Ràjasanagara, 1350 – 1389
Hayam
Wuruk memerintah dengan gelar Ràjasanagara. Dengan Gajah Mada sebagai
patihnya, kerajaan Majapahit mengalami jaman keemasannya. Sumpah Palapa
Gajah Mada dapat terlaksana dan seluruh kepulauan Indonesia (Nusantara)
bahkan juga sampai ke semenanjung Malaka, mengibarkan panji-panji
Majapahit, sedangkan hubungan persahabatan dengan negara-negara tetangga
berlangsung dengan baik.
Kecuali
sebagai negarawan, Gajah Mada terkenal pula sebagai ahli hukum. Kitab
hukum Kutàramànawa disusunnya berdasarkan Kutàraúàstra dan kitab hukum
Hindu Mànawaúàstra, dan disesuaikan dengan hukum adat yang sudah berlaku
pada jaman itu.
Di
dalam bidang keagamaan diangkatnya dua orang pejabat tinggi yaitu,
Dharmàdhyakûa ring Kaúewan, adalah pejabat tinggi agama Úiwa yang diberi
tugas untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan agama Úiwa; dan
Dharmàdhyakûa ring Kasogatan, adalah pejabat tinggi agama Budha yang
diberi tugas untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan agama Budha.
Gajah
Mada wafat pada tahun 1364. Timbullah kesulitan mencari pengganti Gajah
Mada. Hayam Wuruk dan para bangsawan serta para pembesar kerajaan
mengadakan rapat, dan kesimpulannya ialah bahwa Gajah Mada tidak dapat
digantikan; jabatan apa yang dulu dipegang oleh Gajah Mada, sekarang
diserahkan kepada empat orang menteri.
Pemerintahan
yang baru ini terutama berusaha mengekalkan keutuhan negara. Maka
tindakan-tindakannya terutama ditujukan pada kemakmuran rakyat dan
keamanan daerah-daerah. Candi penghormatan untuk Tribhuwanottunggadewi
yang di Panggih diperindah. Tempat suci Palah (candi Panataran)
diperbaiki dan diperluas, ditambah sebuah candi perwara dalam tahun
1369, dan sebuah batur pendopo untuk saji-sajian dalam tahun 1375. Candi
Jabung dekat Keraksaan yang telah didirikan tahun 1354 kini
disempurnakan, sedang disekitar 1365 diselesaikan dua candi dekat Kediri
yaitu candi Surawana dan candi Tigawangi. Dalam tahun 1371 dibangun
candi Pari di Porong.
Dalam
bidang kesusasteraan jaman Hayam Wuruk sangat maju. Kakawin
Nàgarakåtàgama (Deúawarónana) yang merupakan sejarah tentang Singhasàri
dan Majapahit, dihimpun dalam tahun 1365 oleh mpu Prapañca. Mpu Tantular
(Dhanghyang Aúokanàtha) menggubah kakawin Sutasoma. Kakawin Sutasoma
menggambarkan adanya sinkretisasi (peleburan) antara ajaran Úiwa dan
Budha, seperti diungkapkan dalam salah satu slokanya sebagai berikut:
Hayam Wuruk wafat pada tahun 1389 dan mungkin sekali dicandikan di Tajung (daerah Berbek Kediri).“mangkang Jinatwa kalawan Úiwatattwa tunggal, bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.”Sejak jaman Sañjayawangúa dan Úailendrawangúa yang berkuasa di Jawa Tengah pada abad VIII agama Úiwa Siddhanta dan Budha Mantrayàna telah berkembang dan hidup berdampingan secara damai dan dilindungi oleh penguasa (raja).
Dari sumber lain:
Pada tahun 1350 putra mahkota Hayam Wuruk dinobatkan menjadi raja Majapahit dan bergelar Sri Rajasanagara dan dikenal pula dengan nama Bhra Hyang Wekasing Sukha. Ketika ibunya Tribhuwanottunggadewi masih memerintah, Hayam Wuruk telah dinobatkan menjadi raja muda (kumararaja) dan mendapatkan daerah Jiwana sebagai daerah lungguhnya. Dalam menjalankan pemerintahannya Hayam Wuruk didampingi Mahapatih Gajah Mada yang menduduki jabatan Patih Hamangkubhumi.
Jabatan ini sebenarnya telah diperoleh Gajah Mada ketika ia mengabdi
kepada raja Tribhuwanottunggadewi, yaitu setelah ia berhasil menumpas
pemberontakan di Sadeng.
Dengan bantuan patih Gajah Mada raja Hayam Wuruk berhasil membawa kerajaan Majapahit ke puncak kebesarannya. Seperti halnya raja Singhasari Kertanegara yang memiliki gagasan politik perluasan cakrawala mandala yang meliputi seluruh dwipantara, Gajah Mada ingin pula melaksanakan gagasan politik Nusantara-nya, sebagaimana yang telah dicetuskannya dalam Sumpah Palapa di hadapan Tribhuwanottunggadewi dan para pembesar kerajaan Majapahit waktu itu.
Dalam
rangka menjalankan politik Nusantaranya itu satu demi satu
daerah-daerah yang belum bernaung di bawah panji-panji kekuasaan
Majapahit akan ditundukkan dan dipersatukannya. Dari pemberitaan
Prapanca dalam kakawin Negarakertagama
kita mendapatkan informasi tentang daerah-daerah yang berada di bawah
kekuasaan Majapahit itu ternyata sangat luas. Daerah-daerah ini meliputi
hampir seluas wilayah Indonesia sekarang ini, meliputi daerah-daerah di
Sumatera bagian Barat sampai ke daerah-daerah Maluku dan Irian di
bagian Timur ; bahkan pengaruh itu telah diperluas pula sampai
kebeberapa negara tetangga di wilayah Asia Tenggara. Agaknya politik
Nusantara ini berakhir pada tahun 1357 M dengan terjadinya peristiwa di
Bubat (pasundan-bubat), yaitu perang antara orang-orang Sunda dengan Majapahit.
Pada waktu itu raja Hayam Wuruk bermaksud hendak mengambil putri Sunda, Dyah Pitaloka sebagai permaisurinya. Setelah puteri tersebut dengan ayahnya bersama-sama para pembesar dan pengiringnya sampai di Majapahit,
terjadilah perselisihan. Gajah Mada tidak menghendaki perkawinan raja
Hayam Wuruk dengan puteri Sunda itu dilangsungkan dengan begitu saja. Ia
menghendaki agar puteri Sunda itu dipersembahkan oleh raja Sunda kepada
raja Majapahit sebagai tanda pengakuan tunduk terhadap kerajaan
Majapahit. Para pembesar Sunda tidak setuju dengan sikap Gajah Mada
tersebut, akhirnya tempat kediaman orang-orang Sunda dikepung dan
diserbu oleh tentara Majapahit. Terjadilah peperangan di lapangan bubat
yang menyebabkan semua orang Sunda gugur, tidak ada yang tertinggal.
Peristiwa ini diuraikan secara panjang lebar dalam Kitab Pararaton dan
Kidung Sundayana, tetapi tidak diutarakan dalam kakawin Negarakertagama,
agaknya hal ini memang disengaja oleh Prapanca, karena peristiwa
tersebut tidak menunjang kepada kebesaran Majapahit dan bahkan dapat
dianggap sebagai kegagalan politik Gajah Mada untuk menundukkan Sunda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar