Serat Makutha Raja
Para
cendekiawan pada zaman dahulu menyadari bahwa seorang pemimpin, mulai dari
tataran yang terendah sampai yang tertinggi, harus memiliki kemampuan memimpin
yang baik. Di antara para cendekiawan pada waktu itu yang memperhatikan masalah
kepemimpinan ini ialah Pangeran Buminata dari Keraton Yogyakarta. Ia berhasil
membuat kitab yang diberi judul Makutha Raja, untuk memberi tuntunan kepada
para pemimpin, terutama raja agar dapat menjadi pemimpin yang baik dan
disenangi oleh rakyatnya.
Isi Serat
Secara ringkas Serat Makutha Raja berisi tentang bagaimana sikap yang
seharusnya dilakukan oleh seorang pemimpin/raja. Dalam serat ini seseorang yang
sedang memegang kendali kepemimpinan diibaratkan sebagai orang yang sedang
mengendalikan kuda. Kuda, walaupun hanya seekor binatang, ternyata harus
didekati dengan cara-cara tertentu agar dapat dengan mudah dinaiki dan
dikendalikan.
Oleh karena kekhasan sifat yang dimiliki oleh seekor kuda ini, maka Pangeran
Buminata mengibaratkannya lagi dengan seorang gadis. Sulitnya membuka tali
kekang kuda adalah sama dengan sulitnya mendekati seorang gadis. Untuk
mendekati seorang gadis, tentunya diperlukan budi yang halus, kata-kata yang
manis dan lembut agar mau menerima dengan senang hati. Apabila pendekatan
dilakukan dengan cara yang kasar dan tergesa-gesa, maka kemungkinan besar si
gadis akan menolak.
Apabila hal ini diterapkan untuk menaklukkan seekor kuda, maka seseorang harus
menggunakan akalnya dan harus memperhatikan saat yang tepat untuk mendekati
kuda itu. Ia pun sebaiknya menguasai hal ikhwal tentang piranti tali kekang
yang digunakan sebagai sarana menaklukkan kuda. Dalam konteks ini, pengertian
memahami tali kekang kuda bukanlah tali kekang yang sebenarnya, melainkan memahami
segala permasalahan kuda, termasuk faktor dalam atau faktor kejiwaan dari kuda
itu.
Sebagai ilustrasi yang lebih konkret, dalam Serat Makutha Raja juga dikemukakan
cara-cara mengatasi kebinalan seekor kuda secara bijaksana yang dilakukan oleh
Pangeran Mangkubumi dan Syekh Janah Katib. Pangeran Mangkubumi menggunakan cara
yang disebut anyana mandra. Dengan cara ini si penunggang kuda selain harus
waspada dan berhati-hati, juga dituntut untuk bersikap luwes. Luwes dalam
pengertian ini ialah menuruti kehendak kuda. Jika kuda meronta, si penunggang
kuda hendaknya bersikap bijaksana sehingga kuda tunduk secara perlahan-lahan
dan mengikuti segala perintah si penunggang. Sedangkan, Syekh Janah Katib
menggunakan cara yang disebut anyana sanga. Cara yang digunakan oleh Syekh
Janah Katib ini lebih mengarah ke jalan makrifat.
Dalam Serat Makutha Raja juga dikisahkan cerita tentang Mas Ketib Anom yang
menerapkan ajaran “mengendalikan kuda secara arif, luwes dan lemah lembut”
untuk memecahkan masalah kerajaan. Waktu itu, pada masa pemerintahan Sunan Paku
Buwana terjadi suatu peristiwa yang berkaitan dengan Kyai Cebolek atau Kyai
Haji Ahmat Muntamangkin. Kyai Cebolek dianggap telah salah menafsirkan inti
dari cerita “Bimasuci” yang mengakibatkan keresahan di kalangan ulama kerajaan.
Mereka (para ulama) kemudian melaporkan hal ini kepada Raden Demang Urawan
(seorang punggawa keraton). Dan, sebagai seorang bawahan Raden Demang Urawan
lalu meneruskan laporan itu kepada raja.
Menanggapi laporan itu, raja memutuskan bahwa Kyai Cebolek tidak bersalah. Ia
hanya dianggap salah menafsirkan makna tamsil dalam cerita “Bimasuci”.
Keputusan raja yang menganggap Kyai Cebolek tidak bersalah itu mendapat
sanggahan dari seorang ulama Kudus, yakni Mas Ketib Anom. Sanggahan ulama itu sempat
sejenak menggegerkan istana. Namun, Mas Ketib Anom menegaskan bahwa
keberaniannya menyanggah keputusan raja adalah semata dilakukan demi kewibawaan
raja sendiri.
Sebagai jalan keluar mengatasi permasalahan ini, Mas Ketib Anom mengusulkan
agar Kyai Cebolek atau Kyai Haji Ahmat Muntamangkin tidak dihukum secara fisik,
melainkan diberi kesempatan untuk mengubah sikapnya. Menurut Mas Ketib Anom,
hukuman fisik tidak ada gunanya, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi
khalayak umum. Sebagai contoh, dikemukakan pemberian hukuman kepada Syeh Siti
Jenar (hukuman pancung), Pangeran Panggung di Pajang (bakar) dan terhadap Kyai
Amongraga (dibuang ke laut). Semuanya itu ternyata tidak bermanfaat karena yang
dihukum hanya fisik, sedangkan ideologi yang dianut tetap lestari. Tampak di
sini bahwa Mas Ketib Anom dengan bijaksana telah menerapkan ajaran
“mengendalikan kuda secara arif, luwes dan lemah lembut”.
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1992. Aneka Ragam
Khasanah Budaya Nusantara IV. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar