KUTUKAN PADA PARA YÀDAWA
Ada sebuah tempat suci yang terkenal bernama Pióðàraka. Pada suatu
hari ketika beberapa pemuda Yàdawa sedang bermain-main, datanglah sekelompok
åûi. Anak-anak muda itu kemudian menghias seorang pemuda bernama Sàmba agar
tampak seperti seorang wanita hamil lalu membawanya pada para åûi itu. “Para
åûi sekalian, anda mengetahui segalanya mohon beritahukanlah kami apakah wanita
yang hamil ini akan melahirkan atau tidak.”
Para åûi yang sakti itu mengetahui bahwa anak-anak itu sedang
mempermainkan mereka, “Hai anak muda, Sàmba akan melahirkan sebuah gada dari
tubuhnya dan gada itu akan menghancurkan para Yàdawa.”
Ketika para åûi itu telah pergi, para Yàdawa menyadari bahwa
kata-kata para åûi itu memang terbukti dengan ditemukannya sebuah gada kecil di
balik pakaian Sàmba. Menyadari bencana yang mungkin akan terjadi, maka mereka
kemudian melaporkan hal itu pada raja Ugrasena. Sang raja kemudian
memerintahkan agar gada besi itu digosok-gosokkan agar perlahan-lahan hancur
menjadi abu dan ini membuat debu dari gada yang digosok itu bertebaran di
mana-mana. Namun ada sebuah bagian kecil dari gada ini yang tidak sempat
dihancurkan.
Dan bagian kecil dari gada itu kemudian ditelan oleh seekor ikan
yang selanjutnya ditangkap oleh seorang nelayan. Melalui nelayan ini, bagian
gada yang kecil itu kemudian menjadi milik seorang pemburu yang bernama Jara
yang memakai benda itu sebagai mata anak panahnya.
Sementara itu debu-debu besi itu kemudian terbawa sampai ke pantai
oleh ombak laut dan di pantai, debu itu menjadi tanaman semacam rumput
domdoman.
Di wilayah kerajaan para Yàdawa, mulai tampak berbagai pertanda
buruk. Gempa bumi merajalela dan sinar matahari mulai memudar Kåûóa telah
menyadari tentang apa yang akan menimpa bangsa Yàdawa, maka ia kemudian
mengumpulkan para Yàdawa dan berkata, “Aku tidak menyukai pertanda buruk ini.
Ini menandakan bahwa tidak aman lagi jika kita tinggal di Dwàraka. Ungsikan
para orang tua, anak kecil dan wanita ke sebuah tìrtha yang bernama
Úaòkhoddhara. Dan kita akan pergi ke tirtha Prabhàsa. Kita akan melakukan
penyucian diri dan memuja para dewa di sana.”
Maka para Yàdawa kemudian pergi ke Prabhàsa dengan menyeberangi
lautan dengan perahu. Di sana mereka mempersiapkan segala sesuatunya untuk
melakukan upacara persembahan. Akan tetapi takdir memang tidak bisa dihindari.
Para Yàdawa memiliki kebiasaan yang buruk yaitu minum anggur hingga kehilangan
kesadarannya. Dalam keadaan itu mereka saling membunuh sesama para Yàdawa. Jika
mereka kehabisan senjata maka mereka menggunakan batang rumput untuk saling
membunuh. Di tangan mereka, batang rumput itu berubah menjadi batang besi.
Demikianlah akhirnya bangsa Yàdawa hancur.
Balaràma kemudian pergi pesisir samudra luas dan melakukan yoga
untuk menghembuskan nafas terakhirnya. Sementara itu Kåûóa yang sangat sedih
atas kehancuran bangsanya duduk di bawah sebuah pohon beringin untuk melakukan
meditasi. Dan pada saat itu, Jara, seorang pemburu sedang mengejar seekor
kijang. Melalui sebuah semak belukar ia melihat kaki Kåûóa yang diduganya
sebagai kaki dari kijang itu. Oleh karena itu, ia kemudian melepaskan sebuah
anak panah. Dan ketika itu, ia melihat sasaran anak panahnya, ia melihat Kåûóa,
yang telah dipanahnya secara tidak sengaja.
Menyadari kesalahannya, Jara kemudian berlutut memohon ampun pada
Kåûóa, dan Kåûóa juga mengampuninya, karena pemburu itu melakukan tanpa sengaja.
Semua itu telah menjadi takdir yang maha kuasa.
Kåûóa kemudian melepaskan badan kasarnya, setelah memberkati Jara
dengan pembebasan, lalu naik ke kahyangan. Segera setelah kematian Kåûóa, semua
wilayah bangsa Yàdawa, kecuali tempat tinggal Kåûóa, ditelan oleh banjir besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar