Tersebutlah seseorang yang bernama Wujil.
berujarlah dia kepada Sang Panembahan Agung, Ratu Wahdat namanya, bersujud pada
debu kaki Sang Mahamuni, yang berasrama di Bonang seraya mohon ampun karena
ingin diberi keterangan tentang seluk-beluk agama yang terpilih sampai ke
rahasia yang sedalam-dalamnya.
Sepuluh tahun Wujil berguru kepada Sang
Panembahan Agung, belum mendapatkan ajaran yang penting. adapun asalnya, Wujil
berasal dari Maospait sebagai abdi kesayangan raja di Majalangu. tamatlah
dipelajari seluruh tata bahasa. kemudian wujil berujar kepada Sang Panembahan
Agung yang sangat dihormati dengan mohon ampun.
Sang Wujil sungguh memohon belas kasih
dihadapan kaki Sang Jati Wenang menyerahkan hidup-mati. telah makin dikuasai
akan semua pelajaran. “sastra arab yang tuan ajarkan, akhirnya pergi sekemauan
hati, senantiasa mengikuti kemauan hati. setiap hari bermain topeng, sampai
bosan hamba bertingkah laku sebagai badut, dijadikan tumpuan ejekan.”
“ya, Paduka Sang Panembahan Agung, keterangan
tentang ajaran rahasia mengenai huruf tunggal menurut paham pangiwa dan
panengen karena masih ada dalam tatanan gending, masih dalam tatanan syair.
mengingat kedua hal tersebut, tidak membawa hasil senantiasa mengembara
meninggalkan cinta dari majapahit, tidak mendapatkan usada.
Oleh karena itu, hamba pergi pada suatu malam
untuk mencari rahasia tentang kesatuan, kesempurnaan dalam semua tingkah laku.
hamba datangi setiap orang suci, mencari inti sari kehidupan, titik akhir dari
kekuasaan yang sebenarnya, titik akhir dari utara selatan, terbenamnya matahari
dan bulan, tertutupnya mata dan keadaan akhir kematian, titik akhir dari ada
dan tiada.
Sang Ratu Wahdat tersenyum. “hai anakmas
Wujil, betapa kamu gegabah, berujar yang bukan-bukan, terlalu berani hatimu
ingin menagih oleh karena besarnya jasamu yang telah diberikan. tidak layak aku
disebut orang suci di dunia, jika menjual ajaran membeli ajaran kitab lebih
baik aku jangan di panggil Ahli Wahdat.
Siapa saja menjajakan ajaran, bersikap
sombong, seolah-olah segala sesuatu, orang tersebut dapat diibaratkan seperti
burung bangau yang sedang bertapa di atas air, diam tidak bergerak, pandangannya
tajam, berpura-pura alim melihat mangsanya, seperti telur yang tampak putih di
luarnya, di dalam bercampur merah.”
Matahari terbenam, hari berganti malam. sang
wujil mengumpulkan kayu untuk api unggun di bawah pertapaan sang wiku, di ujung
di tepi laut, yang disebut dukuh bonang serta keadaannya sunyi senyap, gersang
tiada tumbuhan, buah-buahan yang dapat dimakan, makanannya hanya berupa riak
gelombang laut yang menerjang batu-batu karang yang berbentuk gua yang
menyeramkan.
Sang Ratu Wahdat berujar pelan:”hai anakmas
Wujil, kemarilah segera”. kemudian dipeganglah kucirnya, seraya di usap-usap,
diberi anugerah ajaran rahasia,”Wujil dengarlah kata-kata rahasiaku ini.
kalaupun karena kata-kataku ini kamu masuk di neraka, saya sendiri yang akan
masuk kedalamnya, bukanlah kamu.”
Segera Wujil menyembah. berujarlah ia kepada
Sang guru Yang Sangat Mulia (dengan) sangat berterima kasih. “jangan Paduka,
lebih baik hamba sang Wujil yang masuk di neraka, biarlah sang Wujil
sendiri.”karena semua sudah saling mengetahui maksudnya, guru dan siswa tidak
pernah berselisih paham, keduanya selalu kompak.
“Peringatanku padamu, hai anakmas Wujil,
berhati-hatilah dalam hidup di dunia, jangan lengah, sembrono dalam tindakan.
hendaknya diketahui benar-benar bahwa kamu bukanlah Kesejatian, Kesejatian
tersebut bukanlah kamu. siapa saja mengenal diri, semata-mata Yang Widhi.
demikianlah jalan yang sebaik-baiknya.
Perihal keunggulan manusia hendaknya
diketahui kesejatian salat, bukan ngisa atau magrib, itu hanya dapat disebut
sembahyang. kalaupun disebut salat itu karena kembangnya salat daim dan
merupakan sopan santun.
Manakah yang disebut dengan sembahyang yang
sebenarnya? sebaiknya jangan menyembah jika tidak diketahui siapa (siapa yang
disembah). akibatnya akan direndahkan martabatmu. jika kamu tidak tahu akan
yang disembah di dunia ini, (maka kamu) seperti menulup burung, pelurunya
disebarkan burungnya tidak akan kena, akhirnya menyembah adam sarpin sembahnya
gagal total.”
“Dan manakah yang disebut pujian? meskipun
orang-orang memuja malam dan siang, jika tidak disertai petunjuk, tidak akan
sempurna tindakan tersebut. jika kamu ingin tahu tentang pujaan, sebaiknya kamu
tahu akan keluar, yang menunjukan adanya Yang. masuk keluarnya nafas. sebaiknya
kau ketahui juga perihal anasir halus yang empat jumlahnya.
Empat anasir tersebut adalah tanah, api,
angin, dan air. dahulu kala ketika Adam diciptakan, (adapun) sifatnya ada
empat: kahar,jalal, jamal dan kamil yang mengandung sifat-sifat yang jumlahnya
ada delapan. sifatnya dalam badan keluar masuk. jika keluar kemana arahnya,
jika masuk kemana arahnya.
Tua muda adalah sifat unsur bumi. sifat
tersebut hendaknya diketahui. jika tua dimanakah mudanya, jika muda dimanakah
tuanya. adapun unsur api itu bersifat kuat dan lemah. jika kuat dimanakah
lemahnya jika lemah dimanakah kuatnya, itu harus diketahui. adalagi unsur
angin, sifatnya ada dan tiada. jika tiada dimana adanya jika ada dimana
tiadanya. adapun unsur air bersifat mati-hidup. jika hidup dimana matinya jika
mati kemana arah hidupnya. akan tersesat bila kamu tidak mengetahuinya.”
“Hendaknya diketahui pedoman hidup adalah
mengetahui akan dirinya sendiri dan tidak putus-putus memuji. dimana letaknya
yang berdoa dan yang dituju dengan doa, jangan sampai kamu tidak mengetahuinya.
adapun karenanya orang yang agung mencari pribadinya sendiri ialah (untuk)
mengetahui dengan tepat hidup mereka yang sebenarnya, hidup mereka di dunia.
Hendaknya diketahui hidup yang sejati. tubuh
ini seluruhnya bagai sangkar, baiklah diketahui burungnya. akan sengsara jika
kamu tidak mengetahuinya, hai Wujil, semua tindakanmu tidak mungkin akan
berhasil, jika kamu ingin mengetahuinya, perbaikilah dirimu tinggalah disuatu
tempat yang sepi, jangan terpengaruh gebyar dunia.
Jangan jauh-jauh kamu mencari pujangga. pujangga
tersebut telah ada dalam dirimu, bahkan seluruh dunia telah ada disini. sebagai
penerangannya kresna jati dalam dirimu ini. siang malam perhatikan
penglihatanmu, apapun kesunyataannya yang tampak ditubuh semuanya ini adalah
dari sifat tingkah laku.”
“akan rusak sebenarnya dirimu karena terjadi
oleh kemauanmu, maka yang tidak rusak kini harus kau ketahui. kesempurnaan
pengetahuan akan tidak rusak, adanya itu merupakan petunjuk adanya. siapa yang
tahu hal itu,(maka adanya itu)menjadi pujiannya, karena jarang yang mengetahui
ajaran ini, mendapat anugerah yang besar.
Sebaiknya, kini kamu Wujil, kenalilah dirimu
sendiri. benar-benar seperti terlentang badanmu itu. Wujil, jika kamu matikan
yang mengenal diri, tindakannya tak bosan mengurung. yang mengurung tubuhnya,
yang diperhatikan hanyalah kekurangannya, yang diingat terus menerus.
Wujil, yang mengenal diri sendiri, dia
mengenal tuhan. tidak bicara jika tiada rahasia yang diajarkannya, ada lagi
yang mendapatkan kesunyatan, benar-benar mencari diri sendiri, kata-katanya tak
pernah menyimpang dari kesucian, tak pernah keliru dari tempatnya, demikianlah
yang disebut jalan kesucian (lampah).”
“Keadaan Tuhan jelas berbeda (dengan keadaan
manusia), jernihkanlah Tuhan itu. ada orang yang mengaku tahu, tetapi perilakunya
tidak sesuai, ajaran pengendalian nafsu tidak dipatuhi, mengenyampingkan
kehidupan yang saleh, orang yang benar-benar mengetahui, kuat mengendalikan
hawa nafsu, siang malam memelihara pengelihatannya, tidak pernah tidur.
Demikianlah dasarnya, hai anak mas Wujil
supaya dapat mematikan hawa nafsu. jangan hanya mendengar saja,
berbenar-benarlah dalam jalan kesucian, kemauan dan keyakinan, jika keduanya
telah masuk dan keluarnya tiada kesulitan seperti halnya memotong seruas bambu
pikulan, lain halnya dengan orang yang belum mengerti.
Pengelihatannya terbatas karenanya (dia)
tidak tampak karena terlalu tidak berbentuk rupanya, tetapi dia tetap ada.
menurut ajaran orang orang yang unggul (dia) tidak memiliki tempat tertentu.
bila orang berhenti melihat, malah memiliki pengelihatan sejati yang sempurna.
melihat penampilan umum yang nampak sebenarnya, melihat wujud yang sejati.”
“Karena tiada bedanya, hai Wujil, karena
tertutup oleh gerakan-gerakan. bedanya bukan berasal dari sumbernya. hai Wujil,
jangan kau lupakan bahwa sesudah dibicarakan hal itu, Wujil tidak akan ada
habisnya. siang malam dibicarakan orang banyak, kitabnya dapat diumpamakan
perkutut yang unggul, yang sering digunakan sebagai pemikat.
Sekalipun dibicarakan siang dan malam, jika
tidak disertai ajaran yang unggul, tetap tiada manfaatnya. lebih baik orang
diam saja. kalaupun orang hendak membicarakannya, apa yang akan dikatakannya,
segala gerak hatinya sebenarnya tampak pada matanya. pancaran matanya
(menunjukan bahwa ia telah) menerima inti pengetahuan. sebaiknya tahu akan diam
dan bicara.
Sebaiknyalah kamu tahu tentang hakikat diam
dan bicara. jika kamu tidak tahu itu, itu tiada gunanya. diamnya tiada isinya.
jika berbicara jangan dengan suara keras. burung di pohon kanigara berteriak,
demikianlah perumpamaannya, tiada artinya. jika menyangkut perkataan rahasia,
hai Wujil jangan berbuat seperti orang yang dapat berbicara. demikian kata
orang yang telah sempurna.”
“Apa gunanya rupa yang berjaga dimalam hari,
orang yang sudah buta matanya, keduanya tiada manfaatnya. jika tidak dituntun
untuk melihat kebenaran yang sebenarnya, bagaimana bisa tahu diri sendiri. aku
pernah mendengar bahwa asal kesempurnaan itu karena berbicara, tidak boleh
tinggal diam.
Bukan karena diam, bukan karena berbicara,
Wujil. hai Wujil, bertanyalah kamu kepada orang yang bertapa. sembah dan pujian
sebaiknya kamu ketahui. sembah itu bermacam-macam. kata orang yang unggul orang
yang memuji sekejap saja itu banyak pengaruh baik, sama dengan orang yang
melakukan sembahyang seratus tahun, jika tahu tujuannya.
Siapa saja sudah tahu sarana, pujiannya terus
menerus, tidak mengenal waktu. orang yang unggul lain mengatakan bahwa(pujian
seperti itu) sama dengan (sembahyang) selama enam puluh tahun. sudah bebas
sempurna raganya, tidak terikat oleh waktu, tingkah lakunya di dalam masjid
menjadi contoh, bukan seperti burung bangau.”
“Tidak boleh tidak dipercaya, Wujil, sabda
pemimpin cahaya dunia ini. Wujil bertanyalah kini. ada orang memuji dimalam dan
disiang hari, amat besar pengaruh baik, asal dilakukan menurut aturan. hal itu
sama dengan (sembahyang) dua belas tahun. sebaiknya kamu Wujil melakukan tapa
jangan sampai gagal.
Ada lagi orang yang sungkem darma bakti
sekejap saja sangat besar pengaruh baik asal tahu petunjuknya. (itu) sama dengan
(sembahyang) dua belas tahun. disebut tafakur. jika sedang (dalam keadaan) diam
kemana arahnya, tanyaklanlah hal itu. siapa yang akan menerangkan naik turunnya
diam dan bicara, itu harus diketahui.
Hai Wujil orang yang diam itu lebih baik.
demikianlah sembahyang tanpa terputus tanpa terikat waktu. sempurnalah orang
itu, tubuhnya tiada yang tertinggal, bahkan termasuk kotoran dan air
kencingnya. inilah perjalanan yang sebenarnya. bergurulah secara jelas, pada
yang benar-benar mengetahui (tentang) kebenaran. demikianlah pesan utusan Sang
Utusan Yang Unggul.”
“Sebaiknya jangan menyembah wahai kamu Wujil,
jika tidak kelihatan nyata. sembah dan pujian tiada gunanya. bila yang disembah
itu jelas ada dihadapanmu, (maka kamu) adanya sebagai Tuhan, adamu sendiri tiada.
demikianlah yang dinamakan diam pada orang yang memuji, menjadi nyata kemauan
purba.
Seterusnya bertanyalah kamu lagi karena
jarang orang yang mengerti keadaan yang sebenarnya, yaitu perihal tingkah laku
itu, jika tidak dikerjakan, bagaimana akan dapat diselesaikan?yang tidak lupa
mengerjakan, itu sudah menunjukan bahwa (dia) mendapat anugerah dari Tuhan.,
itu menunjukan dosanya, akan terkena kemalangan dan penderitaan.
Seterusnya, wujil, bertanyalah tentang
hakikat niat. jangan hanya terbatas pada gagasan. yang menggagas dan menyebut,
bukan hal itu yang disebut niat yang sejati. tidak mudah yang disebut dengan
salat, sembah dan pujian itu. jika tidak tahu akan siapa yang menerima tugas,
yang mendapat denda dengan hal-hal yang bersifat kasar, yang mendapat denda,
hukuman mati,dan hukuman cambuk, maka orang ramai mempertengkarkan giliran.”
“Kebaktian yang unggul tidak mengenal waktu.
semua tingkah lakunya demikianlah sembahyangnya. diam dan bicara serta segala
gerak tubuhnya, tak urung jadi sembah, sampai pada wudunya pun kotoran dan air
kencingnya jadi sembah. demikianlah yang dikatakan niat yang sejati, pujian
yang tak putus putusnya.
Hai wujil, niat itu lebih penting dari
tingkah laku yang banyak. bukan bahasa maupun suara! niat untuk melakukan tindakan
itu, yang terungkap pikirannya. sebenarnya niat itu bukan niatnya, (melainkan)
niat untuk melakukan tindakan itu, yang terungkap. niat melakukan sembahyang
yang tiada bedanya dengan niat merampas.
Hai wujil karenanya orang menjadi sirik kafir
karena dikafirkan oleh aturan, (karena ia) mengandalkan segala kepandaiannya.
(yang digunakan untuk) saling meyakinkan, terlalu berpegang teguh pada bunyi
kata-katanya. sesudah melakukan sembahyang maghrib, ramai saling bertengkar
mulut, akhirnya berganti memukul dengan (menggunakan) bajunya sehingga ikat
kepalanya terlepas.”
“Pukul memukul di dalam masjid, akhirnya
saling marah bersembahyang sendiri sendiri. demikianlah hasil kesesatan karena
memegang teguh bunyi tulisan, tidak mengetahui niat yang sebenarnya. demikianlah
akibat dari orang yang bingung, laki laki dan perempuan saling berusaha mencari
niat yang sebenarnya, tetapi tidak tahu jalannya.
Sebaiknyalah mengendalikan hawa nafsumu, hai
wujil. jika sudah kau ikat, jangan terlalu banyak bicara, jangan terlalu memaksakan
kemauan, menuruti kemauan pribadi. itu jalan yang sesat, yang diandalkan
pendapat sendiri. yang mengagungkan permainan rebananya, tidak urung jika
rebananya dibuang ke atas akan saling melempar.”
Hari mulai siang, matahari telah terbit di
ufuk timur, kemudian Sang Ratu Wahdat berujar kepada Wujil untuk diutus.” hai
Wujil, kamu kuutus, kemarilah kamu cepat. pergilah ke pondok putri. si Satpada
itu, segeralah ia kau suruh kemari.” kemudian sang Wujil berangkat, tibalah di
pondok putri.
Berujarlah sang Wujil, wahai Gendhuk, aku
diutus mengundang kamu, sang panembahan agung yang mengutus.”
Ken Satpada berujar, “hai Wujil apakah
maksudnya? pagi pagi benar dipanggil, cemas hatiku.”
“Tidak tahu maksud tugas ini.” berangkatlah
satpada segera, telah diharap harapkan oleh sang panembahan agung.
Satpada berangkat sambil bertanya, “hai
Wujil, jangan salah paham. Ki Wujil saya bertanya, apa karenanya kamu mendapat
nama Ki Wujil?” Wujil berujar di dalam hati “dia ini orang yang cerdik,
pertanyaannya sederhana, di balik kesederhanaan itu menyelipkan sesuatu di
belakang.”
“Baiklah saya (akan mengatakan) jika (kamu)
tidak tahu. karenanya saya disebut Wujil, karena antara nama dan rupa tiada
perbedaannya. saya tidak harus mengulang jalan, enam perkara rasa jati sudah
hamba jelajahi, Tuan Putri.”
Si Satpada agak kebingungan, “hai Wujil, anda
bukanlah ‘wujil’ seperti orang sekarang ini, melainkan berasal dari
wilwatikta.”
Segera Wujil dan Satpada tiba, duduk
dihadapan sang Guru, (kemudian) menyembah. Yang Mulia bertanya, “apa kabarmu
wahai Satpada. ketika kamu datang kemarin dari Jawana?” satpada berujar,
“adapun adik paduka, tuanku, Syekh Malaya, bermain topeng di pati, lamanya 7
tujuh hari.”
Sang Ratu Wahdat berujar, “hai Wujil,
segeralah kamu mencari tembang teratai segera.”
Tidak dikisahkan, segeralah ia datang.
kembang teratai kemudian ditulisi semua daun kembangnya. di dalamnya diisi
dengan ‘kembang rambuyut’ yang dibentuk menjadi sumping ‘surengpati’.
“berikanlah kembang teratai ini, Wujil kepada adikku Syekh Malaya.” ini adalah
sumping untuk orang bermain wayang, orang yang menari topeng pantas
memakainya.” Sang Wujil segera berangkat, mohon diri sambil menyembah,
berangkatlah ia ke Pati. tidak dikisahkan di jalan. tibalah ia ditempat yang
dituju. bertanyalah ia kepada orang2 di desa, kalau kalau mengetahui pemain
gambuh yang sangat terkenal, bernama Syekh Malaya.
Yang ditanya segera menjawab, “benar ada
seorang yang bernama Syekh Malaya, kini sedang bermaibn topeng di desa Wasana
Kidul, banyak orang yang menonton.” Wujil melanjutkan perjalanan, tidak lama
sampailah. Syekh Malaya sudah selesai bermain topeng, Wujil pun berdatang
sembah memberikan surat.
Kembang teratai segera diterima, segera
dibuka, di dalamnya berisi rakitan ‘surengpati’. Syekh Malaya berujar, “kermarilah
kamu hai anakmas Wujil. sangatlah indahnya kembang rambuyut yang
dibentukmenjadi sumping ‘surengpati’, dirangkai dengan biji saga dihias dengan
kembang melati. sangat sayang Sang panembahan Agung.”
Apakah maknanya ‘Surengpati’, hamba tidak
tahu, Gusti”. Syekh Malaya berujar, “Hai Wujil rupanya Sang Panembahan Agung di
Murya memiliki maksud begini, segala tindakan mencapai istirahat pada ujung
kematian, titik akhir penyerahan.”
Teratai itupun berkali kali dipandangi,
dibaca, dicampakan dalam hati tulisan itu beserta segala isi hatinya, dirinya
terharu, hancur oleh isi tulisan. banyak kiasannya, maknanya indah dan halus.
berulang ulang dibacanya. keindahan tulisan, bunyinya berupa bait kakawin,
sebagai nyanyian pada akhir surat.
“Ketika Dimas pergi dari rumah sendiri,
beribadat(?), bertapa. aku berbenar benar terhadap kata-kataku ingatanku,
pikiranku, wahai dimas. kalau Kakanda tersembunyi, mungkin akan pingsanlah
pohon kelapa? sebaliknya kesejahteraanlah yang diingatnya, (untuk) yang sungkem
darma bakti berpindah pindah. seperti rumput, tumbuh tumbuhan melata, dan
pohonlah sedang aku musim kering yang sangat luar biasa mengharapkan hujan.
Seperti kembang yang penuh sari wahai
sahabatku, wahai sahabatku, aku ibarat seekor kumbang yang tidak dapat memeroleh
bau wanginya. ada kembang yang penuh dengan sari, kumbang, merintih, ingin
mendapatkan tepung sarinya.”
Sesudah selesai membaca, teratai dengan
tertegun kembang tersebut diletakkannya, diam termenung dalam hatinya bertanya
Wujil bertanya, “apakah karenanya diam tidak berbicara? hamba ingin mengetahui
kata-kata yang dirangkai dalam surat tersebut.”
“Isi perkataan dari sesembahan(mu)
kepergianku ke Mekkah.”
Seterusnya Wujil segera dibawa pulang.
pulanglah mereka ke Dhukuh Pagambiran, janda-janda mengikuti semua, Wujil
berjalan di belakang. tidak dikisahkan hal ikhwal di jalan, kemudian sampailah
di pondok, sudah mulai menyiapkan makanan, Wujil disuruh makan bersama orang
banyak. sesudah makan sisanya dibawa kedalam rumah. kemudian mereka
bersama-sama mengunyah sirih.
Ketika matahari terbenam, Syekh Malaya
berujar, “ Wujil, besok jika kamu pulang, sampaikan segala yang kukatakan
nanti. sebaiknya jangan diperhatikan bentuk perkataan, segala perkataanku ini
sebaiknyalah disampaikan. sebaiknyalah terlihat sebagai perkataanmu. jangan
sampai terlihat sebagai perkataanku, hai wujil sekuatmu.
Karenanya, Wujil mengapa aku kembali ketika
pergi ke Mekkah pulang di Malaka, guru pulang di Pase, karenanya Sang
Panembahan Agung Kembali, karena disuruh ke Nusa Jawa, yang menyuruh pulang
adalah saudaranya yang bernama Maulana Magribi.”
Hendaknya tahu hidup sejati, ibarat sangkar
badan semua, baik mengetahui, rusak jika tidak tahu, hai segala lakumu, itu
mustahil jadi, jika kamu hendak tahu, perbaikilah badanmu, tunggulah ditempat
sepi, jangan sampai ketahuan.
Jangan jauh memeriksa kawi, kawi itu nyata di
badan, semua ada disini, sebagai penglihatan, cinta sejati badan itu, siang
malam waspada, penglihatan itu, sebagai barang tanda, yang nyaata pada
segalanya, dari sifat perilaku.
Memang rusak badannya, jadinya dengan
sekehendaknya, yang tak rusak diketahui, sebagai kesempurnaan mata, yang tak
rusak keadaan itu, sebagai sembah semedi, memang jarang yang mengetahui, sangat
sepi anugerah.
Jikalau engkau ingin mengetahui alam abadi,
engkau harus mengenal alam pribadimu. kalau engkau belum mengetahui alam
pribadimu, masih jauhlah alam abadi itu dari dirimu.
Kalau engkau sudah mengetahui alam pribadimu,
hendaklah kamu mengajarkannya pada yang belum mengetahui.
Jikalau engkau telah mengetahui alam
pribadimu, alam abadi itupun menjadi dekat tanpa menyentuhnya, jauh dari dirimu
tanpa ada yang membatasinya.
Jikalau engkau belum mengetahui alam
pribadimu tanyakanlah kepada yang telah mengetahuinya.
Jikalau engkau belum menemukan ‘kadang’ (saudara)
pribadimu, cobalah mawas dirimu sendiri.
Kadang pribadimu itu tidaklah berbeda dengan
dirimu sendiri, suka bekerja.
Diambil dari buku: Sejarah Walisongo
Halaman: 57-70, 163
Pengarang: Budiono Hadi Sutrisno
Penerbit: Grha Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar