SutasomA
Tersebutlah di kerajaan Astina seorang raja yang bernama
Úrì Mahàketu, katurunan Kuruwangsa. Dewi Pradnyadari nama istri beliau, sangat
terkenal dengan kecantikan dan kesaktiannya. Semua rakyat sangat hormat dengan
sang raja dan permaisurinya. Istana Astina sangat indah tidak ada yang menyamai
di dunia ini, istana Beliau seperti istana Ida Sang Semara nyekala
dengan istananya yang dihiasi dengan batu permata yang sangat indah.
Pintu
keluar istana dibuat demikian rupa sehingga nampak indah, lebih-lebih pintu
gerbangnya dibuat dari emas permata yang cahayanya berkilau-kilauan membuat
seisi istana bersama punakawan istana sangat senang karenanya. Diceritakan ada
Daitya yaitu rajanya ràkûasa di Ratna Kàóða yang berkeinginan untuk menyerang
kerajaan Astina, raja ràkûasa itu bernama Sang Puruûàdha. Semua rakyatnya semua
ràkûasa disuruh menyusup ke hutan sampai tiba di tepi kerajaan Astina, merusak
semua pertapaan, gubuk-gubuk rakyat dan pasraman yang ada di hutan.
Para
rakyat banyak yang takut dan mengungsi, dan sudah banyak orang yang telah ditahan
dan dibunuh. Banyak rakyat tua dan muda bersembunyi takut disiksa oleh prajurit
Prabu Ratna Kàóða. Hal ini didengar oleh Ida Sang Prabhu Mahàketu, lalu beliau
memanggil para menteri dan para bràhmaóa untuk melakukan persiapan
menghadapi serangan para ràkûasa itu. Dan para bràhmaóa diminta untuk
melakukan pemujaan secara terus menerus untuk melakukan pemujaan kepada Tuhan
untuk terhindar dari mara bahaya itu.
Diceritakan para prajurit dan para menteri tak bisa
menghadapi pasukan ràkûasa itu, disitulah para bràhmaóa menyampaikan
bahwa ada pawisik atau wahyu Tuhan bahwa sang Puruûàdha hanya bisa dikalahkan
oleh putra sang prabhu. Karena pawisik itulah Beliau bertapa bersama
istri di depan arca Ida Hyang Buddha. Ida Sang Buddha pada tengah malam memberi
sabda bahwa beliau akan dianugrahkan anak dari rahim istrinya yang merupakan
penjelmaan sang Buddha Utama.
Rakyat berdoa agar wahyu itu betul-betul menjadi
kenyataan. Tak begitu lama wahyu itu menjadi sebuah kenyataan, lahirlah putra
raja yang kemudian diberi nama Sutasoma. Wajah sang Sutasoma sangat tampan dan
lembut sehingga membuat para abdi dan pengasuhnya tak bosan-bosan menyayangi
Beliau sebagai putra Raja. Karena Beliau awatàra Buddha, itu sebabnya Beliau
sangat pintar memahami seisi úàstra, dan segala nasehat-nasehat yang
baik dari semua orang tanpa melihat oleh siapa nasehat itu.
Disampaikan sang Prabhu mengundang para menteri puruhita
serta Sutasoma sebagai putra raja. Pada rapat itu beliau menyampaikan
keinginannya untuk mengangkat Sutasoma sebagai raja. Ini dikarenakan sang
Sutasoma dipandang sudah sangat bijak dan pintar unutuk mengurusi kerajaan.
Sang raja juga menasehati sang Sutasoma tentang tata cara memerintah sebagai
raja.
Sang Sutasoma dengan sangat lembut dan pelan-pelan menyampaikan kepada
sang raja bahwa beliau belum siap menggantikannya sebagai raja, juga sang
Sutasoma belum merasa banyak tahu isi sastra dan juga dirasakan sebagai raja
sangat sulit, penuh kewibawaan membuat perasaan tidak bahagia. Pekerjaan
sebagai raja yang menghukum rakyat akan membuat neraka atau papa. Dan karena
permintaan raja itulah sang Sutasoma secara sembunyi-sembunyi pada tengah malam
meninggalkan istana menuju hutan.
Dalam perjalanan sang Sutasoma menuju hutan banyak
menjumpai pemandangan-pemandangan yang sangat indah serta menyejukkan seperti
tumbuh-tumbuhan dan beraneka ragam jenis binatang yang membuat hatinya sangat
bahagia. Akhirnya sampailah sang Sutasoma di sebuah kuburan yang sangat
menyeramkan kerena di kuburan itu tumbuh pohon-pohon besar yang tidak terawat
dan banyak terlihat mayat-mayat bergelimpangan yang sedang dikerubuti
binatang-binatang liar dan burung-burung gagak. Beliau sang Sutasoma menuju ke
sebuah balai-balai untuk melepas lelah dan kemudian melakukan persembahyangan
untuk memuja dewi Durgà melalui tata cara persembahyangan Buddha.
Di puncak
meditasi beliau kurang lebih tengah malam tanah terasa bergetar tiada henti
sebagai ciri Ida Dewi Durgà akan menampakkan diri. Secara tiba-tiba Dewi Durgà
menampakkan diri dengan wajah yang sangat menyeramkan, mata sang Dewi merah
menyala, giginya banyak dan panjang, Beliau melangkah membuat tanah bergetaran.
Tanpa disangka-sangka, sang Dewi menyembah kepada sang Sutasoma, sambil memuji
kautamaan Yoga sang Sutasoma yang betul-betul merupakan perwujudan sang
Buddha Utama.
Sang Sutasoma masih muda sudah mampu mengendalikan indria semua
sifat saðripu sudah dikendalikannya. Sebagai penegak dharma
beliau dianggap sudah melaksanakan Catur Pàramita dengan baik (Maitrì,
Karuóa, Mudita dan Upekûà) itu sebabnya sang Dewi Durgà menghaturkan
hormat kepada sang Sutasoma. Dan sang Dewi menghadiahkan mantra Mahà Hådaya
Uttamà yang mampu melunakkan semua keinginan yang mendatangkan bencana dan Sang
Sutasoma tidak akan terhalang saat masuk ke tempat-tempat sangat berbahaya.
Keesokan harinya Beliau melanjutkan perjalanan menuju
gunung Mahà Meru. Dalam perjalanan itu sang Sutasoma bertemu dengan Åûi Keúawa,
Bhagawàn Sumitrà yang selanjutnya beliau para maharûi mengantarkan sang
Sutasoma menuju puncak Mahà Meru. Sang Sutasoma juga menjumpai gajah Waktra
yang ingin membunuhnya walaupun gajah Waktra sangat sakti yang bisa berwujud
besar, bertangan empat, tapi tidak mampu mengalahkan sang Sutasoma. Dengan
senjata Bajra yang dikeluarkan dirinya yang ditujukan kepada gajah Waktra
sehingga membuat gajah waktra menjadi insaf dan setelah diberi petuah oleh sang
Sutasoma gajah Waktra menuju hutan. Dan kemudian sang Sutasoma menemukan seekor
macan betina yang mau memakan anaknya karena sang macan betina tidak kuasa
menahan lapar.
Karena perasaan kasih sang Sutasoma melihat anak macan
meronta-ronta memohon pertolongan maka sang Sutasoma merelakan diri menjadi
pengganti makanan macan betina itu. Setelah sang macan memakan sang Sutasoma
darahnya sang Sutasoma mengalir ke tenggorokan sang macan tiba-tiba sang macan
menangis dan memohon ampun serta berharap mayat sang Sutasoma bisa hidup lagi.
Karena para dewa masih mengharapkan sang Sutasoma hidup untuk bisa melaksanakan
swadharma-nya di dunia ini maka atas kuasa Tuhan hiduplah kembali sang
Sutasoma seperti sedia kala.
Sang Sutasoma kemudian melanjutkan perjalanan
menuju puncak gunung Mahà Meru untuk melakukan tapa bratha bersama-sama
Sang Åûi. Tak lama beliau sudah berubah wujud sebagai Sang Hyang Buddha,
yang bercahaya duduk di atas teratai mengikuti gerak sang Buddha. Bhaþþara
Indra dan para dewa lainnya serta widyàdhara-widyàdharì menyembah dan
memohon agar beliau mau kembali membantu menghilangkan angkara murka yang ditimbulkan
oleh sang Puruûàdha.
Sang Puruûàdha berbuat angkara murka akibat dari sang Puruûàdha
pernah sakit kakinya bengkak dan beliau berjanji bila kakinya bisa disembuhkan,
sang Puruûàdha berjanji mempersembahkan 100 raja kepada bhaþþara kala.
Setelah para dewa menghaturkan mantra pajaya-jaya dan doa permohonan
lalu Beliau kembali berwujud semula sebagai Sutasoma dan Beliau kembali ingat
akan tugasnya sebagai manusia untuk menyelamatkan umat manusia dari ke
angkaramurkaan sang Puruûàdha.
Kembalilah rombongan beliau menuju ke Astina pura, diperjalanan
beliau berjumpa dengan sang Daúabawa yang sangat sakti yang sedang mengejar
ràkûasa sang Sudahana yang sangat durhaka. Sang Sudahana mohon untuk bisa
diselamatkan. Walaupun dia sangat jahat, karena dia minta tolong dengan penuh
kesedihan Sang Sutasoma dengan kewelasannya membantu dan membuat sang Daúabawa
marah.
Tapi atas penyampaian dari Åûi Keúawa bahwa sang Sutasoma membantu
karena melihat sang Sudahana dengan penuh kesedihan meminta pertolongannya sang
Sutasoma sebagai awatàra Buddha tentu tidak akan membiarkan orang dalam
kesedihan dan ini bisa dimengerti oleh sang Daúabawa dan ternyata Sang Daúabawa
itu famili atau sepupu dari sang Sutasoma. Kemudian sang Daúabawa dan Sutasoma
saling bermaaf-maafan serta sang Daúabawa meminta kesediaan sang Sutasoma untuk
mampir ke negerinya.
Sesampai di kerajaan sang Daúabawa diminta untuk mengawini
sang dewi Candrawati. Begitu upacara perkawinan telah dilangsungkan sang
Sutasoma diantar oleh sang Daúabawa menuju ke kerajaan Astina Pura. Di istana
Astina rombongan disambut oleh rakyat, para menteri dan para puruhita
beserta raja dan permaisurinya. Sang raja sangat gembira melihat sang Sutasoma
kembali dengan membawa istri. Tak selang beberapa lama, kerajaan diserahkan
kepada sang Sutasoma. Di bawah pemerintahan sang Sutasoma kerajaan betul-betul
damai dan sejahtera. Sang Sutasoma sangat disayangi rakyatnya dan demikian
sebaliknya.
Pada sewaktu-waktu banyak raja dan rakyat mengungsi ke
Astina karena serangan sang Puruûàdha yang semakin menjadi-jadi. Banyak raja
yang telah ditahan serta ada yang dibunuh. Tahanan-tahanan itu tidak ada yang dikasih
makan dan minum. Sampai akhirnya sang Puruûàdha menggempur kerajaan Astina.
Raja-raja dan para menteri melakukan belapati terhadap negeri Astina. Sang
Sutasoma awalnya tidak memberikan para raja dan rakyat untuk melakukan
perlawanan kepada sang Puruûàdha.
Sang Sutasoma siap mati untuk menyelamatkan
raja-raja dan kerajaan Astina. Banyak prajurit dan raja-raja yang mati dalam
peperangan ini. Sampai-sampai sang Daúabawa yang sangat sakti pun dapat dikalahkannya.
Pertempuran sang Sutasoma dengan sang Puruûàdha tak dapat dielakkan. Sang Puruûàdha
berubah wujud menjadi Rudra Mùrti, beliau bertangan banyak dan berkepala
banyak. Tangan-tangannya berusaha menangkap sang Sutasoma tetapi tak satupun
bisa menyentuh tubuh sang Sutasoma.
Padahal itu membuat sang Puruûàdha sangat
marah, dan melemparkan senjata-senjata saktinya kepada sang Sutasoma, Tak satu
pula senjata itu menyakiti tubuh sang Sutasoma, justru senjata itu berubah
menjadi bunga-bunga yang sangat menyenangkan. Lagi sang Puruûàdha berubah wujud
menjadi Kàla Agni Rudra, semua tubuhnya menyala. Para dewa memperingatkan dewa
Rudra untuk tidak memusuhi Sutasoma karena sang Sutasoma penumadian / awatàra
Buddha yang sama dengan Dewa Úiwa dan beliau tunggal adanya.
Dewa Rudra tidak
menghiraukan peringatan para dewa, justru lebih sengit mengejar Sutasoma,
sampai akhirnya sang Sutasoma terpaksa melakukan Agni Mùdra dan mengeluarkan
senjata bajra yang bersinar terang yang membuat Bhaþþara Rudra menyadari
kebenaran sang Sutasoma sebagai Awatàra Buddha. Tiba-tiba Dewa Rudra
meninggalkan badan sang Puruûàdha, yang membuat sang Puruûàdha lesu kembali
kepada badannya yang semula. Menyadari akan kemampuannya yang sudah terbatas,
sang Puruûàdha segera memohon ampun kepada sang Sutasoma.
Pada saat itu sang Sutasoma menyatakan diri siap menjadi caru
untuk Bhaþþara Kàla karena beliau merelakan kematiannya demi
membantu orang lain, atas sikap itu sang Puruûàdha menangis tiada henti serta
memohon keinginannya itu tidak dilakukan. Karena jumlah caru 100 raja
itu sudah dipenuhi sang Sutasoma tetap pada pendiriannya. Sampailah beliau sang
Sutasoma berhadapan dengan Bhaþþara Kàla, di hadapan Bhaþþara Kàla,
sang Sutasoma menyatakan kesiapannya sebagai caru asal semua tawanan
bisa dilepaskan. Bhaþþara Kàla menyanggupi dan semua raja yang menjadi
tawanannya dilepaskan.
Para tawanan itu menghormat kepada sang Sutasoma, karena
kasih sang Sutasoma semua raja yang tadinya lemas karena disiksa menjadi sehat.
Di ceritakan sang Sutasoma betul-betul tulus menjadi tetadahan/makanan Bhaþþara
kàla. Bhaþþara Kàla tiba-tiba memasukkan tubuh sang Sutasoma ke
mulutnya. Baru kaki sang Sutasoma menyentuh perut Bhaþþara Kàla,
sepertinya Bhaþþara Kàla merasakan kecipratan tìrtha amåta
yang sangat menyejukkan. Tìrtha ini membuat Bhaþþara Kàla
timbul niat beliau melakukan Catur Pàramita, sehingga beliau
tidak bisa melanjutkan menelan Sutasoma.
Kejadian ini membuat sang Sutasoma
bertanya kenapa Bhaþþara Kàla tidak melanjutkan menelan dirinya. Bhaþþara
Kàla tidak menjawab, justru balik bertanya kenapa kamu rela saya makan? “Ratu
Bhaþþara Kàla, benar saya rela menyerahkan diri karena saya tidak pernah
gentar pada kematian, saya tidak pernah takut pada ràkûasa apalagi manusia.
Yang paling saya kawatirkan perbuatan-perbuatan jahat yang tentu membawa ke alam neraka. Perbuatan
yang mengakibatkan neraka, adalah perbuatan-perbuatan seperti Bhaþþara Kàla
lakukan, selalu mengadakan peperangan, selalu melakukan hiýsa karma.
Permintaan saya agar ratu menghentikan perbuatan-perbuatan jahat itu”.
Mendengar ucapan Sutasoma, Bhaþþara Kàla betul-betul menghormat
dan memohon agar dirinya bisa diangkat
menjadi murid.
Setelah sang Sutasoma memberi nasihat pada semua muridnya,
kemudian beliau berkehendak pulang ke Astina. Sang Sutasoma tidak lupa memohon
kepada Bhaþþara Indra agar mau menghidupkan orang-orang yang ikut perang
melawan sang Puruûàdha. Dan Bhaþþara Indrapun melakukannya. Semua
perajurut raja serta tumbuh-tumbuhan menjadi kembali segar bugar seperti sedia
kala.
Demikian cerita sang Sutasoma yang memperoleh mokûa di
dunia dan akhirat.
Semoga dari cerita ini, kita mendapatkan hikmah dan membangkitkan nilai-nilai budhi pekerti kita sebagai manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar