Renungan Bhàgavatam:
Kesetiaan Sukanyà dari Dinasti Sùrya dan
Kedewataan Aúwin Kembar
Pada akhir Pralaya yang ada hanya Nàràyaóa, tidak ada yang lain.
Dari pusar Nàràyaóa nampak bunga teratai dan dari bunga teratai muncul Brahma.
Kaúyapa kawin dengan Aditi menurunkan para dewa diantaranya
adalah Dewa Sùrya.
Putra Sùrya adalah Úraddhàdewa yang merupakan kelahiran
kembali dari Satyavrata yang selamat dari kalpa sebelumnya dan menjadi Manu
dalam Waiwaswata Manvantara.
Ikûvàku adalah keturunan Úraddhàdewa yang terkenal
sebagai raja agung dari Dinasti Sùrya.
Salah satu putra Manu adalah Saryati
yang terkenal sangat adil yang mempunyai putri bernama Sukanyà.
Suatu ketika
Raja bepergian ke hutan beserta rombongan pasukan dan Sukanyà, sang putri turut
serta.
Bagi sang raja putrinya yang telah menjadi gadis tersebut
dianggapnya masih sebagai anak-anak layaknya.
Semua keluarga dan seluruh
masyarakat mencintai sang putri yang sederhana dan selalu bertindak ramah
terhadap siapa saja.
Adalah seorang Åûi bernama Cyavana yang bertapa dengan keras dan
seluruh tubuhnya sudah tertutup lumpur dan dedaunan selama bertahun-tahun.
Dari
jauh hanya nampak seperti gumpalan tanah dengan dua lubang di matanya.
Matanya
memancarkan api yang membuat gumpalan tanah tersebut mempunyai dua buah lubang.
Sang putri bermain-main di sekeliling rombongan raja dan tertarik dengan
gumpalan tanah dengan dua buah lubang tersebut.
Diambilnya ranting dan
ditusukkanlah ke dalam dua lubang tersebut.
Sang Åûi yang tengah bermeditasi
merasa terganggu dan segera seluruh rombongan sang raja menjadi lumpuh.
Sang
Åûi kemudian bertanya siapa yang telah mengganggu samàdhi-nya. Sukanyà lari
kepada sang raja dan menceritakan kejadiannya.
Sang raja mohon maaf atas kesalahan sang putri dan paham bahwa
meditasi yang telah dilakukan sang Åûi selama bertahun-tahun menjadi terganggu.
Dan itu adalah sebuah pengorbanan yang sangat besar.
Untuk itu sang raja
menawarkan sang putri untuk dinikahkan dengan sang Åûi.
Akhirnya Sukanyà
dinikahkan dengan Åûi Cyavana dan tinggal di hutan.
Sukanyà yang merasa
bersalah patuh terhadap keputusan ayahandanya.
Sukanyà menjadi istri yang baik
yang setia terhadap suaminya dan melayaninya dengan sebaik-baiknya.
Baginya
suaminya adalah wujud Nàràyaóa untuk membimbing dirinya, dan dalam waktu yang
singkat kesadaran Sukanyà meningkat.
Sukanyà melayani suaminya seperti Dewahùtì
melayani Kardama.
Nampaknya kejadian-kejadian di dunia ini seperti sebuah
pengulangan saja, walau berbeda peran dan setting panggung, ceritanya ada
benang merah persamaannya.
Tersentuh oleh kesetiaan sang Istri terhadap dirinya yang sudah tua dan hidup di tepi hutan belantara, maka Åûi Cyavana berdoa dengan penuh kesungguhan terhadap Dia Hyang Maha Memiliki Segalanya…
Dalam buku “Spiritual Astrology, The Ancient Art of Self
Empowerment, Bhakti Seva, Terjemahan Bebas, Re-editing, dan Catatan Oleh Anand Krishna”, Gramedia Pustaka Utama, 2010
disampaikan…
Dalam zaman yang serba maju inilah kita baru memahami manfaat
ilmu olah-batin atau spiritualitas.
Mendalami dan melakoni ilmu-ilmu ini,
termasuk meditasi, yoga, dan lain sebagainya membantu kita menyelaraskan diri
dengan alam semesta.
Dengan demikian, kita memperoleh kekuatan-kekuatan yang sebelumnya
tak terbayangkan.
Kekuatan-kekuatan alam itu sesungguhnya bukanlah sesuatu yang
gaib, tetapi hasil dan pengetahuan kita tentang berbagai hukum alam.
Pemanfaatan hukum-hukum itu menghasilkan apa yang biasa disebut “mukjizat” oleh
awam.
Biasakanlah dirimu membaca buku-buku tentang spiritualitas, metafisika,
dan lain sebagainya.
Dengan semakin terbukanya pikiran dan meluasnya wawasanmu,
semakin berhasillah kau mencapai kesempurnaan hidup……….
Setiap doa yang
dipanjatkan dengan ketulusan hati dan kesungguhan jiwa pasti terkabulkan!
Berdoalah, setiap kali kau menghadapi suatu keadaan di mana keseimbangan dirimu
goyah.
Berdoalah setiap kali kau merasa tidak berdaya dan lemah untuk
menghadapi suatu tantangan yang berat.
Berdoalah dengan cara menarik diri dari
keramaian; membuka hati, pikiran, dan jiwamu kepada Gusti Allah.
Berdoalah
untuk memperoleh tuntunan-Nya, bimbingan-Nya.
Dan, yakinilah bahwa Ia Maha
Mendengar.
Banyak cara yang ditempuh-Nya untuk menjawab doamu.
Bukalah dirimu
terhadap semua cara itu.
Ada kalanya la mengutus para malaikat, para dewa, atau
para roh suci untuk menolongmu, membimbingmu.
Ketahuilah bila semuanya itu
terjadi semata karena la menghendaki-Nya.
Para Yogi selalu berdoa untuk Terang,
untuk Tuntunan, untuk Kebijaksanaan, Kekuatan, dan Kasih.
Doa mereka selalu
terkabulkan. Belajarlah untuk berdoa seperti mereka….
Pada suatu hari sepasang kumàra, makhluk setengah dewa Aúwin
Kembar datang ke àúram Cyavana.
Sang Åûi merasa bahwa kedatangan mereka adalah
merupakan jawaban dari doanya.
Sang Åûi memberikan hormat dan berkata,
“Kalian adalah penyembuh dan pemberi obat kepada para dewa.
Karena engkau seorang profesional, maka para dewa tidak memberikan “soma” sepanjang upacara persembahan yajña.
Engkau dianggap sebagai dewa dengan status yang lebih rendah.
Bila kau bersedia membuatku menjadi muda dan tampan, maka aku akan membuatmu mendapatkan bagian soma.”
Aúwin Kembar setuju, dan kemudian mereka
mengucapkan beberapa mantra.
Setelah itu, Åûi Cyavana diminta mengikuti mereka
masuk danau.
Keluar dari danau Sukanyà melihat tiga pemuda tampan memakai
kalung bunga teratai.
Sukanyà menyembah mereka bertiga dan mohon diberitahu
yang mana suaminya.
Aúwin kembar memberitahu ciri-ciri suaminya dan kemudian
mereka mohon diri dan kembali ke surga.
Beberapa waktu kemudian Raja Saryati pergi ke àúram Cyavana
untuk menanyakan masalah yajña, sekaligus menengok putrinya.
Manakala sang raja
masuk àúram, dia melihat putrinya sedang bercengkerama dengan pemuda tampan
seperti dewa.
Raja segera melengos dan pergi meninggalkan àúram.
Sukanyà
mengejar sang raja, akan tetapi sang raja tidak mau melihat wajah putrinya.
Sukanyà berkata,
“Ayahanda aku kangen dengan ayahanda, akan tetapi mengapa menatap wajahku saja ayahanda tidak mau?”
Sang raja berkata,
“Engkau adalah keturunan Manu yang agung. Mengapa kamu merendahkan diri dengan menipu Åûi Cyavana dengan berselingkuh dengan anak muda? Bagaimana kamu dapat melakukan perbuatan serendah itu?”
Dari belakang sang anak muda tampan datang menyusul dan
tersenyum.
Sukanyà berkata,
“Ayahanda, anak muda ini adalah menantumu, Åûi Agung Cyavana!”
Kemudian Sukanyà dan Cyavana menceritakan kisah mereka dan
tentang kebaikan Aúwin Kembar.
Tak lama kemudian, Åûi Cyavana menyelenggarakan
upacara Somayajña dan mengundang Aúwin Kembar.
Indra datang dan merasa tidak
senang dengan peningkatan status kedewaan Aúwin Kembar.
Indra mengangkat vajra
untuk memukul Cyavana, akan tetapi lengannya mendadak lumpuh dan vajranya tak
berdaya.
Indra kemudian menyadari bahwa dia tak perlu egois dan kemudian
membiarkan Aúwin Kembar turut serta menikmati soma sebagaimana layaknya dewa.
Dalam kisah Mahàbhàrata, Dewa Aúwin Kembar dipuja oleh Dewi Madrim istri Pàóðu,
Raja Hastinà, sehingga dari Dewi Madrim melahirkan putra kembar tampan bernama
Nakula dan Sahadewa……
Bagi Sukanyà, hidup berkesadaran dibawah bimbingan Åûi Cyavana
sudah cukup baginya, dan dia tidak mempunyai keinginan yang lain lagi.
Bagaimana pun setelah melihat Åûi Cyavana menjadi muda kembali ayahandanya
menjadi bahagia bahwa putrinya mendapatkan Åûi bijaksana yang sepadan dengan
kecantikan dirinya.
Sang raja tidak mempunyai rasa bersalah menjodohkan
putrinya dengan seorang Åûi yang sudah tua……
Mengenai hidup berkesadaran, Bapak Anand Krishna menjelaskan
dalam buku “Spiritual Astrology, The Ancient Art of Self Empowerment, Bhakti
Seva, Terjemahan Bebas, Re-editing, dan Catatan Oleh Anand Krishna”, Gramedia Pustaka Utama, 2010 sebagai
berikut………
Hidup Berkesadaran berarti…
“Tidak pernah berhenti mengupayakan peningkatan kesadaran. Tidak pernah berhenti pada suatu definisi baku tentang kesadaran.”
Itulah hidup berkesadaran.
Hidup berkesadaran berarti,
“Menggali diri secara terus-menerus. Upaya tanpa henti untuk menemukan jati diri.”
Saya
tekankan, “upaya tanpa henti”.
Begitu kita berhenti berupaya, begitu kita
merasa sudah sampai atau sudah ketemu, kesadaran kita pun berhenti berkembang.
Kemudian, kita tidak hidup berkesadaran lagi.
Kita hidup dengan definisi baku
tentang kesadaran.
Hidup berkesadaran berarti “masak dan makan setiap hari”.
Kita bisa mengisi perut dengan roti basi, atau lauk yang dimasak minggu lalu,
kemudian disimpan di lemari es.
Tapi, itu bukanlah hidup berkesadaran.
Hidup
berkesadaran adalah hidup segar dari hari ke hari, dari detik ke detik.
Hidup
berkesadaran berarti merevisi, memperbaharui, dan sekaligus memperbaiki
definisi kita tentang kesadaran dari hari ke hari………
Dulu, kita tidak dapat
membayangkan pengiriman data, termasuk suara, dan gambar lewat gelombang radio.
Sekarang kita hidup dalam zaman internet.
Data dalam bentuk tulisan, suara,
atau gambar berubah menjadi gelombang dan di tempat tujuannya berubah kembali
menjadi data!
Dulu, barangkali dianggap mukjizat. Sekarang, biasa-bisa
saja!……….
Selama ini kita menganggap pikiran dan perasaan adalah nonmateri.
Anggapan itu, saya yakin seyakin-yakinnya, tidak akan bertahan lama.
Bahkan,
barangkali para ilmuwan sudah tidak menganggapnya nonmateri lagi.
Lalu, Apa
yang Bersifat Nonmateri?
Kesadaran yang menyadari kebendaan, materi, fisik,
pikiran, perasaan, emosi, energi, vibrasi - barangkali, mungkin - itulah
nonmateri.
Spiritualitas adalah perjalanan batin dari aku-badan, aku-pikiran,
aku-perasaan, aku-emosi, aku- energi, aku-vibrasi, bahkan aku-kebenaran dengan
“a” dan “k” kecil, atau Akulah Kebenaran dengan “A” dan “K” besar menuju
“kesadaran”.
Siapakah yang menyadari semuanya itu?
Siapakah yang merasakan
semuanya itu?
Segala sesuatu yang mengelilingi kesadaran itu adalah kebendaan.
Kebendaan adalah proyeksi dari kesadaran.
Materi adalah manifestasi dari
non-materi.
Keberadaan adalah wujud dari ketiadaan.
Kesadaran berada di tengah,
antara ketiadaan dan keberadaan.
Kesadaran membuat kita sadar akan sifat kedua
fenomena yang sesungguhnya satu adanya - Dwitunggal Ada-Tiada.
Bagaimana
menjelaskan fenomena ini dalam bahasa sederhana? Alam semesta ibarat Rumah
Besar…
Dengan jumlah kamar dan pelayan yang tidak terhitung.
Tentu rumah ini
ada pemiliknya.
Baik pelayan maupun pemilik bebas untuk memasuki kamar yang
mana saja.
Pelayan, untuk membersihkan kamar.
Pemilik, untuk menikmati apa yang
ada dalam kamar itu.
Pemilik bebas untuk menentukan penggunaan setiap kamar.
Pelayan tidak memiliki kebebasan itu.
Pemilik bisa bongkar-pasang, bisa
mengubah interior, bisa melakukan apa saja.
Pelayan tidak bisa. Pemilik dan
pelayan, dua-duanya tinggal di dalam rumah yang sama.
Tapi, hidup mereka tidak
sama.
Pemilik hidup dengan kesadaran akan kepemilikannya.
Pelayan hidup dengan
kesadaran akan tugas dan kewajibannya sebagai pelayan.
Pemilik boleh mengisi
salah satu kamar saja.
Ia boleh mengunci diri dalam kamar itu selama
berhari-hari, atau seumur hidup.
Ia boleh tidak mengunjungi kamar-kamar lain.
Tapi, kepemilikannya atas setiap kamar yang ada di dalam rumah itu tidak
mengalami perubahan. Ia tetap memiliki rumah itu.
Pemilik boleh meninggalkan
rumah itu selama beberapa hari, atau berhari-hari.
Ia boleh tidak ada di dalam
rumah itu.
Namun, kepemilikannya atas rumah itu sama sekali tidak terganggu.
“Kepemilikan” inilah Nonmateri, inilah Kesadaran……….
Sekarang, kita tinggal
memilih, mau tinggal di rumah alam semesta sebagai pemilik, atau pelayan.
Seorang pemilik hidup di tengah dunia benda dengan kesadaran akan
kepemilikannya.
Ia tidak perlu digaji. Ia tidak bekerja demi penghasilan.
Ia
berkarya demi kepuasan diri.
Hanyalah seorang berkesadaran pemilik yang bisa
berkarya tanpa pamrih.
Dengan kesadaran pelayan, sulit untuk berkarya tanpa
pamrih.
Mereka yang berkarya tanpa pamrih, setidaknya menjalin “hubungan
khusus” dengan sang pemilik.
Dan, menjadi bagian dari kepemilikan Hyang Maha
Memiliki.
Yesus mengatakan bila Hyang Memiliki adalah Bapa.
Kendati, pada saat
yang sama la pun meyakini bila sesungguhnya Bapa dan diri-Nya sama.
Rabiah,
Meera, dan Rumi menjalin hubungan kasih dengan-Nya.
Sementara itu, Mansur,
Sarmad, dan Siti Jenar secara tegas menyatakan kepemilikan-Nya, “Akulah
Kebenaran”.
Kita tidak memahami maksud mereka, dan menggantung mereka, membunuh
mereka.
Itu adalah kerugian kita, dan hanyalah membuktikan sempitnya pandangan,
wawasan, serta kesadaran kita.
Karena, “Aku”-nya Mansur, Sarmad, dan Siti Jenar
bukanlah aku-fisik, aku-pikiran, aku-perasaan, dan lain sebagainya.
“Aku”
mereka adalah kesadaran murni. “Aku” mereka mewakili “kepemilikan” Sang
Pemilik.
Seorang duta besar negara yang berdaulat mewakili negaranya dan
bertindak atas nama pemerintahnya.
Salahkah dia?
Ketika ia menggunakan “aku”
atau “kami”, itu adalah negara dan pemerintahnya yang dimaksudkan.
Bukankah itu
tugas dan kewajibannya?…
Bapak Anand Krishna memberikan pelajaran, bahwa dalam keadaan
kritis dan dituntut oleh perkara beliau tetap menjaga kesadaran dan
menghasilkan beberapa buku pemberdayaan diri, di antaranya adalah buku “Spiritual
Astrology, The Ancient Art of Self Empowerment, Bhakti Seva, Terjemahan Bebas,
Re-editing, dan Catatan Oleh Anand Krishna”, Gramedia Pustaka Utama,
2010.
Apabila kita orang awam dalam keadaan kritis, mungkin sekali
kita tidak dapat berpikir jernih, pikiran dilanda kegalauan dan energi habis
untuk berpikir tentang kecemasan atau menurunkan kesadaran dengan melarikan
diri dari masalah seperti mabuk-mabukan atau minum obat narkotika.
Berpikir
jernih dan memelihara kesadaran di waktu kondisi kritis dimana seakan-akan
semua pintu keadilan tertutup oleh rekayasa adharma, akan menentukan jalannya
kehidupan kita.
Kita selalu diberikan pilihan oleh Keberadaan dalam keadaan apa
pun, memilih Preya yang menyamankan atau Úreya yang memuliakan……..
Silakan
lihat…….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar