Dari manapun datangnya pengetahuan, itulah disebut guru.
Beberapa tahun yang lalu, Yadu, yaitu leluhur dari para Yàdawa ini
menemui seorang pemuda yang terpelajar. “Darimana kau mempelajari semua itu ?
Siapa yang menjadi gurumu ?”
Jawab pemuda tersebut: “Untuk belajar, anda tidak memerlukan guru yang khusus”. “Lihatlah bumi, dia selalu diinjak oleh tapak kaki semua mahluk,
namun dia memaafkan semua perbuatan mereka.
Dari bumi anda bisa mempelajari
seni memaafkan, semua perlakuan pada diri anda. Kemudian lihatlah udara yang
memenuhi seluruh ruang sampai molekul yang terkecil, namun tidak pernah terikat
pada salah satu benda tertentu.
Dari udara ini kita bisa mempelajari seni
ketidak terikatan. Lalu pandanglah langit yang tidak bergeser sedikit pun oleh
awan yang senantiasa menutupinya. Dari langit itu kita bisa tahu bagaimana
àtman yang berada dalam diri kita tidak terikat pada pengaruh indera.
Lihatlah
air yang membersihkan berbagai kotoran dan dari air kita bisa belajar tentang
kebajikan dari penyucian diri. Lihatlah api yang bisa berubah wujud sesuai
dengan fungsinya dan dari api ini kita bisa belajar untuk mengetahui bahwa
àtman bisa mengambil wujud apapun. Lihatlah bulan (dewa Candra).
Sebenarnya
bulan sendiri tidak pernah berubah. Dari filsafat bulan ini kita bisa
mengetahui bahwa àtman tidak pernah berubah seperti yang kita lihat dengan
sudut padangan manusiawi.
Hanya ilusi yang membuat kita menganggap àtman selalu
berubah. Lihatlah matahari yang menyerap air pada musim panas dan
mengembalikannya pada musim hujan, demi-kianlah para bijak memanfaatkan indera
manusiawi beliau tanpa terikat dan kemudian mengembalikannya lagi.”
Ada banyak guru seperti itu. Kita bisa belajar dari semua itu. Dan
sebenarnya tidak diperlukan lagi guru yang lebih formal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar