Cinta Romantis - Sebuah Mitos
Agar perangkap ikatan pernikahan
bekerja efektif, pengalaman jatuh cinta mungkin harus mempunyai satu dari
beberapa karakteristik ilusi di mana pengalaman selamanya menjadi pengalaman
terakhir. Ilusi tersebut dikembangkan dalam budaya kita melalui mitos yang umum
beredar tentang cinta yang romantis, yang berasal dari dongeng tentang peri,
sebuah dongeng favorit ketika kita masih kanak-kanak, di mana si pangeran dan
permaisurinya, bersatu, hidup bahagia dari waktu ke waktu. Efek mitos cinta
romantis ini, membuat kita yakin bahwa untuk setiap laki-laki muda di dunia
ini, akan ada seorang perempuan muda yang “bermakna bagi laki-laki muda itu,”
dan sebaliknya.
Selain itu, mitos itu juga bermakna
bahwa hanya ada satu laki-laki yang berarti bagi seorang perempuan dan hanya ada satu orang perempuan yang berarti
bagi seorang laki-laki dan hal tersebut sudah ditetapkan sebelumnya “di
angkasa, di antara bintang-bintang atau di surga”. Ketika kita bertemu dengan
seseorang yang untuknya kita ada, muncul pengakuan kita tengah jatuh cinta.
Kita telah bertemu dengan seseorang di mana seluruh kehidupan “surgawinya”
bermakna bagi kita, dan karena kehidupan berpasangan itu sempurna, kita akan
mampu memuaskan seluruh kebutuhan orang lain, selalu dan senantiasa, hidup
bahagia, selalu dan senantiasa dalam kesatuan dan harmoni yang sempurna.
Haruslah itu berlalu, bagaimanapun,
kita tidak bisa memuaskan, atau memenuhi semua kebutuhan orang lain, dan
benturan timbul, dan kita melawan cinta, kemudian menjadi jelas bahwa kita
telah membuat kesalahan yang menakutkan, kita salah membaca fenomena
“bintang-bintang”, kita tidak mengaitkan dengan diri kita dan hanya pada
pasangan sempurna. Apa yang kita pikirkan tentang cinta, ternyata bukanlah
cinta yang sebenarnya, bukanlah cinta sejati. Dan pada situasi demikian, tidak
ada yang bisa kita lakukan selain hidup tidak bahagia, atau memutuskan
bercerai.
Secara umum mitos besar itu
benar-benar besar karena mitos-mitos itu merepresentasikan dan mewujudkan
kebenaran-kebenaran universal yang besar, mitos tentang cinta romantis
merupakan kebohongan yang menakutkan. Mungkin ini kebohongan yang diperlukan
untuk menjamin perjuangan hidup berbagai spesies melalui dorongan dan validasi
yang tampak pada pengalaman jatuh cinta, yang menjebak kita dalam pernikahan. Berjuta-juta
orang membuang sejumlah besar energinya secara sia-sia dan putus asa, untuk
mengonfirmasi ketidakmasukakalan mitos tersebut pada realita kehidupan mereka.
“Si Agnes” memasrahkan dirinya
secara tidak masuk akal pada suaminya, untuk keluar dari rasa bersalahnya.
“Saya tidak benar-benar mencintai suami saya ketika kami memutuskan menikah”
dia berkata. “Saya berpura-pura mencintainya. Saya pikir saya telah menjebaknya
ke dalam pernikahan, maka saya tidak berhak memprotesnya, dan saya berhutang
padanya untuk melakukan apa pun yang dia mau.”
“Si Budi” meratap: “Saya menyesal
tidak menikah dengan “Si Santi”. Saya kira kami bisa membangun pernikahan yang
baik. Tetapi saya tidak merasa sangat mencintainya, maka saya menganggap dia
bukan orang yang tepat bagi saya.”
“Si Cece”, telah menikah selama dua
tahun, sebelum akhirnya mengalami depresi yang parah tanpa penyebab yang jelas,
dan memasuki terapi dengan menyatakan: “Saya tidak tahu apa yang keliru. Saya
telah mendapatkan apa pun yang saya inginkan, termasuk pernikahan yang sempurna.”
Hanya beberapa bulan dia bisa menerima fakta bahwa dia tidak lagi cinta pada
suaminya, tetapi itu bukan berarti dia telah membuat suatu kesalahan yang
mengerikan.
“Sinta dan Komeng” saling mengakui
kalau mereka sudah tidak lagi saling cinta, dan kemudian saling menyakiti
dengan pengkhianatan dan ketidaksetiaan yang sama, sebagai upaya saling mencari
“cinta sejati”, tanpa menyadari bahwa pengakuan mereka akan menjadi tanda mulai
bekerjanya akhir dari pernikahan mereka.
Bahkan, ketika pasangan ini
mengakui bahwa masa bulan madu telah berakhir, mereka tidak bisa lebih lama
lagi menjalani masa-masa cinta yang romantis, namun masih mampu berkomitmen
pada hubungan mereka, masih berpegang teguh pada mitos tersebut dan berupaya
menyesuaikan kehidupan mereka. “Meskipun kami sudah tidak lagi saling cinta,
namun dengan kemauan yang kuat, seolah-olah kita masih jatuh cinta, mungkin
cinta romantis itu akan kembali pada kehidupan kami,” pikir mereka selalu.
Pasangan tersebut menghargai kebersamaan.
Cepat
atau lambat, dan biasanya cepat, hampir sebagian besar pasangan yang terlalu
serius dalam pernikahan mereka, merupakan pasangan yang terlalu dekat, dan
mereka perlu membangun jarak psikologis satu sama lain, sebelum mereka bisa
mulai bekerja secara konstruktif menghadapi berbagai permasalahan mereka.
Kadang-kadang benar-benar diperlukan saling terpisah secara fisik, mengarahkan
mereka untuk duduk terpisah satu sama lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar