Selasa, 15 Januari 2013

DERITA DEMI SANG DEWA



DERITA DEMI SANG DEWA


Batang-batang besi tertancap di wajah. Rantai-rantai tajam tercantol di tubuh. Thaipusam adalah festival bagi mereka yang bermental kuat. Hairun Fahrudin menceritakan perayaan budaya terbesar di Malaysia.


Di Irak, ia bernama Asyura. Di Singkawang disebut Parade Tatung. Di Selangor, kita mengenalnya dengan nama Thaipusam. Meski berbeda makna, tradisi-tradisi sadomasokis ini memiliki ciri serupa: peragaan aksi menyakiti diri sendiri oleh ribuan orang.


Digelar oleh komunitas Hindu Tamil di Malaysia, Thaipusam berlangsung pada hari ke-10 di bulan Thai dalam kalender Tamil, kira-kira di akhir Januari atau awal Februari dalam penanggalan Masehi. Perayaan ini didedikasikan bagi Dewa Murugan, putra Siwa dan Parwati. Syahdan, di malam purnama hari suci tersebut, Dewi Parwati memberikan tombak sakti pada Murugan sebagai senjata untuk mengalahkan kekuatan iblis bernama Surapadman. Itulah sebabnya, Thaipusam sering dimaknai sebagai hari kemenangan kebajikan melawan kejahatan.


Dengan partisipan menembus satu juta jiwa, Thaipusam juga merupakan salah satu ritual terbesar di dunia. Hebatnya, perayaan di Selangor justru lebih besar dibandingkan di tanah kelahirannya, Tamil Nadu. Fenomena ini sepertinya terkait dengan kondisi sejarah. Warga Tamil bermigrasi ke Malaysia di abad ke-19 untuk bekerja di kebun-kebun karet milik Inggris. Selain membanting tulang dengan kompensasi upah yang sangat rendah, mereka juga sangat menderita karena terputus dari tanah leluhurnya. Tekanan hidup itu kemudian memaksa mereka berpaling ke Dewa Murugan, sosok mitologis yang melambangkan harapan dan perlindungan.

Saya menuju Batu Caves menggunakan kereta dari Kuala Lumpur. Meskipun waktu baru menunjukkan pukul tujuh, stasiun KL Sentral sudah penuh sesak oleh warga Tamil maupun turis. Membeludaknya penumpang memaksa pengelola kereta memperpanjang jam operasional kereta hingga pukul dua pagi, serta menambah frekuensi keberangkatan. Tapi upaya tersebut sepertinya tidak berhasil. Kereta datang dalam kondisi penuh, padahal penumpang di Stasiun KL Sentral belum ada yang naik. Saya terpaksa menyusup di antara ratusan orang di dalam gerbong.


Perayaan Thaipusam dimulai di tengah malam. Para peserta mengarak kereta berwarna perak yang berisi patung Dewa Murugan dari Kuil Sri Mahamariamman di Kuala Lumpur menuju Batu Caves. Jaraknya sekitar 15 kilometer, dan mereka melakukannya dengan berjalan kaki tanpa alas kaki.

Sepanjang perjalanan, peserta menabuh bunyi-bunyian dan meneriakkan yel-yel untuk menambah semangat. Ini bukan perjalanan yang mudah. Sebagian peziarah harus memanggul kivadi yang beratnya sekitar 20 kilogram, Kivadi adalah ornamen dari logam yang dihiasi bulu-bulu burung merak dan gambar-gambar tokoh suci Hindu.
Supaya posisi tandu seimbang, para pemanggul mengenakan ikat pinggang besi sebagai penyangga. Ada pula yang menancapkan benda tajam mirip jeruji roda atau mata kail di bagian punggung dan dada. Yel-yel membantu mereka melupakan rasa sakit. Kesusahan saya di kereta sepertinya tidak sebanding dengan penderitaan mereka.

Bagi orang awam, Thaipusam memang terlihat mirip parade debus. Meski begitu, tiap atraksi itu sebenarnya mengandung makna yang dalam: simbol pengorbanan serta pemisahan tubuh dari rasa sakit. Sebelum berparade misalnya, para peserta melakoni meditasi panjang serta berpuasa. Begitu puta saat seseorang menusuk mulut mereka dengan tombak, tujuannya agar ia tidak bisa berbicara dan berkonsentrasi sepenuhnya pada ibadah.

Rombongan dari Kuala Lumpur kini mendarat di area Batu Caves. Suasananya sangat padat. Setelah itu, rombongan mulai menapaki tangga curam Batu Caves yang telah dipenuhi pedagang dan pengunjung.

Jumlah anak tangga 272 buah. Peziarah mendakinya dengan tubuh lelah dan tertusuk benda-benda tajam. Prosesi ini sangat menguji iman mereka kepada dewa. Mendekati puncak, beberapa peziarah yang memanggul kivadi kehabisan energi. Beberapa kali mereka harus beristirahat sejenak. Para pengunjung lalu memberikan pijatan dan membantu mengangkat kivadi. Penjajahan Inggris sudah berakhir, tapi masyarakat Tamil tak melupakan jasa sang dewa yang menguatkan jiwa mereka di kala susah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar