Friday,
18 February 2011 04:33 Wayang-Indonesia
Wayang Kulit Tantri diciptakan pada tahun 1987, oleh Dalang I Wayan Wija (52 tahun) dari Banjar Babakan, Desa Sukawati, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali.
Wija menciptakan Wayang
Kulit Tantri1 berawal dari keinginan menampilkan khasanah yang berbeda
dari bentuk pewayangan Bali yang sudah ada. Lebih jauh ia ingin
memvisualisasikan ceritera tantri (Tantri Kamandaka) yang banyak
berkisah tentang tabiat/perilaku hewan dan binatang. Dalang Wija sepertinya
berjodoh dengan satwa (ceritera) tantri, karena ia bisa bebas
berkreativitas diluar norma pakem pewayangan tradisi yang ketat. Dalang Wija
diakui memiliki kemampuan lebih selain suara/tembang (vokal) sangat empuk dan
memikat serta kemampuan tetikesan (Jawa: sabet) sangat terampil.
Figur-figur Wayang Kulit Tantri garapan Wija sepintas tak jauh beda
dengan wayang kulit tradisi Bali lainnya, hal itu disebabkan ia masih tunduk
dengan pola wayang tradisi dan tidak berani berinovasi terlalu tajam, serta
mengkhawatirkan dapat cemohan dari masyarakat pencinta pewayangan. Hal ini
disebabkan norma-norma dalam seni tradisional lebih ketat dari seni modern,
selain itu individu-individu kretaif tidak pernah dapat membuang begitu saja
warisan budaya yang masih hidup, karena masih relevan sebagai titik tolak untuk
menciptakan bentuk-bentuk yang baru. Namun demikian inovasi wayang yang
berhasil ia ciptakan antara lain, kayonan dengan motif pagoda/meru
(tempat suci) tumpang tujuh di tengah dengan latar belakang pepohonan bercorak
dekoratif lengkap tertatah binatang seperti singa, banteng, kera, burung, dan
puncaknya menur/murda. Sedangkan di bawah meru
ditopang empas (kura-kura) dililit oleh dua ekor naga dengan ekor menjulur
ke atas. Gagasan ini terinspirasi dari ceritera “pamuteran Mandaragiri” (Adi
Parwa), mengisahkan perebutan tirta amerta antara para dewa dengan
para raksasa dengan memutar gunung Mandara dengan lilitan seekor naga di lautan
susu, supaya gunung tidak tenggelam kura-kura besar (empas) menopangnya
dari dasar gunung.2 Wija juga menambahkan beberapa tokoh panakawan seperti, pan
kayan; pangkur; kembar; wijil dan “panakawan sisipan” lainnya. Termasuk
pula hewan dan binatang-binatang dimana dua kaki di depan terlepas (diberi katik/tangkai)
dengan posisi berdiri seperti, lembu, singa, anjing, kodok, kelinci dan yang
lainnya. Demikian juga kelompok burung kedua sayap lehernya terlepas dan pada
ujung sayap dipasang tangkai seperti, angsa, bebek, cangak, dan burung atat.
Disamping itu ia juga menambahkan beberapa binatang seperti, jerapah; orang
hutan; menjangan, zebra, kangguru dan yang lainnya.3 Inovasi wayang yang paling mutakhir dari karya dalang
Wija adalah “Barong”, transformasi Barong (binatang totem) dalam
dramatari Calonarang. Dari kemampuan menatah dan tikes/sabet,
Wija berhasil menghidupkan wayang barong yang berisi empat tangkai (satu di
kepala, dua di kaki depan, dan satu lagi pada kaki belakang) dengan kedua
tangannya. Sebuah teknik tetikasan/sabet tersulit yang tidak mungkin
bisa dilakukan oleh dalang-dalang lainnya di Bali, bahkan ia bisa melakukannya
dengan satu tangan kanan (tangan kiri memegang tokoh Rangda/Calonarang
ketika adegan siat/perang). Diiringi instrumen gamelan palegongan,
sajian Wija semakin menarik dan asyik ditonton, karena gamelan ini berlaras pelog
memungkinkan ia bisa bebas berolah vokal tidak seperti gamelan gender
dengan laras slendro untuk bervariasi tandak (gending) sangat
terbatas. Namun demikian, dalang Wija masih patuh dan mengikuti struktur
pertunjukan wayang konvensional, dimulai dari gending pategak (Jawa: talu),
pamungkah, jejer/simping (dramatik personae), cabut kayon, petangkilan
(paseban), angkat-angkatan (keberangkatan tokoh dan pasukan), rebong (adegan
romantis), bapang (khusus keluar panakawan Delem), pasiat, dan
bugari (penutup). Para dalang di wilayah kelahirannya (Babakan, Sukawati)
mengakui, termasuk seniman akademis memberikan apresiasi yang sama terhadap keunggulan
vokal, tikes/sabet, dan keterampilan Wija membuat dan menatah wayang
kulit. Hal tersebut dibuktikan ketika mendapat predikat I dalam festival Wayang
Kulit Ramayana se-Bali tahun 1982. Dan berkat kepiawaiannya itu, ia beberapa
kali diundang pentas ’ngwayang’ ke luar negeri antara lain, Amerika
Serikat (1982), Jepang (1983). Wija yang sempat mengajar di SMKI/SMK3
(1984-1990) dan STSI Denpasar (1990 – 1999), ia juga turut misi kesenian pada Asia
Pacific Festival di Vancouver (1985). Pada tahun 1992 dia tampil di India
dan melanjutkan perjalananya ke Amerika bergabung dengan Mabou Mimes Theatre
Company. Wija bertemu dengan dalang asing Larry Reed (AS) lantas
berkolaborasi menggarap wayang raksasa dengan kelir lebar dan tata cahaya
listrik yang kemudian disebut wayang listrik.
Pada tanggal 1 Agustus 1998,
Dinas Kebudayaan Daerah Bali mengambil inisiatif untuk melakukan “Sarasehan
Wayang Tantri” melibatkan seniman dalang, pengrawit, pembina dalang/wayang, dan
birokrat dari sembilan kabupaten dan kodya se-Bali dengan dua pembicara yakni,
I Made Persib, B.A., (pemrakarsa dan dalang awal Wayang Kulit Tantri dan
guru pedalangan SMK3 Sukawati, Gianyar, Bali); dan Drs. I Nyoman Suarka, M.Hum.
(dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar) dan I Dewa Ketut
Wicaksana, SSP., M.Hum. (STSI Denpasar), sebagai pemandunya. Hasil sarasehan
tersebut digunakan sebagai bahan acuan dalam rangka ’Parade Wayang Kulit Tantri
se-Bali’ tahun 1999.4
---------------------
1Wayang Kulit Tantri semula muncul di ASTI Denpasar dengan
dalang I Made Persib, B.A. dalam rangka Festival IKI (Institut Kesenian
Indonesia) di Bandung tahun 1980. Lakonnya Pedanda Baka (Cangak Maketu)
dengan iringan gamelan Semarpagulingan tujuh nada.
2I Dewa Ketut Wicaksana, Kekayonan Wayang Kulit Bali:
Analisis Bentuk, Fungsi dan Makna Simbolis-nya, Laporan Penelitian STSI
Denpasar, 1999, p.12. Penelitian ini juga diseminarkan di STSI Denpasar, pada
tanggal 2 Januari 1999 serta dipublikasikan pada Jurnal Seni Budaya MUDRA,
no. 7, Th. VII, STSI Denpasar, Februari 1999, pp.75-88
3Kadek Suartaya, SSKar., M.Si., “Wayang Menggeliat
Menyiasati Zaman” dalam Koran Tempo, Jakarta, Minggu, 5 Mei 2002. Dalang
I Wayan Wija juga merancang ’Wayang Dinosaurus’, berkisah tentang
binatang-binatang purba.
4Laporan Parade dan Sarasehan Wayang Kulit Tantri, Dinas
Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali, 1998/1999.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar