Sabtu, 07 Januari 2012

Perbedaan Pendapat

Perbedaan Pendapat - Sejarah Wayang

 

Sebagian orang meyakini bahwa wayang merupakan tradisi Hinduisme yang diupayakan untuk mensosialisasikan berbagai macam pemahaman atau ajaran. Namun tentu saja di dalamnya memberikan sebuah hembusan yang menyegarkan seputar kearifan. Anda akan menemukan di sana, gaya tokoh yang arif, juga gaya tokoh yang jahat. Anda akan dapat membedakan, yang mana yang akan Anda ikuti dalam kehidupan Anda. Saya yakin, apabila Anda mencoba memahami, Anda akan dapat mengambil berbagai macam pelajaran di dalamnya.


Ketika wayang di bawa ke Jawa Tengah, wayang dijadikan sebagai mediasi untuk islamisasi, maka wayang kemudian berubah misi. Tetapi sebagian orang menolak dengan cara seperti ini, karena masih meyakini image lama yang beranggapan bahwa gamelan dan wayang adalah kesenian yang haram karena berbau Hindu. Timbulnya perbedaan pandangan antara sikap menyenangi dan mengharamkan tersebut mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap perkembangan kesenian wayang itu sendiri.

Di dalamnya bisa menguntungkan dalam islamisasi di Jawa, tetapi di lain hal bisa membuat kontra-pendapat yang akan menyebabkan perbedaan pandangan. Ketika mengetahui perbedaan yang ada di dalamnya, dan Anda bisa mengetahui akar masalah yang ada pada pembahasan tersebut, Anda akan mengetahui secara detail mengenai wayang dalam tradisi Islam. Ketika Anda bisa membedakan antara nilai-nilai Hindu dan Islam yang ada di dalamnya, Anda akan lebih menilai wayang sebagai media untuk menyampaikan nilai-nilai kearifan terhadap masyarakat.
Menurut M. Masturi (2006:98) mengatakan bahwa wayang merupakan sebuah dunia yang memiliki tokoh dan problemnya sendiri yang bisa dipelajari dalam kehidupan umat manusia. Apabila orang lain memandang wayang sebagai salah satu varian yang kurang baik karena perbedaan agama, maka tentu saja wayang bisa diisi dengan kisah-kisah yang baik. Wayang akan mampu berbicara kepada realitas masyarakat sesuai dengan kemampuan daya terjangnya yang lebih baik dan bermutu. Semua orang akan beranggapan bahwa wayang adalah benda seni, atau pentas wayang adalah pentas kebudayaan yang menyuguhkan nilai-nilai yang lebih humanis.

Jika pandangan Anda demikian, maka Anda tidak akan mempersoalkan tentang apakah wayang itu Hinduisme, Islam atau animisme dan dinamisme. Semuanya akan menjadi sesuatu yang baik asalkan dimanfaatkan sesuai pada porsinya masing-masing. Dan Anda sebagai manusia yang bisa berpikir kreatif, Anda akan bisa menjadikan kehidupan ini sesuai dengan peri kemanusiaan dan tidak menyimpang dari nilai-nilai yang baik. Hendaknya Anda bisa berupaya untuk menciptakan sebuah suasana kehidupan Anda yang lebih baik dan bermutu.

Orang yang bersikap bijak terhadap sebuah pandangannya adalah mereka yang tidak mengklaim pandangannya merupakan sesuatu yang paling benar. Klaim benar sendiri terhadap pandangannya (trust claim) menunjukkan sebuah ego pribadi yang kurang baik untuk dipertahankan dalam kehidupan Anda. Dunia wayang merupakan suara kebudayaan dengan sendirinya akan memberikan masukan terhadap kehidupan Anda, melalui pelajaran-pelajaran penting yang dapat Anda ambil di sana. Jika Anda lebih cerdas dan lebih kreatif, Anda justru akan menemukan makna yang paling hakiki di sana.

Untuk menghilangkan kesan yang serba berbau Hindu dan kesan pemujaan kepada arca, maka timbul gagasan baru untuk menciptakan wayang dalam wujud baru dengan menghilangkan wujud gambaran manusia. Berkat keuletan dan keterampilan para pengikut Islam yang menggemari kesenian wayang, terutama para “Wali, berhasil menciptakan bentuk baru dari Wayang Purwa dengan bahan kulit kerbau yang agak ditipiskan dengan wajah digambarkan miring, ukuran tangan dibuat lebih panjang dari ukuran tangan manusia, sehingga sampai di kaki. Wayang dari kulit kerbau ini diberi warna dasar putih yang dibuat dari campuran bahan perekat dan tepung tulang, sedangkan pakaiannya di cat dengan tinta.

Para wali mencoba untuk mengisi ruang wayang sebagai salah satu media untuk menarik simpati masyarakat untuk memasuki dunia mereka. Ketika ajakan demi ajakan dimasukkan dalam misi wayang, tentu saja wayang kemudian berubah fungsi. Wayang menjadi salah satu alat untuk memenuhi “kepentingan” mereka. Dan kenyataannya, di tangan para wali, wayang memang betul-betul mampu mengajak orang-orang Jawa untuk memasuki ajaran Islam. Wayang yang berisi tema-tema Islam dicoba untuk dimasukkan ke lubuk masyarakat.

Pandangan yang berbeda mengenai wayang diungkapkan oleh Hendriyono Hartanto (1999:45), yang mengatakan bahwa dunia wayang membutuhkan adaptasi terhadap publiknya sendiri, di mana wayang harus mampu niemberikan pencerahan terhadap masyarakat kecil, khususnya berkaitan dengan pandangan hidup, cara hidup yang lebih segar dan lebih baik. Janganlah ada kesenian seperti wayang dicoba untuk ditunggangi oleh sebuah muatan tertentu, sebab apabila hal itu terjadi, nilai-nilai yang akan diangkat di dalamnya akan menjadi nihil.

Anda tentu saja akan mampu memberikan sebuah pemahaman terhadap semua orang bahwa dunia wayang dalam pandangan ini harus dibiarkan sedemikian rupa, sebagaimana wayang pada pertumbuhannya. Tentu saja jika dibiarkan begini, wayang tidak akan berkembang. Justru adanya mediasi dan pengembangan itulah wayang bisa sampai pada hari ini. Wayang memang membutuhkan sebuah muatan ideologis yang harus dipertahankan terus menerus sampai memiliki identitasnya sendiri, sampai memiliki eksistensinya sendiri.

Hanya saja kelihaian orang yang memainkan wayang itu sendiri yang akan menentukan kapasitas muatan seni wayang. Jika dijadikan sebagai semata-mata hiburan sebagaimana yang digunakan untuk kisah-kisah Ramayana dan Mahabrata, berarti wayang dimanfaatkan sebagaimana kesan Hinduisme di atas. Akan tetapi jika wayang kemudian dikembangkan sebagaimana Wayang Suket yang dilakukan oleh Slamet Gundono, justru wayang mampu berbicara dalam berbagai segmen, baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan. Di sinilah wayang kemudian mengalami proses modernisasi yang luar biasa. Proses akulturasi memang sangat kelihatan di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar