LATAR SEJARAH
Candi Jabung terletak di Desa Jabung, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, bahan terbuat dari bata merah, dengan ukuran panjang 13,13 meter, lebar 9,6 meter, tinggi 16,42 meter. Candi menghadap ke barat, Batur dan kaki candi berdenah persegi, badan Candi berbentuk silinder dan atap berbentuk dagoba, tetapi bentuk dagoba ini sudah runtuh. Batur dan kaki candi berhias motif sulur-suluran pada panel maupun di dalam medalion. Badan candi kecuali mempunyai hiasan sulur-suluran juga relief cerita, yaitu cerita Sri Tanjung. Pada candi juga terdapat relung-relung yang dihiasi dengan Kepala Kala. Pada ambang pintu terdapat relief roset dengan angka tahun 1276 Saka (1354 m). Di dalam bilik candi masih terdapat lapikan arca. Atap candi juga berhias motif sulur-suluran.
Candi Jabung dalam Kitab Negarakertagama, pupuh XXXI diuraikan pada saat Raja Hayam Wuruk mengadakan perjalanan di daerah timur (th. 1359) setelah sampai di Kalayu berhenti untuk mengadakan upacara persembahan (nyekar = yakni upacara penaburan bunga). Kalayu adalah nama desa perdekan kasugatan, tempat candi makam sanak kadang Baginda Raja. Penyekaran di makam dilakukan sangat hormat “memegat sigi” nama penyekaran itu. Setelah selesai penyekaran, perjalanan diteruskan mengujungi desa-desa disekitarnya dan bermalam beberapa malam. Kalayu ditinggalkan dan perjalanan menuju ke Kutugan melalui Kebon Agung sampai Kembangrawi dan bermalam. Tanah anugerah Sri Nata kepada Tumenggung Nala, candinya budha menjulang tinggi sangat elok bentuknya. Paginya Baginda dan rombongan meneruskan perjalanan ke Halses, B’rurang, Patunjungan, terus langsung melintasi Patentanan, Tarup dan Lesan sampai di Pajarakan.
Disamping itu di Kitab Pararaton disebutkan bahwa di desa Sejabung terdapat bangunan suci yang diberi gelar abhiseka : Bajrajinaparamitapura. Bila diperhatikan dari urutan perjalanan dan nama-nama desa yang dilalui dan disinggahi maka bangunan suci tersebut kiranya dapat disamakan dengan Candi Jabung sekarang dan bersifat agama Budha.
ARTI DAN FUNGSI CANDI
R. Soekmono mengatakan bahwa candi adalah tempat pemujaan, bukan tempat pemakaman abu jenasah. Hal ini didasarkan pada upacara-upacara kematian di Bali, bahwa abu jenasah tidak pernah ditempatkan di Pura, akan tetapi langsung dibuang ke laut.
Para sejarawan yang mengadakan penelitian terhadap Candi Jabung, antara lain:
- Raffles, pada tahun 1817 yang hasilnya termuat dalam bukunya: History of Java.
- Verbeek, pada tahun 1887-1906 yang hasilnya termuat dalam: Reporte Van De Commiddie in Nederlandsch Indie.
- N.J. Krom, pada tahun 1923 yang hasilnya termuat dalam: Inleiding tot de Hindoo Javaansche Kunst.
- A.J. Bernet Kempers, yang hasilnya termuat dalam bukunya berjudul: Ancient Indonesian Art.
- Th. Paul Galestin yang menguraikan sedikit tentang bagian ragam bias bangunan rumah yang terpahat pada bangunan Candi Jabung.
- Pigeaud, yang hasil penelitiannya termuat dalam bukunya : Java in the 14 century, A study in cultural history. Menuliskan tentang latar belakang sejarah dan keagamaan Candi Jabung berdasarkan naskah kesusastraan Jawa Kuno Negarakertagama dan Pararaton.
- Nurhadi Magetsari, mendukung pendapat A.J Bernet Kempers bahwa atap Candi Jabung semula berbentuk bulat, sehingga latar belakang keagamaan Candi Jabung adalah Budha.
Pendapat para sejarawan tentang latar belakang sejarah dan keagamaan Candi Jabung adalah sebagai berikut:
- Dr. J.L.A Brandes di dalam bukunya Inlleiding totde Hindoo Javaansce Kunt, 1923, telah menguraikan tentang ragam bias yang terdapat pada tubuh, kaki dan batur Candi Jabung. Ia menjelaskan bahwa hiasan yang terdapat pada bangunan Candi Jabung sangat indah dan mempunyai arti yang nyata dan tegas serta merupakan formulasi khas Jawa Timur.
- Dr. N.J. Krom, disamping mengemukakan pendapat orang lain juga berpendapat bahwa bangunan Candi Jabung dapat dikaitkan dengan naskah Jawa Kuno Negarakertagama dan Pararaton. Berdasarkan Kitab Negarakertagama, Candi Jabung dapat dikaitkan dengan Kerajaan Majapahit masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Sedangkan berdasarkan Kitab Pararaton menyebutkan nama gelar Abhiseka Bajrajinaparamitapura. Krom berpendapat bahwa Candi Jabung bila ditinjau dari keagamaannya ialah agama Budha.
- A.J. Bernet Kempers, menduga bahwa atap bangunan Candi Jabung semula berbentuk stupa. Dugaannya berdasarkan atas sisa-sisa dasar atap yang masih tertinggal, di samping itu didukung pula oleh bentuk tubuh candi yang bulat. Berpangkal dari itu Kempers menyimpulkan bahwa agama yang menjiwai Candi Jabung adalah Budha.
- Th. G.Pigeand, berdasarkan naskah Negarakertagama dan Pararaton menduga latar belakang sejarah Candi Jabung dapat dikaitkan dengan kebesaran kerajaan Majapahit dan agama yang menjiwainya adalah agama Budha Tantra yakni dengan adanya istilah bajrajina yang dihubungkan dengan Rajapatni dengan Prajnaparamita. Dari pendapat beberapa peneliti tersebut dan berdasarkan naskah Negarakertagama dan Pararaton diketahui bahwa keagamaan Candi Jabung adalah Buddha dan berfungsi sebagai tempat pemujaan.
ARSITEKTUR DAN RAGAM HIAS CANDI JABUNG
Candi Jabung dibuat dari bahan batu merah dengan ukuran, panjang 13,11 meter, lebar 9,58 meter, dan tinggi 15,58 meter. Pada saat sebelum diadakan pemugaran candi berdiri pada sebidang tanah yang berukuran 35 X 40 meter dan sekarang telah mendapatkan perluasan tambahan tanah hasil pengadaan seluas 20.042 m2, Candi Jabung terletak pada ketinggian 8 meter di atas permukaan air laut. Berdasarkan letak pintu bilik candi terletak di sebelah barat, maka Candi Jabung tersebut menghadap ke barat. Pada sisi barat masih terlihat bagian yang menjorok ke depan merupakan bekas susunan tangga naik memasuki candi.
Pada bangunan candi umumnya terdiri dari bagian soubasement, bagian kaki candi, tubuh candi, dan atap candi, demikian juga halnya yang terdapat pada Candi Jabung. Ditinjau dari sudut arsitektur Candi Jabung sangat menarik, karena bagian tubuhnya berbentuk bulat (silinder) yang berdiri diatas bagian candi yang bertingkat tiga berbentuk persegi. Sedangkan bagian atapnya berbentuk stupa. Uraian singkat bagian demi bagian sebagai berikut:
1. Bagian Dasar Candi
Bagian Soubasemant
Candi Jabung berukuran pajang 13,11 meter, lebar 9,58 meter. Di atas bagian soubasement / dasar terdapat selasar keliling yang sempit dan terdapat beberapa panil relief yang belum diketahui secara pasti jalan ceritanya. Panil relief tersebut menggambarkan kehidupan sehari-hari, antaralain:
a. Seorang pertama memakai surban berhadapan dengan muridnya.
b. Dua orang lelaki yang sedang berada dekat sumur, salah seorang sedang memegang tali timba.
c. Di antara panil-panil tersebut terdapat bidang panil yang berbentuk bulat menonjol semacam medalion. Sayang sekali relief yang terdapat dalam medalion tersebut sudah aus, sehingga sulit untuk diketahui.
d. Terdapat pula relief/pahatan singa yang sedang berhadapan muka dengan singa yang lain dan ekornya masing-masing melengkung keatas menyerupai bentuk sulur daun. Di samping saling berhadapan singa tesebut juga saling bertolak belakang.
2. Bagian Kaki Candi
Pada dasarnya bentuk fondasi segi empat, hanya bagian barat atau sisi depan terdapat yang menjorok keluar sebagian fondasi atau bagian konstruksi yang mendukung tangga naik. Keadaan sebelumnya dipugar disisi sebelah timur atau belakang terdapat lubang akibat tangan jahil manusia untuk mencari harta karun yang diperkirakan disimpan dibagian tengah bawah candi.
Dari lubang tersebut kita mengetahui bahwa dibagian bawah tengah Candi Jabung terdapat sebuah bilik segi empat dengan ukuran 130 X 130 cm tanpa terdapat pintu untuk memasukinya. Selama pemugaran berlangsung lubang disisi sebelah timur telah ditutup kembali sesuai dengan keadaan semula.
Bagian kaki candi dibagi menjadi 2 (dua) kaki candi, dengan keadaan sebagai berikut:
a. Bagian kaki candi tingkat pertama.
Bagian kaki candi pertama dimulai dari lis diatas fondasi berbentuk agief dengan hiasan daun padma, kemudian lis datar dengan ketinggian lebih kurang 60 cm. Diatas lis-lis tersebut terdapat bidang panil yang terdiri dari 36 lapis batu merah atau setinggi 2 meter. Pada bidang panil dipahatkan motif medion, bidang tegak dan ornamen daun-daunan yang kesemuanya sudah tidak begitu jelas karena aus. Pada bidang tegak umumnya dipahatkan lukisan manusia, binatang dan pohon-pohonan.
b. Bagian kaki candi tingkat kedua.
Bagian kaki candi tingkat kedua bentuknya hampir sama dengan bagian kaki candi tingkat pertama, yakni dimulai hiasan daun padma dan lis datar. Dibeberapa bagian terdapat bagian vertikal selebar 50 cm berisi ukiran kala dan ornamen daun-daunan.
.
3. Bagian Tubuh Candi.
Sebelum sampai kebagian tubuh candi masih terdapat bagian yang dinamakan bagian duduk tubuh. Bagian duduk tubuh dimulai setelah bagian kaki candi tingkat kedua. Pada bagian duduk tubuh mulai tampak peralihan bentuk dari bagian kaki candi yang persegi menuju kebagian tubuh candi yang bulat (silinder). Pada penampilan ketiga sisinya (utara, timur dan selatan) masih tampak jelas bentuk persegi, tetapi pada bagian sudut-sudutnya sudah berbentuk bulat. Pada bagian bulat ditengah-tengahnya dipahatkan ragam bias kala dan sulur gelang di kanan kirinya, tetapi bentuk kala dari ketiga sudut tersebut bentuknya berbeda-beda, demikian juga halnya ragam bias sulur bervariasi.
Pada bagian penampil yang menjorok keluar terdapat bidang-bidang panel berbentuk mendatar dan tegak. Bidang panil tegak terdapat pada salah satu bagian candi yang mengalami kerusakan (penggaraman) sudut-sudut dan tengah, sedangkan bidang panil mendatar terletak diantara bidang panil tegak. Pada panil-panil dibagian duduk tubuh terdapat relief manusia, rumah dan pohon-pohonan. Sebagian relief sudah tidak jelas karena aus. Di sudut tenggara dapat kita lihat relief seorang wanita naik diatas punggung seekor ikan. Dari relief ini dapat kita ketahui cerita yang dipahatkan, yakni cerita Sri Tanjung. Secara singkat jalan ceritanya adalah sebagai berikut:
Ada seorang kesatria bernama Sidapaksa mengabdi pada Raja Sulakrama dari Negara Sindureja. Pada suatu hari Sidapaksa disuruh sang raja untuk mencari obat kedukuh Prangalas, menghadap sang Pendeta Tambapetra. Sang pendeta mengatakan agar obat itu ditanyakan saja kepada para pujangga. Sesaat Sidapaksa berdiam di Dukuh Prangalas mengetahui cucu pendeta Tambapetra yang cantik bernama Sri Tanjung. Sidakpaksa merasa jatuh cinta kepadanya, sehingga pada suatu malam menemui Sri Tanjung dan menyampaikan isi hatinya. Ternyata kedua-duanya saling mencintai dan sepakat malam itu juga keduanya pergi dari dukuh Prangalas. Pada keesokkan harinya ibunya melaporkan kepada pendeta Tambapetra dan mendapat jawaban bahwa sebenarnya Raden Sidapaksa dan Sri Tanjung masih cucunya sendiri dan sebenarnya dia adalah seorang dewa.
Raden Sidapaksa telah hidup bersama-sama dengan Sri Tanjung di Negara Sindureja. Sang Raja Sulakrama mendengar kabar bahwa isteri Raden Sidapaksa sangat cantik, sehingga hal tersebut mengakibatkan timbul rasa jatuh cinta kepada Sri Tanjung. Untuk mencapai kehendaknya tersebut Sang Raja Sulakrama ingin membunuh Raden Sidapaksa dengan jalan disuruh mengantarkan surat yang ditujukan kepada Dewa Indra di kayangan yang isinya menagih hutang berupa emas tiga batang dan benang tiga gulung. Raden Sidapaksa merasa kebingungan, karena tidak dapat terbang. Kesedihan Raden Sidapaksa diketahui Sri Tanjung, sehingga untuk melaksanakan tugas tersebut Sri Tanjung memberikan Kotang Antakusuma warisan dari ayahnya yang bernama Raden Sadewa. Kotang tersebut pemberian dari Batari Durga ketika Raden Sadewa berhasil meruwat Batari Durga yang berwujud raksasa berubah menjadi bidadari lagi.
Dengan kelengkapan Kotang Antakusuma tersebut Raden Sidapaksa berangkat menunaikan tugas yang diberikan oleh Sang Raja. Pada saat Raden Sidapaksa menjalankan tugas tersebut Sang Raja Sulakrama membujuk Sri Tanjung untuk dijadikan permaisuri. Permintaan Sang Raja tersebut ditolaknya dan Sang Raja pulang dengan rasa malu.
Raden Sidapaksa telah sampai di surga dan menyampaikan surat dari sang Raja Sulakrama kepada Dewa Indra. Surat dibuka yang isinya menerangkan bahwa : Raden Sidapaksa datang kesurga akan merusaknya. Para Dewa setelah mengetahui isi surat tersebut sangat marah dan Raden Sidapaksa dilawan, tetapi semua Dewa kalah. Hanya Dewa Indra yang yang dapat menangkap Sidapaksa dan akan di potong lehernya. Pada saat yang kritis tersebut Raden Sidapaksa menyebut nama-nama para Pendawa dan ayahnya Nakula. Akhirnya Dewa Indra mengetahui bahwa Raden Sidapaksa adalah cucunya sendiri, sehingga tidak jadi dibunuh bahkan dipestakan selama tujuh hari disurga. Setelah selesai pesta Raden Sidapaksa diharapkan turun kebumi menuju ke Negara Sindureja menyerahkan tiga batang emas dan tiga gulung benang kepada Raja Sulakrama. Sang Raja terkejut dan merasa takut atas kedatangan Raden Sidapaksa. Takut kalau perbuatannya diketahui oleh Raden Sidapaksa. Untuk mengatasinya Sang Raja memutarbalikkan kenyataan.
Pada saat Raden Sidapaksa masih baru datang dalam keadaan payah sekali Raja Sulakrama memberitahukan tingkah laku Sri Tanjung meminta kepada Raja untuk dijadikan permaisuri ketika ditinggal menunaikan tugas kekayangan. Namun permintaan Sri Tanjung tersebut ditolaknya mengingat Raden Sidapaksa masih mencintainya dan hal demikian tidaklah baik. Raden Sidapaksa mendengar berita yang dituturkan kepadanya menjadi panas dan marah sekali, karena merasa malu atas tingkah laku Sri Tanjung. Raden Sidapaksa tanpa minta ijin sang Raja untuk menebus dosa dengan jalan membunuhnya.
Sesampainya dirumah Sri Tanjung ditarik keluar rumah dibawa kehutan Gandalayu. Sri Tanjung akan dibunuh dan sebelumnya berpesan, bilamana nanti darah yang keluar berbau busuk berarti memang berbuat serong, namun bila berbau wangi/harum maka apa yang dikatakan Sang Raja adalah tidak benar. Setelah dibunuh darah yang keluar dari badan Sri Tanjung berbau harum, akhirnya Raden Sidapaksa kecewa dan mengakibatkan terganggu jiwanya (gila). Jiwa Sri Tanjung berkumpul dengan orang-orang yang telah meninggal dunia melihat-lihat neraka yang penuh siksaan akhirnya kepintu surga bertemu dengan penjaga surga. Sang Penjaga Surga mengetahui bahwa Sri Tanjung belum waktunya meninggal dunia, maka disuruhnya pulang lagi kebumi. Sepulangnya Sri Tanjung ke bumi timbullah malapetaka dan beraneka macam kejadian ajaib. Dengan keadaan demikian turunlah Dewi Durga kebumi, kemudian menghidupkan lagi Sri Tanjung. Sri Tanjung disuruh pulang ke Prangalas dan diantar oleh Dewi Kalika. Setibanya dirumah Sri Tanjung menceritakan kejadian kepada kakeknya, kemudian Sri Tanjung diruwat untuk menghilangkan segala bala yang menimpanya.
Raden Sidapaksa yang menderita gila pergi kemana-mana dan akhirnya sampai lagi ke hutan Gandalayu. Raden Sidapaksa berniat bunuh diri, namun Dewi Durga mengetahuinya dan merasa kasihan maka disuruhnya pulang kedukuh Prangalas dan diberitahu bahwa Sri Tanjung sudah hidup lagi.
Raden Sidapaksa atas perintah Dewi Durga pergi ke dukuh Prangalas dan bertemu kembali dengan Sri Tanjung. Sri Tanjung menolak ajakan Raden Sidapaksa untuk berkumpul kembali. Sri Tanjung mau menerima kehendak Raden Sidapaksa, bilamana sudah dapat membersihkan kakinya (keset) dengan kepala Sulakrama. Raden Sidapaksa didorong oleh rasa cinta kasihnya kepada Sri Tanjung lari ke Negara Sindureja untuk membunuh Sang Raja Sulakrama. Akhirnya Raden Sidapaksa berhasil membunuhnya dan kepalanya diserahkan kepada Sri Tanjung untuk dijadikan keset. Dengan terpenuhinya permintaan Sri Tanjung akhirnya Raden Sidapaksa kembali hidup bahagia bersama Sri Tanjung.
Pada panil-panil yang lain terdapat relief-relief kemungkinannya berkaitan dengan rangkaian cerita Sri tanjung atau cerita lain.
Setelah bagian duduk candi kemudian diteruskan derngan bagian tubuh candi yang berbentuk bulat (silinder). Sampai sekarang bagian tubuh candi masih terlihat kuat, cukup stabil dan dihiasi relief dan ukiran yang sangat indah serta halus pahatannya. Ditengah-tengah bagian tubuh candi terdapat ban melingkar seperti ikat pinggang selebar 14 lapis batu merah. Pada tiap-tiap penampil sisi utara, timur dan selatan terdapat bagian yang menjorok keluar berbentuk pintu semu. Diatas pintu semu dipahatkan bentuk kala yang diukir secara halus dan meriah. Di bagian bawah dari ambang pintu berbentuk segi empat lebih menonjol keluar yang ditengahnya dipahatkan kepala naga dan bila dirangkaikan disebut “Kala Naga”.
Pada penampil sisi barat lebih menonjol bilamana dibandingkan dengan penampil sisi-sisi lainnya. Hal ini dikarenakan oleh adanya tangga naik/masuk menuju kebilik candi yang dihubungkan dengan pintu masuk. Pada kaki ambang pintu terdapat dua lis yang terletak disebelah kanan dan kiri. Pada bagian atas bingkai pintu masuk terdapat balok batu kali berwarna hitam dengan hiasan pahatan motif roset yang ditengah-tengahnya dipahatkan tulisan angka tahun 1276 Saka atau tahun 1354 masehi. Angka tahun ini dapat dipakai sebagai bukti masa pembangunan Candi Jabung. Diatas balok batu kali tersebut dahulunya terdapat bentuk kala seperti terdapat pada penampil sisi-sisi yang lain, namun sekarang sudah tidak dapat dilihat karena rusak dimakan zaman.
Pada bagian tengah tubuh candi melalui pintu tersebut dapat melihat bilik candi. Bilik candi berukuran 2,60 X 2,58 meter dan tingginya 5,52 meter yang dibagian atasnya terdapat batu penutup cungkup yang berukir. Didalam bilik candi tedapat altar yang menempel pada dinding sebelah utara, timur dan selatan. Pada dinding sebelah timur terdapat tanda-tanda kerusakan, sehingga hal ini memberikan petunjuk kemungkinan semula ditempat itu diletakkan arca pemujaan.
4. Bagian Atap Candi.
Sebagian dari bagian atap candi sudah hilang. Dan sisa-sisa bagian atap candi kemungkinan besar puncaknya berbentuk stupa. Sekarang yang dapat kita lihat beberapa tingkat bingkai saja, terdiri dari lis-lis datar dan deretan bingkai-bingkai tegak, bertingkat-tingkat. Bagaimana bentuk dan berapa tingginya atap belum dapat diketahui, karena sebagian besar dari stupa atau puncak candi sudah hilang.
Di samping candi induk yakni Candi Jabung masih terdapat sebuah candi yang disebut Candi Menara Sudut (candi sudut), karena memang letaknya disudut bagian pagar. Candi Menara terbuat dari batu merah sejenis dengan bahan yang dipakai pada candi induk. Bangunan Candi Menara Sudut berukuran tiap-tiap sisi 2,55 meter dengan ketinggian sekitar 6 meter. Pada dinding sisi timur dan utara terdapat bekas susunan tembok membujur ketimur dan keutara, sedangkan disisi barat dan selatan tidak terdapat tanda-tanda bekas tembok (polos, asli). Dengan data tersebut kemungkinan dahulu Candi Jabung dikelilingi oleh pagar tembok keliling dan candi menara Sudut itu merupakan bangunan sudut pagar.
PENUTUP
Semoga buku ini dapat berguna bagi para pemula, dan peminat sejarah untuk memahami sejarah bangsanya. Fungsi Candi adalah sebagai tempat pemujaan bukan sebagai tempat pemakaman. Candi Jabung menjadi salah satu candi yang penting ketika Hayam Wuruk menjadi raja. Candi ini memiliki bentuk yang paling unik yang tidak ditemukan di Indonesia yang menggambarkan adanya lokal genius bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar