Selasa, 19 Juni 2012

Kali

Kàlì

Dari semua bentuk pantheon Hindu, barangkali dewì Kàlì lah yang paling aneh bagi pikiran modern. Siapakah yang tidak mundur ketakutan dan mual menyaksikan bentuk wanita gelap telanjang yang mengenakan celemek tangan-tangan manusia dan untaian kepala manusia, khususnya bila dia juga memegang kepala manusia yang baru saja dipotong dan pemotong yang digunakan dalam membantai, yang berlumuran darah? 

Keseluruhan ceritanya, umat manusia telah dibingungkan oleh perlambang yang mendalam. Terlebih lagi manakala hal itu tidak selaras dengan standar 'kelembutan dan kesopanan' nya sendiri. Bahkan apabila satu kelompok atau kepercayaan tertentu secara berhasil membaurkannya dan mulai memujanya, kelompok atau kepercayaan lain terus membencinya. Wajar bagi satu kelompok untuk membenci lambang dari semua kelompok lainnya, dengan melupakan kesesuaian bahwa 'kelompok lain' juga melakukan yang sama. 

The Dasamukhi Mahakali

Gambar 'menyembelih anak domba' atau kultus dari 'hati suci' hanyalah dua ilustrasi untuk menunjukkan hal itu. Sebaliknya, pendangan yang lebih dekat pada lambang-lambang itu bukan hanya akan melenyapkan kebodohan kita tentangnya, tetapi juga dapat menghasilkan kekaguman yang positif. Bukankah air laut yang tampaknya berwarna biru tua atau hijau gelap dari kejauhan sesungguhnya tak berwarna dan bening bila diamati dari dekat?

Kata 'Kàlì' berasal dari kata yang cukup dikenal, yaitu Kàla, atau waktu. Dia adalah daya dari waktu. Waktu, yang kita semua mengenalinya dengan baik, adalah pemusnah segalanya, penghancur segalanya. 

Ekamukhi or "One-Faced" Murti of Mahakali
displaying ten hands holding the signifiers of various Devas

Itulah sebabnya Tuhan bersabda dalam Gìtà XI. 32; bahwa Dia adalah waktu yang tumbuh dengan proporsi takterbatas dan memusnahkan dunia ini. Daya kekuatan yang memusnahkan telah dilukiskan dalam istilah teror yang membangkitkan rasa hormat.

Sekarang marilah kita berpaling pada penggambaran Kàlì seperti umumnya dijumpai dalam kitab-kitab suci, gambar-gambar dan patung. Latar belakangnya adalah wilayah kremasi atau tempat pembakaran mayat atau medan perang yang menunjukkan tubuh-tubuh mati termasuk yang dirusak. Dia sendiri berdiri dengn sikap menantang, pada 'badan mati' yang merupakan pendampingnya sendiri, yaitu Úiwa. Bila Úiwa putih mulus, dia berwarna biru tua yang berbatasan dengan kegelapan. 

Dia sepenuhnya telanjang, kecuali pada celemek tangan-tangan manusia. Dia mengenakan untaian empatpuluh tengkorak kepala manusia. Rambutnya yang lebat sepenuhnya kusut awut-awutan. Dia memiliki tiga buah mata dan empat lengan. Pada tangan atas dia memegang potongan kepala manusia yang masih berdarah segar, demikian juga pedang yang digunakan untuk menyembelihnya. Dua tangan bawah bersikap Abhaya dan Varada Mudrà. Mukanya merah dan lidahnya menjulur keluar.

Latar belakang atau situasinya sangat selaras dengan temanya. Potongan kepala dan pedang merupakan pernyataan grafis tentang penghancuran yang sedang berlangsung.

Tuhan dikatakan telah menciptakan alam semesta dan kemudian memasukinya (Taittirìyopaniûad 2.6). Dengan demikian alam semesta ini menjadi sebuah tabir, selubung bagi keilahian itu. Bila itu dimusnahkan, maka keilahian itu akan tetap terbuka. Itulah makna Kàlì yang telanjang; sehingga dia diistilahkan sebagai 'Digambara' (berpakaian ruang ), menggunakan ruang angkasa luas takterbatas itu sendiri sebagai satu-satunya pakaiannya.

Sebagai perwujudan dari sifat Tamas, apek energi ber-tanggung jawab terhadap penyebaran abadi yang menghasilkan kekosongan tanpa batas, yang telah menelan segalanya, dia digambarkan hitam (gelap). Dia menyatakan keadaan dimana waktu, ruang dan penyebab telah lenyap tanpa jejak apapun; sehingga dia hitam.

Tangan menyatakan kemampuan untuk bekerja. Karena itu celemek potongan tangan dapat melambangkan bahwa dia sangat berkenan dengan persembahan kegiatan kerja kita dan hasil daripadanya, yang dia kenakan pada badannya.

Tangan juga dapat menyatakan energi kinetis; sehingga potongan tangan dapat menyatakan energi potensial, yaitu energi yang telah menghentikan segala manifestasi keluar, namun sangat kuat, siap untuk berwujud sendiri bila diinginkan.

Rambut awut-awutan, sehingga dijuluki 'Muktakeúì', memperlihatkan kebebasannya yang tak terhalangi.

Kemudian, untaian tengkorak kepala manusia yang berjumlah empatpuluh itu menyatakan empatpuluh alfabet, kondisi suara yang berwujud, atau Úabda umumnya, yang menjadi sumber timbulnya penciptaan. Untuk menunjukkan bahwa ciptaan yang berwujud ini telah ditarik, dia mengenakan untaian tersebut pada badannya. Tengkorak kepala atau potongan kepala menandakan keadaan penghancuran.

Karena dia merupakan energi utama yang bertanggung jawab terhadap penyerapan atas alam semesta yang tercipta ini, bentuknya yang digambarkan disini wajar membuat kagum dan rasa takut. Tetapi, kemudian dia juga adalah Ibu, sang pencipta. Karena itu dia memulihkan keberanian anak-anaknya yang dilanda rasa takut melalui Abhaya Mudrà, yang mengatakan 'Jangan takut! Aku adalah Ibumu sendiri yang penuh kasih'. Secara simultan dia juga memperlihatkan keinginanya untuk memberikan berkah melalui Varada Mudrà.

Selama ini tampaknya wajar-wajar saja! Tetapi bagaimana tentang Úiwa Mahàdewa yang 'diinjak-injak' di bawah kakinya? Menurut salah satu pernyataan mithologis, Kàlì dahulu memusnahkan semua raksasa dalam perang dan kemudian memulai tarian mengerikan akibat dari kesenangannya yang tak terperikan terhadap kemenangannya. 

Seluruh dunia mulai gemetar dan pasrah di bawah pengaruhnya. Atas permintaan semua dewa, Úiwa sendiri memintanya untuk berhenti melakukan hal itu. Dia terlalu mabuk untuk mengindahkannya. Karena itu Úiwa berbaring bagaikan sesosok mayat di antara mayat-mayat tempatnya menari, untuk menyerap getarannya pada dirinya sendiri. Ketika dia melangkahinya tiba-tiba dia sadar akan kesalahannya dan mengeluarkan lidahnya kemalu-maluan.

Kali and Bhairava (the terrible form of Shiva) in Union, 18th century, Nepal
Úiwa Mahàdewa adalah Brahman, Yang Mutlak, yang melampaui segala nama, wujud dan kegiatan. Karena itu ia tampak berbaring tiarap bagaikan sesosok úava (mayat). Kàlì menyatakan úakti atau energinya. Namun, energi itu tak pernah dapat eksis terpisah dari sumbernya ataupun bertindak mandiri dari padanya. Ia hanya dapat berwujud dan bertindak sendiri manakala secara mantap didasarkan pada sumbernya. Itulah sebenarnya yang dimaksudkan dengan panampilan Kàlì yang berdiri pada dada Úiwa.

Dari semuanya ini, orang hendaknya jangan mengambil kesimpulan bahwa Kàlì hanya menyatakan aspek penghancuran dari kekuasaan Tuhan. Apa yang ada manakala waktu dilampaui, malam abadi, dari kedamaian dan kegembiraan tanpa batas, juga adalah Kàlì (mahàràtri). Di samping itu, dia jugalah yang mendorong Úiwa Mahàdewa ke dalam siklus penciptaan berikutnya. Singkatnya, dia adalah kekuasaan Tuhan pada segala aspek-Nya.

Aspek lain dari sang Dewì, [...]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar