Senin, 21 Mei 2012

Wayang Tantri


Friday, 18 February 2011 04:33 Wayang-Indonesia
Wayang Kulit Tantri diciptakan pada tahun 1987, oleh Dalang            I Wayan Wija (52 tahun) dari Banjar Babakan, Desa Sukawati, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali. 
Wija menciptakan Wayang Kulit Tantri1 berawal dari keinginan menampilkan khasanah yang berbeda dari bentuk pewayangan Bali yang sudah ada. Lebih jauh ia ingin memvisualisasikan ceritera tantri (Tantri Kamandaka) yang banyak berkisah tentang tabiat/perilaku hewan dan binatang. Dalang Wija sepertinya berjodoh dengan satwa (ceritera) tantri, karena ia bisa bebas berkreativitas diluar norma pakem pewayangan tradisi yang ketat. Dalang Wija diakui memiliki kemampuan lebih selain suara/tembang (vokal) sangat empuk dan memikat serta kemampuan tetikesan (Jawa: sabet) sangat terampil. Figur-figur Wayang Kulit Tantri garapan Wija sepintas tak jauh beda dengan wayang kulit tradisi Bali lainnya, hal itu disebabkan ia masih tunduk dengan pola wayang tradisi dan tidak berani berinovasi terlalu tajam, serta mengkhawatirkan dapat cemohan dari masyarakat pencinta pewayangan. Hal ini disebabkan norma-norma dalam seni tradisional lebih ketat dari seni modern, selain itu individu-individu kretaif tidak pernah dapat membuang begitu saja warisan budaya yang masih hidup, karena masih relevan sebagai titik tolak untuk menciptakan bentuk-bentuk yang baru. Namun demikian inovasi wayang yang berhasil ia ciptakan antara lain, kayonan dengan motif pagoda/meru (tempat suci) tumpang tujuh di tengah dengan latar belakang pepohonan bercorak dekoratif lengkap tertatah binatang seperti singa, banteng, kera, burung, dan puncaknya menur/murda. Sedangkan di bawah meru ditopang empas (kura-kura) dililit oleh dua ekor naga dengan ekor menjulur ke atas. Gagasan ini terinspirasi dari ceritera “pamuteran Mandaragiri” (Adi Parwa), mengisahkan perebutan tirta amerta antara para dewa dengan para raksasa dengan memutar gunung Mandara dengan lilitan seekor naga di lautan susu, supaya gunung tidak tenggelam kura-kura besar (empas) menopangnya dari dasar gunung.2 Wija juga menambahkan beberapa tokoh panakawan seperti, pan kayan; pangkur; kembar; wijil dan “panakawan sisipan” lainnya. Termasuk pula hewan dan binatang-binatang dimana dua kaki di depan terlepas (diberi katik/tangkai) dengan posisi berdiri seperti, lembu, singa, anjing, kodok, kelinci dan yang lainnya. Demikian juga kelompok burung kedua sayap lehernya terlepas dan pada ujung sayap dipasang tangkai seperti, angsa, bebek, cangak, dan burung atat. Disamping itu ia juga menambahkan beberapa binatang seperti, jerapah; orang hutan; menjangan, zebra, kangguru dan yang lainnya.3 Inovasi wayang yang paling mutakhir dari karya dalang Wija adalah “Barong”, transformasi Barong (binatang totem) dalam dramatari Calonarang. Dari kemampuan menatah dan tikes/sabet, Wija berhasil menghidupkan wayang barong yang berisi empat tangkai (satu di kepala, dua di kaki depan, dan satu lagi pada kaki belakang) dengan kedua tangannya. Sebuah teknik tetikasan/sabet tersulit yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh dalang-dalang lainnya di Bali, bahkan ia bisa melakukannya dengan satu tangan kanan (tangan kiri memegang tokoh Rangda/Calonarang ketika adegan siat/perang). Diiringi instrumen gamelan palegongan, sajian Wija semakin menarik dan asyik ditonton, karena gamelan ini berlaras pelog memungkinkan ia bisa bebas berolah vokal tidak seperti gamelan gender dengan laras slendro untuk bervariasi tandak (gending) sangat terbatas. Namun demikian, dalang Wija masih patuh dan mengikuti struktur pertunjukan wayang konvensional, dimulai dari gending pategak (Jawa: talu), pamungkah, jejer/simping (dramatik personae), cabut kayon, petangkilan (paseban), angkat-angkatan (keberangkatan tokoh dan pasukan), rebong (adegan romantis), bapang (khusus keluar panakawan Delem), pasiat, dan bugari (penutup). Para dalang di wilayah kelahirannya (Babakan, Sukawati) mengakui, termasuk seniman akademis memberikan apresiasi yang sama terhadap keunggulan vokal, tikes/sabet, dan keterampilan Wija membuat dan menatah wayang kulit. Hal tersebut dibuktikan ketika mendapat predikat I dalam festival Wayang Kulit Ramayana se-Bali tahun 1982. Dan berkat kepiawaiannya itu, ia beberapa kali diundang pentas ’ngwayang’ ke luar negeri antara lain, Amerika Serikat (1982), Jepang (1983). Wija yang sempat mengajar di SMKI/SMK3 (1984-1990) dan STSI Denpasar (1990 – 1999), ia juga turut misi kesenian pada Asia Pacific Festival di Vancouver (1985). Pada tahun 1992 dia tampil di India dan melanjutkan perjalananya ke Amerika bergabung dengan Mabou Mimes Theatre Company. Wija bertemu dengan dalang asing Larry Reed (AS) lantas berkolaborasi menggarap wayang raksasa dengan kelir lebar dan tata cahaya listrik yang kemudian disebut wayang listrik.
Pada tanggal 1 Agustus 1998, Dinas Kebudayaan Daerah Bali mengambil inisiatif untuk melakukan “Sarasehan Wayang Tantri” melibatkan seniman dalang, pengrawit, pembina dalang/wayang, dan birokrat dari sembilan kabupaten dan kodya se-Bali dengan dua pembicara yakni, I Made Persib, B.A., (pemrakarsa dan dalang awal Wayang Kulit Tantri dan guru pedalangan SMK3 Sukawati, Gianyar, Bali); dan Drs. I Nyoman Suarka, M.Hum. (dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar) dan I Dewa Ketut Wicaksana, SSP., M.Hum. (STSI Denpasar), sebagai pemandunya. Hasil sarasehan tersebut digunakan sebagai bahan acuan dalam rangka ’Parade Wayang Kulit Tantri se-Bali’ tahun 1999.4
---------------------
 1Wayang Kulit Tantri semula muncul di ASTI Denpasar dengan dalang I Made Persib, B.A. dalam rangka Festival IKI (Institut Kesenian Indonesia) di Bandung tahun 1980. Lakonnya Pedanda Baka (Cangak Maketu) dengan iringan gamelan Semarpagulingan tujuh nada.
 2I Dewa Ketut Wicaksana, Kekayonan Wayang Kulit Bali: Analisis Bentuk, Fungsi dan Makna Simbolis-nya, Laporan Penelitian STSI Denpasar, 1999, p.12. Penelitian ini juga diseminarkan di STSI Denpasar, pada tanggal 2 Januari 1999 serta dipublikasikan pada Jurnal Seni Budaya MUDRA, no. 7, Th. VII, STSI Denpasar, Februari 1999, pp.75-88
3Kadek Suartaya, SSKar., M.Si., “Wayang Menggeliat Menyiasati Zaman” dalam Koran Tempo, Jakarta, Minggu, 5 Mei 2002. Dalang I Wayan Wija juga merancang ’Wayang Dinosaurus’, berkisah tentang binatang-binatang purba.
4Laporan Parade dan Sarasehan Wayang Kulit Tantri, Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali, 1998/1999. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar