara
keagamaan. Penanggap pertunjukan ini kurang memperhatikan baik tempat pentas
maupun sarana-sarana pendukung lainnya.
Hal ini membuat para dalang malas untuk menggarap bagian artistiknya, hiburan dan konteksnya. Wayang Lemah yang berfungsi ritual menjadi kemasan baru berbentuk hiburan seni yang segar, sehat dan bermutu.
Hal ini membuat para dalang malas untuk menggarap bagian artistiknya, hiburan dan konteksnya. Wayang Lemah yang berfungsi ritual menjadi kemasan baru berbentuk hiburan seni yang segar, sehat dan bermutu.
Dalam masalah ini akan dicoba menyiasati agar seniman Dalang dan
musisinya tidak hanya duduk sebagaimana pagelaran wayang lemah biasa, melainkan
juga berinteraksi aktif membangun suasana dramatik. Jelasnya, dalang yang
biasanya hanya duduk memainkan wayang kini ditampilkan dengan berakting di atas
panggung didukung oleh penataan lampu dan musik pengiring inovatif berintikan
Gender Rambat.
Beberapa wayang kiranya perlu dibuat dengan ukuran yang lebih
besar sehingga suasana wayang lemah yang semula hanya ritus akan dikembangkan
menjadi suatu bentuk hiburan/entertainment yang mengintegrasikan kritik dan
komentar sosial sesuai dengan perkembangan Zaman Kaliyuga dewasa ini. Sesuai
dengan namanya, Betel berarti tembus pandang. Garapan wayang Betel ini
berbentuk Wayang Lemah sehingga dapat dilihat tembus betel oleh penonton tanpa
terhalang kelir/screen putih.
Musik iringan yang berintikan instrumen Gender
Rambat juga akan diintegrasikan sedemikian rupa sehingga garapan wayang ini
juga menyajikan komponen musikal teater atau teater musik. Dalam garapan
“Wayang Betel” ini penggarap akan menggunakan konsep minimalis dengan tidak
mengurangi keunggulan – keunggulan yang telah ada. Karena berkesenian itu tidak
harus selalu mewah, seni pun bisa muncul dari sesuatu yang sederhana. Garapan
ini merupakan bagian dari epos Mahàbhàrata yakni kehidupan Pàóðawa di hutan
setelah lepas dari bencana kebakaran Gua gala-gala sampai gugurnya Detya
Adimba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar