Tanpa disadari, krisis moral telah
terjadi di sekitar kita, bahkan sudah melanda Bangsa Indonesia. Banyak contoh
kalau kita mau angkat, tapi dari pada mencari kesalahan pada orang lain, akan
lebih bijak kalau kita mulai menengok diri sendiri, yaa.. introspeksilah kata
kerennya. Supaya kita bisa menemukan jatidiri bangsa kita yang beradab, dengan
menunjukkan budipekerti yang terpuji.
Dalam buku yang berjudul:
Mengenal Tokoh Wayang karya
Drs. H. Solichin dan Ki Waluyo, dapat
kita simpulkan, bahwa kita bisa belajar dari
tokoh-tokoh pewayangan itu. Di dalam kata pengantarnya juga dikatakan, Wayang memiliki
peranan dalam membangun
budipekerti, karena sarat
dengan nilai-nilai keutamaan hidup, yang tidak
berhenti sebagai suatu
idealisme yang normatif,
melainkan sudah
digambarkan pelaksanaannya
dalam bentuk sikap
dan tingkah laku
atau budipekerti.
Kita
pun sadar bahwa seni pewayangan itu merupakan
tontonan yang menarik,
di dalamnya
terkandung nilai-nilai
yang dapat digunakan sebagai acuan moral dalam menjalani hidup. Tokoh-tokoh
wayang dengan perwatakannya juga menggambarkan nilai-nilai moral itu yang patut diketahui dan dikaji
sebagai masukan berharga bagi upaya pembentukan
akhlaq atau budi
luhur. Semoga dengan mengetahui asal usul Wayang
ini, kita jadi bangga dan semakin menyukai pewayangan dalam tanda kutif: nilai-nilai filsafati yang terkandung di
dalamnya.
SEJARAH ASAL USUL WAYANG
Asal-usul dan perkembangan
wayang tidak
tercatat secara
akurat seperti
sejarah. Namun orang selalu ingat dan merasakan
kehadiran wayang dalam
kehidupan masyarakat. Wayang akrab dengan masyarakat sejak
dahulu hingga sekarang,
karena memang
wayang itu merupakan
salah satu
buah usaha akal
budi bangsa
Indonesia. Wayang tampil sebagai seni budaya tradisional, dan merupakan puncak budaya daerah.
Menelusuri
asal-usul wayang secara ilmiah memang bukan
hal yang mudah. Sejak zaman
penjajahan Belanda
hingga kini banyak
para cendikiawan dan budayawan berusaha meneliti dan menulis
tentang wayang. Ada persamaan,
namun tidak sedikit yang saling-silang pendapat.
Hazeu berbeda
pendapat dengan Rassers begitu
pula pandangan
dari pakar
Indonesia seperti K.p.a. Kusumadilaga,
Ranggawarsita, Suroto,
Sri Mulyono dan lain-lain.
Namun semua cendikiawan tersebut
jelas membahas wayang Indonesia dan menyatakan bahwa
wayang itu sudah ada
dan berkembang sejak zaman kuna, sekitar tahun
1500 SM, jauh
sebelum agama
dan budaya dari luar masuk ke Indonesia.
Jadi,
wayang dalam bentuknya yang masih sederhana
adalah asli
Indonesia, yang dalam proses perkembangan setelah
berseniuhan dengan unsur-unsur
lain, terus berkembang maju sehingga menjadi ujud
dan isinya seperti sekarang ini. Sudah pasti
perkembangan itu tidak akan berhenti, melainkan
akan berlanjut di masa-masa mendatang.
Wayang
yang kita lihat
sekarang ini berbeda dengan wayang pada masa lalu, begitu
pula wayang di masa depan akan berubah sesuai zamannya. Tidak ada sesuatu
seni budaya
yang mandeg.
Seni budaya
akan selalu
berubah dan berkembang,
namun perubahan
seni budaya wayang ini
tidak berpengaruh
terhadap jati dirinya, karena wayang telah memiliki landasan yang kokoh.
Landasan utamanya adalah sifat
"hamot, hamong, hamemangkat yang menyebabkannya
memiliki daya tahan
dan daya kembang
wayang sepanjang zaman.
Hamot
adalah keterbukaan untuk
menerima pengaruh
dan masukan dari
dalam dan luar; hamong
adalah kemampuan untuk menyaring unsur-unsur baru itu sesuai nilai-nilai
wayang yang ada,
untuk selanjutnya diangkat
menjadi nilai-nilai yang cocok dengan wayang sebagai
bekal untuk bergerak
maju sesuai perkembangan masyarakat. hamemangkat atau memangkat sesuatu
nilai menjadi nilai
baru. Dan, ini jelas
tidak mudah. Harus melalui
proses panjang yang dicerna dengan cermat.
Wayang dan seni pedalangan sudah membuktikan kemampuan itu, berawal dari zaman kuna,
zaman Hindu, masuknya agama Islam, zaman penjajahan
hingga zaman merdeka,
dan pada masa
pembangunan nasional
dewasa ini. Kehidupan
global juga merupakan tantangan dan sudah barang
tentu wayang akan
diuji ketahanannya dalam menghadapinya.
Periodisasi
Periodisasi perkembangan budaya wayang juga
merupakan bahasa yang menarik. Bermula
zaman kuna ketika nenek
moyang bangsa
Indonesia masih menganut animisme dan dinamisme.
Dalam kepercayaan animisme
dan dinamisme ini diyakini
roh orang
yang sudah meninggal masih tetap hidup, dan
semua benda
itu bernyawa serta
memiliki kekuatan. Roh-roh
itu bisa bersemayam di
kayu-kayu besar,
batu, sungai,
gunung dan lain-lain.
Paduan dari animisme dan dinamisme ini menempatkan roh nenek moyang yang dulunya berkuasa,
tetap mempunyai kuasa.
Mereka terus
dipuja dan dimintai pertolongan. Untuk
memuja roh
nenek moyang
ini, selain
melakukan ritual tertentu
mereka mewujudkannya
dalam bentuk
gambar dan patung
Roh nenek moyang yang dipuja ini disebut
"hyang"
atau "dahyang".
Orang
bisa berhubungan
dengan para hyang
ini untuk minta
pertolongan dan perlindungan, melalui seorang
medium yang disebut ‘syaman’. Ritual pemujaan
nenek moyang, hyang dan syaman inilah yang merupakan
asal mula pertunjukan
wayang. Hyang menjadi wayang,
ritual kepercayaan itu
menjadi jalannya pentas dan syaman
menjadi dalang. Sedangkan
ceritanya adalah petualangan
dan pengalaman nenek moyang. Bahasa yang digunakan
adalah bahasa Jawa Asli yang hingga sekarang
masih dipakai.
Jadi, wayang itu
berasal dari
ritual kepercayaan nenek moyang bangsa
Indonesia di sekitar
tahun l500 SM.
Berasal
dari zaman animisme,
wayang terus mengikuti perjalanan sejarah bangsa
sampai pada
masuknya agama
Hindu di Indonesia sekitar abad keenam.
Bangsa Indonesia mulai berseniuhan dengan peradaban
tinggi dan berhasil
membangun kerajaan-kerajaan
seperti Kutai,
Tarumanegara, bahkan
Sriwijaya yang besar dan jaya. Pada masa
itu wayang pun berkembang pesat, mendapat pondasi
yang kokoh sebagai
suatu karya
seni yang bermutu tinggi.
Pertunjukan
roh nenek moyang itu kemudian dikembangkan dengan cerita yang lebih berbobot,
Ramayana dan Mahabarata.
Selama abad X
hingga XV, wayang berkembang dalam rangka
ritual agama dan pendidikan kepada masyarakat. Pada masa ini telah mulai ditulis
berbagai cerita tentang
wayang. Semasa kerajaan
Kediri, Singasari
dan Majapahit kepustakaan
wayang mencapai puncaknya
seperti tercatat pada prasasti di candi-candi,
karya sastra yang ditulis oleh Empu
Sendok, Empu
Sedah, Empu
Panuluh, Empu
Tantular dan lain-lain. Karya
sastra wayang yang terkenal dari zaman Hindu itu antara
lain Baratayuda, Arjuna
Wiwaha, Sudamala, sedangkan pergelaran
wayang sudah bagus,
diperkaya lagi
dengan penciptaan
peraga wayang
terbuat dari kulit
yang dipahat,
diiringi gamelan
dalam tatanan
pentas yang bagus
dengan cerita Ramayana
dan Mahabarata. Pergelaran wayang mencapai mutu seni
yang tinggi sampai
sampai digambarkan
"Hannonton ringgit menangis esekel",
tontonan wayang sangat
mengharukan.
Menarik
untuk diperhatikan
Cerita Ramayana dan Mahabarata yang asli berasal
dari India, telah diterima
dalam pergelaran wayang Indonesia sejak zaman
Hindu hingga sekarang.
Wayang seolah-olah identik
dengan Ramayana dan Mahabarata. Namun perlu dimengerti
bahwa Ramayana dan Mahabarata versi India itu sudah banyak
berubah. Berubah
alur ceritanya; kalau
Ramayana dan Mahabarata India merupakan
cerita yang berbeda satu
dengan lainnya, di Indoenesia menjadi satu kesatuan.
Dalam pewayangan cerita itu bermula dari kisah
Ramayana terus bersambung dengan Mahabarata,
malahan dilanjutkan
dengan kisah zaman kerajaan Kediri. Mahabarata asli berisi
20 parwa, sedangkan di Indonesia tinggal 18 parwa.
Yang sangat menonjol perbedaannya
adalah falsafah
yang mendasari kedua
cerita itu. Lebih-lebih setelah masuknya
agama Islam. Falsafah Ramayana dan
Mahabarata yang Hinduisme diolah sedemikian
rupa sehingga
menjadi diwarnai nilai-nilai
agama Islam. Hal ini antara lain tampak pada kedudukan dewa, garis
keturunan yang patriarkhat,
dan sebagainya. Wayang diperkaya lagi dengan
begitu banyaknya
cerita gubahan baru
yang bisa disebut
lakon "carangan", maka Ramayana dan Mahabarata benar-benar berbeda dengan aslinya. Begitu pula,
Ramayana dan Mahabarata dalam pewayangan tidak sama
dengan Ramayana dan Mahabarata yang berkembang
di Myanmar, Thailand, Kamboja, dan di tempat-tempat
lainnya. Ramayana dan Mahabarata dari India itu sudah menjadi Indonesia karena diwarnai oleh
budaya asli dan nilai-nilai budaya yang ada di Nusantara.
Di
Indonesia, walaupun cerita
Ramayana dan Mahabarata
sama-sama berkembang dalam pewayangan, tetapi Mahabarata digarap
lebih tuntas
oleh para budayawan
dan pujangga kita.
Berbagai lakon
carangan dan sempalan,
kebanyakan mengambil
Mahabarata sebagai inti
cerita.
Masuknya agama
Islam di Indonesia pada abad ke-15, membawa perubahan
besar terhadap kehidupan masyarakat
Indonesia. Begitu pula
wayang telah
mengalami masa pembaharuan. Pembaharuan
besar-besaran, tidak
saja dalam bentuk
dan cara pergelaran
wayang, melainkan juga isi dan fungsinya.
Berangkat dari perubahan nilai-nilai yang dianut,
maka wayang pada zaman
Demak dan seterusnya telah mengalami penyesuaian dengan
zamannya. Bentuk wayang yang semula realistik
proporsional seperti
tertera dalam relief candi-candi, distilir menjadi bentuk imajinatif
seperti wayang sekarang ini. Selain itu, banyak
sekali tambahan
dan pembaharuan dalam peralatan seperti kelir atau layar, blencong,
atau lampu,
debog yaitu
pohon pisang untuk
menancapkan wayang, dan masih banyak lagi.
Para wali dan pujangga Jawa
mengadakan pembaharuan yang berlangsung terus menerus
sesuai perkembangan
zaman dan keperluan pada waktu itu, utamanya
wayang digunakan sebagai sarana dakwah
Islam. Sesuai nilai Islam yang dianut, isi
dan fungsi wayang telah bergeser dari ritual agama (Hindu) menjadi sarana pendidikan, dakwah, penerangan,
dan komunikasi massa. Ternyata wayang yang telah diperbaharui kontekstual
dengan perkembangan agama Islam dan masyarakat, menjadi sangat efektif untuk
komunikasi massa dalam memberikan hiburan serta pesan-pesan kepada
khalayak. Fungsi dan peranan ini terus
berlanjut hingga
dewasa ini.
Perkembangan wayang
semakin meningkat
pada masa
setelah Demak,
memasuki era kerajaan-kerajaan Jawa seperti Pajang, Mataram,
Kartasura, Surakarta, dan Yogyakarta. Banyak
sekali pujangga-pujangga
yang menulis
tentang wayang, menciptakan wayang-wayang baru.
Para seniman wayang banyak
membuat kreasi-kreasi
yang kian memperkaya
wayang.
Begitu
pula para dalang
semakin profesional dalam
menggelar pertunjukan
wayang, tak henti-hentinya
terus mengembangkan seni tradisional ini.
Dengan upaya yang tak kunjung henti ini, membuahkan
hasil yang menggembirakan
dan membanggakan, wayang dan seni pedalangan menjadi seni
yang bermutu tinggi,
dengan sebutan
"Adiluhung". Wayang terbukti mampu tampil
sebagai tontonan
yang menarik sekaligus
menyampaikan pesan-pesan moral keutamaan hidup.
Dari landasan
perkembangan wayang tersebut
di atas, tampak bahwa memang wayang itu
berasal dari
pemujaan nenek moyang
pada zaman kuna,
dikembangkan pada zaman
Hindu, kemudian diadakan
pembaharuan pada zaman masuknya agama
Islam dan terus mengalami perkembangan dari
zaman kerajaan-kerajaan Jawa, zaman penjajahan,
zaman kemerdekaan hingga
kini.
Indonesia Asli
Asal-usul
wayang menjadi jelas, asli Indonesia yang berkembang
sesuai budi daya
masyarakat dengan Wayang Indonesia memiliki ciri khas yang merupakan jatidirinya.
Sangat mudah
dibedakan dengan seni budaya sejenis yang
berkembang di India, Cina, dan negara-negara di kawasan
Asia Tenggara. Tidak
saja berbeda
bentuk serta
cara pementasannya,
cerita Ramayana dan Mahabarata
yang digunakan juga
bisa berbeda. Cerita terkenal ini sudah digubah sesuai nilai
dan kondisi yang hidup dan berkembang di
Indonesia.
Keaslian wayang
bisa ditelusuri
dari penggunaan
bahasa seperti
wayang, kelir,
blencong, kepyak,
dalang, kotak, dan lain-lain. Kesemuanya
itu bahasa Jawa
Asli. Berbeda
misalnya dengan
cempala yaitu
alat pengetuk kotak,
adalah bahasa Sansekerta.
Wayang asli menerima
pengaruh dari India. Bahasa dalam
wayang ini terus berkembang
secara pelan
namun pasti
dari bahasa Jawa Kuna atau bahasa Kawi,
bahasa Jawa Baru dan bukan tidak mungkin kelak wayang ini akan
menggunakan bahasa Indonesia. Wayang selalu menggunakan bahasa campuran
yang biasa
disebut 'basa
rinengga' maksudnya
bahasa yang telah disusun
indah sesuai
kegunaannya. Dalam seni
pedalangan, kedudukan sastra amat penting dan harus
dikuasai dengan baik
oleh para dalang.
Bentuk peraga
wayang juga mengujudkan
keaslian wayang Indonesia, karena bentuk stilasi peraga wayang yang imajinatif dan indah itu merupakan proses
panjang seni kriya
wayang yang dilakukan oleh para pujangga dan seniman
perajin Indonesia sejak
dahulu. Begitu
majunya dan seni rupa,
wayang sudah mencapai
tingkat 'sempurna'.
Penilaian ini obyektif,
tidak berlebihan, apabila
dibandingkan dengan bentuk-bentuk
peraga wayang atau seni boneka dari mancanegara.
Sarat dengan Falsafah
Kekuatan utama
budaya wayang, yang juga merupakan jati dirinya,
adalah kandungan nilai
falsafahnya. Wayang yang tumbuh dan berkembang sejak lama itu ternyata berhasil
menyerap berbagai
nilai-nilai keutamaan
hidup dan terus dapat
dilestarikan dalam berbagai pertunjukan wayang.
Bertolak dari pemujaan
nenek moyang,
wayang yang sudah sangat religius, mendapat masukan
agama Hindu, sehingga
wayang semakin kuat
sebagai media ritual dan pembawa pesan etika. Memasuki
pengaruh agama Islam, kokoh sudah landasan wayang
sebagai tontonan
yang mengandung tuntutan
yaitu acuan moral budi luhur menuju terwujudnya
'akhlaqulkarimah'.
Proses akulturasi kandungan
isi wayang itu
meneguhkan posisi
wayang sebagai salah satu sumber etika dan falsafah
yang secara tekun
dan berlanjut disampaikan kepada masyarakat.
Oleh karena
itu ada pendapat,
wayang itu tak ubahnya
sebagai buku falsafah, yaitu falsafah Nusantara yang bisa
dipakai sumber etika dalam kehidupan pribadi
dan bermasyarakat.
Wayang
bukan lagi
sekedar tontonan bayang-bayang
atau 'shadow play, melainkan
sebagai 'wewayangane ngaurip'
yaitu bayangan hidup
manusia. Dalam suatu
pertunjukan wayang, dapat
dinalar dan dirasakan
bagaimana kehidupan manusia itu dari lahir hingga mati. Perjalanan hidup manusia untuk
berjuang menegakkan
yang benar dengan
mengalahkan yang salah. Dari pertunjukan
wayang dapat diperoleh pesan untuk hidup penuh
amal saleh guna
mendapatkan keridloan
Illahi.
Wayang juga dapat secara nyata
menggambarkan konsepsi
hidup 'sangkan paraning dumadi', manusia berasal
dari Tuhan dan akan
kembali keharibaan-Nya. Banyak ditemui seni
budaya semacam
wayang yang dikenal dengan 'puppet show’, namun yang seindah
dan sedalam maknanya
sulit menandingi Wayang Kulit Purwa.
Itulah asal-usul
wayang Indonesia, asli Indonesia yang senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Secara dinamis
mengantisipasi perkembangan dan kemajuan zaman.
Semoga
bermanfaat.
Sumber:
buku Mengenal Tokoh
Wayang karya Drs. H. Solichin dan
Ki Waluyo.
Organisasi Pewayangan
Perkembangan wayang
dari waktu
ke waktu selain didukung
oleh masyarakat, juga
digerakkan oleh lembaga-lembaga
swadaya masyarakat,
bukan oleh pemerintah. Dahulu keraton menjadi pusat
dan acuan pengembangan wayang dan seni pedalangan.
Peranan keraton beralih
pada lembaga-lembaga masyarakat antara lain berupa
sanggar-sanggar, lembaga
pendidikan, paguyuban-paguyuban budaya, kesenian
dan dalam jaman modern
sekarang ini
telah tampil
pula organisasi-organisasi
pewayangan. Organisasi pewayangan bersifat lokal ada pula yang bersifat nasional. Organisasi
pewayangan dan pedalangan yang bersifat nasional adalah
Persatuan Pedalangan Indonesia atau
PEPADI dan SENAWANGI
atau Sekretariat Nasional
Pewayangan Indonesia. Dua organisasi pewayangan yang sekarang berkiprah dalam upaya
melestarikan dan mengembangkan
wayang.
SENAWANGI atau merupakan organisasi pewayangan terkemuka dan terkonsolidasikan
dengan baik. Didirikan
pada tahun 1975, di Jakarta. Setiap 5 tahun sekali, menyelenggarakan
Pekan Wayang Indonesia, yang merupakan puncak kegiatan
pewayangan. Bersamaan dengan Pekan Wayang, dilaksanakan
pula Kongres SENA WANGI. Pada bulan Agustus 1999,
diselenggarakan Pekan Wayang Indonesia VII dan Kongres SENA WANGI yang ke enam. SENAWANGI mengelola
Gedung Pewayangan Kautaman
yang terletak di kompleks
TMII Jakarta Timur.
Diupayakan gedung ini bisa menjadi Pusat Pewayangan Indonesia dan dunia.
PEPADI
organisasi profesi yang beranggotakan para dalang,
pengrawit dan swarawati
memiliki cabang
di seluruh wilayah
Indonesia. Banyak bergerak
dalam kegiatan pagelaran wayang,
pendidikan dan pelatihan dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar