Úrì Waturenggong, 1458 – 1550
Setelah Dalêm Kêtut
Smara Kapakisan wafat, digantikan oleh puteranya Úrì Waturenggong, yang telah
dinobatkan sebagai raja muda sejak 1458. Dalam pemerintahannya pulau Bali tetap
seperti dahulu kala, negeri aman sentosa.
Lama kelamaan para
menteri tua sudah tiada, semuanya telah wafat, digantikan oleh puteranya
masing-masing dengan kedudukan yang tetap seperti semula; antara lain Ki Gusti
Batanjêruk, anak Rakryan Patih Patandhakan, menggantikan ayahnya sebagai patih
kerajaan Bali.
Kesetiannya seperti
orang tuanya masing-masing. Para menteri yang lain tetap ditempatnya masing-masing,
tidak jauh berbeda dengan adat-istiadatnya dahulu. Úrì Waturenggong sangat
berwibawa, pandai dan bijaksana mengikat hati rakyatnya, tak terkatakan
kesentosaannya, terpengaruh oleh ketinggian/keluhuran budi raja, yang amat
terpuji kebijaksanaannya mengendalikan roda pemeritnahan.
Dalam masa
pemerintahan Dalêm Waturenggong itu, datanglah ke Bali seorang pendeta Úiwa,
Dhanghyang Nirartha, pada tahun 1489. Beliau berasal dari Majapahit, terkenal
dengan gelar Dhanghyang Dwijendra, sangat dihormati oleh karena kebesaran jiwa
dan pengabdiannya memberikan kesejahteraan rohani dan mengatasi keseng-saraan
hidup.
Beliau banyak
melakukan dharmayatra yaitu di Jawa Timur (Daha, Majapahit, Pasuruhan,
Blambangan), di Bali, di Lombok dan di Sumbawa. Di Bali beliau terkenal dengan
gelar Ida Pêdanda Sakti Wawu Rawuh atau Dhanghyang Nirartha. Di Lombok terkenal
sebagai Pangeran Sangupati dan di Sumbawa terkenal sebagai Tuwan Sumeru.
Dalêm Waturenggong
menyambut kedatangannya dengan gembira dan sangat hormat. Ketika mendengar
kabar bahwa Dhanghyang Nirartha berada di desa Mas, Dalêm Waturenggong segera
mengutus Kyayi Panulisan Dauh Baleagung untuk menjemput Ida Pêdanda Sakti Wawu
Rawuh supaya datang ke Gelgel.
Luar biasa
penghormatan yang diberikan oleh Dalêm untuk Ida Pêdanda Sakti Wawu Rawuh.
Setiap purnama dan tilêm, Dalêm disucikan oleh Dhanghyang Nirartha. Dalêm
berhasil menikmati kesucian dan keluruhan rohani, merasuk pada jiwanya,
bersemarak pula kewibawaan Dalêm, karena Hyang Widhi selalu ada padanya. Demikianlah
pada akhirnya Dalêm Waturenggong dikukuhkan dengan pensucian
(ababåsih/diniksan) oleh Dhanghyang Dwijendra.
Dharmayatra
Dhanghyang Nirartha di Bali benar-benar mengesankan, memperkokoh dharma dan
banyak pura-pura yang didirikan oleh beliau pada waktu itu, untuk membangkitkan
kesadaran beragama.
Pura-pura yang
mempunyai hubungan dengan riwayat kehidupan Danghyang Nirartha antara lain :
Pura Purancak dan Pura Rambut Siwi di Negara, Pura Pulaki dan Pura Ponjok batu
di Buleleng, Pura Tanah Lot di Tabanan, Pura Peti Tenget dan Pura Ulu Watu di
Badung, Pura Air Jeruk di Gianyar dan Pura Batu Klotok di Klungkung.
Karya-karya beliau
dalam kesusasteraan antara lain, Dharmasunia, Sunarigama, Jong beru, Usana
Bali, dan lain-lainnya. Ida Pêdanda Sakti Wawu Rawuh yang merintis pendirian
pelinggih untuk Hyang Úiwa yaitu Padmasana, sebagai penyempurnaan bentuk
pêlinggih têpasana. Tampaknya Ida Pêdanda Sakti Wawu Rawuh telah mengadakan
pembaharuan terhadap Pura Bêsakih, baik bangunannya maupun sistem upakaranya.
Pêlinggih têpasana
disempurnakan menjadi pêlinggih Padmatiga di atas dasar têpasana yang menjadi
inti kesucian Pura Pênataran Agung Bêsakih, sebagai pêlinggih (singhasana) Sang
Hyang Tri Puruûa yaitu Sang Hyang Úiwa, Sang Hyang Sada Úiwa dan Sang Hyang
Parama Úiwa. Beliau meninggalkan dunia ini dengan mencapai moksa di Uluwatu.
Untuk beliau dibuatkan sebuah pelinggih sebagai tanda peringatan dari rakyat
ditempat itu juga.
Pada waktu itu juga,
tidak lama setelah kedatangan Dhanghyang Dwijendra di Bali, datanglah pula
Dhanghyang Asthapaka seorang pendeta Budha Mahayàna yang juga berasal dari
Majapahit. Dalam pelayarannya dari Blambangan, beliau singgah dan menginap di
pulau Sêrangan, dimana kemudian didirikan pura Sakhyana (Sakenan). Dari pulau
Sêrangan beliau berlayar kearah timur dan akhirnya menetap disuatu daerah bukit
di Karangasêm yang kini bernama Budha Kêling.
Waktu Dalêm
Waturenggong masih jejaka, datanglah utusan golongan agama Islam dari Jawa
bernama Ki Moder, menghadap hendak mengislamkan Dalêm Waturenggong, dengan
membawa pisau cukur dan gunting. Pisau itu disayatkannya pada telapakan kaki
Dalêm, maka pisau itu jadi tumpul dan susut seperti kena gurinda. Sedangkan
guntingnya diguntingkan bulu tangan dan bulu kaki Dalêm, tetapi gunting itu
patah. Benar-benar digdaya Úrì Waturenggong, kata-katanya tajam, apa yang
diucapkannya semua terjadi (wakbhajra sidhi ngucap) sehingga usaha Ki Moder
untuk mengislamkan raja Bali gagal, dan ia kembali ke negerinya karena perintah
(sapa) Dalêm Waturenggong.
Lama kiranya Úrì Aji
Waturenggong bertahta di Bali sebagai seorang raja besar, kerajaan Gelgel
mencapai jaman keemasannya. Namun usia raja semakin lanjut dan akhirnya tahun
1550 Dalêm Waturenggong wafat.
Setelah Dalêm
Waturenggong wafat, digantikan oleh puteranya, Ida I Dewa Pêmayun, yang
bergelar Úrì Aji Pêmayun Bêkung, pada tahun 1560. Kemudian tahun 1580 Ida I
Dewa Pêmayun digantikan oleh adiknya Ida I Dewa Anom Sêganing (1580-1665).
Dalam masa
pemerintahan Ida Dewa Agung Istri Kania (Dewa Agung Istri Balemas) di Kerajaan
Kelungkung (1822-1860), telah diselenggarakan yajña besar Ekadaúa Rudra di Pura
Besakih. Dalam upacara itu dikorbankan bermacam-macam jenis binatang, termasuk
seekor badak. Badak tersebut diperoleh dari persembahan De Nederlandsche
Handelmaatschappij (sebuah perusahaan Belanda) yang diangkut dengan kapal
“Blora” yang berlabuh di pantai Kuta (Badung) pada tanggal 30 Juli 1839.
Tetapi menjelang
upacara, badak itu terlepas. Pada waktu peristiwa itu terjadi, ikut hadir
seorang pendeta dari Gêria Têgalsuci Tampaksiring Gianyar, yaitu Ida Pêdanda
Gêde Rai, yang ikut serta menjinakkan dan menangkap kembali badak yang terlepas
itu. Peristiwa pengorbanan badak tersebut dilukiskan dalam bentuk têmbang yang
berjudul “Gaguritan Padêm Warak” oleh Anak Agung Pamêrêgan.
Demikianlah
seterusnya Wangsa Kåûóa Kapakisan memerintah di Bali turun-temurun, sampai
akhirnya kerajaan Kêlungkung di kalahkan Belanda dalam tahun 1908. Dalam
pertempuran itu, raja Kêlungkung Ida I Dewa Agung Gêde Jambe, gugur dalam
perang puputan Kelungkung tanggal 28 April 1908.
Perlu pula diketahui
bahwa apapun yang terjadi sampai saat ini Penguasa/Pemerintah dan rakyat Bali
(Hindu) tetap pada keyakinannya akan kebenaran ajaran Agama Hindu, dengan tetap
taat menjalankan upacara Agama Hindu seperti sediakala. Tetap taat melaksanakan
upacara-upacara yajña di Pulau Bali, yajña di sadkahyangan, di pura
dhangkahyangan, di kahyangan tiga serta di semua tempat-tempat pemujaan, baik
pemujaan umum (jagat) maupun pemujaan keluarga (pamêrajan).
Tetap taat bakti
melaksanakan yajña di Pura Bêsakih (Pañca Wali Krama, Ekàdàúa Rudra dan
sebagainya), di Pura Batur dan di Pura Batukaru. Setiap Tilêm Kasanga tetap
malaksanakan bhùtayajña (tawur/caru) dan keesokan harinya Nyêpi (Tahun Baru
Úaka). Pada setiap Budha (Rebo) Kêliwon Dunggulan melaksanakan upacara
Galungan. Pada setiap Saniscara (Sabtu) Umanis Watugunung tetap melaksanakan
upacara Hari Suci Saraswati, dan banyak lagi hari-hari suci lainnya yang tetap
dirayakan dengan rasa bhakti.
Pada tanggal 8 Maret
1963 atau Sukra (Jumat) Pon Julungwangi tahun 1885 Úaka, di Pura Bêsakih telah
diselenggarakan Karya Agung Ekàdàúa Rudra oleh Pemerintah Daerah Bali
bersama-sama masyarakat Hindu di Bali. Karya Agung Ekàdàúa Rudra di Pura
Bêsakih dilaksanakan setiap seratus tahun sekali yaitu pada saat tahun Úaka
menunjukkan angka puluhan dan angka satuannya 0 (nol). atau pada waktu
penyelenggaraan Karya Pañca Wali Krama yang kesepuluh. Adapun Karya Pañca Wali
Krama diselenggarakan setiap sepuluh tahun sekali yaitu pada saat tahun Úaka
menunjukkan angka satuannya 0 (nol).
Mengenai Karya Agung
Ekàdaúa Rudra tahun 1963 yang lalu dimana tahun Úakanya adalah 1885 (angka
puluhan dan satuannya tidak nol) dijelaskan bahwa karya tersebut adalah sebagai
Karya Ekàdàúa Rudra “Panêrêgtêg” atau “Panêbusan” karena di waktu-waktu
sebelumnya hampir selama berabad-abad Ekàdàúa Rudra dilupakan dan tidak
diadakan di Pura Bêsakih.
Pada tanggal 28 Maret
1979 pada hari Budha (Rebo) Paing Wariga, Tilêm Chaitra (Kasanga) tahun 1900
Úaka diselenggarakan lagi Karya Ekàdàúa Rudra di Pura Bêsakih. Pelaksanaan
Karya Agung Ekàdàúa Rudra tahun 1979 (1900 Úaka) kali ini benar-benar sesuai
dengan ketentuan mengenai Karya Agung Ekàdàúa Rudra yang tersurat di dalam
lontar-lontar, yaitu dilaksanakan pada saat tahun Úaka menunjukkan angka
puluhan dan angka satuannya 0 (nol).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar