Senin, 11 Juni 2012

Mencari Kebenaran Sejati

MENCARI KEBENARAN SEJATI


Para orang bijaksana pada pergi
dan aku ditinggalkan sendiri.
Aku memiliki seorang ibu
Dia adalah seorang pembantu, dia tidak tahu,
dan dia terikat sekali kepadaku,
anaknya satu-satunya.

Aku mengetahui betapa bodoh akan mencintai seperti itu
tetapi adalah tidak mungkin bagiku untuk pergi meninggalkannya
Aku ada bersamanya di dalam àúrama di mana dia bekerja,
dan menantikan rahmat Tuhan.
Dunia, temanku, adalah di bawah kekuasaan Tuhan
dan jalan-Nya tak terduga.
Kita melihat apa yang sedang terjadi
tetapi kita tak dapat melihat kebijaksanaan lain
yang bertanggung jawab atas kejadian di dunia ini.

“Tindakan manusia seperti wayang.
Nampak berjalan sendiri tetapi sebenarnya tidak.
Itu bergerak seperti dawai ditarik.
Dan dawai-dawai ditarik oleh seorang ahli yang tidak terlihat oleh kita.

“Pada suatu malam ibuku sedang berjalan ke kandang sapi
untuk memerah susu sapi milik àúrama itu
Karena senjakala, bahkan cahaya kecil itu memudar dengan cepat.
Ibuku digigit ular yang berbaring di jalan
dan dia meninggal dengan segera.
Dengan cukup aneh, aku tidak merasakan terlalu sedih
karena aku mengetahui bahwa ini adalah kehendak Tuhan
bahwa Ia melakukan itu agar aku mendapatkan kebebasan.
Ibuku adalah seorang Bandha
dan aku kini bebas dari itu.
Aku meninggalkan àúrama dan meneruskan perjalanan ke arah utara.
Aku menempuh perjalanan melalui banyak negara dan banyak hutan.
Aku menyeberang sungai yang indah.
Hutan yang penuh dengan pohon berbunga,
pohon yang mempunyai cabang yang dirusak oleh gajah liar.
Aku melihat pegunungan yang sekilas seperti perak dan keemasan
karena mineral yang tersembunyi di dalam batu karang.
Aku melihat danau yang ribut dengan bunyi lebah
yang berbisik terus-menerus.
Aku melewati hutan bambu
dan ke telingaku datang suara gaduh
yang dibuat oleh raungan binatang buas,
serigala dan ejekan yang menyedihkan
tentang manusia malam itu.

“Aku lelah dan badanku pegal semua.
Kerongkonganku terasa kering dan aku lapar.
Aku pergi ke arah sungai,
mencuci diriku dan minum air yang manis.
Aku kemudian berguru pada pohon Pipal tak terukur.
Aku membayangkan wajah para orang bijaksana
yang telah mengajar aku dan memusatkan pikiranku
pada bentuk Tuhan yang telah mereka uraikan.
Aku duduk bermeditasi di sana.

“Di dalam mata pikiranku aku melihat bentuk Nàràyaóa
yang pelan-pelan menjelma mewujud nyata.
Aku melihat-Nya dan badanku jadi menggigil
dalam perasaan yang sangat gembira.
Air mata mengalir dengan berkelanjutan
dan seluruh tubuhku dibanjiri oleh kegembiraan.
Sebentar perasaan sangat gembira ini
dan wujud Nàràyaóa lenyap:
tidak ada lagi.
Aku tenggelam dalam kesengsaraan
dan aku bangun dari meditasiku.

Aku mencoba lagi untuk duduk dan bermeditasi
dan aku tidak bisa melakukannya.
Wujud tidak akan kembali lagi menurut pendapatku.
Aku seperti orang gila.

“Mendadak aku mendengar suara berkata kepadaku.
Ia memanggil aku dan suara-Nya penuh kasih,
menghibur, nan indah.
Ia berkata:
“Anakku, kamu tidak akan mampu melihat aku lagi
di dalam kelahiran ini.
Kecuali jika kamu sudah membebaskan wujud ini dari keinginan
Visi yang sesaat dari wujudku akan meyakinkan kamu
bahwa kamu akan mencapai aku pada akhirnya.
Setelah melihat aku sekali,
tak seorangpun yang dapat berpikir tentang yang lain
atau mempunyai keinginan lain di dalam pikirannya.
Bahkan pada umur semuda ini,
pergaulanmu dengan para orang bijaksana,
belajar untuk mencintai aku dan hanya aku.
Mencintai aku akan membuang semua bentuk cinta yang lain di dalam pikiranmu.
Lepaskan badan ini dan datang kepadaku.
Kamu akan selalu ada di dalamku.
Cinta yang kamu punyai untukku tidak akan menyusut
bahkan setelah Pralaya.
Kamu mencintaiku.
Suara ilahi itu tidak lagi terdengar.

“Sejak itu, aku melewatkan semua waktuku
untuk menyanyikan pujian Nàràyaóa
dan pergi dari satu tempat ke lain tempat.
Aku tidak punya keinginan
dan aku mengisi seluruh hidupku.
Aku menantikan waktu manakala aku bisa melepaskan
bentuk manusia yang mengikatku di dalam perbudakan,
membuat aku terpenjara.

Hari berganti hari
beberapa tahun terlewati.
Dalam proses waktu kematian datang kepadaku.
Ada suatu lapisan kilat yang dengan penuh tipuan seperti cahaya.
Badan yang tersusun dari unsur-unsur jatuh ke bumi.

Dan aku menempuh perjalanan ke arah samudra
di mana Nàràyaóa sedang tidur.
Aku masuk ke Brahmà bersama dengan nafasnya.
Setelah empat yuga telah lewat,
ketika Brahmà mulai menciptakan dunia,
aku dilahirkan sebagai putranya
bersama dengan Marìci dan yang lainnya.

Dengan rahmat dari Tuhan,
aku bepergian kemana-mana menyanyikan kemuliaannya.
Dewa memberi aku Wìóa dengan nama Mahatì
dan dengan ini untuk menemani nyanyianku,
aku bepergian menyebarkan pelajaran cinta.

“Manakala aku menyanyikan bentuk Nàràyaóa
dengan segera seolah-olah Ia telah dipanggil olehku!
Aku melihat-Nya dan aku selalu bahagia.

“Beri aku kesempatan mengulangi apa yang aku katakan sebelumnya.
Karma Yoga yang sudah kamu ajarkan di dalam Mahàbhàrata,
Jñàna Yoga yang sudah kamu ajarkan di dalam Upaniûad
dan Karma Kàóða yang sudah kamu uraikan di dalam Veda
tidak satupun darinya akan memberikan manusia kedamaian
dan ketenangan dengan mudah seperti yang diberikan bhakti yoga.

Jadi kawanku yang tercinta,
biarkan karyamu menjadi rakit
yang akan menyelamatkan manusia
yang menggelepar di dalam samudra kesakitan,
frustrasi dan keputus-asaan.”

Nàrada pergi dari hadapan Vyàsa.
Lama setelah ia pergi,
Wìóanya bisa terdengar
dan penyair agung itu sebentar
merenungkan kata-kata Nàrada.

Vyàsa menutup matanya dan memasuki meditasi yang dalam.
Ia melihat di dalam pikirannya,
peristiwa agung dari masa lampau.
Ia melihat Nàràyaóa yang beristirahat pada Ananta.
Ia melihat permulaan ciptaan:
Viratapuruûa dan bunga teratai agung
dari mana Brahmà dilahirkan.
Ia melihat kelahiran dunia.
Ia melihat Vibhùti Tuhan
dan kejadian dibanyak kalpa.

Vyàsa kemudian menyusun Bhàgavata Puràóa yang agung.
Ia mengajarkan syair agung ini kepada putranya Suka
dan Suka menyebarkannya kepada dunia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar