Parìkûit – versi Bhagawata Purana
Parìkûit adalah seorang raja yang baik. Sebelum melakukan hal-hal
yang penting, beliau selalu meminta nasehat para bràhmaóa. Ia menikah dengan
Iràwatì, putri dari pangeran Uttara. Parìkûit dan Iràwatì memiliki empat orang
anak, yang paling terkenal adalah Janamejaya. Parìkûit juga melakukan tiga kali
upacara aúwamedha di pinggir sungai Gaògà. Guru dari Parìkûit adalah Kåpàcàrya.
Suatu hari, Parìkûit mendengar berita bahwa raksasa Kali telah
memasuki kerajaannya. Zaman Kaliyuga telah di mulai segera setelah kematian
Kåûóa. Namun dalam kejadian khusus ini, Kali kemudian menyerang kerajaan
Parìkûit, seorang diri.
Segera setelah mengetahui kerajaannya diserang, ia kemudian memakai perisai dan mengangkat senjatanya. Ia lalu naik
ke keretanya dan memimpin pasukannya untuk menaklukkan dunia dan melawan Kali.
Bumi yang terbagi menjadi tujuh wilayah yang satu persatu ditaklukkan oleh
Úiwa. Dan ia memaksa para raja untuk membayar pajak padanya.
Dalam perjalanannya menaklukkan beberapa belahan bumi, Parìkûit
bertemu dengan dewi Bumi yang mengembara dalam wujud seekor sapi. Sapi ini
sedang bercakap-cakap dengan seekor banteng dan banteng itu tiada lain adalah
dewa Dharma yang sedang menyamar. Sapi dan banteng itu membicarakan tentang
kejahatan yang merajalela di bumi. Ketika Parìkûit sedang menemui banteng dan
sapi itu, seorang Úùdra, (yaitu golongan kasta yang terendah dalam keper-cayaan
Hindu). Sedang memukuli kedua binatang itu. Kedua binatang itu lari ketakutan,
ketika dipukuli oleh úùdra itu.
Parìkûit kemudian berteriak kepada úùdra itu, “Apa yang telah kau
lakukan ? Tidakkah kau merasa malu atau takut padaku ? Kau memang pantas
dibunuh” Ia kemudian menyelamatkan kedua binatang itu lalu membunuh orang úùdra
itu. Akan tetapi orang úùdra ini tiada lain adalah Kali dan Kali kemudian
bersujud pada Parìkûit untuk meminta ampun.
Dalam keadaan itu, Parìkûit tidak tega membunuh orang yang sudah
meminta ampun. Maka ia melepaskannya, dengan syarat bahwa Kali tidak boleh
menempati atau tinggal di wilayah kerajaan Parìkûit. Karena kalau tidak, maka
segala sifat buruk akan merajalela di kerajaan itu. Syarat yang diberikan oleh
Parìkûit membuat Kali berada dalam dilema. Karena seluruh dunia adalah wilayah
kerajaan Parìkûit, lalu kemana ia harus bersembunyi.
Namun Parìkûit kemudian
memperingan syaratnya dengan menentukan beberapa tempat yang bisa dihuni oleh
Kali. Tempat-tempat itu adalah tempat perjudian, mabuk-mabukan, dan kekerasan
dilakukan. Selama Parìkûit menjadi raja, maka Kali tidak akan diijinkan
melakukan kejahatan.
Suatu kali, Parìkûit pergi untuk berburu. Setelah mengejar
binatang buruan cukup lama, beliau merasa haus dan lapar. Ia kemudian mencari
sebuah tempat di mana beliau bisa mendapatkan air untuk diminum. Dalam
pencariannya itu, beliau tiba di sebuah pertapaan seorang åûi. Sang åûi sedang
tenggelam dalam meditasinya, namun beliau sadar akan apa yang terjadi di
sekelilingnya. Beliau adalah pertapa yang amat sakti.
Pada sang åûi yang sedang bermeditasi, Parìkûit meminta air, namun
beliau tidak menjawabnya. Merasa dihina dalam kedudukannya sebagai raja.
Parìkûit kemudian mengalungkan bangkai seekor ular di pundak sang åûi. Kemudian
ia kembali ke kerajaannya.
Sementara itu, putra sang åûi tadi, sedang sibuk bermain dengan
teman-temannya, ketika semua ini sedang terjadi. Anak ini juga memiliki
kesaktian yang sangat hebat. Ketika kembali dari bermain ia melihat keadaan
ayahnya, dan menjadi sangat marah. Maka dengan kesaktiannya, ia segera tahu
bahwa seorang raja dari golongan kûatriya telah berani menghina ayahnya. Maka
ia pun mengutuk raja Parìkûit bahwa beliau akan mati digigit ular. Dan ular
yang menggigitnya adalah ular Takûaka.
Mengetahui hal itu, sang åûi ayahnya, menjadi kecewa atas tindakan
anaknya yang mengutuk raja Parìkûit agar mati digigit ular dalam waktu tujuh
hari. Åûi ini bernama Úamìka, dan beliau kemudian memberitahu putranya. “Apa
yang telah kau lakukan ? Raja adalah pelindung kita. Apa yang akan terjadi
dengan diri kita jika beliau meninggal ? Lagi pula Parìkûit adalah raja yang
baik. Kau telah menjatuhkan hukuman yang terlampau berat atas kesalahan yang
ringan.”
Sementara itu, sekembali di kerajaannya, Parìkûit juga tersentak
teringat akan apa yang baru saja dilakukannya. Ia sadar bahwa tidak seharusnya
ia melakukan hal itu. Dan ia berjanji, tidak akan melakukan kesalahan yang sama
di masa datang, dan sekarang ia akan melakukan tapa brata untuk menebus
kesalahannya.
Ketika beliau sedang merenungi hal itu, sebuah kabar dilaporkan
padanya, tentang kutukan yang ditimpakan kepadanya. Namun Parìkûit menerima hal
itu dengan lapang dada. Maka ia mulai bersiap-siap untuk menebus dosanya.
Baginya, jika memang ia ditakdirkan untuk meninggal dalam waktu tujuh hari,
maka terjadilah seperti itu. Namun untuk menghembuskan nafas terakhirnya, ia
memilih sungai Gaògà. Dan ia akan menghabiskan waktu tujuh harinya dengan
bermeditasi pada Kåûóa.
Maka Parìkûit kemudian memulai puasa dan tapa bratanya di pinggir
sungai Gaògà. Ia bermeditasi dan merenungkan Kåûóa. Para åûi berkumpul untuk
menyaksikan pemandangan yang mengagumkan itu. Parìkûit sangat senang atas
kedatangan para åûi itu, yang berarti bahwa di saat terakhir hidupnya
terberkati. Saat itu, putranya yang bernama Janamejaya juga datang hingga ia
bisa langsung menobatkan anaknya menjadi raja. Para dewa dan åûi sangat kagum
atas ketenangan jiwa Parìkûit dalam menyambut kematiannya. Sehingga para dewa
menyiramkan bunga kepadanya, dari langit.
Saat itu, datanglah putra dari Wyàsadewa yaitu åûi Úukadewa. Beliau
baru berumur enam belas tahun namun karena tingkat kesucian rohaninya yang
sangat tinggi, membuat para åûi yang berkumpul, berdiri untuk memberi hormat
padanya. Parìkûit juga memberi hormat lalu bersujud padanya dan berkata, “Hamba
terberkati oleh kedatangan anda. Mohon ceritakanlah apa yang harus diketahui
oleh orang yang akan mati.”
Maka sang åûi muda, Úukadewa mulai bercerita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar