Tribhuwanottunggadewi, 1328 – 1350
Dengan
tidak adanya pengganti raja dari keturunan Jayanagara, semestinya
Gàyatri atau Ràjapatni yang menggantikan memegang tampuk pemerintahan.
Akan tetapi karena Gàyatri telah menjadi bhikûuni, maka anaknya Bhre
Kahuripan yang naik tahta dengan gelar Tribhuwanottunggadewi
Jayawiûóuwarddhani, dalam tahun 1328 itu juga.
Dalam
tahun 1331 timbul pemberontakan di Sadeng dan Kêta (daerah Besuki).
Dengan didampingi Gajah Mada, raja puteri Tribhuwanotunggadewi dapat
menindas pemberontakan Sadeng tersebut pada tahun itu juga.
Setelah
pemberontakan Sadeng dapat dipadamkan, Gajah Mada diangkat menjadi
Patih Amangkubumi pada tahun 1336. Di depan sidang para menteri dan raja
Tribhuwana, Gajah Mada mengucapkan sumpah untuk mempersatukan
Nusantara, yang dikenal dengan Sumpah Palapa Gajah Mada sebagai berikut :
“Lamun huwus kalah Nùsantara isun amukti palapa, amun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa.”
Langkah
pertama untuk mempersatukan Nusantara dilaksanakan dengan menyerang
kerajaan Bali pada tahun 1343 dipimpin langsung oleh Gajah Mada bersama
Adityawarmman (Aryya Dhamar).
Pada
tahun 1350 Tribhuwanottunggadewi turun tahta dan digantikan oleh
puteranya, Hayam Wuruk yang lahir tahun 1334 dari perkawinannya dengan
Kåtawarddhana.
Data lain dari blog Wong Jawa
Raja Jayanegara tidak berputera, maka sepeninggalnya pada tahun 1328, beliau digantikan oleh adik perempuannya yaitu Bhre Kahuripan yang dinobatkan menjadi raja Majapahit dengan gelar abhiseka Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani. Beliau menikah dengan Cakradhara atau Cakreswara yang menjadi raja di Singhasari (Bhre Singhasari) dengan gelar Kertawarddhana. Adik Tribhuwana yang menjadi Bhre Daha dengan nama Rajadewi Maharajasa kawin dengan Kudamerta yang menjadi Bhre Wengker dengan nama Wijayarajasa.
Data lain dari blog Wong Jawa
Raja Jayanegara tidak berputera, maka sepeninggalnya pada tahun 1328, beliau digantikan oleh adik perempuannya yaitu Bhre Kahuripan yang dinobatkan menjadi raja Majapahit dengan gelar abhiseka Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani. Beliau menikah dengan Cakradhara atau Cakreswara yang menjadi raja di Singhasari (Bhre Singhasari) dengan gelar Kertawarddhana. Adik Tribhuwana yang menjadi Bhre Daha dengan nama Rajadewi Maharajasa kawin dengan Kudamerta yang menjadi Bhre Wengker dengan nama Wijayarajasa.
Dari kakawin Negarakertagama
kita mengetahui bahwa dalam masa pemerintahan Tribhuwana telah terjadi
pemberontakan di Sadeng dan Keta pada tahun 1331. Pemberontakan itu
dapat dipadamkan oleh Gajah Mada. Kitab Pararaton memberikan versi yang
panjang lebar tentang peristiwa Sading itu. Arya Tadah yang waktu itu
menjabat Patih Amangkubhumi di Majapahit sedang jatuh sakit. Ia meminta
kepada Gajah Mada supaya mau dicalonkan sebagai Patih Amangkubhumi
menggantikan dirinya. Gajah Mada tidak mau sebelum ia kembali dari
Sadeng untuk menumpas pemberontakan. Maka berangkatlah ia ke Sadeng,
tetapi telah kedahuluan oleh Kembar. Ia memerintahkan para mantri untuk
menundukkan Kembar, tetapi Kembar membangkang. Akhirnya pemberontakan
itu dapat dipadamkan setelah baginda raja turun tangan sendiri, kemudian
Gajah Mada diangkat menjadi Patih Amangkubhumi.
Sesudah peristiwa Sadeng tersebut kemudian muncul suatu peristiwa yang amat terkenal dalam sejarah, yaitu Sumpah Amukti Palapa yang diucapkan oleh Gajah Mada.
Gajah Mada bersumpah di hadapan raja dan para pembesar Majapahit, bahwa ia tidak akan amukti palapa
sebelum ia dapat menundukkan Nusantara, yaitu Gurun, Seran,
Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik.
Setelah peristiwa sumpah palapa tersebut, peristiwa yang kedua adalah penaklukan
Bali pada tahun 1343, raja Bali yang berkelakuan jahat dan berbudi
rendah dapat dibunuh beserta segenap keluarganya. Mungkin sekali raja
Bali tersebut adalah Sri Astasura Ratna Bumi Banten yang dikenal dalam prasasti Langgaran (Langgahan) tahun 1338.
Berita Cina yang berasal dari seorang pedagang yang bernama Wang Ta-yuan mencatat hal-hal yang menarik perhatian dalam perjalanannya, catatan-catatan tersebut dihimpun dalam suatu buku Tao-ichih-lueh yang ditulis sekitar tahun 1349, menceritakan bahwa She-po (Jawa)
sangat padat penduduknya, tanahnya subur dan banyak menghasilkan padi,
lada, garam, kain dan burung kakak-tua yang kesemuanya merupakan barang
ekspor utama. Banyak terdapat bangunan yang indah di She-po, dari luar
She-po mendatangkan mutiara, emas, perak, sutera, bahan keramik dan
barang dari besi. Mata uang dibuat dari campuran perak, timah putih,
timah hitam dan tembaga. Banyak daerah yang mengakui kedaulatan She-po,
antara lain beberapa daerah di Malaysia, Sumatra, Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Timur serta beberapa daerah lain di Indonesia bagian Timur.
Pada tahun 1334 lahirlah Putera Mahkota yang benama Hayam Wuruk,
yang kelahirannya disertai dengan alamat gempa bumi, hujan abu, guntur
dan kilat bersambungan di udara sebagai akibat meletusnya gunung Kampud.
Tribhuwana memerintah selama
duapuluh dua tahun lamanya, dan pada tahun 1350 beliau mengundurkan diri
dari pemerintahan dan digantikan oleh puteranya Hayam Wuruk. Dari kitab
Pararaton dan Negarakertagama kita mengetahui bahwa pada tahun 1362
Tribhuwana memerintahkan penyelenggaraan upacara sraddha
untuk memperingati duabelas tahun wafatnya Rajapatni Dyah Dewi
Tribhuwaneswari. Pada tahun 1372 Tribhuwana meninggal dunia dan di
dharmakan di Panggih (tepatnya di wilayah Klinterjo sekarang, karena
pada Yoni Nagaraja yang ada terpahat angka tahun meninggalnya
Tribhuwanottunggadewi), pendharmaannya bernama Pantarapurwa. Untuk lebih jelasnya silahkan baca Yoni Klinterjo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar