Sarasvatì
Dewi Sarasvatì
adalah
Úakti,
daya dan pendamping Dewa Brahmà
sang
pencipta. Karena itu, ia merupakan penghasil, ibu dari segenap ciptaan ini.
Arti sebenarnya dari kata Sarasvatì adalah 'dia yang mengalir' Dalam ÅgWeda,
dia menyatakan sebuah sungai dan dewatà
yang
menguasainya. Karena itu, dia dikaitkan dengan kesuburan dan pemurnian. Disini
ada beberapa nama yang digunakan untuk melukiskannya: Sàrada (pemberi intisari), Vàgìúvarì (penguasa kata-kata), Brahmì (pendamping Brahmà),
Mahàvidyà (pengetahuan utama) dan lain
sebagainya.
Disini jelas bahwa konsep Sarasvatì, yang dikembangkan oleh
literatur mithologi belakangan ini telah ada sebelumnya. 'Dia yang mengalir' dapat juga
menyatakan kata-kata bila dipergunakan dalam pengertian alegoris. Karena itu Sarasvatì menyatakan daya dan kecerdasan sebagai
asal mula timbulnya ciptaan yang diorganisir.
Dia dianggap sebagai personifikasi
dari segala pengetahuan - seni, ilmu, kerajinan dan ketrampilan. Pengetahuan
merupakan antithesis dari kegelapan akan kebodohan. Karena itu dia dilukiskan
sebagai berwarna putih murni.
Saraswati depicted in Mysore painting |
Karena dia merupakan pernyataan dari segala ilmu
pengetahuan, seni, kerajinan dan ketrampilan, dia harus luar biasa indah dan
pemurah. Mengenakan pakaian yang berwarna putih mulus dan duduk pada tempat
duduk sekuntum kembang padma, pada keempat tangannya memegang sebuah Vìóà (kecapi), Akûamàlà (tasbih) dan Pustaka (buku).
Walaupun ini sangat umum
dijumpai, ada beberapa variasi lain. Beberapa benda yang tampak adalah Pàúa (jerat), Aòkuúa (pengait gajah), Padma (teratai), Triúùla, Úaòkha (kulit kerang), Cakra (jentera) dan lain sebagainya.
Sekali-sekali dia diperlihatkan dengan lima wajah atau dengan delapan lengan.
Bahkan tiga buah mata atau leher biru tidaklah asing. Dalam hal ini dia adalah Mahàsarasvatì,
aspek dari Durgà atau
Pàrvatì.
Walaupun dinyatakan tak ada kendaraan
pengangkutnya yang terpisah, Haýsa
atau
angsa, sebagai kendaraan Brahmà
pendampingnya,
juga biasanya dikaitkan dengannya. Dalam literatur dan gambaran mythologis
populer, seekor burung merak juga tampak sebagai kendaraan tunggangannya.
Menyinggung masalah perlambangnya:
Menjadi pendamping Brahmà
sang
pencipta, dia menyatakan daya dan kecerdasannya, dimana tanpa adanya dia
penciptaan tak mungkin terjadi. Untuk menunjukkan bahwa daya kecerdasan ini sangat
luar biasa dan sepenuhnya murni, dia digambarkan sebagai putih dan menyilaukan.
Seperti biasanya, empat lengan
menunjukkan dayanya yang takterhalangi pada segala arah atau ke-maha
meresapinya.
Sebagai dewì
pengetahuan, wajar bila Sarasvatì
diperlihatkan
memegang sebuah buku pada tangan kirinya. Buku menyatakan seluruh bidang ilmu
pengetahuan sekuler. Sekedar pengetahuan intelektual tanpa hati yang diperlunak
oleh perasaan, emosi dan nurani yang lebih tinggi, itu akan menjadi sekering
serbuk gergaji.
9th-century marble sculpture of Saraswati |
Dengan demikian dia memegang sebuah Vìóà (kecapi) yang selalu dimainkannya,
untuk menunjukkan perlunya mengusahakan kesenian. Kemudian ada Akûamàlà (tasbih) yang tergenggam ditangan
kanan; yang melambangkan seluruh ilmu pengetahuan spiritual atau Yoga termasuk tapas, meditasi dan Japa (pengulangan nama ilahi).
Dengan
memegang buku ditangan kiri dan tasbih ditangan kanan, dengan jelas dia
mengajar kita bahwa ilmu pengetahuan spiritual lebih penting ketimbang ilmu
pengetahuan sekuler.
Burung merak dengan warna bulunya yang
indah menandakan dunia ini dalam segala kemuliaannya. Karena daya tarik dunia
membawa para calon spiritual salah jalan, burung merak sebenarnya dapat
melambangkan Avidyà
(kebodohan).
Saraswati |
Sebaliknya angsa yang dianggap memiliki kemampuan khusus untuk memisahkan susu
dari air, menyatakan Viveka
(kebi-jaksanaan,
kemampuan pembeda) sehingga melambangkan Vidyà
(pengetahuan).
Walaupun benar bahwa Vidyà
atau
Paràvidyà (pencerahan spiritual) sajalah yang
dapat memberi kita Mokûa
(kebebasan),
Avidyà yang menyatakan pengetahuan sekuler -
ilmu pengetahuan dan seni duniawi - tak perlu dan jangan diabaikan.
Seperti
yang dinyatakan dalam Ìúàvàsya
Upaniûad (11), kita mengatasi rasa lapar
dan dahaga melalui ilmu pengetahuan sekuler, lalu hanya dengan ilmu pengetahuan
spiritual sajalah kita akan dapat memperoleh keabadian. Untuk mengajarkan
kebenaran agung kepada kita inilah maka Ibu Sarasvatì memilih dua kendaraan tunggangannya,
yaitu angsa dan burung merak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar