Kamis, 14 Juni 2012

Cinta Romantis


Cinta Romantis - Sebuah Mitos

Agar perangkap ikatan pernikahan bekerja efektif, pengalaman jatuh cinta mungkin harus mempunyai satu dari beberapa karakteristik ilusi di mana pengalaman selamanya menjadi pengalaman terakhir. Ilusi tersebut dikembangkan dalam budaya kita melalui mitos yang umum beredar tentang cinta yang romantis, yang berasal dari dongeng tentang peri, sebuah dongeng favorit ketika kita masih kanak-kanak, di mana si pangeran dan permaisurinya, bersatu, hidup bahagia dari waktu ke waktu. Efek mitos cinta romantis ini, membuat kita yakin bahwa untuk setiap laki-laki muda di dunia ini, akan ada seorang perempuan muda yang “bermakna bagi laki-laki muda itu,” dan sebaliknya. 


Selain itu, mitos itu juga bermakna bahwa hanya ada satu laki-laki yang berarti bagi seorang perempuan dan  hanya ada satu orang perempuan yang berarti bagi seorang laki-laki dan hal tersebut sudah ditetapkan sebelumnya “di angkasa, di antara bintang-bintang atau di surga”. Ketika kita bertemu dengan seseorang yang untuknya kita ada, muncul pengakuan kita tengah jatuh cinta. Kita telah bertemu dengan seseorang di mana seluruh kehidupan “surgawinya” bermakna bagi kita, dan karena kehidupan berpasangan itu sempurna, kita akan mampu memuaskan seluruh kebutuhan orang lain, selalu dan senantiasa, hidup bahagia, selalu dan senantiasa dalam kesatuan dan harmoni yang sempurna.

Haruslah itu berlalu, bagaimanapun, kita tidak bisa memuaskan, atau memenuhi semua kebutuhan orang lain, dan benturan timbul, dan kita melawan cinta, kemudian menjadi jelas bahwa kita telah membuat kesalahan yang menakutkan, kita salah membaca fenomena “bintang-bintang”, kita tidak mengaitkan dengan diri kita dan hanya pada pasangan sempurna. Apa yang kita pikirkan tentang cinta, ternyata bukanlah cinta yang sebenarnya, bukanlah cinta sejati. Dan pada situasi demikian, tidak ada yang bisa kita lakukan selain hidup tidak bahagia, atau memutuskan bercerai.

Secara umum mitos besar itu benar-benar besar karena mitos-mitos itu merepresentasikan dan mewujudkan kebenaran-kebenaran universal yang besar, mitos tentang cinta romantis merupakan kebohongan yang menakutkan. Mungkin ini kebohongan yang diperlukan untuk menjamin perjuangan hidup berbagai spesies melalui dorongan dan validasi yang tampak pada pengalaman jatuh cinta, yang menjebak kita dalam pernikahan. Berjuta-juta orang membuang sejumlah besar energinya secara sia-sia dan putus asa, untuk mengonfirmasi ketidakmasukakalan mitos tersebut pada realita kehidupan mereka.

“Si Agnes” memasrahkan dirinya secara tidak masuk akal pada suaminya, untuk keluar dari rasa bersalahnya. “Saya tidak benar-benar mencintai suami saya ketika kami memutuskan menikah” dia berkata. “Saya berpura-pura mencintainya. Saya pikir saya telah menjebaknya ke dalam pernikahan, maka saya tidak berhak memprotesnya, dan saya berhutang padanya untuk melakukan apa pun yang dia mau.”

“Si Budi” meratap: “Saya menyesal tidak menikah dengan “Si Santi”. Saya kira kami bisa membangun pernikahan yang baik. Tetapi saya tidak merasa sangat mencintainya, maka saya menganggap dia bukan orang yang tepat bagi saya.”

“Si Cece”, telah menikah selama dua tahun, sebelum akhirnya mengalami depresi yang parah tanpa penyebab yang jelas, dan memasuki terapi dengan menyatakan: “Saya tidak tahu apa yang keliru. Saya telah mendapatkan apa pun yang saya inginkan, termasuk pernikahan yang sempurna.” Hanya beberapa bulan dia bisa menerima fakta bahwa dia tidak lagi cinta pada suaminya, tetapi itu bukan berarti dia telah membuat suatu kesalahan yang mengerikan. 

“Sinta dan Komeng” saling mengakui kalau mereka sudah tidak lagi saling cinta, dan kemudian saling menyakiti dengan pengkhianatan dan ketidaksetiaan yang sama, sebagai upaya saling mencari “cinta sejati”, tanpa menyadari bahwa pengakuan mereka akan menjadi tanda mulai bekerjanya akhir dari pernikahan mereka.

Bahkan, ketika pasangan ini mengakui bahwa masa bulan madu telah berakhir, mereka tidak bisa lebih lama lagi menjalani masa-masa cinta yang romantis, namun masih mampu berkomitmen pada hubungan mereka, masih berpegang teguh pada mitos tersebut dan berupaya menyesuaikan kehidupan mereka. “Meskipun kami sudah tidak lagi saling cinta, namun dengan kemauan yang kuat, seolah-olah kita masih jatuh cinta, mungkin cinta romantis itu akan kembali pada kehidupan kami,” pikir mereka selalu. Pasangan tersebut menghargai kebersamaan.

Cepat atau lambat, dan biasanya cepat, hampir sebagian besar pasangan yang terlalu serius dalam pernikahan mereka, merupakan pasangan yang terlalu dekat, dan mereka perlu membangun jarak psikologis satu sama lain, sebelum mereka bisa mulai bekerja secara konstruktif menghadapi berbagai permasalahan mereka. Kadang-kadang benar-benar diperlukan saling terpisah secara fisik, mengarahkan mereka untuk duduk terpisah satu sama lain.

Akhirnya, semua insan harus belajar bahwa penerimaan yang benar pada diri mereka sendiri dan pada setiap individu, dan keterpisahan hanyalah pondasi, di mana pernikahan yang matang dapat didirikan dan cinta sejati dapat berkembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar