ARTI KATA VEDA
1. Arti dari Kata Veda
Kata Veda dapat
dikaji dari dua pendekatan yaitu pendekatan etimologi dan pendekatan semantik. Kata Veda berasal dari urat kata kerja Vid yang artinya mengetahui dan Veda berarti ‘pengetahuan’. Dalam pengertian semantik Veda berarti ‘pengetahuan suci’,
kebenaran sejati, “pengetahuan tentang ritual”, kebijaksanaan yang tertinggi,
“pengetahuan spiritual sejati tentang kebenaran abadi”, ajaran suci atau kitab
suci sumber ajaran agama Hindu’.
Menurut Mahàrûi Úàyaóa, kata Veda yang berasal dari urat kata Vid yang berarti ‘untuk
mengetahui’ dan Veda berarti kitab suci yang mengandung ajaran yang luhur untuk
menuntun menuju kehidupan yang baik dan menghindarkannya dari berbagai bentuk
kejahatan (Iûþa pràpy aniûþa parihara yoralaukikam upayaý yogranto
vedayati sa vedaá).
Svàmì Dayànanda Sarasvati dalam bukunya Ågvedàdi Bhàûya Bhùmika ‘Penjelasan
dan komentar terhadap Ågvedà’ yang ditulisnya dalam bahasa Hindi menyatakan kata Veda berasal
dari empat urat kata atau akar kata kerja sebagaimana uraian berikut;
1) Vid :
mengetahui (Anadi, Set, Parasmaipada) - Vetti.
2) Vid : menjadi ada (Divadi, Anit) - Vidyate.
3) Vid : membedakan (Rudhadi,Anit) - Vinte.
4) Vidí : mencapai (Tudadi, Set) - Vindati atau Vindate.
Lebih jauh Parmand menambahkan akar kata yang lain (ke-5)
di dalam Dhatupatha yang dari padanya ia mendapatkan arti Veda.
Urat kata Vid : cetanàkhyànaviseûu
disebutkan sebagai konyugasi di dalam bentuk Àtmanepadam. Akar kata ini berarti ‘menjadi tahu’, ‘mengajar’, ‘menghubungkan’, ‘memberi tahukan’ atau
‘menceritrakan’.
Maurice Winternitz di dalam bukunya A History of Indian Literature, Volume I menyatakan
bahwa Veda (Ågveda) adalah pustaka monumental
tertua Indo-Eropa. Selanjutnya ia menyatakan: Bilamana kita ingin mengerti tentang kebudayaan
Indo-Eropa tertua, kita mesti pergi ke India yakni tempat susastra tertua
orang-orang Indo-Eropa disimpan. Apa pun pandangan kita, kita boleh menerima
berbagai persoalan, tetapi sesungguhnya secara ringkas dapat kami nyatakan bahwa
Ågveda adalah susastra monumental Indo-Eropa yang tertua yang kita
miliki (1927).
Demikian pula Bloomfield dalam bukunya The
Religion of Veda menyatakan bahwa Ågveda bukan saja monument tertua
umat manusia, tetapi juga dokumentasi di Timur yang paling tua. Susastra ini
lebih tua dari Yunani maupun Israel dan memperlihatkan peradaban yang tinggi di
antara mereka yang dapat dijumpai dalam mantra-mantra Veda (1908).
Sarvepali Rādhakrishnan mengatakan bahwa Veda
mengandung makna kebijkasanaan menunjukkan spiritual yang sejati dari yang
dituju umat manusia. Jalan yang dilalui oleh para Mahàrûi Veda adalah jalan yang mesti dilalui oleh
pencari kebenaran. Pertanyaan yang mereka gali bersifat filosofis sebagian di
jelaskan dalam mantra Ågveda sebagaimana
ditunjukkan oleh mantram Ågveda X.129.6 berikut ini :
ko A×a ved k —h p[ vocTk¦t Aajata k¦t —y' ivs*iì"
-
AvaGdeva ASy ivsjRnenaqa ko ved yt Aab.Uv --
Ko addhà veda ka iha pra vocat
kuta àjàtà
kuta iyaý visåûþiá,
arvàg devà
asyavisarjanenàthà
ko veda yata
àbabhùva.
‘Siapakah sesungguhnya yang mengetahui,
siapakah (sesungguhnya) yang mampu menjelaskannya, di manakah ia lahir dan dari
manakah ciptaan ini berasal?
Sesungguhnya para devatà
belakangan dari terciptanya alam semesta ini. Siapakah yang mengetahui
asal dari ciptaan ini ?’
Veda dalam bentuk tunggal (dalam bahasa Inggris biasanya
ditulis Veda) berarti
pengetahuan suci sedang dalam bentuk jamaknya (dalam bahasa Inggris biasanya ditulis Vedas ) berarti dalam pengertian yang luas yakni seluruh kitab Úruti yang terdiri dari 4 Veda (Mantra Saýhità), kitab-kitab Bràhmaóa,
Àranyaka dan kitab-kitab Upaniûad.
Tentang arti Veda, S. Radhakrishóan lebih jauh
menyatakan: Ilmu pengetahuan adalah
pengetahuan dalam tahap kedua disebabkan oleh pengkajian yang lebih mendetail,
sedang kebijaksanaan (Veda)
adalah pengetahuan tahap awal (tingkatan yang pertama) yang diturunkan dari prinsip tak terciptakan. Veda tidaklah susastra tunggal
seperti Bhagavadgìtà atau
sebuah himpunan sejumlah buku disusun dalam waktu tertentu seperti Tripitaka,
kitab suci agama Buddha atau Biblenya
penganut Kristen, tetapi adalah keseluruhan susastra yang muncul berabad-abad
yang silam dan diturunkan serta diteruskan dari generasi ke generasi melalui
tradisi lisan. Pada saat tulisan belum ditemukan dan buku-buku belum tersedia,
pada waktu itu ingatan umat manusia
sangat kuat dan saat itu muncullah tradisi untuk mengingat ini. Untuk dijadikan
pegangan umat manusia memerlukan waktu untuk memelihara susastra ini dan Veda
sebagai dinyatakan adalah pengetahuan suci atau wahyu Tuhan Yang Maha Esa.
Wahyu ini dikuduskan sedemikian rupa dan menjadi standar pemikiran serta
perasaan umat Hindu. Jadi Veda adalah pengetahuan dan kebijaksanaan suci
dokument pertama dan tertua yang dimiliki oleh umat manusia.
2. Veda
dalam arti yang luas
Maurice Winternitz di dalam bukunya A History of Indian
Literature, Volume I menyatakan bahwa Veda (Ågveda)
adalah pustaka monumental tertua Indo-Eropa. Selanjutnya ia menyatakan:
Bilamana kita ingin mengerti tentang
kebudayaan Indo-Eropa tertua, kita mesti pergi ke India yakni tempat susastra
tertua orang-orang Indo-Eropa disimpan. Apa pun pandangan kita, kita boleh
menerima berbagai persoalan, tetapi sesungguhnya secara ringkas dapat kami
nyatakan bahwa Ågveda adalah susastra monumental Indo-Eropa yang tertua
yang kita miliki (1927).
Veda dalam bentuk tunggal (dalam bahasa Inggris biasanya
ditulis Veda) berarti
pengetahuan suci sedang dalam bentuk jamaknya (dalam bahasa Inggris biasanya ditulis Vedas ) berarti dalam pengertian yang luas yakni seluruh kitab Úruti yang terdiri dari 4 Veda (Mantra Saýhità), kitab-kitab Bràhmaóa,
Àranyaka dan kitab-kitab Upaniûad.
Tentang arti
Veda, S. Radhakrishóan lebih
jauh menyatakan: Ilmu pengetahuan adalah
pengetahuan dalam tahap kedua disebabkan oleh pengkajian yang lebih mendetail,
sedang kebijaksanaan (Veda)
adalah pengetahuan tahap awal (tingkatan yang pertama) yang diturunkan dari prinsip tak terciptakan. Veda tidaklah susastra tunggal
seperti Bhagavadgìtà atau
sebuah himpunan sejumlah buku disusun dalam waktu tertentu seperti Tripitaka,
kitab suci agama Buddha atau Biblenya
penganut Kristen, tetapi adalah keseluruhan susastra yang muncul berabad-abad
yang silam dan diturunkan serta diteruskan dari generasi ke generasi melalui
tradisi lisan. Pada saat tulisan belum ditemukan dan buku-buku belum tersedia,
pada waktu itu ingatan umat manusia
sangat kuat dan saat itu muncullah tradisi untuk mengingat ini. Untuk dijadikan
pegangan umat manusia memerlukan waktu untuk memelihara susastra ini dan Veda sebagai dinyatakan adalah
pengetahuan suci atau wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Wahyu ini dikuduskan
sedemikian rupa dan menjadi standar pemikiran serta perasaan umat Hindu. Jadi
Veda adalah pengetahuan dan kebijaksanaan suci dokument pertama dan tertua yang
dimiliki oleh umat manusia.
3. Bahasa yang digunakan dalam Veda
Veda sebagai wahyu Tuhan
Yang Maha Esa diyakini kebenarannya oleh seluruh umat Hindu. Kebenaran Veda tidak diragukan lagi.
Selanjutnya timbul pertanyaan, bahasa apakah yang digunakan dalam Veda demikian pula huruf yang
digunakan ketika wahyu itu ditulis
kembali. Logika kita, tradisi bahasa lisan jauh lebih tua dibandingkan
dengan bahasa tulisan karena bahasa lisan dimulai ketika terjadi kontak antar sesama manusia,
dalam hal ini termasuk pula bahasa
isyarat. Bila kita merenungkan kembali dan mengamati dengan seksama, maka
bahasa yang digunakan dalam Veda adalah
bahasa yang digunakan oleh masyarakat di tempat wahyu itu diturunkan. Demikianlah maka dapat kita
katakan bahwa bahasa ini yang digunakan
dalam Veda adalah bahasa
Sanskerta dan bahasa ini tetap juga digunakan sampai berkembangnya susastra Veda pada zaman sesudah Veda itu dihimpun dalam empat himpunan yang disebut dengan Saýhità
dan keempat Saýhità itu
dikenal dengan nama Catur Veda,
yang terdiri : Ågveda, Yajurveda, Sàmaveda dan Atharvaveda.
Istilah atau nama Sanskerta sebagai nama bahasa ini dipopulerkan oleh seorang Mahàrûi bernama Pànini. Mahàrûi Pànini pada waktu itu mencoba menulis sebuah kitab Vyàkaraóa, yaitu kitab tata bahasa Sanskerta yang terdiri dari 8 Adhyàya atau bab yang terkenal dengan nama Aûþàdhyàyi yang mencoba mengemukakan bahwa bahasa yang digunakan dalam Veda adalah bahasa dewa-dewa yang dikenal pula dengan nama ‘daivivak’ yang artinya ‘bahasa atau sabda devatà’.
Istilah atau nama Sanskerta sebagai nama bahasa ini dipopulerkan oleh seorang Mahàrûi bernama Pànini. Mahàrûi Pànini pada waktu itu mencoba menulis sebuah kitab Vyàkaraóa, yaitu kitab tata bahasa Sanskerta yang terdiri dari 8 Adhyàya atau bab yang terkenal dengan nama Aûþàdhyàyi yang mencoba mengemukakan bahwa bahasa yang digunakan dalam Veda adalah bahasa dewa-dewa yang dikenal pula dengan nama ‘daivivak’ yang artinya ‘bahasa atau sabda devatà’.
Beberapa tahun
kemudian atas jasa Mahàrûi Patañjali yang menulis kitab Bhàûa dan merupakan buku kritik terhadap
karya Pànini yang ditulis pada abad ke
II Sebelum Masehi makin terungkaplah
nama Daivivak untuk menamai bahasa
yaang digunakan dalam Veda termasuk pula digunakan dalam
kitab-kitab Itihàsa (sejarah), Puràóa
(sejarah kuna), Småti/Dharmaúàstra (kitab-kitab hukum), kitab-kitab Àgàma (pegangan bagi Saýpradaya atau Pakûa seperti Úaivàgama, Tantràyaóa dan lain-lain,
juga bahasa yang digunakan dalam
kitab-kitab Darúana (filsafat Hindu) dan susastra Hindu lainnya atau yang
berkembang pada zaman sesudahnya.
Penulis yang tampil sesudah Mahàrûi
Pàóini adalah mahàrûi yang terkenal
dengan nama Kàtyàyaóa yang hidup pada abad V S.M. Mahàrûi Kàtyàyaóa dikenal pula dengan nama Vararuci
dan di Indonesia salah satu karyanya diterjemahkan dalam bahasa Jawa Kuno pada
zaman Majapahit yaitu kitab Sarasamuccaya sedang Mahàrûi Pàóini hidup pada abad
VI S.M. Melalui Mahàrûi Kàtyàyaóa inilah kita lebih banyak mengenal tentang Mahàrûi
Panini dengan karyanya. Pengaruh kitab Aûþàdhyàyì
sangat besar dalam perkembangan bahasa Sanskerta. Dengan perkembangannya yang
pesat sesudah diturunkannya Veda kemudian
para ahli membedakan bahasa Sanskerta ke
dalam tiga kelompok:
1) Bahasa Sanskerta Veda
(Vedic Sanskrit) yakni bahasa Sanskerta yang digunakan dalam Veda yang umumnya jauh lebih tua dibandingkan dengan bahasa
Sanskerta yang kemudian digunakan dalam berbagai susastra Hindu seperti
dalam Itihàsa, Puràóa, Dharmaúàstra, dan
lain-lain.
2) Bahasa Sanskerta Klasik
(Classical Sanskrit) yakni bahasa Sanskerta yang digunakan dalam susastra Hindu seperti
Itihàsa (Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata), Puràóa (Mahàpuràóa dan
Upapuràóa, Småti (kitab-kitab hukum yaitu Dharmaúàstra).
3) Bahasa Sanskerta Campuran (Hybrida
Sanskrit), seperti yang
digunakan pada beberapa negara bagian di India dan Sanskerta di Indonesia oleh
para ahli disebutnya sebagai Archipelago Sanskrit atau Bahasa Sanskerta Kepulauan yakni
bahasa Sanskerta yang digunakan di tanah air. Baik Hybrida Sanskrit maupun Archipelago Sanskrit keduanya tidak murni lagi seperti bahasa dua
jenis Sanskerta sebelumnya (Sanskerta Veda dan Klasik), tetapi sudah
mendapat pengaruh dari bahasa yang berkembang pada saat itu, misalnya di India,
bahasa Sanskerta mendapat pengaruh bahasa Bengali di bagian Timur dan bahasa
Tamil di bagian Selatan sedang di masa lampau di Indonesia, bahasa Sanskerta
sudah bercampur dengan unsur-unsur bahasa Nusantara, baik tata bahasanya maupun
kosakatanya hal ini dapat kita lihat pada stuti
atau stava dan puja para pandita di Bali (C.Hooykaas, 1970).
Dalam mempelajari Veda dan susastra
Hindu lainnya, pengenalan terhadap bahasa Sanskerta sangat diperlukan dan bagi
kita di Indonesia di samping mengenal
bahasa Sanskerta juga baik untuk mengenal bahasa Jawa Kuno dan Bali sebab
tanpa mengenal ketiga bahasa
ini kurang lengkaplah pemahaman kita
terhadap ajaran Hindu.
Timbul pertanyaan,
“apakah dalam pengucapan doa mutlak menggunakan bahasa Sanskerta?” Tentunya hal
ini tidak mutlak sebab doa adalah cetusan hati atau bahasa hati yakni bahasa
ibu yang mudah kita pahami, tetapi bila kita
berdoa dengan pengucapan mantra seperti mantra
Gàyatrì, Mahàýåtyuñjaya-mantra dan lain-lain yang merupakan sabda Tuhan Yang
Maha Esa, maka pemahaman kita terhadap bahasa Sanskerta sangat diperlukan.
Mantra-mantra Veda berfungsi
sebagai kavaca dan pañjara. Kavaca artinya ‘baju atau pakaian’ dan pañjara
artinya ‘benteng’, keduanya berfungsi sebagai pelindung bagi
mereka yang tekun mengucapkan mantram-mantram Veda. Tentang pengucapan mantram, kitab Nirukta I.18 menyatakan sebagai berikut:
“Seseorang yang mengucapkan mantram
(Veda) dan tidak memahami makna
yang terkandung dalam mantram (Veda) itu, tidak pernah memperoleh penerangan
seperti halnya sebatang kayu bakar, walaupun disiram dengan minyak tanah, tidak
akan terbakar bila tidak disulut dengan api. Demikian orang yang hanya
mengucapkan (membaca) mantram (Veda) tidak mendapatkan cahaya pengetahuan yang sejati”.
Penyelidikan terhadap bahasa Sanskerta
di Eropa telah mulai sejak lama yakni permulaan abad XVII dan motifnya tidaklah
murni, tetapi didorong oleh keinginan untuk menyebarkan agama Kristen atau
Katolik. Hal ini dapat dibuktikan melalui tulisan-tulisan Dr. Max Muller pada
tahun 1886. Ahli-ahli Eropa yang banyak berkecimpung di dalam mempelajari
bahasa Sanskerta, antara lain: Max Muller, Weber, Sir Willian Jones, H.T. Colebrooke,
Keilharn, Grimm, Grassmann, Jesperson, C.Wilkin, A.Roger, Roth, Griffith, A. A. Macdonell, M. M. William
Monier, Hillebrant, Winternitz, dan lain-lain. Di Indonesia usaha menerjemahkan
karya Sanskerta ke dalam bahasa Jawa Kuno telah lama dirintis di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada masa kejayaan
kerajaan Hindu Nusantara termasuk Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar