Selasa, 22 Mei 2012

Cenk Blonk, Wayang Kulit Bali Gaya Baru

Pergelaran wayang kulit di Bali sebelum ini identik dengan pertunjukan untuk melengkapi upacara keagamaan dan adat. Sebagai tontonan, seni hiburan itu kurang menarik minat masyarakat setempat, terutama kaum muda.


Namun, anggapan tersebut tidak lagi sepenuhnya benar, setelah I Wayan Nardayana melakukan terobosan, memadukan unsur tradisi dan kreasi untuk memperkaya pementasan wayang kulit Bali.

Wayang Cenk Blonk, yang disuguhkan oleh dalang yang mahasiswa Jurusan Pedalangan STSI Denpasar itu, pada suatu malam di daerah pedesaan di Kecamatan Marga, Tabanan, 21 kilometer barat laut Denpasar, tampaknya cukup memukau masyarakat setempat.

Hampir setiap pementasan wayang Cenk Blonk dipadati penonton, termasuk di Lapangan Puputan Badung, jantung Kota Denpasar, dan di perkampungan seniman Ubud untuk melengkapi rangkaian upacara keagamaan yang digelar oleh para warga setempat.

Bahkan, para penonton bisa ketagihan menyaksikan lelucon, penampilan si dalang dan gayanya yang khas dalam memainkan wayang, yang berpadu harmonis dengan permainan instrumen gamelan yang mengiringinya.

Wayang Cenk Blonk, jelas Nardayana, merupakan wayang Ramayana atau wayang Betel, bukan wayang Tantri atau wayang Babad. Cenk Blonk merupakan gabungan kependekan nama dua punakawan –Nang Klenceng dan Nang Keblong yang berwajah, suara dan perilaku lucu. Selain Klenceng dan Keblong, dalam wayang Bali ada punakawan-punakawan lain, yaitu Merdah, Tualen, Sangut dan Delem.

Menurut Nardayana, nama tersebut didapatnya dari para penonton di sebuah desa di Gianyar, waktu ia sedang mengadakan pementasan di sana. Ketika seorang penonton menanyakan apa nama wayang yang sedang dipertunjukkan itu, seorang temannya menjawab, “Wayang Cenk Blonk.” Sebelum Cenk Blonk, nama wayang yang kehadirannya dirintis sejak 1995 tersebut adalah Gita Loka (Nyanyian Alam).

*****

Oleh Nardayana, wayang Cenk Blonk dikemas sedemikian rupa sehingga berbeda dari wayang kulit jenis lainnya di Pulau Dewata dan disukai oleh berbagai kalangan, termasuk kaum muda.

Untuk Cenk Blonk, selain memasukkan banyak banyolan, ia juga menghadirkan seorang gerong atau pesinden seperti pada wayang Jawa dan sendratari Bali. Melibatkan wanita membuat pementasan wayang itu menjadi lebih manis dan menarik.

Musik pengiring wayang Cenk Blonk, yang merupakan perpaduan dari berbagai alat musik gamelan, seperti gamelan gender rambat, ceng-ceng kopyak, suling, rebab dan kulkul dari bambu, mampu menambah meriah pertunjukan yang sarat petuah tersebut. Setiap pementasan Cenk Blonk sedikitnya melibatkan 30 penabuh gamelan, berbeda dengan pementasan wayang kulit lain yang hanya memakai delapan sampai 10 pemusik.
Pertunjukan wayang berdurasi dua setengah jam itu mengikuti perkembangan zaman, dengan memasukkan unsur-unsur baru. Tapi, pakem wayang kulit Bali tak ditinggalkannya.

“Sebagai dalang, saya mempunyai misi untuk bisa menghibur masyarakat dan berusaha menggunakan bahasa yang paling mudah dicerna oleh para penonton, tanpa meninggalkan bahasa Bali kuno sebagai ciri khas bahasa wayang Bali,” tutur pria yang akrab dipanggil Jro Dalang ini.

I Wayan Nardayana, yang lahir di Banjar Batannyuh, Belayu (Kecamatan Marga, Bali), 5 Juli 1965, mengaku telah bergaul dengan dunia wayang sejak kecil. Namun, ungkapnya, prosesnya tersendat-sendat.

Ceritanya, pada umur 10 tahun, ia sangat senang membuat wayang dari kertas, bersama seorang teman seusianya, sekaligus membuat pementasan kecil-kecilan, hanya diiringi gamelan Tingklik yang terbuat dari bambu.

Minimal sepekan sekali ada saja warga Belayu yang menyuruhnya memainkan hasil karyanya, seperti di rumah orang yang menyelenggarakan upacara. Walaupun tanpa imbalan, ia selalu melakoninya dengan baik.

Karena mengutamakan wayang, waktu itu semua nilai rapor kenaikan kelasnya merah. Akibatnya, orangtuanya marah dan membakar seluruh wayang bikinannya yang tersimpan rapi.

Pada 1995, ia baru mulai lagi menekuni hobinya yang dulu sempat dimusnahkan oleh orangtuanya tersebut. Ia membentuk sekaa atau grup Wayang Gita Loka (Nyanyian Alam).

Untuk mengembangkan wayang kulitnya, ia belajar dari pengalaman, kritik para penonton, di samping menimba ilmu dari dalang-dalang lain yang sudah lebih berpengalaman.

Karena pertunjukan wayang yang disajikan oleh Nardayana menarik, ada penonton yang sampai tidak pernah absen menikmati suguhan sekaa wayang itu di manapun. Karena padatnya jadwal pementasan wayang tersebut, mereka yang ingin menanggapnya harus memesannya dua atau tiga bulan sebelumnya.

Hampir setiap malam sekaa wayang dari Belayu itu tampil di berbagai tempat di Bali. Meskipun demikian, aku Nardayana, ia tidak pernah puas atas hasil dari kreativitasnya.
Suami Sagung Putri Puspadi dan ayah dua putra ini tetap mau menerima masukan dari semua kalangan demi tetap eksisnya wayang kulit Bali. Ia bahkan ingin menjadikan wayang kulit Bali sebagai salah satu kesenian yang disenangi oleh semua kalangan, termasuk generasi muda.

“Saya selalu terbuka, kalau ada orang lain yang mau mengkritik atau memberikan saran, termasuk para dosen di perguruan tinggi tempat saya menuntut ilmu,” kata Nardayana yang pernah bekerja sebagai tukang parkir di sebuah pusat perbelanjaan di Kota Denpasar.

Masih demi tetap eksisnya wayang kulit Bali, ia juga melakukan kaderisasi. “Saya membina dua kader dalang, masing-masing I Gusti Ngurah Kerta Yuda dari Kerambitan yang sekarang menjadi dalang di Chicago (AS) dan Ida Bagus Mantra Manuaba dari desa Tegaljadi Marga,” ucapnya. (Ant/ati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar