Dari semua bentuk pantheon Hindu,
barangkali dewì Kàlì
lah
yang paling aneh bagi pikiran modern. Siapakah yang tidak mundur ketakutan dan
mual menyaksikan bentuk wanita gelap telanjang yang mengenakan celemek
tangan-tangan manusia dan untaian kepala manusia, khususnya bila dia juga
memegang kepala manusia yang baru saja dipotong dan pemotong yang digunakan
dalam membantai, yang berlumuran darah?
Keseluruhan ceritanya, umat manusia
telah dibingungkan oleh perlambang yang mendalam. Terlebih lagi manakala hal
itu tidak selaras dengan standar 'kelembutan
dan kesopanan' nya sendiri. Bahkan apabila satu kelompok atau
kepercayaan tertentu secara berhasil membaurkannya dan mulai memujanya, kelompok
atau kepercayaan lain terus membencinya. Wajar bagi satu kelompok untuk
membenci lambang dari semua kelompok lainnya, dengan melupakan kesesuaian bahwa
'kelompok lain' juga
melakukan yang sama.
Gambar 'menyembelih anak domba' atau kultus dari 'hati suci' hanyalah dua ilustrasi untuk menunjukkan hal itu. Sebaliknya, pendangan yang lebih dekat pada lambang-lambang itu bukan hanya akan melenyapkan kebodohan kita tentangnya, tetapi juga dapat menghasilkan kekaguman yang positif. Bukankah air laut yang tampaknya berwarna biru tua atau hijau gelap dari kejauhan sesungguhnya tak berwarna dan bening bila diamati dari dekat?
The Dasamukhi Mahakali |
Gambar 'menyembelih anak domba' atau kultus dari 'hati suci' hanyalah dua ilustrasi untuk menunjukkan hal itu. Sebaliknya, pendangan yang lebih dekat pada lambang-lambang itu bukan hanya akan melenyapkan kebodohan kita tentangnya, tetapi juga dapat menghasilkan kekaguman yang positif. Bukankah air laut yang tampaknya berwarna biru tua atau hijau gelap dari kejauhan sesungguhnya tak berwarna dan bening bila diamati dari dekat?
Kata 'Kàlì'
berasal dari kata yang cukup dikenal, yaitu Kàla, atau waktu. Dia
adalah daya dari waktu. Waktu, yang kita semua mengenalinya dengan baik, adalah
pemusnah segalanya, penghancur segalanya.
Itulah sebabnya Tuhan bersabda dalam Gìtà XI. 32; bahwa Dia adalah waktu yang tumbuh dengan proporsi takterbatas dan memusnahkan dunia ini. Daya kekuatan yang memusnahkan telah dilukiskan dalam istilah teror yang membangkitkan rasa hormat.
Ekamukhi or "One-Faced" Murti of Mahakali displaying ten hands holding the signifiers of various Devas |
Itulah sebabnya Tuhan bersabda dalam Gìtà XI. 32; bahwa Dia adalah waktu yang tumbuh dengan proporsi takterbatas dan memusnahkan dunia ini. Daya kekuatan yang memusnahkan telah dilukiskan dalam istilah teror yang membangkitkan rasa hormat.
Sekarang marilah kita berpaling pada
penggambaran Kàlì
seperti
umumnya dijumpai dalam kitab-kitab suci, gambar-gambar dan patung. Latar
belakangnya adalah wilayah kremasi atau tempat pembakaran mayat atau medan perang
yang menunjukkan tubuh-tubuh mati termasuk yang dirusak. Dia sendiri berdiri
dengn sikap menantang, pada 'badan
mati' yang merupakan pendampingnya sendiri, yaitu Úiwa.
Bila Úiwa putih mulus, dia berwarna biru tua
yang berbatasan dengan kegelapan.
Dia sepenuhnya telanjang, kecuali pada celemek tangan-tangan manusia. Dia mengenakan untaian empatpuluh tengkorak kepala manusia. Rambutnya yang lebat sepenuhnya kusut awut-awutan. Dia memiliki tiga buah mata dan empat lengan. Pada tangan atas dia memegang potongan kepala manusia yang masih berdarah segar, demikian juga pedang yang digunakan untuk menyembelihnya. Dua tangan bawah bersikap Abhaya dan Varada Mudrà. Mukanya merah dan lidahnya menjulur keluar.
Dia sepenuhnya telanjang, kecuali pada celemek tangan-tangan manusia. Dia mengenakan untaian empatpuluh tengkorak kepala manusia. Rambutnya yang lebat sepenuhnya kusut awut-awutan. Dia memiliki tiga buah mata dan empat lengan. Pada tangan atas dia memegang potongan kepala manusia yang masih berdarah segar, demikian juga pedang yang digunakan untuk menyembelihnya. Dua tangan bawah bersikap Abhaya dan Varada Mudrà. Mukanya merah dan lidahnya menjulur keluar.
Latar belakang atau situasinya sangat
selaras dengan temanya. Potongan kepala dan pedang merupakan pernyataan grafis
tentang penghancuran yang sedang berlangsung.
Tuhan dikatakan telah menciptakan alam
semesta dan kemudian memasukinya (Taittirìyopaniûad
2.6). Dengan demikian alam
semesta ini menjadi sebuah tabir, selubung bagi keilahian itu. Bila itu
dimusnahkan, maka keilahian itu akan tetap terbuka. Itulah makna Kàlì yang telanjang; sehingga dia
diistilahkan sebagai 'Digambara' (berpakaian ruang ), menggunakan
ruang angkasa luas takterbatas itu sendiri sebagai satu-satunya pakaiannya.
Sebagai perwujudan dari sifat Tamas,
apek energi ber-tanggung jawab terhadap penyebaran abadi yang menghasilkan
kekosongan tanpa batas, yang telah menelan segalanya, dia digambarkan hitam
(gelap). Dia menyatakan keadaan dimana waktu, ruang dan penyebab telah lenyap
tanpa jejak apapun; sehingga dia hitam.
Tangan menyatakan kemampuan untuk
bekerja. Karena itu celemek potongan tangan dapat melambangkan bahwa dia sangat
berkenan dengan persembahan kegiatan kerja kita dan hasil daripadanya, yang dia
kenakan pada badannya.
Tangan juga dapat menyatakan energi
kinetis; sehingga potongan tangan dapat menyatakan energi potensial, yaitu
energi yang telah menghentikan segala manifestasi keluar, namun sangat kuat,
siap untuk berwujud sendiri bila diinginkan.
Rambut awut-awutan, sehingga dijuluki 'Muktakeúì', memperlihatkan kebebasannya yang tak
terhalangi.
Kemudian, untaian tengkorak kepala manusia
yang berjumlah empatpuluh itu menyatakan empatpuluh alfabet, kondisi suara yang
berwujud, atau Úabda
umumnya,
yang menjadi sumber timbulnya penciptaan. Untuk menunjukkan bahwa ciptaan yang
berwujud ini telah ditarik, dia mengenakan untaian tersebut pada badannya.
Tengkorak kepala atau potongan kepala menandakan keadaan penghancuran.
Karena dia merupakan energi utama yang
bertanggung jawab terhadap penyerapan atas alam semesta yang tercipta ini,
bentuknya yang digambarkan disini wajar membuat kagum dan rasa takut. Tetapi,
kemudian dia juga adalah Ibu, sang pencipta. Karena itu dia memulihkan
keberanian anak-anaknya yang dilanda rasa takut melalui Abhaya Mudrà,
yang mengatakan 'Jangan takut! Aku
adalah Ibumu sendiri yang penuh kasih'. Secara simultan dia juga
memperlihatkan keinginanya untuk memberikan berkah melalui Varada Mudrà.
Selama ini tampaknya wajar-wajar saja!
Tetapi bagaimana tentang Úiwa
Mahàdewa yang 'diinjak-injak' di bawah kakinya? Menurut salah satu
pernyataan mithologis, Kàlì
dahulu
memusnahkan semua raksasa dalam perang dan kemudian memulai tarian mengerikan
akibat dari kesenangannya yang tak terperikan terhadap kemenangannya.
Seluruh dunia mulai gemetar dan pasrah di bawah pengaruhnya. Atas permintaan semua dewa, Úiwa sendiri memintanya untuk berhenti melakukan hal itu. Dia terlalu mabuk untuk mengindahkannya. Karena itu Úiwa berbaring bagaikan sesosok mayat di antara mayat-mayat tempatnya menari, untuk menyerap getarannya pada dirinya sendiri. Ketika dia melangkahinya tiba-tiba dia sadar akan kesalahannya dan mengeluarkan lidahnya kemalu-maluan.
Seluruh dunia mulai gemetar dan pasrah di bawah pengaruhnya. Atas permintaan semua dewa, Úiwa sendiri memintanya untuk berhenti melakukan hal itu. Dia terlalu mabuk untuk mengindahkannya. Karena itu Úiwa berbaring bagaikan sesosok mayat di antara mayat-mayat tempatnya menari, untuk menyerap getarannya pada dirinya sendiri. Ketika dia melangkahinya tiba-tiba dia sadar akan kesalahannya dan mengeluarkan lidahnya kemalu-maluan.
Kali and Bhairava (the terrible form of Shiva) in Union, 18th century, Nepal |
Úiwa
Mahàdewa
adalah Brahman, Yang Mutlak, yang melampaui segala nama,
wujud dan kegiatan. Karena itu ia tampak berbaring tiarap bagaikan sesosok úava (mayat).
Kàlì menyatakan úakti atau
energinya. Namun, energi itu tak pernah dapat eksis terpisah dari sumbernya
ataupun bertindak mandiri dari padanya. Ia hanya dapat berwujud dan bertindak
sendiri manakala secara mantap didasarkan pada sumbernya. Itulah sebenarnya
yang dimaksudkan dengan panampilan Kàlì
yang
berdiri pada dada Úiwa.
Dari semuanya ini, orang hendaknya
jangan mengambil kesimpulan bahwa Kàlì
hanya
menyatakan aspek penghancuran dari kekuasaan Tuhan. Apa yang ada manakala waktu
dilampaui, malam abadi, dari kedamaian dan kegembiraan tanpa batas, juga adalah
Kàlì (mahàràtri).
Di samping itu, dia jugalah yang mendorong Úiwa Mahàdewa ke
dalam siklus penciptaan berikutnya. Singkatnya, dia adalah kekuasaan Tuhan pada
segala aspek-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar