Rabu, 02 Mei 2012

VEDA / WEDA

ARTI  KATA VEDA

1.  Arti  dari Kata Veda

Kata Veda dapat dikaji dari dua pendekatan yaitu pendekatan etimologi dan pendekatan  semantik. Kata Veda berasal dari urat kata kerja Vid yang artinya mengetahui dan Veda berarti ‘pengetahuan’. Dalam pengertian semantik Veda berarti ‘pengetahuan suci’, kebenaran sejati, “pengetahuan tentang ritual”, kebijaksanaan yang tertinggi, “pengetahuan spiritual sejati tentang kebenaran abadi”, ajaran suci atau kitab suci sumber ajaran agama Hindu’.

 Menurut Mahàrûi  Úàyaóa, kata Veda yang berasal dari urat kata Vid yang berarti ‘untuk mengetahui’ dan Veda berarti kitab suci yang mengandung ajaran yang luhur untuk menuntun menuju kehidupan yang baik dan menghindarkannya dari berbagai bentuk kejahatan (Iûþa pràpy aniûþa parihara yoralaukikam upayaý yogranto vedayati  sa vedaá).

Svàmì Dayànanda Sarasvati dalam bukunya Ågvedàdi Bhàûya Bhùmika ‘Penjelasan dan komentar terhadap Ågvedà’ yang ditulisnya dalam  bahasa Hindi menyatakan kata Veda berasal dari empat urat kata atau akar kata kerja sebagaimana uraian berikut;

1) Vid           : mengetahui  (Anadi, Set, Parasmaipada) - Vetti.
2) Vid           : menjadi ada  (Divadi, Anit) - Vidyate.
3) Vid           : membedakan (Rudhadi,Anit) - Vinte.
4) Vidí          : mencapai  (Tudadi, Set) - Vindati atau Vindate.

Lebih jauh Parmand menambahkan akar kata yang lain (ke-5) di dalam Dhatupatha yang dari padanya ia mendapatkan arti Veda. Urat kata Vid : cetanàkhyànaviseûu disebutkan sebagai konyugasi di dalam bentuk Àtmanepadam. Akar kata ini berarti ‘menjadi tahu’, ‘mengajar’,  ‘menghubungkan’, ‘memberi tahukan’ atau ‘menceritrakan’.

Maurice Winternitz di dalam bukunya A History of Indian Literature, Volume I menyatakan bahwa Veda (Ågveda) adalah pustaka monumental tertua Indo-Eropa. Selanjutnya ia menyatakan: Bilamana  kita ingin mengerti tentang kebudayaan Indo-Eropa tertua, kita mesti pergi ke India yakni tempat susastra tertua orang-orang Indo-Eropa disimpan. Apa pun pandangan kita, kita boleh menerima berbagai persoalan, tetapi sesungguhnya secara ringkas dapat kami nyatakan bahwa Ågveda adalah susastra monumental Indo-Eropa yang tertua yang kita miliki (1927).

Demikian pula Bloomfield dalam bukunya The Religion of Veda menyatakan bahwa Ågveda bukan saja monument tertua umat manusia, tetapi juga dokumentasi di Timur yang paling tua. Susastra ini lebih tua dari Yunani maupun Israel dan memperlihatkan peradaban yang tinggi di antara mereka yang dapat dijumpai dalam mantra-mantra Veda (1908).

Sarvepali Rādhakrishnan mengatakan bahwa Veda mengandung makna kebijkasanaan menunjukkan spiritual yang sejati dari yang dituju umat manusia. Jalan yang dilalui oleh para Mahàrûi  Veda adalah jalan yang mesti dilalui oleh pencari kebenaran. Pertanyaan yang mereka gali bersifat filosofis sebagian di jelaskan dalam mantra Ågveda sebagaimana  ditunjukkan oleh mantram Ågveda X.129.6 berikut ini :

ko A×a ved k —h p[ vocTk¦t Aajata k¦t —y' ivs*iì" - 
AvaGdeva ASy ivsjRnenaqa ko ved yt Aab.Uv --


Ko addhà veda ka iha pra vocat                
kuta  àjàtà   kuta  iyaý  visåûþiá,                
arvàg devà asyavisarjanenàthà                 
ko veda yata àbabhùva.

‘Siapakah sesungguhnya yang mengetahui, siapakah (sesungguhnya) yang mampu menjelaskannya, di manakah ia lahir dan dari manakah ciptaan ini  berasal? Sesungguhnya para devatà  belakangan dari terciptanya alam semesta ini. Siapakah yang mengetahui asal  dari ciptaan ini ?’

Veda dalam bentuk tunggal (dalam bahasa Inggris biasanya ditulis Veda) berarti pengetahuan suci sedang dalam bentuk jamaknya (dalam  bahasa Inggris biasanya ditulis Vedas ) berarti  dalam pengertian yang luas yakni seluruh  kitab Úruti yang terdiri dari 4 Veda  (Mantra Saýhità), kitab-kitab Bràhmaóa, Àranyaka dan kitab-kitab   Upaniûad.

 Tentang arti Veda, S. Radhakrishóan lebih jauh menyatakan:  Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan dalam tahap kedua disebabkan oleh pengkajian yang lebih mendetail, sedang kebijaksanaan (Veda) adalah pengetahuan tahap awal (tingkatan yang pertama) yang  diturunkan dari prinsip tak terciptakan. Veda tidaklah susastra tunggal seperti Bhagavadgìtà atau sebuah himpunan sejumlah buku disusun dalam waktu tertentu seperti Tripitaka, kitab suci agama  Buddha atau Biblenya penganut Kristen, tetapi adalah keseluruhan susastra yang muncul berabad-abad yang silam dan diturunkan serta diteruskan dari generasi ke generasi melalui tradisi lisan. Pada saat tulisan belum ditemukan dan buku-buku belum tersedia, pada waktu itu  ingatan umat manusia sangat kuat dan saat itu muncullah tradisi untuk mengingat ini. Untuk dijadikan pegangan umat manusia memerlukan waktu untuk memelihara susastra ini dan Veda sebagai dinyatakan adalah pengetahuan suci atau wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Wahyu ini dikuduskan sedemikian rupa dan menjadi standar pemikiran serta perasaan umat Hindu. Jadi Veda adalah pengetahuan dan kebijaksanaan suci dokument pertama dan tertua yang dimiliki oleh umat manusia.



2.  Veda dalam arti yang luas
Maurice Winternitz di dalam bukunya A History of Indian Literature, Volume I menyatakan bahwa Veda (Ågveda) adalah pustaka monumental tertua Indo-Eropa. Selanjutnya ia menyatakan: Bilamana  kita ingin mengerti tentang kebudayaan Indo-Eropa tertua, kita mesti pergi ke India yakni tempat susastra tertua orang-orang Indo-Eropa disimpan. Apa pun pandangan kita, kita boleh menerima berbagai persoalan, tetapi sesungguhnya secara ringkas dapat kami nyatakan bahwa Ågveda adalah susastra monumental Indo-Eropa yang tertua yang kita miliki (1927).
Veda dalam bentuk tunggal (dalam bahasa Inggris biasanya ditulis Veda) berarti pengetahuan suci sedang dalam bentuk jamaknya (dalam  bahasa Inggris biasanya ditulis Vedas ) berarti  dalam pengertian yang luas yakni seluruh  kitab Úruti yang terdiri dari 4 Veda  (Mantra Saýhità), kitab-kitab Bràhmaóa, Àranyaka dan kitab-kitab   Upaniûad.

Tentang arti Veda, S. Radhakrishóan lebih jauh menyatakan:  Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan dalam tahap kedua disebabkan oleh pengkajian yang lebih mendetail, sedang kebijaksanaan (Veda) adalah pengetahuan tahap awal (tingkatan yang pertama) yang  diturunkan dari prinsip tak terciptakan. Veda tidaklah susastra tunggal seperti Bhagavadgìtà atau sebuah himpunan sejumlah buku disusun dalam waktu tertentu seperti Tripitaka, kitab suci agama  Buddha atau Biblenya penganut Kristen, tetapi adalah keseluruhan susastra yang muncul berabad-abad yang silam dan diturunkan serta diteruskan dari generasi ke generasi melalui tradisi lisan. Pada saat tulisan belum ditemukan dan buku-buku belum tersedia, pada waktu itu  ingatan umat manusia sangat kuat dan saat itu muncullah tradisi untuk mengingat ini. Untuk dijadikan pegangan umat manusia memerlukan waktu untuk memelihara susastra ini dan Veda sebagai dinyatakan adalah pengetahuan suci atau wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Wahyu ini dikuduskan sedemikian rupa dan menjadi standar pemikiran serta perasaan umat Hindu. Jadi Veda adalah pengetahuan dan kebijaksanaan suci dokument pertama dan tertua yang dimiliki oleh umat manusia.


3.  Bahasa yang digunakan dalam Veda

Veda sebagai wahyu Tuhan Yang Maha Esa diyakini kebenarannya oleh seluruh umat Hindu. Kebenaran Veda tidak diragukan lagi. Selanjutnya timbul pertanyaan, bahasa apakah yang digunakan dalam Veda demikian pula huruf yang digunakan ketika wahyu itu ditulis  kembali. Logika kita, tradisi bahasa lisan jauh lebih tua dibandingkan dengan bahasa tulisan karena bahasa lisan dimulai  ketika terjadi kontak antar sesama manusia, dalam hal ini termasuk  pula bahasa isyarat. Bila kita merenungkan kembali dan mengamati dengan seksama, maka bahasa yang digunakan dalam Veda adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat di tempat wahyu itu  diturunkan. Demikianlah maka dapat kita katakan bahwa bahasa ini yang  digunakan dalam Veda adalah bahasa Sanskerta dan bahasa ini tetap juga digunakan sampai berkembangnya susastra Veda pada zaman  sesudah Veda itu dihimpun dalam empat himpunan yang disebut dengan Saýhità  dan keempat Saýhità itu dikenal dengan nama Catur Veda, yang  terdiri : Ågveda, Yajurveda, Sàmaveda dan Atharvaveda.


Istilah atau nama Sanskerta sebagai nama bahasa ini dipopulerkan oleh seorang Mahàrûi  bernama Pànini. Mahàrûi Pànini pada waktu itu mencoba menulis sebuah kitab Vyàkaraóa, yaitu  kitab tata bahasa Sanskerta yang terdiri dari 8 Adhyàya atau bab yang terkenal dengan nama Aûþàdhyàyi yang mencoba mengemukakan bahwa bahasa yang digunakan dalam Veda adalah bahasa dewa-dewa yang dikenal pula dengan nama ‘daivivakyang artinya ‘bahasa atau sabda  devatà’.

Beberapa tahun kemudian  atas jasa Mahàrûi  Patañjali yang menulis kitab Bhàûa  dan merupakan buku kritik terhadap karya  Pànini yang ditulis pada abad ke II Sebelum Masehi makin  terungkaplah nama Daivivak untuk menamai bahasa yaang digunakan  dalam Veda termasuk pula digunakan dalam kitab-kitab Itihàsa  (sejarah), Puràóa (sejarah kuna), Småti/Dharmaúàstra (kitab-kitab hukum), kitab-kitab Àgàma (pegangan bagi Saýpradaya atau Pakûa  seperti Úaivàgama, Tantràyaóa dan lain-lain, juga bahasa yang  digunakan dalam kitab-kitab Darúana (filsafat Hindu) dan susastra Hindu lainnya atau yang berkembang pada zaman sesudahnya.
Penulis yang tampil sesudah Mahàrûi Pàóini adalah mahàrûi yang  terkenal dengan nama Kàtyàyaóa yang hidup pada abad V S.M. Mahàrûi  Kàtyàyaóa dikenal pula dengan nama Vararuci dan di Indonesia salah satu karyanya diterjemahkan dalam bahasa Jawa Kuno pada zaman Majapahit yaitu kitab Sarasamuccaya sedang Mahàrûi Pàóini hidup pada abad VI S.M. Melalui Mahàrûi Kàtyàyaóa inilah kita lebih banyak mengenal tentang Mahàrûi  Panini dengan karyanya. Pengaruh kitab Aûþàdhyàyì sangat besar dalam perkembangan bahasa Sanskerta. Dengan perkembangannya yang pesat sesudah diturunkannya Veda kemudian para ahli  membedakan bahasa Sanskerta ke dalam tiga kelompok:

1)   Bahasa Sanskerta Veda (Vedic Sanskrit) yakni bahasa Sanskerta yang digunakan dalam Veda yang umumnya jauh lebih tua dibandingkan dengan bahasa Sanskerta yang kemudian digunakan dalam berbagai susastra Hindu seperti dalam  Itihàsa, Puràóa, Dharmaúàstra, dan lain-lain.

2)  Bahasa Sanskerta Klasik (Classical Sanskrit) yakni  bahasa  Sanskerta yang  digunakan dalam susastra Hindu seperti Itihàsa (Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata), Puràóa (Mahàpuràóa dan Upapuràóa, Småti (kitab-kitab hukum yaitu Dharmaúàstra).

3)  Bahasa Sanskerta Campuran (Hybrida Sanskrit), seperti yang digunakan pada beberapa negara bagian di India dan Sanskerta di Indonesia oleh para ahli disebutnya sebagai Archipelago Sanskrit atau Bahasa Sanskerta Kepulauan yakni bahasa Sanskerta yang digunakan di tanah air. Baik Hybrida Sanskrit maupun Archipelago Sanskrit  keduanya tidak murni lagi seperti bahasa dua jenis Sanskerta sebelumnya (Sanskerta Veda dan Klasik), tetapi sudah mendapat pengaruh dari bahasa yang berkembang pada saat itu, misalnya di India, bahasa Sanskerta mendapat pengaruh bahasa Bengali di bagian Timur dan bahasa Tamil di bagian Selatan sedang di masa lampau di Indonesia, bahasa Sanskerta sudah bercampur dengan unsur-unsur bahasa Nusantara, baik tata bahasanya maupun kosakatanya hal ini dapat kita lihat pada stuti atau stava dan puja para pandita di Bali (C.Hooykaas, 1970). Dalam  mempelajari Veda dan susastra Hindu lainnya, pengenalan terhadap bahasa Sanskerta sangat diperlukan dan bagi kita di  Indonesia di samping mengenal bahasa Sanskerta juga baik untuk mengenal bahasa Jawa Kuno dan Bali  sebab  tanpa mengenal ketiga  bahasa ini  kurang lengkaplah pemahaman kita terhadap ajaran Hindu.

Timbul pertanyaan, “apakah dalam pengucapan doa mutlak menggunakan bahasa Sanskerta?” Tentunya hal ini tidak mutlak sebab doa adalah cetusan hati atau bahasa hati yakni bahasa ibu yang  mudah kita pahami, tetapi bila kita berdoa dengan  pengucapan mantra seperti mantra Gàyatrì, Mahàýåtyuñjaya-mantra dan lain-lain yang merupakan sabda Tuhan Yang Maha Esa, maka pemahaman kita terhadap bahasa Sanskerta sangat diperlukan. Mantra-mantra  Veda berfungsi sebagai kavaca dan pañjara. Kavaca artinya ‘baju  atau pakaian’ dan  pañjara  artinya  ‘benteng’,  keduanya berfungsi sebagai pelindung bagi mereka yang tekun mengucapkan mantram-mantram Veda. Tentang pengucapan mantram, kitab Nirukta I.18 menyatakan sebagai berikut:

“Seseorang yang mengucapkan mantram (Veda) dan tidak memahami makna yang terkandung dalam mantram (Veda) itu, tidak pernah memperoleh penerangan seperti halnya sebatang kayu bakar, walaupun disiram dengan minyak tanah, tidak akan terbakar bila tidak disulut dengan api. Demikian orang yang hanya mengucapkan (membaca) mantram (Veda) tidak mendapatkan cahaya pengetahuan yang sejati”.

Penyelidikan terhadap bahasa Sanskerta di Eropa telah mulai sejak lama yakni permulaan abad XVII dan motifnya tidaklah murni, tetapi didorong oleh keinginan untuk menyebarkan agama Kristen atau Katolik. Hal ini dapat dibuktikan melalui tulisan-tulisan Dr. Max Muller pada tahun 1886. Ahli-ahli Eropa yang banyak berkecimpung di dalam mempelajari bahasa Sanskerta, antara lain: Max Muller, Weber, Sir Willian Jones, H.T. Colebrooke, Keilharn, Grimm, Grassmann, Jesperson, C.Wilkin, A.Roger, Roth, Griffith, A. A. Macdonell, M. M. William Monier, Hillebrant, Winternitz, dan lain-lain. Di Indonesia usaha menerjemahkan karya  Sanskerta ke dalam bahasa  Jawa Kuno telah lama dirintis di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada masa kejayaan kerajaan Hindu Nusantara termasuk Bali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar