Jumat, 29 Juni 2012

Rajasanagara / Hayam Wuruk

Ràjasanagara, 1350 – 1389

Hayam Wuruk memerintah dengan gelar Ràjasanagara. Dengan Gajah Mada sebagai patihnya, kerajaan Majapahit mengalami jaman keemasannya. Sumpah Palapa Gajah Mada dapat terlaksana dan seluruh kepulauan Indonesia (Nusantara) bahkan juga sampai ke semenanjung Malaka, mengibarkan panji-panji Majapahit, sedangkan hubungan persahabatan dengan negara-negara tetangga berlangsung dengan baik.


Kecuali sebagai negarawan, Gajah Mada terkenal pula sebagai ahli hukum. Kitab hukum Kutàramànawa disusunnya berdasarkan Kutàraúàstra dan kitab hukum Hindu Mànawaúàstra, dan disesuaikan dengan hukum adat yang sudah berlaku pada jaman itu.

Di dalam bidang keagamaan diangkatnya dua orang pejabat tinggi yaitu, Dharmàdhyakûa ring Kaúewan, adalah pejabat tinggi agama Úiwa yang diberi tugas untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan agama Úiwa; dan Dharmàdhyakûa ring Kasogatan, adalah pejabat tinggi agama Budha yang diberi tugas untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan agama Budha.

Gajah Mada wafat pada tahun 1364. Timbullah kesulitan mencari pengganti Gajah Mada. Hayam Wuruk dan para bangsawan serta para pembesar kerajaan mengadakan rapat, dan kesimpulannya ialah bahwa Gajah Mada tidak dapat digantikan; jabatan apa yang dulu dipegang oleh Gajah Mada, sekarang diserahkan kepada empat orang menteri.

Pemerintahan yang baru ini terutama berusaha mengekalkan keutuhan negara. Maka tindakan-tindakannya terutama ditujukan pada kemakmuran rakyat dan keamanan daerah-daerah. Candi penghormatan untuk Tribhuwanottunggadewi yang di Panggih diperindah. Tempat suci Palah (candi Panataran) diperbaiki dan diperluas, ditambah sebuah candi perwara dalam tahun 1369, dan sebuah batur pendopo untuk saji-sajian dalam tahun 1375. Candi Jabung dekat Keraksaan yang telah didirikan tahun 1354 kini disempurnakan, sedang disekitar 1365 diselesaikan dua candi dekat Kediri yaitu candi Surawana dan candi Tigawangi. Dalam tahun 1371 dibangun candi Pari di Porong.

Dalam bidang kesusasteraan jaman Hayam Wuruk sangat maju. Kakawin Nàgarakåtàgama (Deúawarónana) yang merupakan sejarah tentang Singhasàri dan Majapahit, dihimpun dalam tahun 1365 oleh mpu Prapañca. Mpu Tantular (Dhanghyang Aúokanàtha) menggubah kakawin Sutasoma. Kakawin Sutasoma menggambarkan adanya sinkretisasi (peleburan) antara ajaran Úiwa dan Budha, seperti diungkapkan dalam salah satu slokanya sebagai berikut: 
“mangkang Jinatwa kalawan Úiwatattwa tunggal, bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.” 
Sejak jaman Sañjayawangúa dan Úailendrawangúa yang berkuasa di Jawa Tengah pada abad VIII agama Úiwa Siddhanta dan Budha Mantrayàna telah berkembang dan hidup berdampingan secara damai dan dilindungi oleh penguasa (raja).

Hayam Wuruk wafat pada tahun 1389 dan mungkin sekali dicandikan di Tajung (daerah Berbek Kediri).

Dari sumber lain:
Pada tahun 1350 putra mahkota Hayam Wuruk dinobatkan menjadi raja Majapahit dan bergelar Sri Rajasanagara dan dikenal pula dengan nama Bhra Hyang Wekasing Sukha. Ketika ibunya Tribhuwanottunggadewi masih memerintah, Hayam Wuruk telah dinobatkan menjadi raja muda (kumararaja) dan mendapatkan daerah Jiwana sebagai daerah lungguhnya. Dalam menjalankan pemerintahannya Hayam Wuruk didampingi Mahapatih Gajah Mada yang menduduki jabatan Patih Hamangkubhumi. Jabatan ini sebenarnya telah diperoleh Gajah Mada ketika ia mengabdi kepada raja Tribhuwanottunggadewi, yaitu setelah ia berhasil menumpas pemberontakan di Sadeng.

Dengan bantuan patih Gajah Mada raja Hayam Wuruk berhasil membawa kerajaan Majapahit ke puncak kebesarannya. Seperti halnya raja Singhasari Kertanegara yang memiliki gagasan politik perluasan cakrawala mandala yang meliputi seluruh dwipantara, Gajah Mada ingin pula melaksanakan gagasan politik Nusantara-nya, sebagaimana yang telah dicetuskannya dalam Sumpah Palapa di hadapan Tribhuwanottunggadewi dan para pembesar kerajaan Majapahit waktu itu.
Dalam rangka menjalankan politik Nusantaranya itu satu demi satu daerah-daerah yang belum bernaung di bawah panji-panji kekuasaan Majapahit akan ditundukkan dan dipersatukannya. Dari pemberitaan Prapanca dalam kakawin Negarakertagama kita mendapatkan informasi tentang daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan Majapahit itu ternyata sangat luas. Daerah-daerah ini meliputi hampir seluas wilayah Indonesia sekarang ini, meliputi daerah-daerah di Sumatera bagian Barat sampai ke daerah-daerah Maluku dan Irian di bagian Timur ; bahkan pengaruh itu telah diperluas pula sampai kebeberapa negara tetangga di wilayah Asia Tenggara. Agaknya politik Nusantara ini berakhir pada tahun 1357 M dengan terjadinya peristiwa di Bubat (pasundan-bubat), yaitu perang antara orang-orang Sunda dengan Majapahit.

Pada waktu itu raja Hayam Wuruk bermaksud hendak mengambil putri Sunda, Dyah Pitaloka sebagai permaisurinya. Setelah puteri tersebut dengan ayahnya bersama-sama para pembesar dan pengiringnya sampai di Majapahit, terjadilah perselisihan. Gajah Mada tidak menghendaki perkawinan raja Hayam Wuruk dengan puteri Sunda itu dilangsungkan dengan begitu saja. Ia menghendaki agar puteri Sunda itu dipersembahkan oleh raja Sunda kepada raja Majapahit sebagai tanda pengakuan tunduk terhadap kerajaan Majapahit. Para pembesar Sunda tidak setuju dengan sikap Gajah Mada tersebut, akhirnya tempat kediaman orang-orang Sunda dikepung dan diserbu oleh tentara Majapahit. Terjadilah peperangan di lapangan bubat yang menyebabkan semua orang Sunda gugur, tidak ada yang tertinggal. Peristiwa ini diuraikan secara panjang lebar dalam Kitab Pararaton dan Kidung Sundayana, tetapi tidak diutarakan dalam kakawin Negarakertagama, agaknya hal ini memang disengaja oleh Prapanca, karena peristiwa tersebut tidak menunjang kepada kebesaran Majapahit dan bahkan dapat dianggap sebagai kegagalan politik Gajah Mada untuk menundukkan Sunda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar