Periodisasi WAYANG
Periodisasi
perkembangan budaya wayang juga merupakan bahasa yang menarik. Bermula zaman
kuna ketika nenek moyang bangsa Indonesia masih menganut animisme dan
dinamisme. Dalam kepercayaan animisme dan dinamisme ini diyakini roh orang yang
sudah meninggal masih tetap hidup, dan semua benda itu bernyawa serta memiliki
kekuatan. Roh-roh itu bisa bersemayam di kayu-kayu besar, batu, sungai, gunung
dan lain-lain. Paduan dari animisme dan dinamisme ini menempatkan roh nenek
moyang yang dulunya berkuasa, tetap mempunyai kuasa. Mereka terus dipuja dan
dimintai pertolongan. Untuk memuja roh nenek moyang ini, selain melakukan
ritual tertentu mereka mewujudkannya dalam bentuk gambar dan patung Roh nenek
moyang yang dipuja ini disebut “hyang” atau “dahyang”.
Orang bisa
berhubungan dengan para hyang ini untuk minta pertolongan dan
perlindungan, melalui seorang medium yang disebut ‘syaman’. Ritual
pemujaan nenek moyang, hyang dan syaman inilah yang
merupakan asal mula pertunjukan wayang. Hyang menjadi wayang,
ritual kepercayaan itu menjadi jalannya pentas dan syaman menjadi
dalang. Sedangkan ceritanya adalah petualangan dan pengalaman nenek moyang.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Asli yang hingga sekarang masih
dipakai. Jadi, wayang itu berasal dari ritual kepercayaan nenek moyang bangsa
Indonesia di sekitar tahun 1500 SM.
Berasal dari
zaman animisme, wayang terus mengikuti perjalanan sejarah bangsa sampai pada
masuknya agama Hindu di Indonesia sekitar abad keenam. Bangsa Indonesia mulai
bersentuhan dengan peradaban tinggi dan berhasil membangun kerajaan-kerajaan
seperti Kutai, Tarumanegara, bahkan Sriwijaya yang besar dan jaya. Pada masa
itu wayang pun berkembang pesat, mendapat pondasi yang kokoh sebagai suatu
karya seni yang bermutu tinggi.
Pertunjukan roh
nenek moyang itu kemudian dikembangkan dengan cerita yang lebih berbobot,
Ramayana dan Mahabarata. Selama abad X hingga XV, wayang berkembang dalam
rangka ritual agama dan pendidikan kepada masyarakat. Pada masa ini telah mulai
ditulis berbagai cerita tentang wayang. Semasa kerajaan Kediri, Singasari dan
Majapahit kepustakaan wayang mencapai puncaknya seperti tercatat pada prasasti di
candi-candi, karya sastra yang ditulis oleh Empu Sendok, Empu Sedah, Empu
Panuluh, Empu Tantular dan lain-lain. Karya sastra wayang yang terkenal
dari zaman Hindu itu antara lain Baratayuda, ArjunaWiwaha, Sudamala, sedangkan
pergelaran wayang sudah bagus, diperkaya lagi dengan penciptaan peraga wayang
terbuat dari kulit yang dipahat, diiringi gamelan dalam tatanan pentas yang
bagus dengan cerita Ramayana dan Mahabarata. Pergelaran wayang mencapai muni
seni yang tinggi sampai sampai digambarkan “Hannonton ringgit menangis
esekel”, tontonan wayang sangat mengharukan.
Menarik untuk
diperhatikan Cerita Ramayana dan Mahabarata yang asli berasal dari India, telah
diterima dalam pergelaran wayang Indonesia sejak zaman Hindu hingga sekarang.
Wayang seolah-olah identik dengan Ramayana dan Mahabarata. Namun perlu
dimengerti bahwa Ramayana dan Mahabarata versi India itu sudah banyak berubah.
Berubah alur ceritanya; kalau Ramayana dan Mahabarata India merupakan cerita
yang berbeda satu dengan lainnya, di Indonesia menjadi satu kesatuan. Dalam
pewayangan cerita itu bermula dari kisah Ramayana terus bersambung dengan
Mahabarata, malahan dilanjutkan dengan kisah zaman kerajaan Kediri. Mahabarata
asli berisi 20 parwa, sedangkan di Indonesia tinggal 18 parwa.
Yang sangat menonjol
perbedaannya adalah falsafah yang mendasari kedua cerita itu. Lebih-lebih
setelah masuknya agama Islam. Falsafah Ramayana dan Mahabarata yang Hinduisme
diolah sedemikian rupa sehingga menjadi diwarnai nilai-nilai agama Islam. Hal
ini antara lain tampak pada kedudukan dewa, garis keturunan yang patriarkhat,
dan sebagainya. Wayang diperkaya lagi dengan begitu banyaknya cerita gubahan
baru yang bisa disebut lakon “carangan “, maka Ramayana dan
Mahabarata benar-benar berbeda dengan aslinya. Begitu pula, Ramayana dan
Mahabarata dalam pewayangan tidak sama dengan Ramayana dan Mahabarata yang
berkembang di Myanmar, Thailand, Kamboja, dan di tempat-tempat lainnya.
Ramayana dan Mahabarata dari India itu sudah menjadi Indonesia karena diwarnai
oleh budaya asli dan nilai-nilai budaya yang ada di Nusantara.
Di Indonesia,
walaupun cerita Ramayana dan Mahabarata sama-sama berkembang dalam pewayangan,
tetapi Mahabarata digarap lebih tuntas oleh para budayawan dan pujangga kita.
Berbagai lakon carangan
dan sempalan, kebanyakan mengambil Mahabarata sebagai inti
cerita.
Masuknya agama
Islam di Indonesia pada abad ke-15, membawa perubahan besar terhadap kehidupan
masyarakat Indonesia. Begitu pula wayang telah mengalami masa pembaharuan.
Pembaharuan besar-besaran, tidak saja dalam bentuk dan cara pergelaran wayang,
melainkan juga isi dan fungsinya. Berangkat dari perubahan nilai-nilai yang
dianut, maka wayang pada zaman Demak dan seterusnya telah mengalami penyesuaian
dengan zamannya. Bentuk wayang yang semula realistik proporsional seperti
tertera dalam relief candi-candi, distilir menjadi bentuk imajinatif seperti
wayang sekarang ini. Selain itu, banyak sekali tambahan dan pembaharuan dalam
peralatan seperti kelir atau layar, blencong, atau lampu, debog
yaitu pohon pisang untuk menancapkan wayang, dan masih banyak lagi.
Para wall dan
pujangga Jawa mengadakan pembaharuan yang berlangsung terus menerus sesuai
perkembangan zaman dan keperluan pada waktu itu, utamanya wayang digunakan
sebagai sarana dakwah Islam. Sesuai nilai Islam yang dianut, isi dan fungsi
wayang telah bergeser dari ritual agama (Hindu) menjadi sarana pendidikan,
dakwah, penerangan, dan komunikasi massa. Ternyata wayang yang telah
diperbaharui kontekstual dengan perkembangan agama Islam dan masyarakat, menjadi
sangat efektif untuk komunikasi massa dalam memberikan hiburan serta
pesan-pesan kepada khalayak. Fungsi dan peranan ini terus berlanjut hingga
dewasa ini.
Perkembangan
wayang semakin meningkat pada masa setelah Demak, memasuki era
kerajaan-kerajaan Jawa seperti Pajang, Mataram, Kartasura, Surakarta, dan
Yogyakarta. Banyak sekali pujangga-pujangga yang menulis tentang wayang,
menciptakan wayang-wayang baru. Para seniman wayang banyak membuat
kreasi-kreasi yang kian memperkaya wayang.
Begitu pula para
dalang semakin profesional dalam menggelar pertunjukan wayang, tak
henti-hentinya terus mengembangkan seni tradisional ini. Dengan upaya yang tak
kunjung henti ini, membuahkan hasil yang menggembirakan dan membanggakan,
wayang dan seni pedalangan menjadi seni yang bermutu tinggi, dengan sebutan “Adiluhung”.
Wayang terbukti mampu tampil sebagai tontonan yang menarik sekaligus
menyampaikan pesan-pesan moral keutamaan hidup. Dari landasan perkembangan
wayang tersebut di atas, tampak bahwa memang wayang itu berasal dari pemujaan
nenek moyang pada zaman kuna, dikembangkan pada zaman Hindu, kemudian diadakan
pembaharuan pada zaman masuknya agama Islam dan terus mengalami perkembangan
dari zaman kerajaan-kerajaan Jawa, zaman penjajahan, zaman kemerdekaan hingga
kini.
Sumber : Buku
Mengenal Tokoh Wayang Indonesia
Oleh : Solichin,
Waluyo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar