Jumat, 29 Juni 2012

Kresna Kepakisan

Dalêm Kêtut Kåûóa Kapakisan, 1352 – 1380

Setelah raja Bedhahulu atau Úrì Tapolung wafat dikalahkan oleh pasukan Majapahit, pulau Bali menjadi sunyi sepi, kacau balau, masing-masing mempertahankan pendapatnya sendiri-sendiri, tidak mau menuruti sesamanya. 
Mahapatih Gajah Mada menjadi gelisah melihat keadaan pulau Bali hancur tanpa suatu peraturan, karena tidak ada raja yang memimpinnya. 

Karena itu Gajah Mada berunding dengan Mpu Dwijàkûara beserta kerabatnya, keturunan Mpu Sanakpitu, yang diperintahkan pergi ke pulau Bali untuk memelihara pura-pura dan melaksanakan upacara-upacara yajña pada sadkahyangan dan upacara pulau Bali, antara lain di Bêsakih, Gelgel, Silayukti, Lêmpuyang dan di pura-pura pada masing-masing desa.

Untuk calon raja Bali, Mahapatih Gajah Mada memohon kepada guru penasehatnya, Dhanghyang Kapakisan, untuk mengangkat puteranya menjadi raja di pulau Bali. Permohonan Patih Gajah Mada itu dikabulkannya dan atas persetujuan raja Majapahit, ditetapkan bahwa empat orang cucu Dhanghyang Kapakisan, putera Úrì Kåûóa Wangbang Kapakisan, akan diangkat menjadi raja di daerah-daerah kekuasaan Majapahit, termasuk Bali.

Sementara itu di Bali, Patih Ulung berunding dengan semua kerabatnya, keturunan Mpu sanakpitu, tentang pulau Bali yang telah lama belum ada yang memimpin sebagai raja, dan juga mengenai janji Patih Gajah Mada untuk mengangkat seorang raja keturunan Majapahit di pulau Bali. 

Dalam perundingan itu disepakati bahwa Patih Ulung diutus ke Majapahit bersama saudara-saudaranya, yaitu Kyayi Pamacêkan, Kyayi Kêpasêkan, dan Kyayi Padhang Subhadra untuk memohon agar di Bali segera diangkat seorang raja. Permohonan Patih Ulung itu dikabulkan oleh raja Majapahit dan Patih Gajah Mada, dan rombongan Patih Ulung diperintahkan untuk kembali ke Bali.

Pada hari yang baik saat purnama kapat, Rakryan Patih Gajah Mada melantik enam orang adipati. Empat dari keenam adipati itu adalah putera-puteri Úrì Kåûóa Wangbang Kapakisan, cucu daripada Dhanghyang Kapakisan, yaitu yang sulung dijadikan adipati di Blambangan, yang kedua di Pasuruhan, yang ketiga seorang puteri menjadi ratu di pulau Sumbawa dan yang bungsu ditempatkan di pulau Bali.

Putera bungsu yang diangkat sebagai raja Bali ialah Úrì Aji Kudawandhira bergelar Dalêm Kêtut Kåûóa Kapakisan, pada tahun 1352. Selanjutnya Úrì Dalêm berkedudukan di Samprangan (daerah Gianyar) dan patihnya Rakryan Apatih Arya Kapakisan dari Kadiri, cucu Úrì Jayasaba, keturunan Raja Úrì Dharmawangúa, berkedudukan di Nyuhaya, sehingga terkenal dengan sebutan I Gusti Nyuhaya (Klapodhyana atau Kebontubuh).

Para menteri yang semuanya berasal dari Majapahit, diberikan tempat kedudukan masingmasing, yaitu Arya Kutawaringin di Klungkung, Arya Kêncêng di Tabanan, Arya Bêlog di Kabakaba, Arya Dalancang di Kapal, Arya Bêlêntong di Pacung, Arya Sêntong di Carangsari, Arya Kanuruhan di Tangaks, Kryan Punta di Mambal, Arya Jrudeh di Tamukti, Kryan Tumênggung di Patêmon, Arya Dhêmung Wangbang Kadiri di Kåtalangu, Arya Sura Wangbang Lasêm di Sukahêt, Arya Wangbang Mataram tidak menetap disatu tempat boleh dimana saja, Arya Melel Cêngkrong di Jêmbrana, Arya Pamacêkan di Bondalêm, Arya Gajah Para dan adiknya Arya Gêtas di Toyaanyar. Demikainlah awal mulanya atas perintah dan wewenang Patih Gajah Mada, Patih Majapahit.

Setelah keadaan pulau Bali aman, Dalêm Kêtut Kåûóa Kapakisan bermaksud memperbaiki kahyangan-kahyangan di Bali, maka Dalêm memanggil pemimpin-pemimpin Pasêk agar menghadap ke Samprangan.

Para pemimpin pasêk itu diberi tugas memelihara dan menyelenggarakan upacara-upacara dewayajña di sad kahyangan, di Kahyangan tiga dan di pura-pura lainnya.

Pada tahun 1380 Dalêm Kêtut Kåûóa Kapakisan wafat, setelah beberapa waktu lamanya memerintah di Bali. Kemudian yang diangkat untuk menggantikannya sebagai raja Bali adalah puteranya yang bungsu, yang suka mêtêtajen (menyabung ayam), yang terkenal dengna panggilan Ida I Dewa Kêtut Angulêsir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar