Prapatti (penyerahan diri)
Di dalam
Bhagavadgìtà (VII. 16-17) kita jumpai penjelasan tentang empat macam orang yang
berusaha mendekatkan diri, berbhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, mereka itu
adalah: orang yang sengsara, yang mengejar kekayaan, yang mengejar ilmu
pengetahuan dan orang yang berbudi luhur.
Di antara ke empat macam orang
tersebut, maka orang yang berbudi luhur dinyatakan yang paling mulia. Mengapa
demikian, orang yang berbudi pekerti luhur sepenuhnya menyerahkan diri
kepada-Nya. Penyerahan diri secara total kepada-Nya disebut prapatti,
demikianlah bhakti-prapatti mengandung makna bhakti yang murni, sebab mereka
telah merasakan dalam kebhaktiannya itu, ia berada dalam lindungan-Nya. Bila
kita bhakti dan menyerahkan diri sepenuh hati, maka Tuhan Yang Maha Esa hadir
di hadapan kita.
Dari uraian
tersebut di atas, kita menjumpai dua jenis atau bentuk bhakti, yaitu para
bhakti dan apara bhakti. Para bhakti mempunyai makna yang sama dengan prapatti,
yakni penyerahan diri secara total kepada-Nya sedang apara bhakti adalah bhakti
dengan berbagai permohonan dan permohonan yang dipandang wajar adalah mohon
keselamatan atau mohon berkembang-mekarnya budi nurani, sedang permohonan untuk
kekayaan dan kekuasaan, sering disebut bhakti yang bersifat Rajas dan Tamas.
Perlu pula ditegaskan bahwa prapatti itu bukan fatalistik, artinya dengan
penyerahan diri kepada-Nya, kemudian yang bersangkutan tidak bekerja sebagai
mana mestinya, tidak melakukan tugas dan kewajiban dengan baik. Tuhan Yang Maha
Esa di dalam kitab úuci Veda tegas menyatakan bahwa Dia hanya menyayangi umat
manusia yang suka bekerja keras, tidak malas, suka tidur dan banyak omong
kosong.
Lebih jauh,
bila kita mengkaji berbagai bentuk, sifat bhakti atau metodologi pendidikan
untuk senantiasa bhakti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, kitab Bhàgavata Puràóa
(VII.52.23) membedakan 9 jenis bhakti (Navavidhabhakti), yaitu:
- Úravaóam
(mempelajari keagungan Tuhan Yang Maha Esa melalui membaca atau mendengarkan
pembacaan kitab-kitab úuci),
- Kìrtaóam
(mengucapkan/menyanyikan nama-nama Tuhan Yang Maha Esa),
- Smaraóam
(mengingat nama-Nya atau bermeditasi tentang-Nya),
- Pàdasevanam
(memberikan pelayanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, termasuk melayani, menolong
berbagai mahluk ciptaan-Nya),
- Arcaóam (memuja
keagungan-Nya),
- Vandanam (sujud
dan kebhaktian),
- Dàsya
(melayani-Nya dalam pengertian mau melayani mereka yang memerlukan pertolongan
dengan penuh keikhlasan),
- Sàkhya
(memandang Tuhan Yang Maha Esa sebagai sahabat sejati, yang memberikan
pertolongan ketika dalam bahaya) dan
- Àtmanivedanam (penyerahan diri secara total kepada-Nya).
Berbagai
bentuk atau contoh perwujudan bhakti tersebut di atas dapat kita lihat dan
berbagai ceritra baik dalam kitab-kitab Itihàsa seperti Ràmàyaóa dan
Mahàbhàrata maupun kitab-kitab Puràóa. Untuk memantapkan pemahaman kita tentang
bhakti ini, kami kutipkan dua buah ceritra tentang kebhaktian Hanùmàn kepada
Úrì Ràma dalam Ràmàyaóa sebagai berikut:
Saat itu, setelah penobatan Vibhìûaóa sebagai Mahàràja dan kota Lengkà sudah diganti namanya menjadi Úrìlaòka, semua pasukan Úrì Ràma telah kembali ke Ayodhyà. Úrì Ràma bersama dewi Sìtà dan Lakûmaóa mengendarai kereta terbang bernama Maóipuûpaka, yang merupakan hadiah dari dewa Kuvera.
Setibanya di keraton Ayodhyà, segera itu dilaksanakan upacara Abhivandana, yakni upacara syukuran atas kejayaan Úrì Ràma berhasil menundukkan Ràvaóa. Pada persidangan agung yang mulia dihadiri oleh seluruh petinggi kerajaan, Úrì Ràma membagi-bagikan berbagai hadiah kepada siapa saja yang pernah berjasa dalam memenangkan perang untuk merebut kembali dewi Sìtà.
Setelah setiap pejabat tinggi mendapatkan hadiah, selanjutnya dipanggillah Hanùmàn untuk menerima hadiah dari Úrì Ràma. Saat itu Hanùmàn tampil berdatang sembah, dengan sangat hormat ia menyatakan tidak bersedia lagi menerima hadiah. Alasan Hanùmàn, dengan Úrì Ràma mengijinkan dirinya sebagai abdi sang Pùróa Avatàra, dirinya sudah mendapat hadiah yang tiada taranya, sebab siapa saja yang dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa, para dewa atau Avatàra-Nya, seseorang menikmati kebahagiaan yang sejati.
Terhadap penolakan Hanùmàn ini, Úrì Ràma dan dewi Sìtà kembali mendesak Hanùmàn untuk bersedia menerima hadiah sebagai kenang-kenangan atas keberhasilan di medan perang. Demikian pula keberhasilan Hanùmàn sebagai Duta serta keberanian dan kekuatan Hanùmàn mendapat pujian dari segenap yang hadir.
Hanùmàn tidak menjawab. Saat itu dewi Sìtà berbisik kepada suaminya, untuk mengijinkan kalung mutiara hadiah Prabhu Janaka, ayahda dewi Sìtà diberikan kepada Hanùmàn. Úrì Ràmapun menyetujuinya, walaupun kalung mutiara itu memiliki arti yang istimewa bagi Úrì Ràma dan Sìtà, karena dihadiahkan saat Úrì Ràma berhasil mematahkan busur milik dewa Úiva dalam sayembara dan berhasil memenangkan serta mempersunting dewi Sìtà sebagai istrinya.
Saat Hanùmàn tertunduk, Úrì Ràmapun langsung membuka kalung dewi Sìtà dan tampil ke depan menyerahkannya kepada Hanùmàn. Hanùmàn seperti terpaksa menerima hadiah tersebut. Hanùmàn merasa malu, seorang yang telah lama diterima sebagai abdi harus menerima hadiah bukankah hal ini salah satu wujud kerakusan?
Setelah Hanùmàn menerima hadiah tersebut, satu-persatu butiran mutiara itu diperhatikan oleh Hanùmàn, maksudnya untuk menemukan gambar Úrì Ràma dan Sìtà pada biji-biji mutiara tersebut. Iapun tidak menemukan hal itu, tanpa disadari ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan kemudian menggigit rangkaian mutiara itu dan melemparkannya ke tanah.
Hadirin tercengang dan gemas menyaksikan kejadian itu. Panglima Sugrìva sangat marah dan membentak Hanùmàn.
“Hai Hanùmàn, engkau kera hina tidak tahu diri, kelakuanmu itu memalukan, kuhancurkan wajahmu!
Kau telah hinakan persidangan yang agung ini!”
Ia berdiri tegak sambil mengepalkan tangan hendak memukul Hanùmàn.
Bila saja tidak di depan persidangan yang mulia itu, Sugrìva sudah pasti menempeleng muka Hanùmàn, Sugrìva sangat geram, tubuhnya gemetar menahan marah.
Pada saat yang menegangkan itu, Úrì Ràma dan Sìtà tersenyum dan memandang Sugrìva yang sedang marah.
Demikian tatapan Úrì Ràma dan Sìtà menyapu wajah Sugrìva, saat itu pula emosi dan kemarahan Sugrìva lenyap.
Úrì Ràma dan Sìtà benar-benar mengalirkan pancaran kasih yang tiada taranya.
Selanjutnya Úrì Ràma mendatangi Hanùmàn dan menepuk bahunya:
“Engkau seperti anak kecil, mengapa lakukan hal itu ?”
Maaf tuan Úrì Ràma dan ibu dewi Sìtà, hamba telah mengecewakan persidangan yang mulia ini.
Memang hamba seekor kera yang hina, tetapi hamba kira diri hamba tidak lebih rendah dari seorang manusia.
Bagi hamba dengan diijinkan sebagai abdi, hamba sudah bahagia, karena ketika hamba dekat dengan tuan dan ibu sebagai perwujudan Avatàra Tuhan Yang Maha Esa dan dewi Lakûmì, saat itu pula kebahagiaan tiada taranya hamba peroleh dari tuan.
Bukankah dengan menerima pemberian hadiah ini hamba menunjukkan kerakusan hamba?”
Úrì Ràma kembali menepuk bahu Hanùmàn.
“Tidak! Engkau tidak rakus.
Lalu apa yang engkau minta Hanùmàn!
Katakanlah jangan seperti anak kecil!”
“Baiklah tuan dan ibu dewi Sìtà, bila hamba boleh meminta lagi, ijinkanlah hamba senantiasa dekat tidak saja secara jasmaniah, tetapi tuan dan ibu dewi Sìtà hendaknya selalu berada di hati kami.
Untuk itu sudikah tuan Úrì Ràma dan ibu dewi Sìtà untuk bersthana pada jantung hati kami.
Pada singasana bunga hati kami. Bila tuan dan ibu dewi Sìtà berkenan bersthana, maka itulah hadiah yang hamba senantiasa mohon”.
Úrì Ràma selanjutnya berdiri tegak dan berúabda:
“Hai Hanùmàn dan hadirin yang tercinta dan supaya di dengar pula oleh seluruh jagat raya.
Siapa saja yang maju satu langkah menghadap Aku dan mau mendekatkankan dirinya serta membuka pintu hatinya. Aku akan datang sepuluh langkah mendekati mereka, masuk ke dalam hatinya dan memberikan kebahagiaan yang sejati tiada taranya!”.
Mendengar úabda Úrì Ràma demikian merdu dan menggetarkan alam semesta, Hanùmàn dengan mencium kaki Úrì Ràma terlebih dahulu, kemudian menegakkan dadanya.
Dengan kekuatan “Bayubajra” bagaikan kekuatan petir, tiba-tiba dengan kukunya yang tajam ia menoreh dadanya.
Dan dengan tenaganya yang dahsyat, tiba-tiba ia merobek dadanya, darah berhamburan ke berbagai arah.
Saat itu pula Úrì Ràma dan dewi Sìtà hilang dari singgasana kencananya yang indah.
Suasana menjadi hening dan terdengar mantra-mantra para dewa dan åûi-åûi sorga dengan taburan bunga harum semerbak, nampaklah cahaya gemerlapan pada dada Hanùmàn yang menganga lebar.
Pada cahaya itu kemudian nampak sebuah singasana emas di atas padma hati Hanùmàn.
Ketika itu kelihatan Úrì Ràma dan Sìtà duduk melambaikan tangan dengan sikap Abhaya dan Varamudrà, yaitu sikap tangan menjauhkan serta menolak bencana dan memberi hadiah.
Hadirin mengucapkan Jaya-jaya Úrì Ràma, Jaya-jaya-dewi Sìtà.
Setelah suasana hening kembali. Hanùmàn pun menutup dadanya, tidak nampak ada luka dan tiba-tiba Úrì Ràma dan dewi Sìtà sudah kembali bersthana pada singasana kencana di depan persidangan.
Demikian
nukilan singkat dari centra Ràmàyaóa yang memberikan pendidikan secara
simbolis, bila di hati kita telah bersthana sang Avatàra, para dewa manifestasi
Tuhan Yang Maha Esa, maka niscaya kebahagiaan akan selalu berada dalam diri kita.
Berbagai upacara termasuk piodalan dan lain-lain mengandung makna untuk
mendekatkan diri kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan mendekatkan diri, maka
Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud-Nya sebagai Ànandarùpa, yakni kebahagiaan yang
sejati akan turun dan memberikan kebahagiaan yang tak terhingga kepada kita.
Demikian
ceritra tentang bhakti yang sejati adalah sesungguhnya pelayanan kepada-Nya,
lebih jauh kami petikkan tentang arogansinya Arjuna yang populer dikenal dengan
ceritra Arjuna Pramàda, mengisahkan perjumpaan Arjuna dengan Hanùmàn, Arjuna
merasakan betapa kelirunya bila tidak hormat dan bhakti kepada Avatàra-Nya:
Sekali waktu Úrì Kåûóa berjalan-jalan diikuti oleh Arjuna di pinggir pantai Kanyakumàri yang dikenal pula dengan nama tanjung Komorin di ujung Selatan anak benua India atau Bhàratavarûa.
Úrì Kåûóa mengagumi kemegahan pura Ràmeúvaram yang nampak berdiri agung bagaikan sebuah gunung putih berkilauan. Arjuna pun menyaksikannya dengan penuh ketakjuban.
Perhatian mereka beralih menyaksikan puing-puing jembatan Setubandha, jembatan yang menghubungkan India dengan Úrìlaòka.
Úrì Kåûóa menunjukkan betapa mega proyek dikerjakan oleh ribuan wanara bala tentara Sugrìva untuk mensukseskan perang merebut kembali dewi Sìtà dari tangan raja angkara murka Ràvaóa.
“Lihatlah Arjuna, batu yang demikian gedenya mampu diangkat oleh bala tentara kera, sungguh mengagumkan!”, demikian antara lain ucapan Úrì Kåûóa kepada Arjuna.
Reruntuhan jembatan kuno antara India dan Úrì Laòka yang dibangun
oleh Ràma dalam wiracarita Ràmàyaóa. Kini berada di dasar laut.Arjuna pun menjawabnya dengan penuh kekaguman.
Namun yang terjadi saat itu sesungguhnya dalam diri Arjuna muncul keangkuhan.
“Membuat jembatan demikian saja kok mengerahkan ribuan bala tentara kera.
Kalau aku, sendirian dengan sebatang panahku aku mampu membikin jembatan yang jauh lebih besar dari mega proyeknya Úrì Ràma itu”, demikian keangkuhan Arjuna, walaupun tidak diucapkan, namun Úrì Kåûóa dengan detektor gaib yang dimilikinya mampu mengetahui pikiran Arjuna sekalipun belum terucapkan.
Kecongkakan atau pramàda yang muncul dari pikiran Arjuna ini ingin dilenyapkan oleh Úrì Kåûóa.
Saat itu pula Kåûóa dengan power yang dimilikinya mampu memanggil Hanùmàn yang sedang rileks di lereng gunung Kailàsa.
Bagaikan kilatan cahaya, entah dari mana datangnya, tiba-tiba seekor kera bengil (kecil dan nampak kurang sehat) berdiri di samping Arjuna dan ternyata kera itu mampu berbicara kepada Arjuna.
“Maaf tuan, apakah tuan bernama Sang Arjuna dan apakah tuan bernama Úrì Kåûóa ?” demikian, sapaan suara kera bengil itu kepada kedua tokoh yang tegap dan tampan di hadapannya.
Úrì Kåûóa mengangguk: “Ya saya Kåûóa dan ini adik saya Arjuna”.
Tiba-tiba keangkuhan Arjuna tidak tertahankan dan nyeletuk:
“Apakah anda mengenal mega proyek jembatan Setubandha yang mengagumkan dalam kisah Ràmàyaóa?”, demikian pertanyaan Arjuna kepada kera yang sambil jalan nampak renta.
“Ya tuan, saya tahu itu”.
“Wah kalau jembatan yang demikian saja mengerjakannya mengerahkan ribuan kera, maka berarti Úrì Ràma itu tidak hebat, mestinya beliau dengan satu panahnya saja mampu membuat sebuah jembatan yang besar dan kokoh”.
Aku mampu melakukan hal itu !”
Demikian kata-kata Arjuna, kera itu semakin mendekat:
“Wah hebat benar tuan!”
Kiranya bila berkenan, tunjukkanlah kepada hamba biar hamba juga mengenal kemampuan tuan sebagai orang ketiga dari keluarga Pàóðava.
Úrì Kåûóa memberikan isyarat kepada Arjuna dan Arjuna pun mengeluarkan satu batang panah bernama Nàgapàúa dari selongsongnya dan seketika itu ia melepaskan panahnya dan tiba-tiba panah itu berubah menjadi sebuah jembatan yang besar, megah dan nampak kokoh.
Kera kecil itu minta ijin kepada Arjuna untuk mencobanya.
“Maaf tuan Sang Arjuna, apakah saya boleh mencoba lewat pada jembatan yang besar ini?”
“Ya ya silakan ... silakan, engkau boleh melompat seenaknya pada jembatan karyaku ini!”.
Tiba-tiba saja kera kecil itu melompat, demikian satu kali injakan, ternyata jembatan itu roboh.
“Maaf tuan Sang Arjuna, saya kera yang bengil begini saja membuat jembatan anda hancur, apalagi ribuan bala tentara Sugrìva yang akan menyerang Alengka, bisakah mereka menyeberangi jembatan tuan !”
Muka Arjuna merah padam dan sangat malu kepada Úrì Kåûóa, ternyata seekor kera bengil mampu merobohkan karyanya yang hebat itu.
Arjuna pun bertindak kesatria dan bertanya:
“Maaf, saya bertanya siapakah anda?”
“Saya yakin anda bukan seekor kera biasa?
Saya mengagumi anda?”.
Kera kecil itupun menunjukkan jati dirinya:
“Ya tuan Sang Arjuna, aku ini ... aku ini adalah Hanùmàn, abdi setia Úrì Ràma”.
“Maaf, tuan Hanùmàn, saya dengar anda sangat besar, hebat dan mampu terbang kemana-mana, kini mengapa anda kelihatan kecil, tua renta dan seperti tidak berdaya?.
Ijinkanlah saya menghormati anda” Demikian kata-kata Arjuna terbata-bata dengan penuh penyesalan.
Hanùmàn pun menjawab :
Wahai Arjuna, setiap mahluk mengalami proses menuju ketuaan.
Ketika saya masih menjabat sebagai panglima divisi Selatan untuk membebaskan Sìtà dari belenggu Ràvaóa, saya punya jabatan tinggi.
Sebagai pejabat besar saya mendapat fasilitas terbang kemana-mana dan gratis lagi.
Kini saya telah pensiun. Jabatan itu telah saya serah terimakan.
Sebagai seorang yang tidak menjabat, segalanya kini nampak kecil, tubuh saya kecil, sakit-sakitan lagi dan tidak seorangpun mau menolehnya.
Syukur saya tempo hari dapat berkesempatan dekat dengan Úrì Ràma, beliau banyak memberikan karunia kepada saya untuk menghadapi berbagai persoalan hidup termasuk bagaimana cara menghindari Postpowersyndrome, karena aku tidak menjabat lagi.
Sebagai orang yang sudah mulai uzur, maka saya sejak kanak-kanak telah mempersiapkan diri untuk memasuki masa Vànaprastha, masa tua, jauh dari hiruk pikuk panggung politik dan ikatan duniawi.
Bila kita sadari semua dengan keihlasan, bahwa tunas-tunas baru akan senantiasa tumbuh pada cabang-cabang kayu menggantikan ranting-ranting yang mulai lapuk, maka kesadaran itu memberikan kebahagiaan yang sejati.
Úrì Ràma telah menganugrahkan saya ajaran Muktikà Upaniûad, sebagai bekal menuju alam keabadian.
Karunia Úrì Ràma tiada taranya.
Kini engkau Arjuna dekatkanlah hati dan pikiranmu kehadapan kaki Úrì Kåûóa, maka engkaupun akan memperoleh kejayaan.
Bila saatnya perang Bhàratayuddha meletus, pasanglah sebuah bendera berisi gambarku, ketika engkau menoleh bendera itu, engkau ingat kepada aku, maka akupun segera datang membantumu di medan laga.
Demikianlah ucapan Sang Hanùmàn, Arjuna pun berkaca-kaca.
Sejak saat itu, Nàgapàúa sang Arjuna diabadikan dalam umbul-umbul, dan bendera Arjuna selalu berisi gambar Hanùmàn.
Kedua hal ini selalu dipancangkan pada pura-pura atau mandira-mandira sthana memuja-Nya terutama ketika upacara piodalan, mengingatkan peristiwa Arjuna pramàda.
Dari kedua
nukilan ceritra di atas, dapat dipetik hikmahnya bahwa pada hati seorang bhakta
yang tulus, Tuhan Yang Maha Esa senantiasa hadir didepannya, demikian pula
kecongkakan dan arogansi dapat menyesatkan diri seseorang dalam mengikuti jalan
bhakti atau bhakti màrga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar