Perbedaan Pendapat - Sejarah Wayang
Sebagian orang meyakini bahwa wayang merupakan tradisi Hinduisme
yang diupayakan untuk mensosialisasikan berbagai macam pemahaman atau ajaran.
Namun tentu saja di dalamnya memberikan sebuah hembusan yang menyegarkan
seputar kearifan. Anda akan menemukan di sana, gaya tokoh yang arif, juga gaya
tokoh yang jahat. Anda akan dapat membedakan, yang mana yang akan Anda ikuti
dalam kehidupan Anda. Saya yakin, apabila Anda mencoba memahami, Anda akan
dapat mengambil berbagai macam pelajaran di dalamnya.
Ketika wayang di bawa ke Jawa
Tengah, wayang dijadikan sebagai mediasi untuk islamisasi, maka wayang kemudian
berubah misi. Tetapi sebagian orang menolak dengan cara seperti ini, karena
masih meyakini image lama yang beranggapan bahwa gamelan dan wayang
adalah kesenian yang haram karena berbau Hindu. Timbulnya perbedaan pandangan
antara sikap menyenangi dan mengharamkan tersebut mempunyai pengaruh yang
sangat penting terhadap perkembangan kesenian wayang itu sendiri.
Di dalamnya bisa menguntungkan
dalam islamisasi di Jawa, tetapi di lain hal bisa membuat kontra-pendapat yang
akan menyebabkan perbedaan pandangan. Ketika mengetahui perbedaan yang ada di
dalamnya, dan Anda bisa mengetahui akar masalah yang ada pada pembahasan
tersebut, Anda akan mengetahui secara detail mengenai wayang dalam tradisi
Islam. Ketika Anda bisa membedakan antara nilai-nilai Hindu dan Islam yang ada
di dalamnya, Anda akan lebih menilai wayang sebagai media untuk menyampaikan
nilai-nilai kearifan terhadap masyarakat.
Menurut M. Masturi (2006:98)
mengatakan bahwa wayang merupakan sebuah dunia yang memiliki tokoh dan
problemnya sendiri yang bisa dipelajari dalam kehidupan umat manusia. Apabila
orang lain memandang wayang sebagai salah satu varian yang kurang baik karena
perbedaan agama, maka tentu saja wayang bisa diisi dengan kisah-kisah yang
baik. Wayang akan mampu berbicara kepada realitas masyarakat sesuai dengan
kemampuan daya terjangnya yang lebih baik dan bermutu. Semua orang akan
beranggapan bahwa wayang adalah benda seni, atau pentas wayang adalah pentas
kebudayaan yang menyuguhkan nilai-nilai yang lebih humanis.
Jika pandangan Anda demikian, maka
Anda tidak akan mempersoalkan tentang apakah wayang itu Hinduisme, Islam atau
animisme dan dinamisme. Semuanya akan menjadi sesuatu yang baik asalkan
dimanfaatkan sesuai pada porsinya masing-masing. Dan Anda sebagai manusia yang
bisa berpikir kreatif, Anda akan bisa menjadikan kehidupan ini sesuai dengan
peri kemanusiaan dan tidak menyimpang dari nilai-nilai yang baik. Hendaknya
Anda bisa berupaya untuk menciptakan sebuah suasana kehidupan Anda yang lebih
baik dan bermutu.
Orang yang bersikap bijak terhadap
sebuah pandangannya adalah mereka yang tidak mengklaim pandangannya merupakan
sesuatu yang paling benar. Klaim benar sendiri terhadap pandangannya (trust
claim) menunjukkan sebuah ego pribadi yang kurang baik untuk dipertahankan
dalam kehidupan Anda. Dunia wayang merupakan suara kebudayaan dengan sendirinya
akan memberikan masukan terhadap kehidupan Anda, melalui pelajaran-pelajaran
penting yang dapat Anda ambil di sana. Jika Anda lebih cerdas dan lebih
kreatif, Anda justru akan menemukan makna yang paling hakiki di sana.
Untuk menghilangkan kesan yang
serba berbau Hindu dan kesan pemujaan kepada arca, maka timbul gagasan baru
untuk menciptakan wayang dalam wujud baru dengan menghilangkan wujud gambaran
manusia. Berkat keuletan dan keterampilan para pengikut Islam yang menggemari
kesenian wayang, terutama para “Wali, berhasil menciptakan bentuk baru dari
Wayang Purwa dengan bahan kulit kerbau yang agak ditipiskan dengan wajah
digambarkan miring, ukuran tangan dibuat lebih panjang dari ukuran tangan
manusia, sehingga sampai di kaki. Wayang dari kulit kerbau ini diberi warna
dasar putih yang dibuat dari campuran bahan perekat dan tepung tulang,
sedangkan pakaiannya di cat dengan tinta.
Para wali mencoba untuk mengisi
ruang wayang sebagai salah satu media untuk menarik simpati masyarakat untuk
memasuki dunia mereka. Ketika ajakan demi ajakan dimasukkan dalam misi wayang, tentu
saja wayang kemudian berubah fungsi. Wayang menjadi salah satu alat untuk
memenuhi “kepentingan” mereka. Dan kenyataannya, di tangan para wali, wayang
memang betul-betul mampu mengajak orang-orang Jawa untuk memasuki ajaran Islam.
Wayang yang berisi tema-tema Islam dicoba untuk dimasukkan ke lubuk masyarakat.
Pandangan yang berbeda mengenai
wayang diungkapkan oleh Hendriyono Hartanto (1999:45), yang mengatakan bahwa
dunia wayang membutuhkan adaptasi terhadap publiknya sendiri, di mana wayang harus
mampu niemberikan pencerahan terhadap masyarakat kecil, khususnya berkaitan
dengan pandangan hidup, cara hidup yang lebih segar dan lebih baik. Janganlah
ada kesenian seperti wayang dicoba untuk ditunggangi oleh sebuah muatan
tertentu, sebab apabila hal itu terjadi, nilai-nilai yang akan diangkat di
dalamnya akan menjadi nihil.
Anda tentu saja akan mampu
memberikan sebuah pemahaman terhadap semua orang bahwa dunia wayang dalam
pandangan ini harus dibiarkan sedemikian rupa, sebagaimana wayang pada
pertumbuhannya. Tentu saja jika dibiarkan begini, wayang tidak akan berkembang.
Justru adanya mediasi dan pengembangan itulah wayang bisa sampai pada hari ini.
Wayang memang membutuhkan sebuah muatan ideologis yang harus dipertahankan
terus menerus sampai memiliki identitasnya sendiri, sampai memiliki
eksistensinya sendiri.
Hanya saja kelihaian orang yang
memainkan wayang itu sendiri yang akan menentukan kapasitas muatan seni wayang.
Jika dijadikan sebagai semata-mata hiburan sebagaimana yang digunakan untuk
kisah-kisah Ramayana dan Mahabrata, berarti wayang dimanfaatkan sebagaimana
kesan Hinduisme di atas. Akan tetapi jika wayang kemudian dikembangkan
sebagaimana Wayang Suket yang dilakukan oleh Slamet Gundono, justru wayang
mampu berbicara dalam berbagai segmen, baik politik, ekonomi, sosial, budaya
dan pendidikan. Di sinilah wayang kemudian mengalami proses modernisasi yang
luar biasa. Proses akulturasi memang sangat kelihatan di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar