WAYANG Sarat dengan Falsafah
Kekuatan utama
budaya wayang, yang juga merupakan jati dirinya, adalah kandungan nilai
falsafahnya. Wayang yang tumbuh dan berkembang sejak lama itu ternyata berhasil
menyerap berbagai nilai-nilai keutamaan hidup dan terus dapat dilestarikan
dalam berbagai pertunjukan wayang.
Bertolak dari
pemujaan nenek moyang, wayang yang sudah sangat religius, mendapat masukan
agama Hindu, sehingga wayang semakin kuat sebagai media ritual dan pembawa
pesan etika. Memasuki pengaruh agama Islam, kokoh sudah landasan wayang sebagai
tontonan yang mengandung tuntutan yaitu acuan moral budi luhur menuju
terwujudnya ‘akhlaqulkarimah’.
Proses akulturasi
kandungan isi wayang itu meneguhkan posisi wayang sebagai salah satu sumber
etika dan falsafah yang secara tekun dan berlanjut disampaikan kepada
masyarakat. Oleh karena itu ada pendapat, wayang itu tak ubahnya sebagai buku
falsafah, yaitu falsafah Nusantara yang bisa dipakai sumber etika dalam
kehidupan pribadi dan bermasyarakat.
Wayang bukan lagi
sekedar tontonan bayang-bayang atau ‘shadow play, melainkan
sebagai ‘wewayangane ngaurip’ yaitu bayangan hidup
manusia. Dalam suatu pertunjukan wayang, dapat dinalar dan dirasakan bagaimana
kehidupan manusia itu dari lahir hingga mati. Perjalanan hidup manusia untuk
berjuang menegakkan yang benar dengan mengalahkan yang salah. Dari pertunjukan
wayang dapat diperoleh pesan untuk hidup penuh amal saleh guna mendapatkan
keridloan Illahi.
Wayang juga dapat
secara nyata menggambarkan konsepsi hidup ‘sangkan paraning dumadi’,
manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali keharibaan-Nya. Banyak ditemui seni
budaya semacam wayang yang dikenal dengan ‘puppet show’,
namun yang seindah dan sedalam maknanya sulit menandingi Wayang Kulit Purwa.
Itulah asal-usul
wayang Indonesia, asli Indonesia yang senantiasa berkembang dari waktu ke
waktu. Secara dinamis mengantisipasi perkembangan dan kemajuan zaman.
Sumber : Buku
Mengenal Tokoh Wayang Indonesia
Oleh : Solichin,
Waluyo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar