Rabu, 01 Agustus 2012

PENGENALAN PADA HINDU - Mengenal Hinduisme

 Ayah, bolehkah saya bertanya?
Tentu saja boleh.

Saya ingin bertanya banyak hal yang berhubungan dengan agama kita.
Silakan, tanyakanlah padaku pertanyaan apa yang kau miliki.


Darimanakah saya harus memulainya?
Mulailah dari pertanyaan pertama yang terlintas dalam pikiranmu.

Baiklah, apakah saya seorang Hindu?
Tentu saja kau adalah seorang Hindu, sebagaimana seorang yang mengikuti ajaran Kristus disebut sebagai seorang Kristen.
Jika melihat dari salah satu sudut pandang maka Hindu adalah sebuah proses pencarian kebenaran tanpa henti. Oleh karena itulah Hindu kemudian disebut sebagai agama yang abadi. Hanya ada satu Tuhan dan satu kebenaran. Veda menyatakan, “ekaý sat vipraá bahudhà vadanti” (hanya ada satu kebenaran, hanya saja orang bijaksana menyebut-Nya dengan banyak nama). Jadi, sebagai seorang Hindu, seorang Muslim, Kristen atau seorang Yahudi, semuanya adalah satu dan sama. Kemudian jika kita mencari sudut pandang yang lain, maka akan kita temukan bahwa Hindu bukanlah sebuah agama, melainkan suatu jalan hidup. Untuk kepentingan berdebat, maka seseorang dapat menyatakan bahwa jika semua kitab Hindu hancur, maka pada suatu hari nanti, kitab suci yang sudah tua umurnya itu, akan berkembang kembali hanya dalam beberapa tahun. Karena ia adalah sebuah proses pencarian kebenaran yang sejati. Dan sekarang ini Hindu justru lebih dikenal sebagai suatu budaya ketimbang sebuah agama.

Ayah, sebelum saya melanjutkannya, saya ingin ayah tahu, bahwa saya adalah seorang remaja yang lahir dan besar di Amerika, jadi beberapa pertanyaan saya mungkin akan terdengar agresif. Saya harap ayah tidak tersinggung.
Nak, kau dapat menanyakan apa saja yang kau inginkan. Anggap saja kau adalah seorang jaksa penuntut yang mengintrogasi aku, yang berperan sebagai seorang saksi. Percayalah padaku bahwa tidak satupun dari pertanyaanmu yang akan menyinggung ataupun menyakiti hatiku. Aku akan berusaha untuk menjawab pertanyaanmu sesegera dan sebisa mungkin. Aku juga tidak akan memberikan jawaban yang menyinggung perasaanmu. Dan lebih jauh lagi aku akan menyelipkan berbagai pengetahuan dan ajaran agama lain dalam jawaban-jawabanku. Aku harap kau akan puas.

Sejujurnya, dapatkah Hindu menjawab setiap pertanyaan?
Agama Hindu tidak pernah kesulitan dalam menjawab setiap pertanyaan. Hindu tidak harus bersembunyi di balik ayat-ayat Sansekerta atau dogma spiritual. Akan tetapi sebaliknya, Hindu menyerap setiap pendapat dan ide baru yang muncul ke permukaan.
Percaya atau tidak, Agama Hindu sebenarnya senantiasa mengadaptasikan diri dengan setiap pemikiran dan ide yang baru. Teknologi, Psikologi, Parapsikologi, Astronomi modern, Biologi dan sebagainya semua memperkaya ajaran Hindu.
Dalam ajaran Hindu kau dapat berpikir dan membantah suatu pernyataan. Bahkan dapat berkata bahwa tidak ada Kåûóa atau Ràma namun masih tetap sebagai seorang Hindu. Tidak ada hirarki, lembaga atau badan kekuasaan tertentu.
Dalam ajaran agama Hindu seseorang akan jarang bertemu dengan pernyataan yang dimulai dengan kata “Kau tidak boleh …” dan sebagainya. Jika kau mempelajari Hindu dari awal hingga akhir, maka kau akan menemukan bahwa Hindu dipenuhi dengan berbagai pendapat dan ide pemikiran. Hindu memiliki budaya spiritual seperti filsafat Advaita dan Ràja Yoga yang agung, dan disisi lain ada filsafat Càrvàka yang hedonistik, yang tidak mempercayai Tuhan atau Veda, ada upacara yang merupakan bagian dari Hinduisme dan disisi lain ada pendapat seorang filsuf Jerman yang bernama Max Muller yang mengatakan, “Àgama Veda tidak mengenal pemujaan pada patung” Sedangkan Jàbàla Upaniûad menyatakan, “Patung hanya dimaksudkan untuk mereka yang kurang pengetahuannya”
Mitologi Hindu dipenuhi dengan berbagai kisah dari berbagai cerita. Pada satu sisi, Advaita menyatakan hanya tentang Brahman dan disisi lain, mitologinya menyatakan bahwa ada banyak dewa. Jika mempelajari Hindu hanya setengah-setengah, maka kau akan dibuat menjadi bingung. Namun jika kau menenangkan diri dan mempelajarinya secara kese-luruhan, maka kau akan dapat memahami semua kebenaran yang terdapat dalam kitab suci Hindu. Sekarang ini tersedia banyak sekali buku-buku Hindu dalam bahasa Inggris dan bahasa lainnya, sehingga umat Hindu tidak diharuskan untuk mempelajari Sanskreta untuk dapat mempelajari ajaran Hindu.
Ayah, sebelum ayah melanjutkannya lebih jauh, saya ingin menanyakan sebuah pertanyaan penting, mohon jangan tersinggung. Pertanyaan saya adalah wewenang apa (hak apa) yang membuat ayah harus berbicara tentang Hindu?
Aku senang kau menanyakan hal ini. Arjuna yang merupakan kûatriya dari Mahàbhàrata juga menanyakan pertanyaan yang sama pada Úrì Kåûóa, dimana percakapannya menghasilkan sebuah kitab yang terkenal yaitu Bhagavad Gìtà. Sebagai jawabannya, Kåûóa menunjukkan Viúvarùpa-Nya (wujud maha besar) dan ini membuat Arjuna terpana menyaksikan seluruh semesta berputar di dalam tubuhNya. Maka Arjuna pun mendapatkan jawaban lebih dari yang diharapkannya. Namun aku tidak dapat memperlihatkan wujud seperti itu padamu untuk membuktikan setiap pernyataanku.
Kau mungkin akan tertawa, tetapi karena bahkan Arjuna sendiri mempertanyakan kekuasaan Kåûóa, maka wajar adanya kau mempertanyakan hal yang sama. Sedangkan mengenai diriku, aku hanya menyampaikan bahwa diriku hanyalah seorang pencari kebenaran sebagaimana halnya kebanyakan orang. Tentu saja aku telah mempelajari banyak buku (sekitar 500 buku) Hindu dan buku agama lain.
Satu-satunya tujuanku adalah untuk menjelaskan ajaran Hindu dan hal-hal lain yang berhubungan dengannya. Setelah mendengarkan jawabanku, maka kau harus meneliti kembali kebenarannya. Dalam hubungannya dengan hal ini, ijinkanlah aku menguraikan sebuah sloka yang diajarkan oleh seorang guru pada salah seorang muridnya.
Tak seorangpun tahu apa yang benar dan apa yang salah
Tak seorangpun tahu mana yang baik dan mana yang buruk
Ada sebuah keilahian yang ada dalam dirimu
Temukanlah dan turuti perintahnya.
Itulah jawabanku. Pahamilah bahwa keilahian yang dimaksud tiada lain adalah ‘suara bathin’ yang sering kali diungkapkan oleh seorang mistikus Hindu modern, Úrì Aurobindo. Suara bathin itu adalah Kristus yang ada dalam diri manusia atau dengan kata lain, ia adalah Roh suci yang abadi. Aku hanya akan memberitahumu bahwa jawaban final ada dalam dirimu sendiri. Seperti seorang master Zen, aku ingin memberitahumu bahwa untuk mencari jawaban diluar dirimu adalah hal yang sia-sia. Para penganut Zen mengatakan bahwa kebenaran tidak dapat diajarkan dengan kata-kata yang keluar dari mulut dan kebenaran yang sejati hanya dapat didapatkan dari pengalaman nyata.
Akan tetapi jangan salah mengartikan sloka diatas sebagai lampu hijau untuk pengumbaran nafsu dalam diri dan mengikuti emosi dalam diri sendiri. Emosi dalam diri manusia cenderung menipu, karena emosi adalah hasil dari kekuatan intelektual dan membuat tindakan yang bodoh sebagai sebuah perbuatan yang berarti. Mereka bahkan sanggup menggoda para orang suci dan membuat mereka tenggelam dalam setiap sentimen egoistik. Jadi berhati-hatilah mengartikan sloka-sloka diatas.

Apakah Hindu merupakan satu-satunya jalan untuk menuju kesadaran Tuhan?
Pada suatu hari seorang filsuf Amerika yang terkenal memberitahu Emerson bahwa ia telah mempelajari semua filsafat dan agama sehingga ia sampai pada kesimpulan bahwa Kristen adalah satu-satunya yang terbaik. Emerson kemudian menjawab, “Itu hanya menunjukkan bahwa betapa dangkalnya pengetahuanmu.” Hal yang sama juga berlaku dalam ajaran Hindu. Tak seorang pun berhak untuk mengatakan bahwa Hindu adalah satu-satunya yang terbaik. Pada kenyataannya Hindu menyatakan bahwa mustahil untuk mengatakan bahwa salah satu agama adalah salah atau kurang.
Bhagavad Gìtà menyatakan bahwa, “Dengan apapun dan dengan cara bagaimanapun seseorang mendekatiku, demikianlah aku akan menerimanya. Jalan apapun yang mereka tempuh akhirnya mereka akan sampai kepadaku juga, wahai Arjuna” dalam sloka ini dapat dengan mudah dipahami bahwa Hindu tidak menyatakan diri sebagai satu-satunya kebijaksanaan. Hindu toleransi dengan segala jenis pemikiran. Seorang Yogi atau orang suci Hindu tak akan pernah berusaha untuk membuat seseorang menjadi Hindu. Sebaliknya mereka akan membuat orang itu menjadi lebih yakin terhadap kepercayaan yang telah mereka anut. Gìtà menyatakan, “Dengan cara apapun penyembah memujaku, dengan penuh keyakinan, maka aku akan membuatnya teguh pada keyakinannya itu.” Jadi dalam Hindu kau dapat memuja yang maha kuasa, yang tidak berwujud dan tidak terbatas, sebagai Kåûóa, Jesus, Allah, Musa atau siapapun juga yang kau yakini. Selama kau memiliki keyakinan kepada-Nya, maka kau akan menganut sebuah agama kebenaran dan kau akan menyadari kebenaran itu, meskipun dengan mengikuti cara pemujaan yang kasar. Menurut Hindu tidak seorangpun akan tersesat. Dengan cara apapun ia mencari Tuhan maka ia berada di jalan Tuhan.
Di India, para orang suci sering menyatakan bahwa jika kau membayangkan-Nya dan menyebut nama-Nya, dengan penuh keyakinan, membayangkan-Nya dalam wujud seekor kerbau maka beliau akan menerimamu dalam wujud kerbau itu. Dan pada kenyataannya, beberapa kisah menyatakan bahwa Tuhan muncul menampakkan diri dalam wujud kerbau pada orang Amerika keturunan India.
Jika seseorang menyebutnya dengan nama Jesus maka beliau akan datang dalam wujud Jesus Kristus; jika seseorang memanggil-Nya dengan nama Kåûóa maka beliau akan datang dalam wujud Kåûóa. Bahkan seorang penyembah Tuhan yang amat terkenal di India menyebut Tuhan dengan panggilan “Asmin” yang berarti “Itu” dalam sloka kedua dari naskah Nàrada Bhakti Sùtra. Para orang suci Islam, kaum Sufi mengatakan bahwa “kemanapun kau menoleh, disanalah wajah Allah berada”
Dalam segala jenis pemujaan, pada tingkatan terakhir mereka aka bersatu dengan nama dan wujud yang mereka puja. Lihatlah tulisan orang suci Prancis Assisi atau para mistik Sufi atau Úrì Caitanya atau Úrì Ràmàkåûóa Paramahaýsa.
      Úrì Caitanya menangis dalam pemujaan kepada Viþþhala, sedangkan Úrì Ràmàkåûóa Paramahaýsa memuja dewi Kalì. Namun jika seseorang mempelajarinya lebih dalam, maka ia akan menyadari bahwa yang absolut tidak memiliki nama atau wujud dan berada diluar gambaran manusia. Mereka (para orang suci) memulai pencarian mereka dengan terikat pada nàma dan rùpa hingga pada akhirnya akan melihat wujud Tuhan yang tanpa rùpa dan tak terbatas.
Kata Islam sendiri sebenarnya berarti “Menuruti kehendak Allah” dan kata Allah sendiri sebenarnya tidak memiliki makna yang layak untuk dipakai untuk mengartikannya. Seorang Muslim sejati, yang memuja Allah tanpa wujud dan rupa, tanpa nama, yang sebenarnya adalah kekuasaan tertinggi. Mereka akan menolak gelar sebagai “penganut Muhammad” karena kata itu akan berarti bahwa mereka memuja Muhammad. Semua Muslim yang sejati akan senantiasa meyakini kalimat Syahadat “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan-Nya” Allah adalah Tao dalam Taoisme, Brahman dalam ajaran Hindu, Ayin dalam kepercayan Yahudi, Kabbalah oleh para mistikus, atau Jehovah dalam kitab Perjanjian baru. Beliau tidak ternamakan, tidak terdefinisikan yang merupakan kekuatan asal munculnya segala sesuatu.
Tidak ada agama yang memonopoli Tuhan. Jika berani mengatakan demikian, maka itu sama saja dengan berkata, “Matahari hanya terbit di New York dan terbenam di pantai Honolulu” Matahari yang bersinar di setiap istana di New York dan kolam renang Beverly hills juga bersinar di setiap lorong got Calcuta dan gurun pasir Saudi Arabia serta medan pembantaian di Kamboja. Demikian juga Tuhan yang ada dalam Bhagavadgìtà juga ada dalam Injil dan Quran.

Apakah Hindu percaya pada perpindahan agama secara paksa?
Tidak, sama sekali tidak. Seorang penganut Hindu yang sejati tidak pernah mengajak seeorang untuk mengikuti kepercayaannya, namun Hindu akan dengan senang hati  menerima siapa saja yang ingin bergabung dengan Hindu berdasarkan rasa cintanya kepada Hindu. Bhagavad Gìtà sendiri menyarankan bahwa seseorang hendaknya mengikuti kepercayaannya sendiri, kepercayaan yang telah dianutnya. Hindu tidak pernah membuat janji-janji kosong agar semua orang mau bergabung di dalamnya.
Sebagaimana penganut Hindu, umat Yahudi, juga sangat toleran dengan penganut lain. Yahudi tidak pernah memaksa seseorang untuk masuk ke dalam agama mereka. Memang ada banyak sekali perubahan dalam ajaran Judaisme (agama Yahudi) namun penganutnya tidak pernah mempropaganda-kannya. Pada batas tertentu, Judaisme itu sama dengan prinsip-prinsip Hindu, yaitu suatu jalan hidup.
Disamping itu, Hindu memandang agama sebagai ilmu pengetahuan dasar. Pernahkah kau mendengar seseorang diubah menjadi Kimia India atau Fisika Inggris? Jadi, sangat mustahil walau hanya untuk membahas perubahan-perubahan. Hanya ada satu kebenaran. Kita semua memiliki hak yang sama untuk mendapatkan kebenaran itu, sebagaimana kita memiliki hak yang sama terhadap pengaruh ajaran Ràmaóa India, atau teori Kuantum Einstein, yang orang Yahudi atau eksperimen Thomas Alpa Edison, yang orang Amerika. Bhagavad Gìtà, Injil, Quran, Torah, Dharmapada dan yang lainnya, terbuka untuk semua orang. Kita semua memiliki hak yang sama untuk mengutip ajaran Kristus, Kåûóa, Lao-tse, Socrates, atau Muhammad dalam kalimat yang sama. Sebagaimana halnya semua pengetahuan terbuka untuk siapa saja, demikian pula semua agama.

Apakah Hindu mentoleransi ajaran agama lain?
Dalam ajaran Hindu, toleransi bukan hanya masalah politik, namun masalah keyakinan. Sejarawan seperti H.G. Wells mengatakan bahwa raja-raja Hindu sebenarnya menyambut dengan tangan terbuka para misionaris Kristen, fakir Muslim dan bhikûu Buddha dengan kebebasan dalam bertukar pendapat dan ide. Kenyataannya, Ràja Hindu terbesar pada jamannya yaitu Aúoka (269-232 sebelum Masehi), berganti agama menjadi Buddha dan menyebarkan ajaran Buddha di seluruh India. “Hukum Dharma” atau kebajikan serta pembacaan tulisan yang ditinggalkan oleh Aúoka dalam berbagai batu dan pilar diseluruh India sama bersejarahnya dengan betapa peninggalan “Hak asasi” di Amerika Serikat. Nak, jika kau hanya ingin mempelajari salah seorang dari sekian banyak raja-raja India maka hendaknya kau mempelajari kisah Aúoka saja. Dalam catatan sejarahnya, H.G. Wells, yang tak pernah memuji seorang rajapun, membuat perkecualian pada raja Aúoka dan menulis, “Nama Aúoka, bersinar hampir sebagai satu-satunya bintang dalam sejarah dunia.”
Ràja Hindu terkenal lainnya dari Kerala, Cheraman Perumal, (742-826 sesudah Masehi) beralih ke agama Islam dan mening-galkan India dan kemudian wafat di Mekah. Salah seorang murid Kristus, Saint Thomas, sepenuhnya setuju datang ke Madras, India, untuk menyebarkan agama Kristen, dan kemudian wafat di Mylapore, Madras. Benar-benar merupakan kenyataan bahwa pada tahun 70 sesudah Masehi, ketika orang-orang Romawi menjadikan para penganut Kristen sebagai makanan singa-singa liar di Eropa, pada saat itu umat Kristen di Kerala berdoa di gereja-gereja untuk Saint Thomas.
Bahkan sekarang, ketika kaum Yahudi dibantai diseluruh dunia, di Cochin India, mereka mendapatkan kebebasan mutlak dalam melakukan kegiatan agama dalam sinagoge-nya. (Kaum Yahudi datang ke India pada tahun kelima sesudah Masehi). Sebenarnya beberapa orang Yahudi yang pergi ke Israel dari Kerala, telah kembali ke India karena India adalah tanah air dan bangsa yang penuh toleransi. Sekarang ini, dimana peraturan Internasional menyatakan bahwa umat Yahudi tidak dapat diubah menjadi Kristen di Israel, ketika seseorang bahkan tidak diperbolehkan membawa salinan Injil di Saudi Arabia, ketika seseorang tidak dapat mengubah umat Muslim menjadi Kristen di Malaysia, maka ribuan umat Hindu sedang dalam proses digiring menjadi umat Kristen di India. Sekarang ini India memiliki seminari Katolik terbanyak di dunia yaitu sekitar 3 856 buah.
Seorang penganut Hindu yang sejati, tak akan pernah menghina agama lain. Mereka senantiasa menerima setiap kebenaran yang terdapat dalam setiap agama. Orang suci Hindu akan dengan senang hati membacakan kitab Injil atau Quran dihadapan para pemuja atau murid-muridnya. Swàmì Vivekànanda berkata, “Aku bangga menjadi penganut agama yang mengajarkan toleransi dan penerimaan universal pada seluruh dunia. Kami tidak hanya mempercayai toleransi universal, tapi kami juga menerima semua agama sebagai kebenaran. Sebagaimana halnya aliran sungai dari berbagai sumber mengalir ke lautan, maka berbagai jalan yang ditempuh, meskipun tampak berbeda, berkelok-kelok ataupun lurus, semuanya menuju kepada Tuhan.”

Apakah Hindu mengijinkan umatnya mempelajari ajaran agama lain?
Tentu saja anakku, Hinduisme tidak saja mengijinkan, namun juga menyarankan kepada umatnya untuk mencari kebenaran dari berbagai sumber. Namun Hindu secara tegas melarang untuk membanding-bandingkan antara satu keper-cayaan dengan lainnya. Karena semua metoda itu benar, dan semua membawa kepada kesadaran Tuhan. Setelah mempela-jari Hindu dengan baik, maka seorang penganut Hindu hendak-nya membaca dan mempelajari semua agama yang benar. Maka pada saat itulah ia akan menemukan bahwa Hindu adalah ensiklopedia agama-agama dan sepenuhnya dapat memahami keagungan Kristus, arti dari penyerahan diri para Sufi, dan arti penting dari sepuluh perintah. Jika seseorang memahami Hindu dengan baik, maka ia dengan segera akan dapat menyadari daya tarik kitab suci agama lain seperti Quran, Injil, Adigrantha dan sebagainya, untuk dibaca.
Salah satu puràóa besar Hindu, Úrìmad Bhàgavatam, menyatakan, “Seperti seekor lebah madu, yang mengumpulkan madu dari berbagai bunga yang berbeda-beda, maka demikianlah seorang yang bijak akan menyerap intisari dari berbagai kitab suci dan hanya melihat kebajikan dalam setiap agama tersebut.” Dengan konsep seperti itu, seorang Hindu hendaknya lebih berminat lagi untuk mempelajari kitab suci lainnya.

Apakah Hindu memiliki seorang pemimpin spiritual?
Tidak. Seperti yang telah aku katakan, bahwa dalam Hindu tidak ada Hierarki. Salah seorang suci Hindu masa lampau, Adi Úaòkara, mendirikan tempat suci di setiap sudut India, yang dikenal sebagai Úaòkara Math. Keempatnya itu adalah Úåògeri (Mysore), Badrinàth (Himàlaya), Dvàraka (Gujaret) dan Puri (Orissa). Para pendeta pemimpin dari setiap pusat spiritual itu disebut Úaòkaràcàrya dan para pendeta disana mengajar segala aspek Hinduisme kepada orang-orang Hindu. Namun tentu saja pusat-pusat spiritualitas ini tidak memiliki hak untuk mengatur kehendak setiap umatnya. Selain empat tempat yang disebutkan tadi, ada banyak sekali pusat-pusat spiritual di India. Masing-masing berdiri sendiri, dan semuanya menyebar luaskan ide-ide ajaran Hindu dengan caranya sendiri, tanpa saling mengkritik satu sama lain.
Tidak ada kelompok yang dikucilkan atau direndahkan dalam ajaran Hindu. Hindu banyak memiliki pembaharu seperti Buddha (yang menolak otoritas kitab-kitab Veda) dan Adi Úaòkara (yang menyebar luaskan ajaran filsafat Advaita), namun Hindu tak akan pernah dan tak ingin memiliki seorang Martin Luther, karena ia terbuka bagi segala macam kritik dari segala penjuru.
Ayah, mungkinkah kita dapat mengungkapkan Kebenaran yang sifatnya “HALUS” dalam sebuah kalimat yang sederhana? Sanggupkah pikiran manusia menyadari Kebenaran Tertinggi?
Aku harus menjawab “tidak” untuk pertanyaan ini. Hindu memulainya dengan Úruti - ‘sesuatu yang didengar”. Master-master spiritual jaman Veda seperti Kristus, yang disebut para åûi, telah mendapatkan kebenaran abadi dalam batinnya dan mengajarkan kepada murid-muridnya melalui transmisi pikiran yang lazim disebut telepati. Hanya setelah itulah baru muncul bahasa Sanskreta dan bahasa Pali. Selama waktu yang cukup lama, tidak pernah ada teks naskah yang tertulis. Kitab Veda dan Upaniûad diajarkan dalam bentuk úloka yang dilagukan.
Kita tahu bahwa pikiran adalah media terbaik untuk mema-hami pengetahuan yang sejati, akan tetapi karena kita tidak dapat melakukan transfer pikiran seperti itu, maka kita mengungkapkannya dalam bentuk bahasa. Bahasa Verbal akan lebih baik daripada bahasa tertulis dalam mengung-kapkan pemikiran. Pada masa lampau, bahasa Sanskreta, Pali, Latin, Yunani dan bahasa Yahudi dipergunakan untuk mengungkapkan ajaran kebenaran. Dikatakan bahwa Jesus berkata dalam bahasa Armenian dan beberapa tahun setelah penyalibannya, Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yahudi, Aramaic dan Yunani. Perjanjian Baru masih menyimpan beberapa pernyataan dalam bahasa Aramaic, seperti “Eli, Eli, Lama Sabachthani” yang artinya “Tuhan mengapa Engkau meninggalkan aku?” (Matius 27 : 46). Pada abad ke 15, Injil dalam bahasa Inggris yang pertama kali telah ditulis oleh William Tyndale (1525). Namun sayang, ia dituduh bersalah dan dibakar pada sebuah tiang kayu.
Setelah Tyndale, tujuh Injil dalam versi Inggris ditulis dimana yang terakhir adalah buatan raja James, yang disusun oleh sejumlah besar teologist dibawah pimpinan raja James Inggris pada tahun 1611. Namun sangat disayangkan, Injil karya raja James ini memiliki lebih dari tigaratus kesalahan didalam-nya (“How we got the Bible”, Neil R. Lightfoot). Ini hanya akan membuktikan bahwa betapa sulitnya untuk menuliskan pemikiran dalam kata-kata. Disamping itu, Injil juga dipenuhi sejumlah simbol seperti misalnya, angka 666 yang berarti anti Kristen dan angka 12 yang berarti kemampuan spiritual. Segala hal baik dalam kitab Injil diasosiasikan dengan angka, seperti: dua belas murid utama Kristus, dua belas putra Jakob, dua belas suku Israel dan sebagainya. Dengan adanya simbol-simbol seperti itu maka penter-jemahannya akan menjadi lebih sulit.
Bahasa Inggris sekarang ini telah dipakai oleh sebagian besar orang, kosa-katanya telah berkembang luas dan telah menjadi media utama untuk menyampaikan konsep pemikiran. Dengan demikian, bahasa Inggris mungkin merupakan satu-satunya bahasa di dunia yang dapat mengungkapkan kebenaran dalam format yang lebih mudah dipahami. Untunglah sekarang kita juga memiliki matematika, fisika dan pengetahuan lain untuk membantu kita memahami kebenaran yang lebih halus.
Disamping itu, pemahaman adalah sesuatu yang sifatnya sangat pribadi. Misalkan, “E = m. c 2” mungkin hanya akan menjadi sekumpulan huruf bagi orang awam, namun akan menjadi sangat berarti bagi siswa Ilmiah. Jadi, kebenaran abadi hanya dapat dipahami jika kita memiliki tingkat pemahaman yang tinggi. Ini berlaku untuk semua agama. Hindu, Kristen, Islam dan agama-agama lainnya.
Taoisme menyatakan bahwa kesan-kesan dan pengalaman hidup tak dapat diungkapkan dalam kata-kata. Mistikus China Lao-tse menyatakan bahwa “Ia yang tahu tak akan mengatakan dan mereka yang mengatakannya, tak pernah tahu”. Ini  menunjukkan bahwa kebenaran yang halus sebenarnya tak dapat diungkapkan dengan kata-kata, karena kata-kata hanya akan mengurangi kadar kebenarannya. Mungkin akan lebih tepat jika disimpulkan bahwa pikiran manusia tak akan pernah dapat menangkap kebenaran tertinggi alam semesta ini.
Memang Einstein telah berusaha untuk mengembangkan suatu bidang teori yang disatukan untuk menjelaskan teka-teki alam semesta, namun ia gagal sama sekali. Hingga akhirnya ia menyerah dan berkata, “Pikiran manusia tak sanggup memahami kebenaran alam semesta. Kita ibarat seorang anak kecil yang memasuki sebuah perpustakaan sangat luas.” Gautama Buddha juga dengan jelas menyatakan bahwa hanya dengan mengatasi tingkat kesadaran diatas kesadaran manusia sajalah seseorang dapat memahami realitas tertinggi. Mungkin itulah alasannya mengapa Buddha, yang meninggalkan negaranya sebagai seorang pangeran remaja untuk mendapatkan jawaban mengatasi masa tua, penyakit dan kematian, akhirnya kembali dengan delapan macam jalan yang terkenal itu, untuk mencapai Nirvàóa. Jika ada kebenaran yang dapat ditransfer dari rahasia alam semesta ini, maka master-master spiritual seperti Kristus, Buddha dan sebagainya pasti akan memberitahukannya kepada dunia. Karena jawaban rahasia ini masih sangat tidak jelas bagi kebanyakan dari kita, maka kita harus menghadapi kenyataan bahwa kebenaran tertinggi berada diluar jangkauan pikiran dan persepsi dualitas.
Sekarang ini, terkurung oleh kursi rodanya, tak sanggup bicara dan lumpuh oleh penyakit yang tak tersembuhkan, ilmuwan besar Inggris Stephen Hawking mencari teori penyatuan agung, yang akan menjelaskan seluruh teka-teki alam semesta. Akankah ia berhasil? Sanggupkah ia membuka tabir alam semesta ini? Itu adalah pertanyaan satu milyar dolar. Teori Issac Newton tentang alam semesta telah sempurna, linier dan dapat diprediksi. Namun Teori Eisntein menjadi sangat sulit diprediksi dan mengambil pola-pola tertentu. Sedangkan para ilmuwan sekarang menyatakan bahwa alam semesta ini membingungkan dan tak dapat diduga.

Apakah ayah benar-benar berpendapat bahwa kata-kata dapat disalah-artikan atau salah penafsiran?
Ya, begitulah. Karena kurangnya kosa-kata dalam bahasa Aramaic, maka Kristus terpaksa menggunakan kata-kata “kerajaanku” dan “aku adalah Ràja” untuk menjelaskan kebenaran halus tentang spiritual kepada seseorang. Akan tetapi kata-kata inilah yang membuat pembesar Romawi marah besar, karena bagi mereka kata-kata itu merupakan penghinaan terhadap keberadaan mereka sebagai penguasa.
Lihatlah cara hidup kaum Sufi. Sebagaimana halnya seorang master Hindu tercerahi yang berkata, “Aku adalah Brahman,” setiap orang dari mereka pasti akan berkata, “Aku adalah Tuhan”. Akan tetapi Islam fundamentalis pada masa itu, tak dapat sepenuhnya menyadari kedalaman arti dari pernyataan kaum Sufi agungnya, hingga kelompok orang suci itu dibasminya. Melalui perjalanan sejarah, kita tahu bahwa ada banyak contoh kesalahpahaman semacam itu, karena kurangnya kosa-kata dalam suatu bahasa. Kristus mengajarkan berbagai cerita perumpamaan dan kita juga memiliki kisah sejenis untuk menjelaskan kebenaran halus tentang alam semesta. Aku rasa jika Kristus dan Kåûóa atau Buddha kembali pada masa sekarang ini, maka mereka mungkin akan menggunakan elektron, DNA, elektromagnetik dan konsep-konsep ilmiah lain, untuk menjelaskan kebenaran halus ini.

Ayah, apakah ayah berpendapat bahwa sejarah dan tradisi memiliki peran penting dalam setiap Kitab Suci?
Sangat tepat sekali. Sejarah Hinduisme merupakan proses pemikiran yang berkembang secara perlahan. Oleh karena itulah dalam Åg Veda kita menemukan suatu komunitas nomaden yang mendiami tepian sungai Indus, yang memuja dewa-dewi alam dan menyatakan, “Dari semua ini, siapakah yang tahu dan siapa yang berani menyatakan darimana asal semua ini dan bagaimana proses penciptaan terjadi?”
Lihatlah salah satu kitab Hindu tertua, yang dinamakan Manusmåti. Buku “Hukum Manu” merupakan sejarah dari masyarakat nomaden yang berdiam di tepi sungai Indus. Dalam perioda Åg Veda, dikisahkan bahwa para Àrya senang berperang, dan minum-minuman serta berjudi merupakan bagian dari budaya hidup mereka. Mereka yang senang minum minuman sura ini dikenal sebagai Sura atau para Deva, sedangkan yang menolaknya dikenal sebagai Asura. Dalam buku ini kau juga akan melihat bagaimana Manu membatasi gerak dan kebebasan para wanita. Ia juga memberikan satu pondasi tentang pelaksanaan sistem kasta pada jaman modern sekarang ini.
Demikian juga kitab Perjanjian Lama, yang memberitahu kita tentang adanya eksodus kaum Yahudi dari Mesir, yang menggambarkan masyarakat yang diperbudak. Perjanjian Lama merupakan sejarah sebenarnya dari bangsa Yahudi pada waktu itu. Jadi aku sepenuhnya sangat setuju dengan pendapatmu, bahwa hampir semua kitab suci merupakan bagian dari sejarah dan tradisi.

Apakah metafora (perumpamaan) merupakan salah satu gaya bahasa Kitab Suci?
Mungkin banyak orang yang tidak setuju denganku, namun aku harus mengatakan bahwa metafora (perumpamaan) merupakan bagian dari semua kitab suci keagamaan. Bahasa puisi dari para orang suci jaman dahulu digunakan sebagai media untuk mengungkapkan suatu kebenaran. Dalam setiap agama orang akan senantiasa berhadapan dengan gaya bahasa seperti yang terdapat dalam buku “Lotus Eaters” oleh Tennyson.
Jadi kitab suci harus benar-benar dihayati untuk menda-patkan arti yang tersirat dari sebuah puisi atau susunan kata yang tersurat. Pada tanggal 14 desember 1990, Úrì Paus John Paul memperingatkan umat Kristen akan kesalahan interpretasi dari kitab Injil. Beliau berkata, “kitab Injil digubah oleh Tuhan, akan tetapi orang yang menyusunnya kembali juga adalah penggubah sejati”. Beliau juga menyatakan bahwa kitab Injil telah kehilangan banyak keaslian pesan-pesannya karena penterjemahannya yang terlalu didasarkan pada kenyataan yang dapat diobservasi.

Apakah ayah mengatakan ada sifat seorang penyair dalam diri orang suci dan bahwa semua penulisan berisi Kebenaran dan juga terwarnai imajinasi orang suci yang menyusunnya? 
Kau mengatakan hal yang benar. Aku tak sanggup mengata-kannya dalam kata-kata yang benar. Jadi, kitab suci hendaknya tidak diartikan kata-perkata, namun lebih dihayati secara mendalam sehingga ditemukan kebenaran yang tersirat didalamnya. Ini berlaku bagi Hinduisme dan semua agama lainnya, termasuk Kristen.

Ayah, apakah atheisme? Apakah atheis dengan agnostik itu satu dan sama?
Kata ‘theisme’ berarti “percaya kepada Tuhan atau para dewa.” Jadi kata “atheisme” berarti lawan dari theisme atau ketidak percayaan akan keberadaan Tuhan. Jadi dengan kalimat pendek dapat dikatakan bahwa mereka yang tidak percaya dengan Tuhan adalah seorang atheis.
Sebaliknya, seorang agnostik adalah mereka yang mem-percayai adanya kekuasaan diluar jangkauan pikiran manusia. Seorang agnostik mungkin percaya atau mungkin juga tidak, tentang keberadaan Tuhan. Jadi istilah “gnostik” dan “agnostik” sebenarnya diungkapkan oleh seorang pemikir dan filsuf, Thomas Huxley pada tahun 1869. “Gnostik” berasal dari kata Yunani “gnosis” yang berarti ‘mengetahui’.  
Penjelasan terbaik untuk kedua istilah ini mungkin terdapat dalam Esklipodia Katolik yang berbunyi, “seorang agnostik bukanlah seorang atheis. Seorang atheis menolak keberadaan Tuhan, sedangkan seorang agnostik menyatakan ketidak-tahuan tentang keberadaan Tuhan. Untuk kalimat terakhir ini, Tuhan mungkin saja ada, namun akal sehat tak dapat membuktikan ataupun menyangkalnya.”

Apakah ayah berkata bahwa kebanyakan orang adalah agnostik?
Aku cenderung mengatakan bahwa beberapa orang intelektual kita adalah agnostik, namun pada saat yang sama, kebanyakan dari mereka yang tak terpelajar merupakan penganut suatu keyakinan. Kebanyakan agama-agama yang ada menggunakan propaganda takut akan Tuhan dan neraka sebagai motivasi agar orang percaya kepadanya. Namun ini tidak dijumpai dalam ajaran Hindu, dimana semua kepercayaan, agnostik dan kaum atheis dapat hidup rukun berdampingan. Mari kita lihat kasus Bertrand Russell. Kebanyakan orang meng-anggapnya sebagai atheis. Namun sebenarnya ia adalah seorang agnostik. Ia menanyakan segalanya namun tak pernah sampai pada kesimpulan dari pertanyaannya. Satu-satunya kesalahan yang dibuatnya adalah menulis sebuah buku yang berjudul “Why I am not a Crishtian (Mengapa saya bukan seorang Kristen?)”, seharusnya ia tidak memberi judul demikian, karena ia tak berhak untuk melukai perasaan jutaan umat Kristen di seantero jagat ini. Seharusnya ia memberi judul “The Doubts I have about World Religions.” Ini akan menyelamat-kannya dari berbagai kritikan yang mencercanya dari segala penjuru termasuk pelarangan bekerja di kota New York.
Sejujurnya, aku tak berpikir ia selalu menulis bahwa Tuhan itu tidak ada. Karena itu bertentangan dengan gayanya, menolak atau menyetujui sesuatu yang tidak diketahuinya dengan jelas. Russell tidak menyangkal adanya Tuhan, karena ia tidak dapat mendefinisikan Tuhan. Yang berada pada sudut pandang Hindu, orang akan dengan mudah mengagumi orang-orang seperti Russell, Freud dan Darwin.
Hindu memiliki bagian yang atheis dan agnostik, filsafat Càrvàka dan pada batas tertentu filsafat Vaiúeûika yang mempertanyakan keberadaan kepribadian Tuhan. Åûi Kaóàda salah seorang pendiri aliran filsafat ini hanya menyatakan Tuhan, sebagai “Itu (tat)” dalam seluruh tulisannya.

Ayah, apakah ayah mengatakan bahwa seorang agnostik akan menjadi agnostik selamanya?
Semua kitab Hindu menunjukkan kenyatakan bahwa agnostisme adalah titik awal dari pencarian Tuhan yang tanpa akhir. Seperti halnya sejumput garam yang ingin mengetahui kedalaman samudra dan kemudian menjadi bagian dari samudra luas, seorang agnostik yang sejati akan menyadari kebenaran abadi jika ia terus melanjutkan pencariannya. Akan tetapi seperti Buddha dan para orang suci lainnya, tak akan sanggup mejelaskan kebenaran yang dicapainya secara utuh kepada dunia, karena kebenaran itu berada diluar diskripsi kata dan sebagainya. Aku rasa kebanyakan para agnostik akan mencapai keadaan seperti J. Kåûóamùrti dan Buddha, asalkan mereka tidak mencari jawaban dengan menggunakan kemampuan intelektualnya, untuk menjawab teka teki alam semesta. Sebagai seorang anak yatim piatu, Kåûóamùrti, dipungut oleh almarhum Annie Besant untuk dipersiapkan sebagai pemimpin besar suatu Masyarakat Theosofi dunia. Akan tetapi setelah waktu berlalu Kåûóamùrti melampaui segala kedudukan dan kekuasaan, dan mem-pertanyakan integritas setiap mahluk yang terdapat dalam setiap agama. Akhirnya ia menjadi institusi pada dirinya sendiri tanpa sedikitpun ada keakuan. Tentu saja Kåûóamùrti sama sekali bukanlah seorang agnostik. Beliau adalah seorang yang berpikiran logis dengan kemampuan luar biasa. Dengan demikian, selama menyangkut masalah Hinduisme, agnostisme merupakan titik awal dari pengejaran kebenaran tanpa akhir.

Ayah, apakah ayah percaya pada Tuhan?
Nak, ayah lahir dalam sebuah keluarga yang taat pada agama dan karena itulah ayah percaya kepada Tuhan dan bahkan kadang-kadang pada kepribadian Tuhan. Kadang-kadang aku memandang Tuhan sebagai sesuatu yang tidak berperasaan ataupun tanpa kesadaran.  Konsepku tentang Tuhan selalu berubah menurut situasi dan kondisi. Ketika masih remaja, aku tidak kesulitan untuk membayangkan-‘Nya’ sebagai Úrì Kåûóa, namun setelah beranjak dewasa, aku mulai melihat-‘Nya’ sebagai sumber kekuatan, sesuatu yang berada diluar imajinasiku yang liar. Tentu saja aku tak masalah mendengar orang yang melukiskan-‘Nya’ sebagai Kåûóa atau Jesus, Allah, Jehovah atau Buddha. Aku juga tidak berkeberatan jika ada yang menyebut-Nya sebagai “Itu”, yang tak berwujud, tak berubah, tak terbatas waktu, dan hal yang tak tergambarkan. Satu hal yang aku tahu pasti bahwa kita semua adalah bagian dari alam semesta ini. Kita hanya merupakan sebuah alat dari sebuah energi yang tidak kita ketahui keberadaannya. Pada satu sisi kita hanyalah paduan bahan kimia, kita hanyalah susunan dari molekul DNA dan disisi lain kita adalah mahluk yang memiliki kesadaran.
Sejujurnya, aku selalu berada dalam keadaan kehilangan total setiap kali berpikir tentang Tuhan. Aku tidak tahu harus memulai darimana, semakin aku mempelajariNya, semakin aku mempelajari ilmu pengetahuan modern, maka semakin besar keingintahuanku terhadap Tuhan dan alam semesta. Itu bukan berarti bahwa agama memiliki semua jawaban. Semua agama didunia ini kebanyakan belum sepenuhnya mengekspresikan segala prinsip spiritual yang ada didalamnya. Oleh karena itu, kurangnya jawaban yang tepat membuatku menjadi semakin rendah diri. Sekarang aku baru menyadari bahwa kita hanya tahu sedikit saja tentang diri kita dan tentang alam semesta ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar