BRÀHMAÓA KALINGGA/KELING
Pada zaman dahulu Bali di perintah oleh seorang raja
keturunan Majapahit Beliau adalah Dalem Waturenggong. Pusat pemerintahan beliau
ada di Gelgel (Kabupaten Klungkung/Kota Semarapura sekarang).
Beliau sangat
cakap dalam memimpin dan beliau sangat bhakti pada Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi
Wasa). Ini terlihat dari beberapa upacara persembahyangan yang beliau lakukan
dalam rangka memohon kesukertaan jagat. Pada suatu waktu beliau
mengerahkan pada prajurit. Panjak dan para menteri untuk melaksanakan
upacara “Nanggluk Merana” (Upacara Penolak Hama/Penyakit).
Upacara
ini dipusatkan di Pura Besakih yang merupakan Pura Kahyangan Jagat atau
Pura terbesar di Bali. Pelaksanaan upacara ini dipimpin oleh “Patih Jelantik”
Ki Patih Jelantik adalah patih yang cerdas, cekatan, dan cukup sakti. Ki
Patih betul-betul mempersiapkan upacara ini dengan sungguh-sungguh. Para bràhmaóa
dimohonkan untuk menuntun dan memimpin upacara itu.
Berita tentang pelaksanaan Yajña ini telah tersiar
luas, dan di dengar pula oleh seorang Bràhmaóa dari Keling (Jawa).
Mendengar hal tersebut Beliau langsung menuju Pura Besakih dan menghadap pada
Rakryan Patih dan beliau menyatakan keinginannya untuk membantu (ngayah)
pelaksanaan Yajña dan bràhmaóa ini mengaku berasal dari Jawa
serta bersaudara dengan Sang Raja Dalem Waturenggong.
Ki Patih melihat
penampilan orangtua ini yang agak kusam, rambut tak terawat, pakaian
compang-camping dan nampak seperti orang bukan bràhmaóa, maka Ki Patih
berkesimpulan orang ini tak waras, lebih-lebih mengaku saudara sang Raja sangat
tidak mungkin. Dan Ki Patih berpikir bisa-bisa orang ini bisa membuat raja
menjadi kehilangan kewibawaan maka diputuskanlah untuk mengusir orangtua
tersebut dengan mengerahkan beberapa orang yang ada di tempat upacara sampai
keluar dari wilayah Pura.
Bràhmaóa
tua ini kemudian pergi meninggalkan Pura menuju arah Barat Daya sambil
kumat-kamit merapalkan japa mantra dan menjelang tidak begitu lama
seluruh sarana banten itu tidak layak dipakai. Semua buah-buahan,
daging-daging yang digunakan sebagai sesaji busuk keluar ulat. Anjing-anjing
berkeliaran serta membuat keributan dan melolong tiada henti.
Kejadian ini
membuat Ki Patih sebagai panitia penanggungjawab menjadi bingung, lebih-lebih
seluruh tumbuhan dan binatang menjadi diserang penyakit, sehingga membuat
upacara Nanggluk Merana menjadi tidak berlangsung. Mengadulah beliau
kepada raja Dalem Waturenggong di Gelgel.
Raja kemudian melakukan meditasi
dengan bràhmaóa lainnya dan tak begitu lama beliau dapat petunjuk bahwa Yajña
itu menjadi rusak akibat ulah seorang bràhmaóa tua. Di situlah Ki Patih
menceritakan telah mengusir orangtua yang mengaku bràhmaóa dan
bersaudara dengan Sang Raja, karena dirasakan tak pantas ulah orangtua itu maka
diusirnya. Mendengar penyampaian Sang Patih, Sang Raja berkata itu benar
saudaranya yang bernama Ida Ketut Sangkia. Kemudian raja memerintahkan untuk mendak/menjemput
beliau, minta maaf dan mintakan tolong agar mau menyelesaikan (muput)
upacara Nanggluk Merana.
Tanpa membuang-buang waktu, Ki Patih beserta prajuritnya
mengejar jejak bràhmaóa tua itu yang telah diusir beberapa waktu lalu.
Setelah beberapa hari ditemukanlah beliau di wilayah Badung di wilayah
Sidakarya sekarang. Di situ Ki Patih memohon maaf dan menyampaikan permintaan
raja agar beliau mau menghadap Sang Raja. Sang Raja memohon pada saudaranya
agar bràhmaóa membuat mukjizat kembali agar keadaan Bali seperti sedia
kala. Dengan kekuatan batinnya, beliau membuat mukjizat dan keadaan Bali secara
berangsur-angsur normal.
Sejak saat itu Dalem Waturenggong memberikan gelar “Dalem
Sidakarya” kepada bràhmaóa Keling yang sakti itu. Gelar ini
diberikan karena bràhmaóa itu telah berhasil mengembalikan keadaan serta
upacara yang digelar oleh raja untuk mengusir hama penyakit berhasil dengan
baik. Dan sejak saat itu raja menganjurkan kepada rakyat, agar menampilkan
simbol bràhmaóa Keling itu dalam rangka upacara-upacara keagamaan, agar
upacara dapat berlangsung dengan baik.
Demikianlah awal topeng Sidakarya. Mengenai wajah atau
karakter Tapel Sidakarya itu, yang sampai saat ini dipakai Bràhmaóa Keling yang
urakan, kotor, dan seram.
Dipetik dari Deskripsi Brahma Tari
Bali Proyek Pembinaan Kesenian Kantor Wilayah Depdikbud Propinsi Bali 1992/1993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar