Kutukan Svaràdevì membuat Brahmà jadi Sungai
Di mana seseorang sepatutnya mendapat penghormatan, tidak diberikan penghormatan selayaknya dan di mana seseorang sepatutnya tidak mendapat penghormatan, kemudian mendapat penghormatan, di sana kekurangan, kematian dan kekhawatiran akan meraja-lela.
Dewa Brahmà menjadi sungai?
Jauh di masa yang silam ketika masa Cakûuûa Manwantara, Brahmà memutuskan untuk mempersembahkan upacara Yajña di gunung Sahya dan persiapan telah dibuat untuk itu.
Brahmà datang bersama dengan Viûóu dan Úiwa. Bhågu dan para pertapa lainnya telah duduk ditempat mereka masing-masing.
Mahàwiûóu memanggil Swaràdewì, istri dari dewa Brahmà. Namun ketika menghadap, datangnya sangat lambat.
Pertapa Bhågu berkata kepada Viûóu, “Anda sendiri telah memanggil langsung sang dewi, tetapi ia sangat lambat. Kesempatan yang baik telah datang dan segera berakhir.
Lalu, bagaimana memulai upacara ini?” “Bilamana Swaràdewì belum juga muncul pada saat berakhirnya waktu upacara yang telah ditentukan, kami akan mengambil Gàyatrì dari tempatnya’, jawab dewa Viûóu.
Dewa Úiwa juga setuju dengan usul itu. Demikianlah pertapa Bhågu menempatkan dewi Gàyatrì pada sisi kanan dewa Brahmà dan upacara segera dipersembahkan. Pada saat itu juga datanglah dewi Swarà ke tempat panggung upacara.
Ketika Swaràdewì mengetahui tempatnya telah digantikan oleh dewi Gàyatrì dan upacara telah dilaksanakan, dewi Swarà menjadi marah, karenanya terjadi percekcokkan dengan madunya. Kemudian ia berujar:
Di mana seseorang sepatutnya mendapat penghormatan, tidak diberikan penghormatan selayaknya dan di mana seseorang sepatutnya tidak mendapat penghormatan, kemudian mendapat penghormatan, di sana kekurangan, kematian dan kekhawatiran akan meraja-lela.
Ia berani duduk pada sisi kanan Dewa Brahmà yang merupakan tempatku. Oleh karena itu ia akan tumbuh kurus kering dan akan menjadi sungai yang tidak akan terlihat dari dunia ini. Anda semua akan menjadi sungai karena anda telah menempatkan seseorang yang lebih rendah dari posisiku.
Mendengar kutukan dewi Swarà, dewi Gàyatrì bangkit dan gemetar dan mengutuk kembali dewi Swarà juga menjadi sebuah sungai. Sebelum dewi Swarà berubah menjadi sungai, dewa Brahmà dan dewa-dewa lainnya bangkit dan memohon pengampunan dari kutukan tersebut.
Dewi Swarà berkata: “Para dewatà, semuanya ini disebabkan karena Anda pada awal upacara tidak menghaturkan persembahan kepada Gaóapati, hal ini menjadikan kehancuran, oleh karena kemarahanku, yang menyebabkannya. Semogalah kutukan ini tidaklah sia-sia.
Oleh karena itu masing-masing dari anda akan berubah menjadi sungai sesuai dengan porsi anda dan kami, istri anda, juga akan menjadi sungai, dan mengalir ke arah Barat. Demikianlah dewa Brahmà, Viûóu dan Úiwa semuanya menjadi sungai sesuai dengan porsinya masing-masing.
Brahmà menjadi sungai Kukudmatì yang sangat deras alirannya. Mahàwiûóu berubah menjadi sungai Kåûóa dan Úiwa menjadi sungai Veóì. Para dewatà juga semuanya berubah menjadi sungai dan mengalir dari gunung Sahya ke arah Timur dan para istrinya sesuai dengan porsinya mengalir ke arah Barat.
Swarà dan Gàyatrì mengalir menjadi 2 buah sungai ke arah Barat dan kemudian keduanya menyatu menjadi satu sungai yang disebut Sàwitrì.
Viûóu dan Úiwa yang telah disucikan dalam upacara Yajña, oleh dewa Brahmà, kemudian oleh Brahmà ia disebut Bala dan Atibala (sangat kuat dan lebih kuat). Inilah merupakan asal muasal sungai-sungai di Kerala (Padma Puràóa, 113).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar