Minggu, 17 Juni 2012

Kesetiaan

Renungan Bhàgavatam: 
Kesetiaan Sukanyà dari Dinasti Sùrya dan Kedewataan Aúwin Kembar
Pada akhir Pralaya yang ada hanya Nàràyaóa, tidak ada yang lain. 
Dari pusar Nàràyaóa nampak bunga teratai dan dari bunga teratai muncul Brahma. 
Marìci keluar dari pikiran Brahma dan akhirnya kawin dengan Kala dan mempunyai putra Åûi Kaúyapa. 
Kaúyapa kawin dengan Aditi menurunkan para dewa diantaranya adalah Dewa Sùrya. 
Putra Sùrya adalah Úraddhàdewa yang merupakan kelahiran kembali dari Satyavrata yang selamat dari kalpa sebelumnya dan menjadi Manu dalam Waiwaswata Manvantara. 
Ikûvàku adalah keturunan Úraddhàdewa yang terkenal sebagai raja agung dari Dinasti Sùrya. 
Salah satu putra Manu adalah Saryati yang terkenal sangat adil yang mempunyai putri bernama Sukanyà. 
Suatu ketika Raja bepergian ke hutan beserta rombongan pasukan dan Sukanyà, sang putri turut serta.  
Bagi sang raja putrinya yang telah menjadi gadis tersebut dianggapnya masih sebagai anak-anak layaknya. 
Semua keluarga dan seluruh masyarakat mencintai sang putri yang sederhana dan selalu bertindak ramah terhadap siapa saja.

Adalah seorang Åûi bernama Cyavana yang bertapa dengan keras dan seluruh tubuhnya sudah tertutup lumpur dan dedaunan selama bertahun-tahun. 
Dari jauh hanya nampak seperti gumpalan tanah dengan dua lubang di matanya. 
Matanya memancarkan api yang membuat gumpalan tanah tersebut mempunyai dua buah lubang. 
Sang putri bermain-main di sekeliling rombongan raja dan tertarik dengan gumpalan tanah dengan dua buah lubang tersebut. 
Diambilnya ranting dan ditusukkanlah ke dalam dua lubang tersebut. 
Sang Åûi yang tengah bermeditasi merasa terganggu dan segera seluruh rombongan sang raja menjadi lumpuh. 
Sang Åûi kemudian bertanya siapa yang telah mengganggu samàdhi-nya. Sukanyà lari kepada sang raja dan menceritakan kejadiannya.

Sang raja mohon maaf atas kesalahan sang putri dan paham bahwa meditasi yang telah dilakukan sang Åûi selama bertahun-tahun menjadi terganggu. 
Dan itu adalah sebuah pengorbanan yang sangat besar. 
Untuk itu sang raja menawarkan sang putri untuk dinikahkan dengan sang Åûi. 
Akhirnya Sukanyà dinikahkan dengan Åûi Cyavana dan tinggal di hutan. 
Sukanyà yang merasa bersalah patuh terhadap keputusan ayahandanya. 
Sukanyà menjadi istri yang baik yang setia terhadap suaminya dan melayaninya dengan sebaik-baiknya. 
Baginya suaminya adalah wujud Nàràyaóa untuk membimbing dirinya, dan dalam waktu yang singkat kesadaran Sukanyà meningkat. 
Sukanyà melayani suaminya seperti Dewahùtì melayani Kardama. 
Nampaknya kejadian-kejadian di dunia ini seperti sebuah pengulangan saja, walau berbeda peran dan setting panggung, ceritanya ada benang merah persamaannya.
Tersentuh oleh kesetiaan sang Istri terhadap dirinya yang sudah tua dan hidup di tepi hutan belantara, maka Åûi Cyavana berdoa dengan penuh kesungguhan terhadap Dia Hyang Maha Memiliki Segalanya…

Dalam buku “Spiritual Astrology, The Ancient Art of Self Empowerment, Bhakti Seva, Terjemahan Bebas, Re-editing, dan Catatan Oleh  Anand Krishna”, Gramedia Pustaka Utama, 2010 disampaikan…
Dalam zaman yang serba maju inilah kita baru memahami manfaat ilmu olah-batin atau spiritualitas. 
Mendalami dan melakoni ilmu-ilmu ini, termasuk meditasi, yoga, dan lain sebagainya membantu kita menyelaraskan diri dengan alam semesta. 
Dengan demikian, kita memperoleh kekuatan-kekuatan yang sebelumnya tak terbayangkan. 
Kekuatan-kekuatan alam itu sesungguhnya bukanlah sesuatu yang gaib, tetapi hasil dan pengetahuan kita tentang berbagai hukum alam. 
Pemanfaatan hukum-hukum itu menghasilkan apa yang biasa disebut “mukjizat” oleh awam. 
Biasakanlah dirimu membaca buku-buku tentang spiritualitas, metafisika, dan lain sebagainya. 
Dengan semakin terbukanya pikiran dan meluasnya wawasanmu, semakin berhasillah kau mencapai kesempurnaan hidup………. 
Setiap doa yang dipanjatkan dengan ketulusan hati dan kesungguhan jiwa pasti terkabulkan! 
Berdoalah, setiap kali kau menghadapi suatu keadaan di mana keseimbangan dirimu goyah. 
Berdoalah setiap kali kau merasa tidak berdaya dan lemah untuk menghadapi suatu tantangan yang berat. 
Berdoalah dengan cara menarik diri dari keramaian; membuka hati, pikiran, dan jiwamu kepada Gusti Allah. 
Berdoalah untuk memperoleh tuntunan-Nya, bimbingan-Nya. 
Dan, yakinilah bahwa Ia Maha Mendengar. 
Banyak cara yang ditempuh-Nya untuk menjawab doamu. 
Bukalah dirimu terhadap semua cara itu. 
Ada kalanya la mengutus para malaikat, para dewa, atau para roh suci untuk menolongmu, membimbingmu. 
Ketahuilah bila semuanya itu terjadi semata karena la menghendaki-Nya. 
Para Yogi selalu berdoa untuk Terang, untuk Tuntunan, untuk Kebijaksanaan, Kekuatan, dan Kasih. 
Doa mereka selalu terkabulkan. Belajarlah untuk berdoa seperti mereka….

Pada suatu hari sepasang kumàra, makhluk setengah dewa Aúwin Kembar datang ke àúram Cyavana. 
Sang Åûi merasa bahwa kedatangan mereka adalah merupakan jawaban dari doanya. 
Sang Åûi memberikan hormat dan berkata, 
“Kalian adalah penyembuh dan pemberi obat kepada para dewa.  
Karena engkau seorang profesional, maka para dewa tidak memberikan “soma” sepanjang upacara persembahan yajña. 
Engkau dianggap sebagai dewa dengan status yang lebih rendah. 
Bila kau bersedia membuatku menjadi muda dan tampan, maka aku akan membuatmu mendapatkan bagian soma.” 
Aúwin Kembar setuju, dan kemudian mereka mengucapkan beberapa mantra. 
Setelah itu, Åûi Cyavana diminta mengikuti mereka masuk danau. 
Keluar dari danau Sukanyà melihat tiga pemuda tampan memakai kalung bunga teratai. 
Sukanyà menyembah mereka bertiga dan mohon diberitahu yang mana suaminya. 
Aúwin kembar memberitahu ciri-ciri suaminya dan kemudian mereka mohon diri dan kembali ke surga.

Beberapa waktu kemudian Raja Saryati pergi ke àúram Cyavana untuk menanyakan masalah yajña, sekaligus menengok putrinya. 
Manakala sang raja masuk àúram, dia melihat putrinya sedang bercengkerama dengan pemuda tampan seperti dewa. 
Raja segera melengos dan pergi meninggalkan àúram. 
Sukanyà mengejar sang raja, akan tetapi sang raja tidak mau melihat wajah putrinya.  
Sukanyà berkata, 
“Ayahanda aku kangen dengan ayahanda, akan tetapi mengapa menatap wajahku saja ayahanda tidak mau?” 
Sang raja berkata, 
“Engkau adalah keturunan Manu yang agung. Mengapa kamu merendahkan diri dengan menipu Åûi Cyavana dengan berselingkuh dengan anak muda? Bagaimana kamu dapat melakukan perbuatan serendah itu?”
Dari belakang sang anak muda tampan datang menyusul dan tersenyum. 
Sukanyà berkata, 
“Ayahanda, anak muda ini adalah menantumu, Åûi Agung Cyavana!” 
Kemudian Sukanyà dan Cyavana menceritakan kisah mereka dan tentang kebaikan Aúwin Kembar. 
Tak lama kemudian, Åûi Cyavana menyelenggarakan upacara Somayajña dan mengundang Aúwin Kembar. 
Indra datang dan merasa tidak senang dengan peningkatan status kedewaan Aúwin Kembar. 
Indra mengangkat vajra untuk memukul Cyavana, akan tetapi lengannya mendadak lumpuh dan vajranya tak berdaya. 
Indra kemudian menyadari bahwa dia tak perlu egois dan kemudian membiarkan Aúwin Kembar turut serta menikmati soma sebagaimana layaknya dewa. 
Dalam kisah Mahàbhàrata, Dewa Aúwin Kembar dipuja oleh Dewi Madrim istri Pàóðu, Raja Hastinà, sehingga dari Dewi Madrim melahirkan putra kembar tampan bernama Nakula dan Sahadewa……

Bagi Sukanyà, hidup berkesadaran dibawah bimbingan Åûi Cyavana sudah cukup baginya, dan dia tidak mempunyai keinginan yang lain lagi. 
Bagaimana pun setelah melihat Åûi Cyavana menjadi muda kembali ayahandanya menjadi bahagia bahwa putrinya mendapatkan Åûi bijaksana yang sepadan dengan kecantikan dirinya. 
Sang raja tidak mempunyai rasa bersalah menjodohkan putrinya dengan seorang Åûi yang sudah tua……

Mengenai hidup berkesadaran, Bapak Anand Krishna menjelaskan dalam buku “Spiritual Astrology, The Ancient Art of Self Empowerment, Bhakti Seva, Terjemahan Bebas, Re-editing, dan Catatan Oleh  Anand Krishna”, Gramedia Pustaka Utama, 2010 sebagai berikut……… 
Hidup Berkesadaran berarti… 
“Tidak pernah berhenti mengupayakan peningkatan kesadaran. Tidak pernah berhenti pada suatu definisi baku tentang kesadaran.” 
Itulah hidup berkesadaran. 
Hidup berkesadaran berarti, 
“Menggali diri secara terus-menerus. Upaya tanpa henti untuk menemukan jati diri.” 
Saya tekankan, “upaya tanpa henti”. 
Begitu kita berhenti berupaya, begitu kita merasa sudah sampai atau sudah ketemu, kesadaran kita pun berhenti berkembang. 
Kemudian, kita tidak hidup berkesadaran lagi. 
Kita hidup dengan definisi baku tentang kesadaran. 
Hidup berkesadaran berarti “masak dan makan setiap hari”. 
Kita bisa mengisi perut dengan roti basi, atau lauk yang dimasak minggu lalu, kemudian disimpan di lemari es. 
Tapi, itu bukanlah hidup berkesadaran. 
Hidup berkesadaran adalah hidup segar dari hari ke hari, dari detik ke detik. 
Hidup berkesadaran berarti merevisi, memperbaharui, dan sekaligus memperbaiki definisi kita tentang kesadaran dari hari ke hari……… 

Dulu, kita tidak dapat membayangkan pengiriman data, termasuk suara, dan gambar lewat gelombang radio. 
Sekarang kita hidup dalam zaman internet. 
Data dalam bentuk tulisan, suara, atau gambar berubah menjadi gelombang dan di tempat tujuannya berubah kembali menjadi data! 
Dulu, barangkali dianggap mukjizat. Sekarang, biasa-bisa saja!………. 
Selama ini kita menganggap pikiran dan perasaan adalah nonmateri. 
Anggapan itu, saya yakin seyakin-yakinnya, tidak akan bertahan lama. 
Bahkan, barangkali para ilmuwan sudah tidak menganggapnya nonmateri lagi. 
Lalu, Apa yang Bersifat Nonmateri? 
Kesadaran yang menyadari kebendaan, materi, fisik, pikiran, perasaan, emosi, energi, vibrasi - barangkali, mungkin - itulah nonmateri. 
Spiritualitas adalah perjalanan batin dari aku-badan, aku-pikiran, aku-perasaan, aku-emosi, aku- energi, aku-vibrasi, bahkan aku-kebenaran dengan “a” dan “k” kecil, atau Akulah Kebenaran dengan “A” dan “K” besar menuju “kesadaran”. 
Siapakah yang menyadari semuanya itu? 
Siapakah yang merasakan semuanya itu? 
Segala sesuatu yang mengelilingi kesadaran itu adalah kebendaan. 
Kebendaan adalah proyeksi dari kesadaran. 
Materi adalah manifestasi dari non-materi. 
Keberadaan adalah wujud dari ketiadaan. 
Kesadaran berada di tengah, antara ketiadaan dan keberadaan. 
Kesadaran membuat kita sadar akan sifat kedua fenomena yang sesungguhnya satu adanya - Dwitunggal Ada-Tiada. 
Bagaimana menjelaskan fenomena ini dalam bahasa sederhana? Alam semesta ibarat Rumah Besar… 
Dengan jumlah kamar dan pelayan yang tidak terhitung. 
Tentu rumah ini ada pemiliknya. 
Baik pelayan maupun pemilik bebas untuk memasuki kamar yang mana saja. 
Pelayan, untuk membersihkan kamar. 
Pemilik, untuk menikmati apa yang ada dalam kamar itu. 
Pemilik bebas untuk menentukan penggunaan setiap kamar. 
Pelayan tidak memiliki kebebasan itu. 
Pemilik bisa bongkar-pasang, bisa mengubah interior, bisa melakukan apa saja. 
Pelayan tidak bisa. Pemilik dan pelayan, dua-duanya tinggal di dalam rumah yang sama. 
Tapi, hidup mereka tidak sama. 
Pemilik hidup dengan kesadaran akan kepemilikannya. 
Pelayan hidup dengan kesadaran akan tugas dan kewajibannya sebagai pelayan. 
Pemilik boleh mengisi salah satu kamar saja. 
Ia boleh mengunci diri dalam kamar itu selama berhari-hari, atau seumur hidup. 
Ia boleh tidak mengunjungi kamar-kamar lain. 
Tapi, kepemilikannya atas setiap kamar yang ada di dalam rumah itu tidak mengalami perubahan. Ia tetap memiliki rumah itu. 
Pemilik boleh meninggalkan rumah itu selama beberapa hari, atau berhari-hari. 
Ia boleh tidak ada di dalam rumah itu. 
Namun, kepemilikannya atas rumah itu sama sekali tidak terganggu. “Kepemilikan” inilah Nonmateri, inilah Kesadaran………. 
Sekarang, kita tinggal memilih, mau tinggal di rumah alam semesta sebagai pemilik, atau pelayan. 
Seorang pemilik hidup di tengah dunia benda dengan kesadaran akan kepemilikannya. 
Ia tidak perlu digaji. Ia tidak bekerja demi penghasilan. 
Ia berkarya demi kepuasan diri. 
Hanyalah seorang berkesadaran pemilik yang bisa berkarya tanpa pamrih. 
Dengan kesadaran pelayan, sulit untuk berkarya tanpa pamrih. 
Mereka yang berkarya tanpa pamrih, setidaknya menjalin “hubungan khusus” dengan sang pemilik. 
Dan, menjadi bagian dari kepemilikan Hyang Maha Memiliki. 
Yesus mengatakan bila Hyang Memiliki adalah Bapa. 
Kendati, pada saat yang sama la pun meyakini bila sesungguhnya Bapa dan diri-Nya sama. 
Rabiah, Meera, dan Rumi menjalin hubungan kasih dengan-Nya. 
Sementara itu, Mansur, Sarmad, dan Siti Jenar secara tegas menyatakan kepemilikan-Nya, “Akulah Kebenaran”. 
Kita tidak memahami maksud mereka, dan menggantung mereka, membunuh mereka. 
Itu adalah kerugian kita, dan hanyalah membuktikan sempitnya pandangan, wawasan, serta kesadaran kita. 
Karena, “Aku”-nya Mansur, Sarmad, dan Siti Jenar bukanlah aku-fisik, aku-pikiran, aku-perasaan, dan lain sebagainya. 
“Aku” mereka adalah kesadaran murni. “Aku” mereka mewakili “kepemilikan” Sang Pemilik. 
Seorang duta besar negara yang berdaulat mewakili negaranya dan bertindak atas nama pemerintahnya. 
Salahkah dia? 
Ketika ia menggunakan “aku” atau “kami”, itu adalah negara dan pemerintahnya yang dimaksudkan. 
Bukankah itu tugas dan kewajibannya?…

Bapak Anand Krishna memberikan pelajaran, bahwa dalam keadaan kritis dan dituntut oleh perkara beliau tetap menjaga kesadaran dan menghasilkan beberapa buku pemberdayaan diri, di antaranya adalah buku “Spiritual Astrology, The Ancient Art of Self Empowerment, Bhakti Seva, Terjemahan Bebas, Re-editing, dan Catatan Oleh  Anand Krishna”, Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Apabila kita orang awam dalam keadaan kritis, mungkin sekali kita tidak dapat berpikir jernih, pikiran dilanda kegalauan dan energi habis untuk berpikir tentang kecemasan atau menurunkan kesadaran dengan melarikan diri dari masalah seperti mabuk-mabukan atau minum obat narkotika. 
Berpikir jernih dan memelihara kesadaran di waktu kondisi kritis dimana seakan-akan semua pintu keadilan tertutup oleh rekayasa adharma, akan menentukan jalannya kehidupan kita. 
Kita selalu diberikan pilihan oleh Keberadaan dalam keadaan apa pun, memilih Preya yang menyamankan atau Úreya yang memuliakan…….. 
Silakan lihat…….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar