Jumat, 29 Juni 2012

Waturenggong

Úrì Waturenggong, 1458 – 1550

Setelah Dalêm Kêtut Smara Kapakisan wafat, digantikan oleh puteranya Úrì Waturenggong, yang telah dinobatkan sebagai raja muda sejak 1458. Dalam pemerintahannya pulau Bali tetap seperti dahulu kala, negeri aman sentosa.


Lama kelamaan para menteri tua sudah tiada, semuanya telah wafat, digantikan oleh puteranya masing-masing dengan kedudukan yang tetap seperti semula; antara lain Ki Gusti Batanjêruk, anak Rakryan Patih Patandhakan, menggantikan ayahnya sebagai patih kerajaan Bali. 

Kesetiannya seperti orang tuanya masing-masing. Para menteri yang lain tetap ditempatnya masing-masing, tidak jauh berbeda dengan adat-istiadatnya dahulu. Úrì Waturenggong sangat berwibawa, pandai dan bijaksana mengikat hati rakyatnya, tak terkatakan kesentosaannya, terpengaruh oleh ketinggian/keluhuran budi raja, yang amat terpuji kebijaksanaannya mengendalikan roda pemeritnahan.

Dalam masa pemerintahan Dalêm Waturenggong itu, datanglah ke Bali seorang pendeta Úiwa, Dhanghyang Nirartha, pada tahun 1489. Beliau berasal dari Majapahit, terkenal dengan gelar Dhanghyang Dwijendra, sangat dihormati oleh karena kebesaran jiwa dan pengabdiannya memberikan kesejahteraan rohani dan mengatasi keseng-saraan hidup. 

Beliau banyak melakukan dharmayatra yaitu di Jawa Timur (Daha, Majapahit, Pasuruhan, Blambangan), di Bali, di Lombok dan di Sumbawa. Di Bali beliau terkenal dengan gelar Ida Pêdanda Sakti Wawu Rawuh atau Dhanghyang Nirartha. Di Lombok terkenal sebagai Pangeran Sangupati dan di Sumbawa terkenal sebagai Tuwan Sumeru.

Dalêm Waturenggong menyambut kedatangannya dengan gembira dan sangat hormat. Ketika mendengar kabar bahwa Dhanghyang Nirartha berada di desa Mas, Dalêm Waturenggong segera mengutus Kyayi Panulisan Dauh Baleagung untuk menjemput Ida Pêdanda Sakti Wawu Rawuh supaya datang ke Gelgel. 

Luar biasa penghormatan yang diberikan oleh Dalêm untuk Ida Pêdanda Sakti Wawu Rawuh. Setiap purnama dan tilêm, Dalêm disucikan oleh Dhanghyang Nirartha. Dalêm berhasil menikmati kesucian dan keluruhan rohani, merasuk pada jiwanya, bersemarak pula kewibawaan Dalêm, karena Hyang Widhi selalu ada padanya. Demikianlah pada akhirnya Dalêm Waturenggong dikukuhkan dengan pensucian (ababåsih/diniksan) oleh Dhanghyang Dwijendra.

Dharmayatra Dhanghyang Nirartha di Bali benar-benar mengesankan, memperkokoh dharma dan banyak pura-pura yang didirikan oleh beliau pada waktu itu, untuk membangkitkan kesadaran beragama.

Pura-pura yang mempunyai hubungan dengan riwayat kehidupan Danghyang Nirartha antara lain : Pura Purancak dan Pura Rambut Siwi di Negara, Pura Pulaki dan Pura Ponjok batu di Buleleng, Pura Tanah Lot di Tabanan, Pura Peti Tenget dan Pura Ulu Watu di Badung, Pura Air Jeruk di Gianyar dan Pura Batu Klotok di Klungkung.

Karya-karya beliau dalam kesusasteraan antara lain, Dharmasunia, Sunarigama, Jong beru, Usana Bali, dan lain-lainnya. Ida Pêdanda Sakti Wawu Rawuh yang merintis pendirian pelinggih untuk Hyang Úiwa yaitu Padmasana, sebagai penyempurnaan bentuk pêlinggih têpasana. Tampaknya Ida Pêdanda Sakti Wawu Rawuh telah mengadakan pembaharuan terhadap Pura Bêsakih, baik bangunannya maupun sistem upakaranya. 
Pêlinggih têpasana disempurnakan menjadi pêlinggih Padmatiga di atas dasar têpasana yang menjadi inti kesucian Pura Pênataran Agung Bêsakih, sebagai pêlinggih (singhasana) Sang Hyang Tri Puruûa yaitu Sang Hyang Úiwa, Sang Hyang Sada Úiwa dan Sang Hyang Parama Úiwa. Beliau meninggalkan dunia ini dengan mencapai moksa di Uluwatu. Untuk beliau dibuatkan sebuah pelinggih sebagai tanda peringatan dari rakyat ditempat itu juga.

Pada waktu itu juga, tidak lama setelah kedatangan Dhanghyang Dwijendra di Bali, datanglah pula Dhanghyang Asthapaka seorang pendeta Budha Mahayàna yang juga berasal dari Majapahit. Dalam pelayarannya dari Blambangan, beliau singgah dan menginap di pulau Sêrangan, dimana kemudian didirikan pura Sakhyana (Sakenan). Dari pulau Sêrangan beliau berlayar kearah timur dan akhirnya menetap disuatu daerah bukit di Karangasêm yang kini bernama Budha Kêling.

Waktu Dalêm Waturenggong masih jejaka, datanglah utusan golongan agama Islam dari Jawa bernama Ki Moder, menghadap hendak mengislamkan Dalêm Waturenggong, dengan membawa pisau cukur dan gunting. Pisau itu disayatkannya pada telapakan kaki Dalêm, maka pisau itu jadi tumpul dan susut seperti kena gurinda. Sedangkan guntingnya diguntingkan bulu tangan dan bulu kaki Dalêm, tetapi gunting itu patah. Benar-benar digdaya Úrì Waturenggong, kata-katanya tajam, apa yang diucapkannya semua terjadi (wakbhajra sidhi ngucap) sehingga usaha Ki Moder untuk mengislamkan raja Bali gagal, dan ia kembali ke negerinya karena perintah (sapa) Dalêm Waturenggong.

Lama kiranya Úrì Aji Waturenggong bertahta di Bali sebagai seorang raja besar, kerajaan Gelgel mencapai jaman keemasannya. Namun usia raja semakin lanjut dan akhirnya tahun 1550 Dalêm Waturenggong wafat.

Setelah Dalêm Waturenggong wafat, digantikan oleh puteranya, Ida I Dewa Pêmayun, yang bergelar Úrì Aji Pêmayun Bêkung, pada tahun 1560. Kemudian tahun 1580 Ida I Dewa Pêmayun digantikan oleh adiknya Ida I Dewa Anom Sêganing (1580-1665).

Dalam masa pemerintahan Ida Dewa Agung Istri Kania (Dewa Agung Istri Balemas) di Kerajaan Kelungkung (1822-1860), telah diselenggarakan yajña besar Ekadaúa Rudra di Pura Besakih. Dalam upacara itu dikorbankan bermacam-macam jenis binatang, termasuk seekor badak. Badak tersebut diperoleh dari persembahan De Nederlandsche Handelmaatschappij (sebuah perusahaan Belanda) yang diangkut dengan kapal “Blora” yang berlabuh di pantai Kuta (Badung) pada tanggal 30 Juli 1839.

Tetapi menjelang upacara, badak itu terlepas. Pada waktu peristiwa itu terjadi, ikut hadir seorang pendeta dari Gêria Têgalsuci Tampaksiring Gianyar, yaitu Ida Pêdanda Gêde Rai, yang ikut serta menjinakkan dan menangkap kembali badak yang terlepas itu. Peristiwa pengorbanan badak tersebut dilukiskan dalam bentuk têmbang yang berjudul “Gaguritan Padêm Warak” oleh Anak Agung Pamêrêgan.

Demikianlah seterusnya Wangsa Kåûóa Kapakisan memerintah di Bali turun-temurun, sampai akhirnya kerajaan Kêlungkung di kalahkan Belanda dalam tahun 1908. Dalam pertempuran itu, raja Kêlungkung Ida I Dewa Agung Gêde Jambe, gugur dalam perang puputan Kelungkung tanggal 28 April 1908.

Perlu pula diketahui bahwa apapun yang terjadi sampai saat ini Penguasa/Pemerintah dan rakyat Bali (Hindu) tetap pada keyakinannya akan kebenaran ajaran Agama Hindu, dengan tetap taat menjalankan upacara Agama Hindu seperti sediakala. Tetap taat melaksanakan upacara-upacara yajña di Pulau Bali, yajña di sadkahyangan, di pura dhangkahyangan, di kahyangan tiga serta di semua tempat-tempat pemujaan, baik pemujaan umum (jagat) maupun pemujaan keluarga (pamêrajan). 

Tetap taat bakti melaksanakan yajña di Pura Bêsakih (Pañca Wali Krama, Ekàdàúa Rudra dan sebagainya), di Pura Batur dan di Pura Batukaru. Setiap Tilêm Kasanga tetap malaksanakan bhùtayajña (tawur/caru) dan keesokan harinya Nyêpi (Tahun Baru Úaka). Pada setiap Budha (Rebo) Kêliwon Dunggulan melaksanakan upacara Galungan. Pada setiap Saniscara (Sabtu) Umanis Watugunung tetap melaksanakan upacara Hari Suci Saraswati, dan banyak lagi hari-hari suci lainnya yang tetap dirayakan dengan rasa bhakti.

Pada tanggal 8 Maret 1963 atau Sukra (Jumat) Pon Julungwangi tahun 1885 Úaka, di Pura Bêsakih telah diselenggarakan Karya Agung Ekàdàúa Rudra oleh Pemerintah Daerah Bali bersama-sama masyarakat Hindu di Bali. Karya Agung Ekàdàúa Rudra di Pura Bêsakih dilaksanakan setiap seratus tahun sekali yaitu pada saat tahun Úaka menunjukkan angka puluhan dan angka satuannya 0 (nol). atau pada waktu penyelenggaraan Karya Pañca Wali Krama yang kesepuluh. Adapun Karya Pañca Wali Krama diselenggarakan setiap sepuluh tahun sekali yaitu pada saat tahun Úaka menunjukkan angka satuannya 0 (nol).

Mengenai Karya Agung Ekàdaúa Rudra tahun 1963 yang lalu dimana tahun Úakanya adalah 1885 (angka puluhan dan satuannya tidak nol) dijelaskan bahwa karya tersebut adalah sebagai Karya Ekàdàúa Rudra “Panêrêgtêg” atau “Panêbusan” karena di waktu-waktu sebelumnya hampir selama berabad-abad Ekàdàúa Rudra dilupakan dan tidak diadakan di Pura Bêsakih.

Pada tanggal 28 Maret 1979 pada hari Budha (Rebo) Paing Wariga, Tilêm Chaitra (Kasanga) tahun 1900 Úaka diselenggarakan lagi Karya Ekàdàúa Rudra di Pura Bêsakih. Pelaksanaan Karya Agung Ekàdàúa Rudra tahun 1979 (1900 Úaka) kali ini benar-benar sesuai dengan ketentuan mengenai Karya Agung Ekàdàúa Rudra yang tersurat di dalam lontar-lontar, yaitu dilaksanakan pada saat tahun Úaka menunjukkan angka puluhan dan angka satuannya 0 (nol).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar