DERITA
DEMI SANG DEWA
Batang-batang
besi tertancap di wajah. Rantai-rantai tajam tercantol di tubuh. Thaipusam
adalah festival bagi mereka yang bermental kuat. Hairun Fahrudin menceritakan
perayaan budaya terbesar di Malaysia.
Di
Irak, ia bernama Asyura. Di Singkawang disebut Parade Tatung. Di Selangor, kita
mengenalnya dengan nama Thaipusam. Meski berbeda makna, tradisi-tradisi
sadomasokis ini memiliki ciri serupa: peragaan aksi menyakiti diri sendiri oleh
ribuan orang.
Digelar
oleh komunitas Hindu Tamil di Malaysia, Thaipusam berlangsung pada hari ke-10
di bulan Thai dalam kalender Tamil, kira-kira di akhir Januari atau awal
Februari dalam penanggalan Masehi. Perayaan ini didedikasikan bagi Dewa
Murugan, putra Siwa dan Parwati. Syahdan, di malam purnama hari suci tersebut,
Dewi Parwati memberikan tombak sakti pada Murugan sebagai senjata untuk
mengalahkan kekuatan iblis bernama Surapadman. Itulah sebabnya, Thaipusam
sering dimaknai sebagai hari kemenangan kebajikan melawan kejahatan.
Dengan
partisipan menembus satu juta jiwa, Thaipusam juga merupakan salah satu ritual
terbesar di dunia. Hebatnya, perayaan di Selangor justru lebih besar
dibandingkan di tanah kelahirannya, Tamil Nadu. Fenomena ini sepertinya terkait
dengan kondisi sejarah. Warga Tamil bermigrasi ke Malaysia di abad ke-19 untuk
bekerja di kebun-kebun karet milik Inggris. Selain membanting tulang dengan
kompensasi upah yang sangat rendah, mereka juga sangat menderita karena
terputus dari tanah leluhurnya. Tekanan hidup itu kemudian memaksa mereka
berpaling ke Dewa Murugan, sosok mitologis yang melambangkan harapan dan
perlindungan.
Saya
menuju Batu Caves menggunakan kereta dari Kuala Lumpur. Meskipun waktu baru
menunjukkan pukul tujuh, stasiun KL Sentral sudah penuh sesak oleh warga Tamil
maupun turis. Membeludaknya penumpang memaksa pengelola kereta memperpanjang
jam operasional kereta hingga pukul dua pagi, serta menambah frekuensi
keberangkatan. Tapi upaya tersebut sepertinya tidak berhasil. Kereta datang
dalam kondisi penuh, padahal penumpang di Stasiun KL Sentral belum ada yang
naik. Saya terpaksa menyusup di antara ratusan orang di dalam gerbong.
Perayaan
Thaipusam dimulai di tengah malam. Para peserta mengarak kereta berwarna perak
yang berisi patung Dewa Murugan dari Kuil Sri Mahamariamman di Kuala Lumpur
menuju Batu Caves. Jaraknya sekitar 15 kilometer, dan mereka melakukannya
dengan berjalan kaki tanpa alas kaki.
Sepanjang
perjalanan, peserta menabuh bunyi-bunyian dan meneriakkan yel-yel untuk
menambah semangat. Ini bukan perjalanan yang mudah. Sebagian peziarah harus
memanggul kivadi yang beratnya sekitar 20 kilogram, Kivadi adalah ornamen dari
logam yang dihiasi bulu-bulu burung merak dan gambar-gambar tokoh suci Hindu.
Supaya
posisi tandu seimbang, para pemanggul mengenakan ikat pinggang besi sebagai
penyangga. Ada pula yang menancapkan benda tajam mirip jeruji roda atau mata
kail di bagian punggung dan dada. Yel-yel membantu mereka melupakan rasa sakit.
Kesusahan saya di kereta sepertinya tidak sebanding dengan penderitaan mereka.
Bagi
orang awam, Thaipusam memang terlihat mirip parade debus. Meski begitu, tiap
atraksi itu sebenarnya mengandung makna yang dalam: simbol pengorbanan serta
pemisahan tubuh dari rasa sakit. Sebelum berparade misalnya, para peserta
melakoni meditasi panjang serta berpuasa. Begitu puta saat seseorang menusuk
mulut mereka dengan tombak, tujuannya agar ia tidak bisa berbicara dan
berkonsentrasi sepenuhnya pada ibadah.
Rombongan
dari Kuala Lumpur kini mendarat di area Batu Caves. Suasananya sangat padat.
Setelah itu, rombongan mulai menapaki tangga curam Batu Caves yang telah
dipenuhi pedagang dan pengunjung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar