MENCARI KEBENARAN SEJATI
Para orang
bijaksana pada pergi
dan aku
ditinggalkan sendiri.
Aku memiliki
seorang ibu
Dia adalah seorang
pembantu, dia tidak tahu,
dan dia terikat
sekali kepadaku,
anaknya
satu-satunya.
Aku mengetahui
betapa bodoh akan mencintai seperti itu
tetapi adalah tidak
mungkin bagiku untuk pergi meninggalkannya
Aku ada bersamanya
di dalam àúrama di mana dia bekerja,
dan menantikan
rahmat Tuhan.
Dunia, temanku,
adalah di bawah kekuasaan Tuhan
dan jalan-Nya tak
terduga.
Kita melihat apa
yang sedang terjadi
tetapi kita tak
dapat melihat kebijaksanaan lain
yang bertanggung
jawab atas kejadian di dunia ini.
“Tindakan manusia
seperti wayang.
Nampak berjalan
sendiri tetapi sebenarnya tidak.
Itu bergerak
seperti dawai ditarik.
Dan dawai-dawai
ditarik oleh seorang ahli yang tidak terlihat oleh kita.
“Pada suatu malam
ibuku sedang berjalan ke kandang sapi
untuk memerah susu
sapi milik àúrama itu
Karena senjakala,
bahkan cahaya kecil itu memudar dengan cepat.
Ibuku digigit ular
yang berbaring di jalan
dan dia meninggal
dengan segera.
Dengan cukup aneh,
aku tidak merasakan terlalu sedih
karena aku
mengetahui bahwa ini adalah kehendak Tuhan
bahwa Ia melakukan
itu agar aku mendapatkan kebebasan.
Ibuku adalah
seorang Bandha
dan aku kini bebas
dari itu.
Aku meninggalkan
àúrama dan meneruskan perjalanan ke arah utara.
Aku menempuh
perjalanan melalui banyak negara dan banyak hutan.
Aku menyeberang
sungai yang indah.
Hutan yang penuh
dengan pohon berbunga,
pohon yang
mempunyai cabang yang dirusak oleh gajah liar.
Aku melihat
pegunungan yang sekilas seperti perak dan keemasan
karena mineral yang
tersembunyi di dalam batu karang.
Aku melihat danau
yang ribut dengan bunyi lebah
yang berbisik
terus-menerus.
Aku melewati hutan
bambu
dan ke telingaku
datang suara gaduh
yang dibuat oleh
raungan binatang buas,
serigala dan ejekan
yang menyedihkan
tentang manusia
malam itu.
“Aku lelah dan
badanku pegal semua.
Kerongkonganku
terasa kering dan aku lapar.
Aku pergi ke arah
sungai,
mencuci diriku dan
minum air yang manis.
Aku kemudian
berguru pada pohon Pipal tak terukur.
Aku membayangkan
wajah para orang bijaksana
yang telah mengajar
aku dan memusatkan pikiranku
pada bentuk Tuhan
yang telah mereka uraikan.
Aku duduk
bermeditasi di sana.
“Di dalam mata
pikiranku aku melihat bentuk Nàràyaóa
yang pelan-pelan
menjelma mewujud nyata.
Aku melihat-Nya dan
badanku jadi menggigil
dalam perasaan yang
sangat gembira.
Air mata mengalir
dengan berkelanjutan
dan seluruh tubuhku
dibanjiri oleh kegembiraan.
Sebentar perasaan
sangat gembira ini
dan wujud Nàràyaóa
lenyap:
tidak ada lagi.
Aku tenggelam dalam
kesengsaraan
dan aku bangun dari
meditasiku.
Aku mencoba lagi
untuk duduk dan bermeditasi
dan aku tidak bisa
melakukannya.
Wujud tidak akan
kembali lagi menurut pendapatku.
Aku seperti orang
gila.
“Mendadak aku
mendengar suara berkata kepadaku.
Ia memanggil aku
dan suara-Nya penuh kasih,
menghibur, nan
indah.
Ia berkata:
“Anakku, kamu tidak
akan mampu melihat aku lagi
di dalam kelahiran
ini.
Kecuali jika kamu
sudah membebaskan wujud ini dari keinginan
Visi yang sesaat
dari wujudku akan meyakinkan kamu
bahwa kamu akan
mencapai aku pada akhirnya.
Setelah melihat aku
sekali,
tak seorangpun yang
dapat berpikir tentang yang lain
atau mempunyai
keinginan lain di dalam pikirannya.
Bahkan pada umur
semuda ini,
pergaulanmu dengan
para orang bijaksana,
belajar untuk
mencintai aku dan hanya aku.
Mencintai aku akan
membuang semua bentuk cinta yang lain di dalam pikiranmu.
Lepaskan badan ini
dan datang kepadaku.
Kamu akan selalu
ada di dalamku.
Cinta yang kamu
punyai untukku tidak akan menyusut
bahkan setelah
Pralaya.
Kamu mencintaiku.
Suara ilahi itu
tidak lagi terdengar.
“Sejak itu, aku
melewatkan semua waktuku
untuk menyanyikan
pujian Nàràyaóa
dan pergi dari satu
tempat ke lain tempat.
Aku tidak punya
keinginan
dan aku mengisi
seluruh hidupku.
Aku menantikan
waktu manakala aku bisa melepaskan
bentuk manusia yang
mengikatku di dalam perbudakan,
membuat aku
terpenjara.
Hari berganti hari
beberapa tahun
terlewati.
Dalam proses waktu
kematian datang kepadaku.
Ada suatu lapisan
kilat yang dengan penuh tipuan seperti cahaya.
Badan yang tersusun
dari unsur-unsur jatuh ke bumi.
Dan aku menempuh
perjalanan ke arah samudra
di mana Nàràyaóa
sedang tidur.
Aku masuk ke Brahmà
bersama dengan nafasnya.
Setelah empat yuga
telah lewat,
ketika Brahmà mulai
menciptakan dunia,
aku dilahirkan
sebagai putranya
bersama dengan Marìci
dan yang lainnya.
Dengan rahmat dari
Tuhan,
aku bepergian
kemana-mana menyanyikan kemuliaannya.
Dewa memberi aku
Wìóa dengan nama Mahatì
dan dengan ini
untuk menemani nyanyianku,
aku bepergian
menyebarkan pelajaran cinta.
“Manakala aku
menyanyikan bentuk Nàràyaóa
dengan segera
seolah-olah Ia telah dipanggil olehku!
Aku melihat-Nya dan
aku selalu bahagia.
“Beri aku
kesempatan mengulangi apa yang aku katakan sebelumnya.
Karma Yoga yang
sudah kamu ajarkan di dalam Mahàbhàrata,
Jñàna Yoga yang
sudah kamu ajarkan di dalam Upaniûad
dan Karma Kàóða
yang sudah kamu uraikan di dalam Veda
tidak satupun
darinya akan memberikan manusia kedamaian
dan ketenangan
dengan mudah seperti yang diberikan bhakti yoga.
Jadi kawanku yang
tercinta,
biarkan karyamu
menjadi rakit
yang akan
menyelamatkan manusia
yang menggelepar di
dalam samudra kesakitan,
frustrasi dan
keputus-asaan.”
Nàrada pergi dari
hadapan Vyàsa.
Lama setelah ia
pergi,
Wìóanya bisa
terdengar
dan penyair agung
itu sebentar
merenungkan
kata-kata Nàrada.
Vyàsa menutup
matanya dan memasuki meditasi yang dalam.
Ia melihat di dalam
pikirannya,
peristiwa agung
dari masa lampau.
Ia melihat Nàràyaóa
yang beristirahat pada Ananta.
Ia melihat
permulaan ciptaan:
Viratapuruûa dan
bunga teratai agung
dari mana Brahmà
dilahirkan.
Ia melihat
kelahiran dunia.
Ia melihat Vibhùti
Tuhan
dan kejadian
dibanyak kalpa.
Vyàsa kemudian
menyusun Bhàgavata Puràóa yang agung.
Ia mengajarkan
syair agung ini kepada putranya Suka
dan Suka
menyebarkannya kepada dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar