Minggu, 17 Juni 2012

Saraswati


Sarasvatì

Dewi Sarasvatì adalah Úakti, daya dan pendamping Dewa Brahmà sang pencipta. Karena itu, ia merupakan penghasil, ibu dari segenap ciptaan ini.

Arti sebenarnya dari kata Sarasvatì adalah 'dia yang mengalir' Dalam ÅgWeda, dia menyatakan sebuah sungai dan dewatà yang menguasainya. Karena itu, dia dikaitkan dengan kesuburan dan pemurnian. Disini ada beberapa nama yang digunakan untuk melukiskannya: Sàrada (pemberi intisari), Vàgìúvarì (penguasa kata-kata), Brahmì (pendamping Brahmà), Mahàvidyà (pengetahuan utama) dan lain sebagainya. 

Disini jelas bahwa konsep Sarasvatì, yang dikembangkan oleh literatur mithologi belakangan ini telah ada sebelumnya. 'Dia yang mengalir' dapat juga menyatakan kata-kata bila dipergunakan dalam pengertian alegoris. Karena itu Sarasvatì menyatakan daya dan kecerdasan sebagai asal mula timbulnya ciptaan yang diorganisir.

Dia dianggap sebagai personifikasi dari segala pengetahuan - seni, ilmu, kerajinan dan ketrampilan. Pengetahuan merupakan antithesis dari kegelapan akan kebodohan. Karena itu dia dilukiskan sebagai berwarna putih murni. 

Saraswati depicted in Mysore painting
Karena dia merupakan pernyataan dari segala ilmu pengetahuan, seni, kerajinan dan ketrampilan, dia harus luar biasa indah dan pemurah. Mengenakan pakaian yang berwarna putih mulus dan duduk pada tempat duduk sekuntum kembang padma, pada keempat tangannya memegang sebuah Vìóà (kecapi), Akûamàlà (tasbih) dan Pustaka (buku). 

Walaupun ini sangat umum dijumpai, ada beberapa variasi lain. Beberapa benda yang tampak adalah Pàúa (jerat), Aòkuúa (pengait gajah), Padma (teratai), Triúùla, Úaòkha (kulit kerang), Cakra (jentera) dan lain sebagainya. Sekali-sekali dia diperlihatkan dengan lima wajah atau dengan delapan lengan. 

Bahkan tiga buah mata atau leher biru tidaklah asing. Dalam hal ini dia adalah Mahàsarasvatì, aspek dari Durgà atau Pàrvatì.

Walaupun dinyatakan tak ada kendaraan pengangkutnya yang terpisah, Haýsa atau angsa, sebagai kendaraan Brahmà pendampingnya, juga biasanya dikaitkan dengannya. Dalam literatur dan gambaran mythologis populer, seekor burung merak juga tampak sebagai kendaraan tunggangannya.

Menyinggung masalah perlambangnya: Menjadi pendamping Brahmà sang pencipta, dia menyatakan daya dan kecerdasannya, dimana tanpa adanya dia penciptaan tak mungkin terjadi. Untuk menunjukkan bahwa daya kecerdasan ini sangat luar biasa dan sepenuhnya murni, dia digambarkan sebagai putih dan menyilaukan.

Seperti biasanya, empat lengan menunjukkan dayanya yang takterhalangi pada segala arah atau ke-maha meresapinya.

Sebagai dewì pengetahuan, wajar bila Sarasvatì diperlihatkan memegang sebuah buku pada tangan kirinya. Buku menyatakan seluruh bidang ilmu pengetahuan sekuler. Sekedar pengetahuan intelektual tanpa hati yang diperlunak oleh perasaan, emosi dan nurani yang lebih tinggi, itu akan menjadi sekering serbuk gergaji. 

9th-century marble sculpture
of Saraswati
Dengan demikian dia memegang sebuah Vìóà (kecapi) yang selalu dimainkannya, untuk menunjukkan perlunya mengusahakan kesenian. Kemudian ada Akûamàlà (tasbih) yang tergenggam ditangan kanan; yang melambangkan seluruh ilmu pengetahuan spiritual atau Yoga termasuk tapas, meditasi dan Japa (pengulangan nama ilahi). 

Dengan memegang buku ditangan kiri dan tasbih ditangan kanan, dengan jelas dia mengajar kita bahwa ilmu pengetahuan spiritual lebih penting ketimbang ilmu pengetahuan sekuler.

Burung merak dengan warna bulunya yang indah menandakan dunia ini dalam segala kemuliaannya. Karena daya tarik dunia membawa para calon spiritual salah jalan, burung merak sebenarnya dapat melambangkan Avidyà (kebodohan). 

Saraswati
Sebaliknya angsa yang dianggap memiliki kemampuan khusus untuk memisahkan susu dari air, menyatakan Viveka (kebi-jaksanaan, kemampuan pembeda) sehingga melambangkan Vidyà (pengetahuan). Walaupun benar bahwa Vidyà atau Paràvidyà (pencerahan spiritual) sajalah yang dapat memberi kita Mokûa (kebebasan), Avidyà yang menyatakan pengetahuan sekuler - ilmu pengetahuan dan seni duniawi - tak perlu dan jangan diabaikan. 

Seperti yang dinyatakan dalam Ìúàvàsya Upaniûad (11), kita mengatasi rasa lapar dan dahaga melalui ilmu pengetahuan sekuler, lalu hanya dengan ilmu pengetahuan spiritual sajalah kita akan dapat memperoleh keabadian. Untuk mengajarkan kebenaran agung kepada kita inilah maka Ibu Sarasvatì memilih dua kendaraan tunggangannya, yaitu angsa dan burung merak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar