Rabu, 02 Mei 2012

Cerita Bali - Brahmana Keling

BRÀHMAÓA KALINGGA/KELING


Pada zaman dahulu Bali di perintah oleh seorang raja keturunan Majapahit Beliau adalah Dalem Waturenggong. Pusat pemerintahan beliau ada di Gelgel (Kabupaten Klungkung/Kota Semarapura sekarang). 

Beliau sangat cakap dalam memimpin dan beliau sangat bhakti pada Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Ini terlihat dari beberapa upacara persembahyangan yang beliau lakukan dalam rangka memohon kesukertaan jagat. Pada suatu waktu beliau mengerahkan pada prajurit. Panjak dan para menteri untuk melaksanakan upacara “Nanggluk Merana (Upacara Penolak Hama/Penyakit).  

Upacara ini dipusatkan di Pura Besakih yang merupakan Pura Kahyangan Jagat atau Pura terbesar di Bali. Pelaksanaan upacara ini dipimpin oleh “Patih Jelantik” Ki Patih Jelantik adalah patih yang cerdas, cekatan, dan cukup sakti. Ki Patih betul-betul mempersiapkan upacara ini dengan sungguh-sungguh. Para bràhmaóa dimohonkan untuk menuntun dan memimpin upacara itu. 

Berita tentang pelaksanaan Yajña ini telah tersiar luas, dan di dengar pula oleh seorang Bràhmaóa dari Keling (Jawa). Mendengar hal tersebut Beliau langsung menuju Pura Besakih dan menghadap pada Rakryan Patih dan beliau menyatakan keinginannya untuk membantu (ngayah) pelaksanaan Yajña dan bràhmaóa ini mengaku berasal dari Jawa serta bersaudara dengan Sang Raja Dalem Waturenggong. 

Ki Patih melihat penampilan orangtua ini yang agak kusam, rambut tak terawat, pakaian compang-camping dan nampak seperti orang bukan bràhmaóa, maka Ki Patih berkesimpulan orang ini tak waras, lebih-lebih mengaku saudara sang Raja sangat tidak mungkin. Dan Ki Patih berpikir bisa-bisa orang ini bisa membuat raja menjadi kehilangan kewibawaan maka diputuskanlah untuk mengusir orangtua tersebut dengan mengerahkan beberapa orang yang ada di tempat upacara sampai keluar dari wilayah Pura. 

Bràhmaóa tua ini kemudian pergi meninggalkan Pura menuju arah Barat Daya sambil kumat-kamit merapalkan japa mantra dan menjelang tidak begitu lama seluruh sarana banten itu tidak layak dipakai. Semua buah-buahan, daging-daging yang digunakan sebagai sesaji busuk keluar ulat. Anjing-anjing berkeliaran serta membuat keributan dan melolong tiada henti. 

Kejadian ini membuat Ki Patih sebagai panitia penanggungjawab menjadi bingung, lebih-lebih seluruh tumbuhan dan binatang menjadi diserang penyakit, sehingga membuat upacara Nanggluk Merana menjadi tidak berlangsung. Mengadulah beliau kepada raja Dalem Waturenggong di Gelgel. 

Raja kemudian melakukan meditasi dengan bràhmaóa lainnya dan tak begitu lama beliau dapat petunjuk bahwa Yajña itu menjadi rusak akibat ulah seorang bràhmaóa tua. Di situlah Ki Patih menceritakan telah mengusir orangtua yang mengaku bràhmaóa dan bersaudara dengan Sang Raja, karena dirasakan tak pantas ulah orangtua itu maka diusirnya. Mendengar penyampaian Sang Patih, Sang Raja berkata itu benar saudaranya yang bernama Ida Ketut Sangkia. Kemudian raja memerintahkan untuk mendak/menjemput beliau, minta maaf dan mintakan tolong agar mau menyelesaikan (muput) upacara Nanggluk Merana

Tanpa membuang-buang waktu, Ki Patih beserta prajuritnya mengejar jejak bràhmaóa tua itu yang telah diusir beberapa waktu lalu. Setelah beberapa hari ditemukanlah beliau di wilayah Badung di wilayah Sidakarya sekarang. Di situ Ki Patih memohon maaf dan menyampaikan permintaan raja agar beliau mau menghadap Sang Raja. Sang Raja memohon pada saudaranya agar bràhmaóa membuat mukjizat kembali agar keadaan Bali seperti sedia kala. Dengan kekuatan batinnya, beliau membuat mukjizat dan keadaan Bali secara berangsur-angsur normal. 

Sejak saat itu Dalem Waturenggong memberikan gelar “Dalem Sidakarya” kepada bràhmaóa Keling yang sakti itu. Gelar ini diberikan karena bràhmaóa itu telah berhasil mengembalikan keadaan serta upacara yang digelar oleh raja untuk mengusir hama penyakit berhasil dengan baik. Dan sejak saat itu raja menganjurkan kepada rakyat, agar menampilkan simbol bràhmaóa Keling itu dalam rangka upacara-upacara keagamaan, agar upacara dapat berlangsung dengan baik. 

Demikianlah awal topeng Sidakarya. Mengenai wajah atau karakter Tapel Sidakarya itu, yang sampai saat ini dipakai Bràhmaóa Keling yang urakan, kotor, dan seram.

Dipetik dari Deskripsi Brahma Tari Bali Proyek Pembinaan Kesenian Kantor Wilayah Depdikbud Propinsi Bali 1992/1993


Tidak ada komentar:

Posting Komentar