Mahāyāna
Mahayana (berasal dari bahasa Sanskerta: महायान, mahāyāna yang secara harafiah berarti 'Kendaraan Besar') adalah satu dari dua aliran utama Agama Buddha dan merupakan istilah pembagian filosofi dan ajaran Sang Buddha. Mahayana, yang dilahirkan di India, digunakan atas tiga pengertian utama:
- Sebagai tradisi yang masih berada, Mahayana merupakan kumpulan terbesar dari dua tradisi Agama Buddha yang ada hari ini, yang lainnya adalah Theravada. Pembagian ini seringkali diperdebatkan oleh berbagai kelompok.
- Menurut cara pembagian klasifikasi filosofi Agama Buddha berdasarkan aliran Mahayana, Mahayana merujuk kepada tingkat motifasi spiritual (yang dikenal juga dengan sebutan Bodhisattvayana ) Berdasarkan pembagian ini, pendekatan pilihan yang lain disebut Hinayana, atau Shravakayana. Hal ini juga dikenal dalam Ajaran Theravada, tetapi tidak dianggap sebagai pendekatan yang sesuai.
- Menurut susunan Ajaran Vajrayana mengenai pembagian jalur pengajaran, Mahayana merujuk kepada satu dari tiga jalan menuju pencerahan, dua lainnya adalah Hinayana dan Vajrayana. Pembagian pengajaran dalam Agama Buddha Vajrayana, dan tidak dikenal dalam ajaran Agama Buddha Mahayana dan Theravada.
Walaupun
asal usul keberadaan Mahayana mengacu pada Buddha Gautama, para
sejarawan berkesimpulan bahwa Mahayana berasal dari India pada abad ke 1,,
atau abad ke 1 SM Menurut sejarawan, Mahayana menjadi gerakan utama
dalam Agama Buddha di India pada abad ke 5, mulai masa tersebut
naskah-naskah Mahayana mulai muncul pada catatan prasasti di
India. Sebelum abad ke 11 (ketika Mahayana masih berada di India),
Sutra-sutra Mahayana masih berada dalam proses perbaikan. Oleh karena
itu, beragam sutra dari sutra yang sama mungkin muncul.
Terjemahan-terjemahan ini tidak dianggap oleh para sejarawan dalam
membentuk sejarah Mahayana.
Dalam perjalanan sejarahnya, Mahayana menyebar keseluruh Asia Timur. Negara-negara yang menganut ajaran Mahayana sekarang ini adalah Cina, Jepang, Korea dan Vietnam dan penganut Agama Buddha Tibet (etnis Himalaya yang diakibatkan oleh invasi Cina ke Tibet). Aliran Agama Buddha Mahayana sekarang ini adalah "Pure Land", Zen, Nichiren, Singon,Tibetan dan Tendai. Ketiga terakhir memiliki aliran pengajaran baik Mahayana maupun Vajrayana.
Latar Belakang
Buddha lahir pada abad ke-6 SM.
Setelah mencapai Penerangan Sempurna pada umur 35 sampai
Mahaparinibbana pada umur 80, Dia menghabiskan seumur hidupnya untuk
berkhotbah dan menyebarkan ajarannya. Selama 44 tahun, beliau mengajar
dan berkhotbah siang dan malam, hanya tidur 2 jam sehari.
Buddha
berbicara dengan semua kalangan manusia: raja dan pangeran, brahmana,
petani, pengemis, kaum terpelajar dan orang biasa. Ajarannya disesuaikan
dengan pengalaman, tingkat pemahaman dan kapasitas mental pendengarnya.
Apa yang diajarkannya dinamakan Buddha Vacana. Saat itu tidak dikenal
dengan apa yang dinamakan Theravada atau Mahayana.
Setelah
terbentuknya persekutuan Biku dan Bikuni, Buddha menggariskan
aturan-aturan disiplin tertentu yang disebut Vinaya sebagai pedoman bagi
persekutuan tersebut. Semua ajarannya disebut Dhamma, termasuk juga
wacana, sutra, khotbah kepada Biku, Bikuni dan orang biasa.
Persamuan Agung Pertama
Tiga
bulan setelah Buddha Mahaparinibbana, pengikut terdekatnya
menyelenggarakan persamuan di Rajagaha. Maha Kassapa, Biku yang paling
dihormati dan di-tua-kan, memimpin persamuan tersebut. Hadir pula, 2
(dua) orang pengikut yang berkemampuan istimewa pada dua ajaran – Dhamma
dan Vinaya(disiplin, etika). Satunya adalah Ananda, teman terdekat dan
pengikut Buddha selama 25 tahun. Dikaruniai ingatan yang luar biasa,
Ananda mampu mengulangi apa yang disampaikan oleh Buddha. Lainnya adalah
Upali yang mengingat semua aturan-aturan Vinaya.
Hanya
dua ajaran tersebut – Dhamma dan Vinaya – yang dibawakan dalam
Persamuan Pertama. Walaupun tidak ada perbedaan pendapat mengenai Dhamma
(tidak termasuk Abhidhamma), terdapat beberapa diskusi mengenai
aturan-aturan Vinaya. Sebelum Buddha parinibbana, beliau memberitahu
Ananda bahwa apabila Sangha ingin memperbaiki atau mengubah beberapa
aturan tidak mendasar, mereka dapat melakukannya. Akan tetapi pada saat
itu, Ananda sedang sangat berduka karena Buddha akan segera parinibbana
sehingga Ia tidak menanyakan kepada Buddha aturan-aturan mana yang
dimaksudnya tersebut. Karena anggota-anggota dari persamuan tidak
mencapai kata sepakat mengenai apa yang dimaksud dengan aturan-aturan
tidak mendasar, Maha Kassapa akhirnya menetapkan bahwa aturan-aturan
yang telah ditetapkan oleh Buddha tidak diubah dan tidak ada aturan baru
yang ditambahkan. Tidak ada alasan-alasan yang diberikan untuk itu.
Maha Kassapa mengatakan sesuatu, bahwa: “ Bila kita mengubah
aturan-aturan, orang-orang akan berkata bahwa pengikut Yang Mulia
Gautama telah mengubah aturan-aturan bahkan sebelum api pemakaman
dinyalakan”.
Dalam
persamuan, Dhamma terbagi atas beberapa bagian dan masing-masing bagian
diserahkan kepada pengikut senior dan murid-muridnya untuk dihafalkan.
Kemudian, Dhamma diajarkan oleh guru kepada murid-muridnya secara lisan.
Dhamma dibaca setiap hari oleh sekelompok murid yang sering memeriksa
ulang satu sama lain untuk meyakinkan tidak ada yang terlewatkan atau
ditambahkan. Para ahli sejarah sepakat bahwa tradisi penuturan lisan
lebih akurat daripada tulisan yang dibuat oleh seseorang menurut apa
yang diingatnya setelah beberapa tahun kejadian.
Persamuan Agung Kedua
Seratus
tahun kemudian, persamuan kedua diadakan untuk mendiskusikan
aturan-aturan Vinaya. Tidak ada kebutuhan untuk mengubah aturan-aturan
tiga bulan setelah parinibbana-nya Buddha karena kecilnya perubahan
politik, ekonomi atau sosial dalam periode sesingkat ini pada masa itu.
Tetapi 100 tahun kemudian, beberapa biku melihat kebutuhan untuk
mengubah beberapa aturan tidak mendasar. Biku yang ortodoks mengatakan
bahwa tidak ada yang perlu diubah sedangkan lainnya ingin mengubah
aturan-aturan tersebut. Akhirnya, sekelompok Biku meninggalkan persamuan
dan mendirikan Mahasanghika – Kelompok Besar. Saat ketika masih
dinamakan Mahasanghika, tidak dikenal yang namanya Mahayana. Dan pada
persamuan kedua, hanya hal berhubungan dengan Vinaya yang yang
didiskusikan dan tidak ada perdebatan mengenai Dhamma.
Persamuan Agung Ketiga
Pada
abad ke-3 SM masa pemerintahan Raja Asoka, persamuan ketiga diadakan
untuk mendiskusikan perbedaan pendapat di antara Biku dari aliran-aliran
berbeda. Pada persamuan ini, perbedaan-perbedaan tidak hanya dibatasi
pada Vinaya tetapi juga berhubungan dengan Dhamma. Pada akhir dari
persamuan ini, ketua persamuan, Monggaliputta Tissa, menulis satu buku
berjudul Kathavatthu. Buku ini membuktikan adanya kesalahan mendasar
serta pandangan dan teori yang salah yang dianut beberapa aliran.
Ajarannya ini disetujui dan diterima persamuan ini sebagai Theravada.
Abhidhamma Pitaka telah dimasukkan saat persamuan ini.
Setelah
persamuan ketiga, anak Asoka, Biku Mahinda, membawa Tripitaka beserta
penjelasan yang telah dibahas dalam persamuan ketiga ini ke Sri Lanka.
Teks yang dibawa ini masih tersimpan sampai saat ini di Srilanka tanpa
kehilangan satu halaman-pun. Teks tersebut ditulis dalam Pali. Teks ini
berpedoman pada bahasa Magadhi yang digunakan Buddha. Belum dikenal
dengan apa yang dinamakan Mahayana hingga periode ini.
Beberapa
sumber mengatakan bahwa diadakan persamuan Agung tandingan di pihak
aliran bakal calon-Mahayana. Namun faktanya aliran tersebut di kemudian
hari termasuk ke dalam aliran-aliran yang "kurang" mendukung Mahayana,
bahkan dapat dikatakan bersaing dengan Mahayana di India utara.
Munculnya Mahayana
Antara
abad 1 SM hingga 1 M, kedua istilah Mahayana dan Hinayana muncul di
Sutra Saddharma Pundarika atau Sutra Teratai Ajaran Kebajikan.
Kira-kira
pada abad ke-2 M, Mahayana barulah didefinisikan secara jelas.
Nagarjuna mengembangkan filosofi “kekosongan” Mahayana dan membuktikan
bahwa segala sesuatunya adalah “Kosong” dalam buku kecil
“Madhyamika-karika”. Kira-kira pada abad ke-4, Asanga dan Vasubandhu
banyak menulis buku-buku Mahayana. Setelah abad ke-1 M, kaum Mahayana
meneguhkan pendiriannya dan setelahnya istilah Mahayana dan Hinayana
mulai dikenal.
Pada
abad ke-7, bhiksu asal Cina, I-Tsing, menggambarkan situasi di India
saat itu dengan kata-kata, "... Siapapun yang memuja Bodhisattva dan
mempelajari sutra Mahayana disebut Mahayanist, sedangkan yang tidak
disebut Hinayanist..." sedemikian sederhananya. Maka pada dasarnya dapat
kita simpulkan bahwa istilah Hinayana tidak merujuk pada suatu aliran
tertentu.
Hinayana
dan Theravada bukanlah suatu istilah yang sama. Theravada mengacu pada
Buddhisme yang masuk ke Sri Lanka menjelang abad ke-3 SM di saat belum
ada Mahayana pada masa itu. Aliran Hinayana dikembangkan di India dan
terlepas eksistensi dari aliran Buddhisme yang ada di Sri Lanka. Saat
sekarang tidak ada lagi aliran Hinayana di belahan dunia manapun. Oleh
karena itu, pada tahun 1950 World Fellowship of Buddhists yang dibentuk
di Kolombo secara mutlak memutuskan bahwa istilah Hinaya harus
dikeluarkan bila mengacu pada Buddhisme yang ada sekarang di Sri Lanka,
Thailand, Myanmar, Kamboja, Laos, dan lainnya. Inilah sejarah singkat
mengenai Theravada, Mahayana dan Hinayana.
Mahayana dan Theravada
Perlu
dicatat bahwa tidak ada perbedaan mendasar di antara ajaran Mahayana
dan Theravada. Hal ini bisa dicermati dari ajaran yang sama persis
mengenai:
- Diakuinya Buddha Sakyamuni sebagai Guru
- Empat Kesunyataan Mulia
- Delapan Jalan Tengah
- Paticca-Samuppada atau Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan
- Keduanya tidak mengakui adanya mahluk yang menciptakan atau mengatur dunia ini
- Keduanya menerima Anicca, Dukkha, Anatta dan Sila, Samadhi, Panna
Ajaran di atas adalah ajaran paling mendasar dalam Buddhisme.
Terdapat
beberapa hal yang membuat keduanya berbeda. Banyak yang mengatakan
bahwa Mahayana adalah untuk mencapai Bodhisattva yang membuka jalan
menuju Kebuddhaan, di mana Theravada adalah untuk mencapai Arahat. Perlu
digarisbawahi bahwa Buddha adalah juga seorang Arahat. Pacceka Buddha
juga adalah Arahat. Seseorang pengikut bisa juga menjadi Arahat. Teks
Mahayana tidak pernah menggunakan istilah Arahant-yana, jalan Arahat.
Tetapi menggunakan tiga istilah: Boddhisattvayana, Prateka-Buddhayana
dan Sravakayana. Dalam tradisi Theravada, ketiganya dikenal sebagai
Bodhi.
Ada
yang berpendapat bahwa Theravada adalah egois karena mengajarkan orang
untuk menyelamatkan diri sendiri. Apakah orang egois bisa mencapai
Penerangan? Kedua aliran sama-sama menganut tiga yana atau bodhi tetapi
menganggap Boddhisattva sebagai pencapaian tertinggi. Mahayana
menciptakan Bodhisattva-Bodhisattva sedangkan Theravada menganggap
seorang Bodhisattva adalah salah satu di antara kita yang mengabdikan
seluruh hidupnya untuk mencapai kesempurnaan, yang tujuan utamanya
adalah Penerangan Sempurna untuk kebahagiaan mahluk di dunia. Teks-teks
Mahayana sendiri menyebutkan bahwa tujuan para Bodhisattva ialah
mencapai ke-Buddha-an demi menolong semua mahkluk, karena hanya dengan
menjadi Buddha yang sempurna maka seseorang memiliki kemampuan
mencerahkan mahkluk lain. Tanpa diri sendiri mencapai pencerahan
terlebih dahulu, bagaimana mungkin dapat mencerahkan mahkluk lain?
Dengan
makin terbukanya informasi, saat ini makin banyak teks-teks Pali yang
dapat diakses. Dan terbukti dalam tradisi Pali pun dapat ditemukan
teks-teks mengenai jalan Bodhisattva dalam kumpulan cerita Jataka dan
kitab komentar yang menyebutkan mengenai berbagai jenis Bodhi. Jadi,
Theravada juga mengenal jalan Bodhisatta, jalan Sammasambodhi,
setidaknya dalam bentuk kisah penyempurnaan 10 Parami. Ketidakpopuleran
ide sammasambodhi ini tidaklah serta merta berarti Theravada tidak
mengenal jalan Bodhisatta.
Para
guru besar berbagai aliran saat ini juga mengajarkan bahwa semua aliran
Buddhis memiliki pendekatan berbeda, tetapi pada akhirnya akan mencapai
realisasi yang sama. Bila debat filosofis terus dilanjutkan tentu semua
aliran akan terus berpegang pada pandangan masing-masing. Akan tetapi
saat semua melihat ke dalam realita, pengalaman langsung yang didapat
dari praktik meditasi, maka semua akan mengalami realita yang demikian
tak terbantahkan, anicca-anatta, pandangan terang yang mengakhiri
dukkha.
Tiga jenis Kebuddhaan
Terdapat
tiga jenis Buddha, yaitu: Samma Sambuddha yang mencapai penerangan
sempurna dengan usahanya sendiri, Pacceka Buddha pada tingkat lebih
rendah daripada Samma Sambuddha, dan Savaka Buddha yang adalah Arahat.
Pencapaian Nibbana di antara ketiganya adalah sama. Hanya ada perbedaan
untuk Samma Sambuddha yang mempunyai tingkatan dan kemampuan lebih
dibanding keduanya.
Beberapa
orang berpikiran bahwa “Kosong” atau Sunyata yang diajarkan oleh
Nagarjuna adalah murni ajaran Mahayana. Ide ini pada dasarnya muncul
dari konsep Anatta atau “Tanpa-Aku”, dalam Patticasamuppada atau Sebab
Musabab Yang Saling Bergantungan, yang ditemukan dalam teks asli Pali
Theravada. Suatu ketika Ananda bertanya kepada Buddha, “Orang-orang
mengatakan kata Sunya. Apakah Sunya itu?” Buddha menjawab, ”Ananda,
artinya adalah tiada aku, atau apapun yang berhubungan dengan aku di
dunia ini. Oleh karena itu, dunia adalah kosong.” Ajaran ini diambil
oleh Nagarjuna ketika beliau menulis karya luar biasanya, “Madhyamika
Karika”. Di samping ajaran Sunyata adalah konsep penyimpanan-kesadaran
dari Mahayana yang berakar dari teks Theravada. Kaum Mahayana telah
mengembangkannya ke dalam psikologi dan filosofi yang dalam.
Penelusuran
teks-teks karya Nagarjuna menunjukkan bahwa motivasi Nagarjuna
mengembangkan ajaran Sunyata adalah demi menegaskan kembali ajaran
Buddha. Ajaran Sunyata Nagarjuna disebut juga filosofi Jalan Tengah
(Madhyamika), karena Nagarjuna menekankan bahwa Sunyata (Anatta) itu
bebas dari ekstrim pandangan nihilisme dan eternalisme. Nagarjuna
mengajarkan pentingnya memahami Sunyata dan Patticasamuppada sebagai
satu kesatuan dalam filosofi Dua Kebenaran yang tak terpisahkan, yaitu
kebenaran relatif dan mutlak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar