Senin, 28 Mei 2012

Parikesit - Cermin Diri


Raja parikesit mengalungkan bangkai ular di leher Bagawan Samiti 

Parìkûit (Dewanàgarì: pr¢i=t(; IAST: parìkûita; parìkûit) atau Parìkûita adalah seorang tokoh dari wiracarita Mahàbhàrata. Ia adalah raja Kerajaan Kuru dan cucu Arjuna. Ayahnya adalah Abimanyu sedangkan putranya adalah Janamejaya.

Dalam kitab Adiparwa, akhir riwayatnya diceritakan bahwa Prabhu Parikesit meninggal karena digigit Nàga Takûaka yang bersembunyi di dalam buah jambu, sesuai dengan kutukan Bràhmaóa Såògi (Srenggi) yang merasa sakit hati karena Prabhu Parikesit telah mengkalungkan bangkai ular hitam di leher ayahnya, Bagawan Samiti.

Parikesit tewas digigit oleh Nàga Takûaka, setelah beliau diramalkan akan dibunuh oleh seekor ular. Maka beliaupun menyuruh untuk mengadakan upacara (sarpayajña) sarpayadnya untuk mengusir semua ular. Tetapi karena sudah takdirnya, beliau pun digigit sampai wafat.

Peristiwa sebelum kelahiran
Saat Maharaja Parikesit masih berada dalam kandungan, ayahnya yang bernama Abimanyu, turut serta bersama Arjuna dalam sebuah pertempuran besar di daratan Kurukûetra. Dalam pertempuran tersebut, Abimanyu gugur dalam serangan musuh yang dilakukan secara curang. Abimanyu meninggalkan ibu Parikesit yang bernama Utara karena gugur dalam perang.

Pada pertempuran di akhir hari kedelapan belas, Aúwatthàma bertarung dengan Arjuna. Aúwatthàma dan Arjuna sama-sama sakti dan sama-sama mengeluarkan senjata Brahmàstra. Karena dicegah oleh Resi Byàsa, Aúwatthàma dianjurkan untuk mengarahkan senjata tersebut kepada objek lain. Maka Aúwatthàma memilih agar senjata tersebut diarahkan ke kandungan Utara. Senjata tersebut pun membunuh Parikesit yang masih berada dalam kandungan. Atas pertolongan dari Kåûóa, Parikesit dihidupkan kembali. Aúwatthàma kemudian dikutuk agar mengembara di dunia selamanya.

Ramalan kehidupan
Resi Dhomya memprediksikan kepada Yudhiûþhira setelah Parikesit lahir bahwa ia akan menjadi pemuja setia Dewa Wiûóu, dan semenjak ia diselamatkan oleh Bhaþàra Kåûóa, ia akan dikenal sebagai Viûóuratha (Orang yang selalu dilindungi oleh Sang Dewa).

Resi Dhomya memprediksikan bahwa Parikesit akan selamanya mencurahkan kebajikan, ajaran agama dan kebenaran, dan akan menjadi pemimpin yang bijaksana, tepatnya seperti Ikûwaku dan Ràma dari Ayodhyà. Ia akan menjadi ksatria panutan seperti Arjuna, yaitu kakeknya sendiri, dan akan membawa kemahsyuran bagi keluarganya.

Raja Hastinàpura
Saat dimulainya zaman Kali Yuga, yaitu zaman kegelapan, dan mangkatnya Kåûóa Awatàra dari dunia fana, lima Pàóðawa bersaudara pensiun dari pemerintahan. Parikesit sudah layak diangkat menjadi raja, dengan Kåpa sebagai penasihatnya. Ia menyelenggarakan Aúwamedha Yajña tiga kali di bawah bimbingan Kåpa.

Kutukan Sang Srenggi
Pada suatu hari, Raja Parikesit pergi berburu ke tengah hutan. Ia kepayahan menangkap seekor buruan, lalu berhenti untuk beristirahat. Akhirnya ia sampai di sebuah tempat pertapaan. Di pertapaan tersebut, tinggallah Bagawan Samiti. Ia sedang duduk bertapa dan membisu. Ketika Sang Raja bertanya kemana buruannya pergi, Bagawan Samiti hanya diam membisu karena pantang berkata-kata saat sedang bertapa. Karena pertanyaannya tidak dijawab, Raja Parikesit marah dan mengambil bangkai ular dengan anak panahnya, lalu mengalungkannya ke leher Bagawan Samiti. Kemudian Sang Kresa menceritakan kejadian tersebut kepada putera Bagawan Samiti yang bernama Sang Srenggi yang bersifat mudah marah.

Saat Sang Srenggi pulang, ia melihat bangkai ular melilit leher ayahnya. Kemudian Sang Srenggi mengucapkan kutukan bahwa Raja Parikesit akan mati digigit ular setelah tujuh hari sejak kutukan tersebut diucapkan. Bagawan Samiti kecewa terhadap perbuatan puteranya tersebut, yang mengutuk raja yang telah memberikan mereka tempat berlindung. Akhirnya Bagawan Samiti berjanji akan mengakhiri kutukan tersebut. Ia mengutus muridnya untuk memberitahu Sang Raja, namun Sang Raja merasa malu untuk mengakhiri kutukan tersebut dan memilih untuk berlindung.

Kemudian Nàga Takûaka pergi ke Hastinàpura untuk melaksanakan perintah Sang Srenggi untuk menggigit Sang Raja. Penjagaan di Hastinàpura sangat ketat. Sang Raja berada dalam menara tinggi dan dikelilingi oleh prajurit, Bràhmaóa, dan ahli bisa. Untuk dapat membunuh Sang Raja, Nàga Takûaka menyamar menjadi ulat dalam buah jambu. Kemudian jambu tersebut disuguhkan kepada Sang Raja. Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Raja Parikesit wafat setelah digigit Nàga Takûaka yang menyamar menjadi ulat dalam buah jambu.

Keturunan Raja Parikesit
Parikesit menikahi Madrawati, dan memiliki seorang putera bernama Janamejaya. Janamejaya diangkat menjadi raja pada usia yang masih muda. Janamejaya menikahi Wapuûþama, dan memiliki dua putera bernama Úatànìka dan Saòkukaróa. Úatànìka diangkat sebagai raja menggantikan ayahnya dan menikahi puteri dari Kerajaan Wideha, kemudian memiliki seorang putra bernama Aúwamedhadatta.
Para keturunan Raja Parikesit tersebut merupakan raja legendaris yang memimpin Kerajaan Kuru, namun riwayatnya tidak muncul dalam Mahàbhàrata.

Parikesit dalam pewayangan Jawa
Parikesit adalah putera Abimanyu alias Angkawijaya, kesatria Plangkawati dengan permaisuri Dewi Utari, puteri Prabhu Matsyapati dengan Dewi Ni Yustinawati dari Kerajaan Wirata. Ia seorang anak yatim, karena ketika ayahnya gugur di medan perang Bhàratayuddha, ia masih dalam kandungan ibunya. Parikesit lahir di istana Hastinàpura setelah keluarga Pàóðawa boyong dari Amarta ke Hastinàpura.
Parikesit naik tahta negara Hastinàpura menggantikan kakeknya Prabhu Karimataya, nama gelar Prabhu Yudhiûþhira setelah menjadi raja negara Hastinàpura. Ia berwatak bijaksana, jujur dan adil.

Prabhu Parikesit mempunyai 5 (lima) orang permasuri dan 8 (delapan) orang putera, yaitu:
1. Dewi Puyangan, berputera Ràmàyaóa dan Pramasata
2. Dewi Gentang, berputera Dewi Tamioyi
3. Dewi Satapi alias Dewi Tapen, berputera Yudayana dan Dewi Pramasti
4. Dewi Impun, berputera Dewi Niyedi
5. Dewi Dangan, berputera Ramaprawa dan Basanta.

Pesan moral: 
Jangan karena jabatan, membuat kita lupa akan rasa hormat dan kasih kepada sesama.
 
Sumber: Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar