Senin, 16 April 2012

Takut Menjadi Dewasa - Kesalahan Pasangan Nikah



Haruskah Kita Takut Menjadi Dewasa ?


Bagi pasangan yang baru menikah atau baru jadian, pelajarilah sikap dan karakter pasangan kita. Apakah pasangan kita sudah dewasa secara mental dan spiritual? Jangan sampai pasangan kita hanya dewasa secara usia saja. Nah untuk itu, bacalah ini. Kita harus lebih introspeksi diri, mencoba melihat apakah diri kita termasuk kidult? Jangan hanya menyalahkan pasangan, orang tua, bahkan lingkungan! Semoga Tulisan ini bermanfaat..:)  

Pasangan baru yang tak bisa “lepas” dari peran orang tua hanyalah satu dari sekian masalah rumah tangga yang terjadi. Salah satu pihak menganggap pasangannya belum mandiri karena masih sering bergantung pada orang tua dalam banyak hal. Bergantung dalam hal petunjuk dan bimbingan menjalani hidup tentu masih wajar. Namun, bergantung dari segi finansial dan emosional tentulah tidak wajar, apalagi untuk jangka waktu panjang.


Wujud kemandirian bukan hanya aspek finansial, melainkan segala sisi kehidupan pasangan suami istri. Banyak pasangan yang tetap bergantung pada orang tua dalam hal mengasuh dan mendidik anak. Suami memilih untuk bekerja, sedangkan tanggung jawab mengasuh anak diserahkan kepada orang tua atau mertua. Biasanya, sebagian besar pasangan memilih tinggal dengan orang tua atau dekat dengan orang tua karena alasan tersebut. Ketergantungan atau ketidakmandirian lain yang acap kali terjadi adalah saat perempuan sebagai ibu dari anak-anak tidak mampu mandiri dalam mengambil keputusan.

Bukan sekadar meminta pendapat, tapi tidak bisa mengambil keputusan bila tidak ada orang tua. Bahkan, yang lebih parah, si perempuan tidak pernah mengambil keputusan bagi keluarganya sendiri. Orang tuan merekalah yang selalu mengambil keputusan. Di sisi lain, terkadang orang tua tidak siap melepas anak yang baru menikah. Anak tetap dianggap sebagai anak kecil yang harus berada di bawah kendalinya. Orang tua merasa harus dan berhak mengatur kehidupan anak dan menantunya.

Pasangan suami istri yang terjebak dalam kasus bertempat tinggal dan bergantung pada orang tua merupakan kategori pasangan suami istri yang disebut dengan istilah kidparents. Istilah kid parents merupakan pengembangan dari istilah kidult [kid—adult], yang diperkenalkan pertama kali oleh psikolog Jim Ward-Nichols dari Steven Institute of Technology di New Jersey, AS. Kidult adalah fenomena mengenai seseorang yang sebenarnya secara umur sudah dewasa dan sudah menikah, namun masih senang menikmati kehidupan dan kebiasaan anak-anak atau remaja belasan tahun.

Akhirnya, ketika menjadi orang tua, mereka tetap menggantungkan kebutuhan hidup pada orang tua. Mereka adalah sosok yang menolak menjadi dewasa karena tak mau kehilangan zona nyaman masa kanak-kanak yang tak menuntut tanggung jawab besar. Nyatanya, sebagian kid parents berkilah bahwa mereka menerima bantuan dan perhatian bukan karena menuntut demikian, tetapi semata-mata karena kesukarelaan dari orang tua. Zona nyaman menjadi sebuah buaian yang melenakan sehingga mereka takut keluar dari zona nyaman ini.

Ada banyak contoh yang bisa dikategorikan kidult. Misalnya, wanita umur 32 tahun masih senang memakai blus berenda-renda dengan pita warna pink, atau pria umur 35 tahun yang masih gemar meluangkan waktunya main play station, sampai para istri geregetan. Atau, bagi mereka yang “takut” menikah hanya karena enggan memikul tanggung jawab besar. Kalaupun sudah menikah, mereka tetap menggantungkan hidup pada orang tua.

Singkat kata, mereka adalah orang-orang yang “menolak” menjadi dewasa karena tidak mau kehilangan zona aman sebagai anak-anak, yang biasanya tidak menuntut tanggung jawab besar. Surat kabar The New York Times edisi 31 Agustus 2003 pernah memuat tulisan investigatif ihwal makin maraknya fenomena kidult di Amerika. Sebagaimana diketahui, “tradisi” keluar rumah di Amerika sesudah mereka bekerja bahkan masih kuliah adalah hal biasa. Jika di kemudian hari ada fenomena pasangan baru “tinggal bersama” orang tua, meskipun bisa dibilang mereka sudah memiliki pekerjaan yang mapan, atau kuliah sambil bekerja, pastilah itu menjadi hal yang luar biasa bagi masyarakat Amerika.

Sedangkan di Australia, menurut ahli kependudukan Bernard Salt, fenomena kidult mulai menjangkiti orang-orang yang berumur 25 tahun ke atas. Mereka menunda pernikahan, menunda punya anak, menunda membeli rumah, lebih memilih keliling dunia ketimbang hidup mapan, memperlakukan karier dan relationship sebagai ajang coba-coba, dan membelanjakan uang seolah-olah dunia mau kiamat.

Fenomena kidult sebenarnya sudah ada di awal tahun 60-an, namun abad ke-21 ini mengalami peningkatan luar biasa. Dalam situs Med Magazine, banyak nama-nama untuk orang kidult, antara lain middle scent, middle youth, adult scent, peter pans (orang tua yang belum dewasa), dan grups (singkatan dari grow-ups). Nah, pengaruh terbesar sampai terjadinya fenomena kidult di negara-negara maju tersebut kebanyakan diakibatkan oleh kondisi perekonomian yang mapan (bagi generasi orang tua mereka), lapangan kerja yang makin kompetitif (bagi kaum muda), harga-harga yang makin mahal, hingga gaya hidup yang makin hedonistis. Alhasil, orang tua sering dijadikan “bank pribadi” bagi anak-anak mereka yang merasa “kurang beruntung”.

Terus, bagaimana dengan fenomena di Indonesia? Menurut Sosiolog V. Sundari Handoko, fenomena kidult juga terjadi di Indonesia. Budaya di Indonesia sejak dulu hingga sekarang berlaku extended family (keluarga besar), dengan karakteristik komunal dan memiliki ikatan emosional tinggi satu sama lain. Dalam ikatan ini, ada kewajiban saling membantu. Dan, karena biasanya orang tua yang lebih mapan secara ekonomi dan pengalaman, maka orang tualah yang paling sering membantu anak-anaknya, meskipun anak mereka sudah dewasa, bahkan menikah dan memiliki penghasilan sendiri.

Ironisnya, di sisi lain, sebagai keluarga besar (misalnya trah atau marga) mereka juga saling berkompetisi. Alhasil, apabila ada salah seorang anak yang terlibat kesulitan, sebisa mungkin orang tua membantu. Apabila anak dibiarkan gagal, hal itu bisa menjadi aib di mata keluarga besar. Jadi, kalaupun di Indonesia ada fenomena kidult, penyebab utama adalah karena ketidakmandirian dan kemanjaan si anak. Meskipun sekarang banyak orang tua yang “berani” melepas anak-anaknya ketika sudah menikah, hal ini tidak berarti membuat si anak mandiri. Tak jarang orang tua menyediakan rumah lengkap dengan pembantu, uang mingguan, dan kalau perlu ditelepon tiga kali sehari. Ini berbeda halnya dengan penduduk desa atau daerah. Mereka petarung sejati; tidak saja merantau ke luar daerah, bahkan juga ke luar negeri menjadi TKI. Mereka bisa menghasilkan remittance (gaji) hingga miliaran rupiah.

Sebaliknya, orang kota yang menganggap “lebih” dibanding orang daerah, sering kali mempunyai anak-anak yang tumbuh menjadi kidult. Atas nama cinta dan kehormatan keluarga, orang tua selalu siap membantu setiap kali anak-anaknya mendapat kesulitan hidup dalam menghadapi kerasnya hidup.

Lantas, bagaimana mereka bisa tumbuh menjadi kidult? Lusia Ratrining Sari, seorang psikolog, mengungkapkan bahwa perjalanan hidup manusia dibagi dalam beberapa kelompok, dan setiap kelompok umur memiliki tugas perkembangan sendiri. Dari masa bayi, remaja, hingga dewasa.

Pada orang kidult, sifat kekanak-kanakan harusnya sudah selesai, tetapi ternyata masih berlangsung, baik dari penampilan, emosional, kepribadian, dan pola pikir. Mereka selalu membutuhkan orang lain (bahkan orang tua) dalam mengambil keputusan. Apabila kemauan mereka ditolak, mereka langsung mengambek, mengomel, atau malah balik menyerang; enggan memikul tanggung jawab yang besar, dan lain sebagainya.

Lusi juga menambahkan bahwa kidult itu tidak ada hubungannya dengan inteligensi seseorang. Banyak juga kidult yang cerdas, mempunyai pekerjaan mapan, dan karier cemerlang. Tak jarang, justru mereka bisa membuat argumen-argumen pembenaran atau rasionalisasi bagi sifat kekanak-kanakannya. Perangai kidult juga disebabkan oleh berbagai faktor, seperti pola asuh orang tua, pengaruh lingkungan, trauma masa lalu, struktur dasar kepribadian orang itu sendiri, dan lain sebagainya. Namun, tak dapat disangkal bahwa pola asuh orang tualah yang berperan besar dalam semua itu.

Setiap orang tua (bahkan hewan) mempunyai naluri untuk melindungi anak-anak mereka dari mara bahaya atau kesulitan. Apalagi, ikatan kekeluargaan di Indonesia masih relatif kuat. Rasanya, sering kali kita mendengar orang tua mengatakan, “Untuk apa lagi sih, kita mencari uang, kalau bukan untuk anak?” Di lain pihak, tak sedikit orang tua yang ingin tetap merasa berarti buat anak-anak mereka, meskipun mereka sudah dewasa dan berkeluarga dengan tetap mengulurkan bantuan buat anak-anak mereka. Dengan kata lain, tanpa sadar, mereka terus menciptakan ketergantungan pada si anak.

Celakanya, tak sedikit juga orang tua yang semasa muda adalah “petarung hidup”, justru tidak mau mewariskan jiwa petarungnya itu kepada anak-anak mereka dengan alasan “biarlah kami saja yang mengalami kepahitan hidup. Anak-anak jangan sampai mengalaminya juga.” Akhirnya, pola pikir semacam ini justru melahirkan anak-anak kidult.

Padahal, yang tak kalah penting untuk diingat adalah bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang abadi. Orang tua bisa sewaktu-waktu meninggal, dan harta bisa ludes dalam sekejap. Saat-saat itulah, kemandirian seseorang, baik secara fisik maupun emosional, menjadi berperan.

Pasangan suami istri yang baru menikah banyak terjebak dalam kasus kidult tersebut. Sifat kekanak-kanakan yang terus dipelihara menjadikan mereka semakin lengket dengan orang tua. Sehingga, ketergantungan kepada orang tua begitu besarnya. Jelas sekali, pasangan suami istri tidak akan berani memutuskan persoalan sendiri, finansial masih bergantung dengan orang tua, menjadi semakin manja, dan justru bisa menjadi bumerang bagi pasangan suami istri. Bahkan, sisi gelap kehidupan seakan menjadi semakin memutus jalan kesuksesan yang akan diraihnya.

Terlebih, bila pasangan suami istri juga berdiam atau bertempat tinggal di rumah orang tua. Pastilah orang tua selalu mengatur sesuatu yang dilakukan oleh pasangan suami istri. Intervensi orang tua ini menjadi perkara yang berbahaya, sebab pasangan suami istri menjadi semakin jauh dari belajar menjadi orang tua. Mereka akan terus menjadi anak-anak yang butuh perhatian dari orang tua. Bahkan, ketika mempunyai anak pun, orang tua mesti terus dilibatkan untuk mengurus anak. Tak salah kalau kemudian dikatakan bahwa mereka ini pasangan suami istri yang menolak menjadi dewasa.

Karena “terpenjara” di rumah orang tua, walaupun kadang merasa tidak terpenjara, pasangan suami istri yang baru menikah akan sulit maju dan berkembang. Sebab, orang tua yang interventif akan selalu ingin tahu kondisi yang terjadi atas anak dan menantunya. Kenapa orang tua ikut intervensi? Hal tersebut dilatarbelakangi oleh sikap ingin dianggap hebat atau sebagai sosok terbaik di mata anak; ingin mendapat respek berlebih dari anak; ingin menjalin kedekatan dengan anak; serta berusaha melindungi anak dari informasi yang kurang tepat atau tidak sesuai dengan visi orang tua.

Dampak intervensi ini terhadap anak yang telah menikah adalah sebagai berikut:

1. Menghambat pembentukan rasa percaya diri dan kemandirian pasangan suami istri. Mereka menjadi terbiasa mengandalkan orang tua untuk menjawab pertanyaan atau persoalan yang dihadapi. Dalam jangka panjang, jika ketergantungan ini makin lama makin besar, bukan tak mungkin kesempatan mereka untuk maju meraih sukses menjadi terganggu. Mengapa? Sebab, anak senantiasa merasa perlu mendapat “dukungan” penuh dari orang tua sebelum memutuskan sesuatu.

2. Tak mendapat jawaban semestinya secara tuntas. Soalnya, belum tentu orang tua menguasai semua hal yang ditanyakan oleh anaknya yang baru menikah. Walaupun mereka sudah banyak mendapatkan pengalaman dari lamanya pernikahan, tetapi itu tidak mesti membuat mereka tepat dalam menjawab setiap problem yang dihadapi anak. Lebih celaka, jika si orang tua tetap ingin dianggap hebat lantas menjawab sekenanya, kurang tepat, atau bahkan terpaksa mengarang kala merasa terdesak.

3. Mematikan kreativitas dan daya pikir kritis pasangan suami istri dalam memecahkan masalahnya sendiri. Kreativitas akan lahir apabila pasangan suami istri mendapatkan kebebasan untuk melakukan segala sesuatu. Tantangan yang dihadapi di awal pernikahan justru akan menjadikan kreativitas mereka meningkat. Tetapi, jika orang tua masih berkuasa maka kreativitas mereka akan mati.

4. Menjadi sangat bergantung pada orang tua. Jangan heran jika pada masa selanjutnya waktu orang tua tetap tersita untuk memenuhi kebutuhan anak yang sudah menikah.

Sumber: Buku Kesalahan Pasangan Nikah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar