Senin, 11 Juni 2012

Mengembangkan Budi Pekerti melalui cerita Sutasoma


 


SutasomA


Tersebutlah di kerajaan Astina seorang raja yang bernama Úrì Mahàketu, katurunan Kuruwangsa. Dewi Pradnyadari nama istri beliau, sangat terkenal dengan kecantikan dan kesaktiannya. Semua rakyat sangat hormat dengan sang raja dan permaisurinya. Istana Astina sangat indah tidak ada yang menyamai di dunia ini, istana Beliau seperti istana Ida Sang Semara nyekala dengan istananya yang dihiasi dengan batu permata yang sangat indah. 


Pintu keluar istana dibuat demikian rupa sehingga nampak indah, lebih-lebih pintu gerbangnya dibuat dari emas permata yang cahayanya berkilau-kilauan membuat seisi istana bersama punakawan istana sangat senang karenanya. Diceritakan ada Daitya yaitu rajanya ràkûasa di Ratna Kàóða yang berkeinginan untuk menyerang kerajaan Astina, raja ràkûasa itu bernama Sang Puruûàdha. Semua rakyatnya semua ràkûasa disuruh menyusup ke hutan sampai tiba di tepi kerajaan Astina, merusak semua pertapaan, gubuk-gubuk rakyat dan pasraman yang ada di hutan. 

Para rakyat banyak yang takut dan mengungsi, dan sudah banyak orang yang telah ditahan dan dibunuh. Banyak rakyat tua dan muda bersembunyi takut disiksa oleh prajurit Prabu Ratna Kàóða. Hal ini didengar oleh Ida Sang Prabhu Mahàketu, lalu beliau memanggil para menteri dan para bràhmaóa untuk melakukan persiapan menghadapi serangan para ràkûasa itu. Dan para bràhmaóa diminta untuk melakukan pemujaan secara terus menerus untuk melakukan pemujaan kepada Tuhan untuk terhindar dari mara bahaya itu. 

Diceritakan para prajurit dan para menteri tak bisa menghadapi pasukan ràkûasa itu, disitulah para bràhmaóa menyampaikan bahwa ada pawisik atau wahyu Tuhan bahwa sang Puruûàdha hanya bisa dikalahkan oleh putra sang prabhu. Karena pawisik itulah Beliau bertapa bersama istri di depan arca Ida Hyang Buddha. Ida Sang Buddha pada tengah malam memberi sabda bahwa beliau akan dianugrahkan anak dari rahim istrinya yang merupakan penjelmaan sang Buddha Utama. 

Rakyat berdoa agar wahyu itu betul-betul menjadi kenyataan. Tak begitu lama wahyu itu menjadi sebuah kenyataan, lahirlah putra raja yang kemudian diberi nama Sutasoma. Wajah sang Sutasoma sangat tampan dan lembut sehingga membuat para abdi dan pengasuhnya tak bosan-bosan menyayangi Beliau sebagai putra Raja. Karena Beliau awatàra Buddha, itu sebabnya Beliau sangat pintar memahami seisi úàstra, dan segala nasehat-nasehat yang baik dari semua orang tanpa melihat oleh siapa nasehat itu. 

Disampaikan sang Prabhu mengundang para menteri puruhita serta Sutasoma sebagai putra raja. Pada rapat itu beliau menyampaikan keinginannya untuk mengangkat Sutasoma sebagai raja. Ini dikarenakan sang Sutasoma dipandang sudah sangat bijak dan pintar unutuk mengurusi kerajaan. Sang raja juga menasehati sang Sutasoma tentang tata cara memerintah sebagai raja. 

Sang Sutasoma dengan sangat lembut dan pelan-pelan menyampaikan kepada sang raja bahwa beliau belum siap menggantikannya sebagai raja, juga sang Sutasoma belum merasa banyak tahu isi sastra dan juga dirasakan sebagai raja sangat sulit, penuh kewibawaan membuat perasaan tidak bahagia. Pekerjaan sebagai raja yang menghukum rakyat akan membuat neraka atau papa. Dan karena permintaan raja itulah sang Sutasoma secara sembunyi-sembunyi pada tengah malam meninggalkan istana menuju hutan.

Dalam perjalanan sang Sutasoma menuju hutan banyak menjumpai pemandangan-pemandangan yang sangat indah serta menyejukkan seperti tumbuh-tumbuhan dan beraneka ragam jenis binatang yang membuat hatinya sangat bahagia. Akhirnya sampailah sang Sutasoma di sebuah kuburan yang sangat menyeramkan kerena di kuburan itu tumbuh pohon-pohon besar yang tidak terawat dan banyak terlihat mayat-mayat bergelimpangan yang sedang dikerubuti binatang-binatang liar dan burung-burung gagak. Beliau sang Sutasoma menuju ke sebuah balai-balai untuk melepas lelah dan kemudian melakukan persembahyangan untuk memuja dewi Durgà melalui tata cara persembahyangan Buddha. 

Di puncak meditasi beliau kurang lebih tengah malam tanah terasa bergetar tiada henti sebagai ciri Ida Dewi Durgà akan menampakkan diri. Secara tiba-tiba Dewi Durgà menampakkan diri dengan wajah yang sangat menyeramkan, mata sang Dewi merah menyala, giginya banyak dan panjang, Beliau melangkah membuat tanah bergetaran. Tanpa disangka-sangka, sang Dewi menyembah kepada sang Sutasoma, sambil memuji kautamaan Yoga sang Sutasoma yang betul-betul merupakan perwujudan sang Buddha Utama. 

Sang Sutasoma masih muda sudah mampu mengendalikan indria semua sifat saðripu sudah dikendalikannya. Sebagai penegak dharma beliau dianggap sudah melaksanakan Catur Pàramita dengan baik (Maitrì, Karuóa, Mudita dan Upekûà) itu sebabnya sang Dewi Durgà menghaturkan hormat kepada sang Sutasoma. Dan sang Dewi menghadiahkan mantra Mahà Hådaya Uttamà yang mampu melunakkan semua keinginan yang mendatangkan bencana dan Sang Sutasoma tidak akan terhalang saat masuk ke tempat-tempat sangat berbahaya. 

Keesokan harinya Beliau melanjutkan perjalanan menuju gunung Mahà Meru. Dalam perjalanan itu sang Sutasoma bertemu dengan Åûi Keúawa, Bhagawàn Sumitrà yang selanjutnya beliau para maharûi mengantarkan sang Sutasoma menuju puncak Mahà Meru. Sang Sutasoma juga menjumpai gajah Waktra yang ingin membunuhnya walaupun gajah Waktra sangat sakti yang bisa berwujud besar, bertangan empat, tapi tidak mampu mengalahkan sang Sutasoma. Dengan senjata Bajra yang dikeluarkan dirinya yang ditujukan kepada gajah Waktra sehingga membuat gajah waktra menjadi insaf dan setelah diberi petuah oleh sang Sutasoma gajah Waktra menuju hutan. Dan kemudian sang Sutasoma menemukan seekor macan betina yang mau memakan anaknya karena sang macan betina tidak kuasa menahan lapar. 

Karena perasaan kasih sang Sutasoma melihat anak macan meronta-ronta memohon pertolongan maka sang Sutasoma merelakan diri menjadi pengganti makanan macan betina itu. Setelah sang macan memakan sang Sutasoma darahnya sang Sutasoma mengalir ke tenggorokan sang macan tiba-tiba sang macan menangis dan memohon ampun serta berharap mayat sang Sutasoma bisa hidup lagi. Karena para dewa masih mengharapkan sang Sutasoma hidup untuk bisa melaksanakan swadharma-nya di dunia ini maka atas kuasa Tuhan hiduplah kembali sang Sutasoma seperti sedia kala. 

Sang Sutasoma kemudian melanjutkan perjalanan menuju puncak gunung Mahà Meru untuk melakukan tapa bratha bersama-sama Sang Åûi. Tak lama beliau sudah berubah wujud sebagai Sang Hyang Buddha, yang bercahaya duduk di atas teratai mengikuti gerak sang Buddha. Bhaþþara Indra dan para dewa lainnya serta widyàdhara-widyàdharì menyembah dan memohon agar beliau mau kembali membantu menghilangkan angkara murka yang ditimbulkan oleh sang Puruûàdha. 

Sang Puruûàdha berbuat angkara murka akibat dari sang Puruûàdha pernah sakit kakinya bengkak dan beliau berjanji bila kakinya bisa disembuhkan, sang Puruûàdha berjanji mempersembahkan 100 raja kepada bhaþþara kala. Setelah para dewa menghaturkan mantra pajaya-jaya dan doa permohonan lalu Beliau kembali berwujud semula sebagai Sutasoma dan Beliau kembali ingat akan tugasnya sebagai manusia untuk menyelamatkan umat manusia dari ke angkaramurkaan sang Puruûàdha. 

Kembalilah rombongan beliau menuju ke Astina pura, diperjalanan beliau berjumpa dengan sang Daúabawa yang sangat sakti yang sedang mengejar ràkûasa sang Sudahana yang sangat durhaka. Sang Sudahana mohon untuk bisa diselamatkan. Walaupun dia sangat jahat, karena dia minta tolong dengan penuh kesedihan Sang Sutasoma dengan kewelasannya membantu dan membuat sang Daúabawa marah. 

Tapi atas penyampaian dari Åûi Keúawa bahwa sang Sutasoma membantu karena melihat sang Sudahana dengan penuh kesedihan meminta pertolongannya sang Sutasoma sebagai awatàra Buddha tentu tidak akan membiarkan orang dalam kesedihan dan ini bisa dimengerti oleh sang Daúabawa dan ternyata Sang Daúabawa itu famili atau sepupu dari sang Sutasoma. Kemudian sang Daúabawa dan Sutasoma saling bermaaf-maafan serta sang Daúabawa meminta kesediaan sang Sutasoma untuk mampir ke negerinya. 

Sesampai di kerajaan sang Daúabawa diminta untuk mengawini sang dewi Candrawati. Begitu upacara perkawinan telah dilangsungkan sang Sutasoma diantar oleh sang Daúabawa menuju ke kerajaan Astina Pura. Di istana Astina rombongan disambut oleh rakyat, para menteri dan para puruhita beserta raja dan permaisurinya. Sang raja sangat gembira melihat sang Sutasoma kembali dengan membawa istri. Tak selang beberapa lama, kerajaan diserahkan kepada sang Sutasoma. Di bawah pemerintahan sang Sutasoma kerajaan betul-betul damai dan sejahtera. Sang Sutasoma sangat disayangi rakyatnya dan demikian sebaliknya. 

Pada sewaktu-waktu banyak raja dan rakyat mengungsi ke Astina karena serangan sang Puruûàdha yang semakin menjadi-jadi. Banyak raja yang telah ditahan serta ada yang dibunuh. Tahanan-tahanan itu tidak ada yang dikasih makan dan minum. Sampai akhirnya sang Puruûàdha menggempur kerajaan Astina. Raja-raja dan para menteri melakukan belapati terhadap negeri Astina. Sang Sutasoma awalnya tidak memberikan para raja dan rakyat untuk melakukan perlawanan kepada sang Puruûàdha. 

Sang Sutasoma siap mati untuk menyelamatkan raja-raja dan kerajaan Astina. Banyak prajurit dan raja-raja yang mati dalam peperangan ini. Sampai-sampai sang Daúabawa yang sangat sakti pun dapat dikalahkannya. Pertempuran sang Sutasoma dengan sang Puruûàdha tak dapat dielakkan. Sang Puruûàdha berubah wujud menjadi Rudra Mùrti, beliau bertangan banyak dan berkepala banyak. Tangan-tangannya berusaha menangkap sang Sutasoma tetapi tak satupun bisa menyentuh tubuh sang Sutasoma. 

Padahal itu membuat sang Puruûàdha sangat marah, dan melemparkan senjata-senjata saktinya kepada sang Sutasoma, Tak satu pula senjata itu menyakiti tubuh sang Sutasoma, justru senjata itu berubah menjadi bunga-bunga yang sangat menyenangkan. Lagi sang Puruûàdha berubah wujud menjadi Kàla Agni Rudra, semua tubuhnya menyala. Para dewa memperingatkan dewa Rudra untuk tidak memusuhi Sutasoma karena sang Sutasoma penumadian / awatàra Buddha yang sama dengan Dewa Úiwa dan beliau tunggal adanya. 

Dewa Rudra tidak menghiraukan peringatan para dewa, justru lebih sengit mengejar Sutasoma, sampai akhirnya sang Sutasoma terpaksa melakukan Agni Mùdra dan mengeluarkan senjata bajra yang bersinar terang yang membuat Bhaþþara Rudra menyadari kebenaran sang Sutasoma sebagai Awatàra Buddha. Tiba-tiba Dewa Rudra meninggalkan badan sang Puruûàdha, yang membuat sang Puruûàdha lesu kembali kepada badannya yang semula. Menyadari akan kemampuannya yang sudah terbatas, sang Puruûàdha segera memohon ampun kepada sang Sutasoma.

Pada saat itu sang Sutasoma menyatakan diri siap menjadi caru untuk Bhaþþara Kàla karena beliau merelakan kematiannya demi membantu orang lain, atas sikap itu sang Puruûàdha menangis tiada henti serta memohon keinginannya itu tidak dilakukan. Karena jumlah caru 100 raja itu sudah dipenuhi sang Sutasoma tetap pada pendiriannya. Sampailah beliau sang Sutasoma berhadapan dengan Bhaþþara Kàla, di hadapan Bhaþþara Kàla, sang Sutasoma menyatakan kesiapannya sebagai caru asal semua tawanan bisa dilepaskan. Bhaþþara Kàla menyanggupi dan semua raja yang menjadi tawanannya dilepaskan. 

Para tawanan itu menghormat kepada sang Sutasoma, karena kasih sang Sutasoma semua raja yang tadinya lemas karena disiksa menjadi sehat. Di ceritakan sang Sutasoma betul-betul tulus menjadi tetadahan/makanan Bhaþþara kàla. Bhaþþara Kàla tiba-tiba memasukkan tubuh sang Sutasoma ke mulutnya. Baru kaki sang Sutasoma menyentuh perut Bhaþþara Kàla, sepertinya Bhaþþara Kàla merasakan kecipratan tìrtha amåta yang sangat menyejukkan. Tìrtha ini membuat Bhaþþara Kàla timbul niat beliau melakukan Catur Pàramita, sehingga beliau tidak bisa melanjutkan menelan Sutasoma. 

Kejadian ini membuat sang Sutasoma bertanya kenapa Bhaþþara Kàla tidak melanjutkan menelan dirinya. Bhaþþara Kàla tidak menjawab, justru balik bertanya kenapa kamu rela saya makan? “Ratu Bhaþþara Kàla, benar saya rela menyerahkan diri karena saya tidak pernah gentar pada kematian, saya tidak pernah takut pada ràkûasa apalagi manusia. 

Yang paling saya kawatirkan perbuatan-perbuatan jahat  yang tentu membawa ke alam neraka. Perbuatan yang mengakibatkan neraka, adalah perbuatan-perbuatan seperti Bhaþþara Kàla lakukan, selalu mengadakan peperangan, selalu melakukan hiýsa karma. Permintaan saya agar ratu menghentikan perbuatan-perbuatan jahat itu”. Mendengar ucapan Sutasoma, Bhaþþara Kàla betul-betul menghormat dan memohon agar dirinya  bisa diangkat menjadi murid. 

Setelah sang Sutasoma memberi nasihat pada semua muridnya, kemudian beliau berkehendak pulang ke Astina. Sang Sutasoma tidak lupa memohon kepada Bhaþþara Indra agar mau menghidupkan orang-orang yang ikut perang melawan sang Puruûàdha. Dan Bhaþþara Indrapun melakukannya. Semua perajurut raja serta tumbuh-tumbuhan menjadi kembali segar bugar seperti sedia kala.

Demikian cerita sang Sutasoma yang memperoleh mokûa di dunia dan akhirat.

Semoga dari cerita ini, kita mendapatkan hikmah dan membangkitkan nilai-nilai budhi pekerti kita sebagai manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar